1. Kutukan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Al, jangan!"

Ashvin memperingati saudara kembarnya yang hendak membuka kotak kecil warisan ibu mereka. Dengan sigap anak lelaki itu mengulurkan tangan untuk merebut kembali benda dari kayu yang akhirnya dia berhak simpan itu.

"Berisik, ah!" tolak Alvin sambil menahan tubuh Ashvin agar tidak bisa menyentuh sejengkal pun kotak yang kini ada di pelukannya. "Dari awal urang berhak, ya, liat isinya! Bukan cuma maneh[2] doang!" Suaranya bergetar disertai amarah.

"Iya, tapi nanti, bukan sekarang!" bela Ashvin.

Alvin mendorong tubuh saudaranya sampai mengempas sofa ruang tamu. Bahunya naik turun. Air mukanya mengeras. Anak lelaki itu geram, kesal, dan gusar pada Ashvin. Jujur, ini baru pertama kalinya Alvin merasa seperti ini pada kembarannya itu. Namun, lelaki berambut pendek tersebut memiliki alasan yang kuat.

Ashvin hampir menghilangkan kotak warisan itu.

Tidak secara langsung memang. Namun, sejak kotak itu disimpan Ashvin dalam lemari di kamarnya, semua jadi tanggung jawab anak itu. Lalu malam ini, seorang maling hampir berhasil mencurinya. Dan demi yang menciptakan seluruh dunia, Ashvin tidak pernah menginginkan hal itu terjadi.

Untungnya, Alvin dengan susah payah dan berakhir dengan luka-luka berhasil mendapatkan kembali kotak itu. Dia dan Ashvin beruntung dibantu oleh warga yang datang di akhir "acara". Namun, luka yang diterima Alvin cukup untuk membuatnya harus merebahkan diri di sofa ruang tamu, ditemani Ashvin di kursi yang lain.

Alvin dengan rasa penasaran yang tinggi mengambil kotak kayu warisan dan mencoba mengelupas kertas berisolasi bening bertuliskan huruf Arab yang melapisi area antara tutup dan badan kotak seperti segel kemasan. Namun, Ashvin dengan cepat mencegahnya.

"Al, jangan!"

Peringatan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang telah terjadi. Dari sekian barang yang ada, kenapa hanya benda tersebut yang diincar? Kotak kayu tersebut bahkan disimpan di tempat yang tersembunyi, tapi maling yang datang tepat mengetahui tempatnya. Alvin yakin, pencuri itu tahu seluk-beluk keluarga mereka karena hanya keluarga besar saja yang tahu tentang warisan yang diberikan pada Alvin dan Ashvin.

"Memang maneh enggak penasaran gitu isinya apa?" tanya Alvin. Rahangnya mengeras. "Atau jangan-jangan udah tau? Mentang-mentang deket sama Mamah jadi maneh bisa simpen kotak ini sendiri! Enggak ingin bagi-bagi. Egois!"

"Bukan gitu!" Ashvin mengelak. "Kita kan, udah sepakat urang yang jaga. Lagian Mamah yang bilang jangan buka kotak itu sebelum kita 20 tahun! Kita harus jaga amanah!"

"Jaga amanah, jaga amanah! Maneh yang enggak bisa jaga amanah! Kotaknya hampir hilang gara-gara jendela maneh enggak dikunci! Untung urang bisa selamatin."

"Tapi, Al-"

"Halah, udah! Maneh mau atau enggak, urang bakal buka kotaknya."

Tanpa mendengar protes Ashvin lebih lanjut, Alvin mengambil pisau cutter yang ada di di lemari kaca. "Maneh jangan tiba-tiba ngerebut kalau enggak mau luka," ancamnya pada Ashvin sambil mengacungkan pisau di tangan kanan.

Dengan cekatan, Alvin menorehkan pisaunya di sela-sela segel yang menutupi. Tebalnya isolasi dan kertas yang menyatu seolah terbuat dari bahan yang sulit ditembus. Anak lelaki itu beberapa kali merobek-robek isolasinya sampai berhasil membuat celah.

Persetan dengan Alvin, Ashvin harus melindungi amanah yang telah dititipkan ibunya pada mereka, meskipun itu artinya harus melawan saudara sendiri. Namun, Alvin yang badannya lebih kekar dapat dengan mudah menghalau kembarannya sambil terus mencongkel segel.

"Ha! Terbuka!" seru Alvin.

Bersamaan dengan isi yang terlihat, angin kencang berembus sampai pintu terbanting dan gorden berkibar. Kedua anak kembar itu bahkan sampai harus menutup kedua mata mereka jika tidak ingin ada sesuatu yang masuk dan merusak penglihatan.

Alvin dan Ashvin mengerjapkan mata tatkala angin yang berembus kencang berhenti. Lingkungan kembali tenang saat mereka membuka penglihatan. Benar-benar membuka. Ashvin bahkan dapat melihat sesuatu yang sebelumnya tidak ada di sana. Gerakan-gerakan gesit dari sesuatu yang berwarna hitam, tetapi anak itu yakin bukan maling lainnya yang masuk ke rumah. Seperti sesuatu ... dari dimensi lain.

Sementara itu, Alvin lanjut berkutat dengan kotak di tangan, belum menyadari perubahan yang dirasakan kembarannya. "Hah? Apa, nih? Keris?" tanyanya ketika melihat sepasang benda tajam kecil dengan bilah bergelombang. Anak itu mengambil salah satu, lantas memperhatikannya. Gagangnya dari kayu dengan ujung berbentuk naga. Bilahnya gelap mengilap sampai bisa memantulkan wajah Alvin dengan jelas. Bibir tipis, hidung mancung, mata tajam. Tahi lalat di bawah bibir kirinya bahkan terpantul sempurna.

Anak itu menyipitkan mata ketika mendapati ada tulisan beraksara Jawa terukir di permukaannya. Sayang, Alvin tidak mengerti. Dia kemudian membalikkan bilahnya dan menemukan lagi sebuah tulisan terukir, tetapi kali ini dalam huruf Arab. Alvin baru akan membacanya ketika seseorang merebut kotak yang dia genggam.

"Kembalikan!" raung Ashvin sambil memasukkan keris kecil yang Alvin pegang sebelumnya ke kotak, lalu menutupnya rapat. "Sekarang maneh puas?"

Alvin tertawa remeh. "Urang kira duit, perhiasan, atau apa gitu. Ternyata cuma keris doang." Anak itu menggeleng. Dia mengembuskan napas gusar. Matanya menyipit. "Tapi, maling itu tau ini isinya pusaka berharga. Dan itu doang yang diincar. Maneh harus jaga itu baik-baik," ingat Alvin. Dia lantas berbalik dan baru menyadari perubahan yang dirasakan. Bulu kuduknya merinding. Anak lelaki itu ingin menanyakan hal tersebut pada Ashvin, tetapi terlalu gengsi. Alhasil, dia kembali ke kamar sambil memeluk diri dan terus waspada dengan tatapan tak kasat mata yang mengawasi.

Ashvin mengelus kotak di pelukan, lantas merengkuhnya erat. Kotak warisan yang harusnya dia jaga hampir saja menghilang dan kini terkoyak di beberapa sisi. Anak itu mendesah lelah. Dengan gontai dia kembali ke kamarnya di lantai dua.

Langkahnya sesekali terhenti ketika Ashvin merasakan ada yang mengawasinya dari dapur yang gelap di dekat tangga ke lantai dua. Poni komanya bergerak seirama kepala yang menoleh cepat tatkala sesuatu melesat di belakang punggungnya. Ashvin buru-buru menaiki undakan menghindari apa pun itu.

Kamar Alvin tertutup rapat dan lampunya telah dimatikan ketika Ashvin melewatinya. Anak lelaki itu menghela napas panjang, lantas kembali ke kamar dengan kecewa. Ashvin merasa, dia dan Alvin sudah sangat lama tidak akur. Padahal, ingin sekali Ashvin kembali memeluk saudaranya itu seperti dulu. Benar. Kalau mereka akur, kedua kembar itu pasti sudah berpelukan bersama karena ketakutan ketika pintu terbanting tiba-tiba, dan pastinya Alvin yang paling keras menggigil lalu merengkuh Ashvin dengan erat.

Ashvin tertawa miris. Dia langsung menutup pintu segera ketika berada di dalam kamar. Napas lelah keluar saat melihat jendela yang terbuka dan gorden yang berkibar pelan. Anak lelaki itu lekas menutupnya dengan rapat, lalu duduk di pinggir ranjangnya.

"Maafkan Aspin, ya, Mah," sesal Ashvin sambil mengusap kotak kayu di pangkuannya. "Aspin yang minta jaga kotak pemberian Mamah, tapi malah jadi begini." Dia lantas menyimpan kotak itu di dekat bantal sebelum mempersiapkan diri untuk tidur.

Namun, matanya sulit terpejam. Setiap kali anak itu menutup mata, sesuatu di sudut ruangan seolah mengawasinya. Padahal lampu menyala. Ashvin bisa melihat jelas tidak ada apa-apa di sana. Saking paranoidnya, dia sampai bersembunyi dalam selimut.

Ashvin curiga, semua hal menakutkan yang dia rasakan sekarangan pasti karena mereka melanggar amanah sang ibu yang melarang membuka kotak sebelum umur 20 tahun. Dia tidak pernah merasakan hal-hal tersebut sebelumnya meskipun keluarga ibunya sangat dekat dengan yang seperti itu. Ashvin overthinking sampai otaknya lelah dan meminta istirahat dengan sendirinya.

"Assalamualaikum! Punten! Alvin! Ashvin!"

Teriakan seorang gadis di depan rumah mengusik tidur nyenyak Alvin. Anak lelaki itu mengerjapkan mata beberapa kali lalu menggeliat meregangkan tubuh. Sesekali dia menguap sampai mungkin saja seluruh dunia dapat masuk ke mulutnya. Dia mengucek-ngucek mata lalu melihat jam di ponsel.

"Baru jam setengah tujuh," gumam Alvin. Dengan malas anak lelaki yang hanya memakai celana pendek kelabu dan kaus oblong hitam itu bangkit mendekati cermin untuk mengecek penampilan. Rambut pendek berantakannya hanya dia usap dan langsung kembali rapi dengan gaya spiky.

Setelah memastikan tidak ada tahi mata yang tertinggal dan bau mulutnya masih dalam keadaan standar untuk ukuran tetangga yang sudah dikenalnya dari kecil, Alvin bergegas menuruni tangga sebelum gadis itu memanggil namanya untuk yang ketiga kali, lalu dia terpaksa memberi gadis itu piring cantik. Sesekali anak itu berhenti melangkah karena seperti ada sesuatu yang memandanginya dari jauh, lantas kembali jalan.

"Punteeeen! Al-"

Alvin membuka pintu dan mendapati seorang gadis berambut sebahu ... bersama bayangan hitam di belakangnya. Kaget, Alvin terlonjak sampai jatuh terduduk. Dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan apa yang dilihat. Namun, tidak ada apa-apa. Apa aku salah lihat?

Si gadis menatap bingung. "Kenapa, Al?" Dia membantu Alvin berdiri. "Enggak apa-apa, 'kan?"

Alvin bangkit. "Enggak apa-apa," jawabnya. "Ngapain pagi-pagi udah ke sini, Git?"

Gita masuk lalu duduk di sofa ruang tamu tanpa disuruh. Alvin yang sudah biasa dengan sikap teman masa kecilnya itu tak acuh dan ikut duduk di sofa single. Kedua tangan anak lelaki itu bersilang di depan dada.

"Aku ada berita penting buat kalian berdua," mulai Gita. Alvin yang mendengarnya mencondongkan tubuh untuk lebih memperhatikan gadis itu. "Ini mungkin menyangkut hidup dan mati kalian."[]

***

Kamus:

[2] Maneh (Sd.) = Kamu (kasar). Hanya digunakan pada percakapan dengan sesama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro