Bab 11. Pertemuan Tak Terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

BRAK. Valeri dan Candraneswara sama-sama terkejut dengan suara itu. Sementara Valeri akhirnya terbangun dari mimpi, kesadaran Candraneswara pun telah kembali ke guanya. "Ah, ternyata waktuku sudah habis," gumam Candraneswara.

Candraneswara turun dari tempatnya bersemadi lalu berjalan ke tempat tidurnya. Candraneswara merebahkan tubuh lalu memejamkan mata. Dia lelah, ternyata terlalu sering mengunjungi mimpi Valeri membuatnya harus menghabiskan banyak energi. Saat baru memejamkan mata, Candraneswara merasakan sebuah tangan mengelus puncak kepalanya.

"Habis dari mana, Di Ajeng? Sampai terlihat selelah ini?" Dewa jaya Kususma ternyata sudah duduk di tepi ranjang Candraneswara. Perempuan itu pun tersenyum menyambut kekasihnya (atau mungkin simpanannya).

"Tidak dari mana-mana, Kangmas. Hanya berjalan-jalan." Tentu saja Candraneswara tidak bisa berkata dengan sejujurnya karena Dewa Jaya Kusuma pasti tidak akan senang jika sampai mengetahui bahwa Inu Kertapati sudah menemukan reinkarnasi dari Candraneswara.

"Hanya jalan-jalan?" tanya Dewa Jaya Kusuma sekali lagi untuk memastikan. Candraneswara menggelengkan kepala. "Kenapa kamu tidak mau bercerita jika hanya jalan-jalan."

Candraneswara menahan dirinya untuk tidak menghela napas panjang. Kemudian dia pun mendudukkan diri di samping Dewa Jaya Kusuma. "Saya benar-benar hanya jalan-jalan, Kangmas."

"Tidak menemui Inu Kertapati lagi?" Sudah Candraneswara tebak. Ujung-ujungnya pasti mengarah kesana.

"Apakah Kangmas lupa jika saya tidak bisa sembarangan menemui Kangmas Inu Kertapati? Kangmas sendiri yang sudah membatasi pergerakan saya. Sejauh apa pun saya pergi, pada akhirnya saya akan kembali ke sini. Ingin selama apa pun saya pergi, saya tidak akan bisa mengendalikan bahwa akhirnya saya tidak akan bisa lama-lama meninggalkan tempat ini."

"Aku hanya bertanya untuk memastikan." Dewa Jaya Kusuma menundukkan kepala.

Melihat Dewa Jaya Kusuma yang tertunduk lesu dan tidak bertindak kasar sedikit pun, membuat Candraneswara berinisiatif memeluk lelaki itu. "Tolong percaya kepada saya, Kangmas. Bahkan tanpa dikurung sekali pun, jika memang sudah takdir, maka saya akan tetap akan kembali kepada, Kangmas. Sejak awal, hati dan cinta saya memang sudah diciptakan untuk, Kangmas."

Dewa Jaya Kusuma balas memeluk Candraneswara. "Maaf, aku hanya takut kehilanganmu. Aku takut kehilangan Anggar Mayang-ku lagi." Lalu dia membenamkan wajahnya ke dalam leher Candraneswara.

Memang seperti itu rasa takut Dewa Jaya Kusuma akan kehilangan Candraneswara. Terkadang membuatnya bersikap begitu lembut kepada Candraneswara. Akan tetapi, terkadang juga membuatnya bersikap begitu kasar.

***

Sementara Candraneswara sedang bermesraan dengan Dewa Jaya Kusuma, Valeri sedang terengah-engah setelah terbangun dari tidurnya. Bangun tidur dengan keadaan terkejut itu sangat tidak menyenangkan. Rasanya seperti begitu cemas, lelah, dan berdebar pada saat yang bersamaan.

Valeri pun segera meraih gelas air putih yang terletak di nakasnya. Satu teguk, dua teguk. Drtt, drtt, drtt. Getaran dari ponselnya, nyari membuat Valeri terlonjak kaget untuk kedua kalinya.

Ternyata sebuah panggilan telepon baru saja masuk. Nama Mbak Vina terpampang jelas pada ponsel perempuan itu. "Halo," sapa Valeri dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Sini keluar, ke ruang tengah. Mbak bawain sesuatu buat kamu." Masih pukul delapan pagi, tetapi perempuan yang akan segera menikah itu suaranya sudah sangat bersemangat.

Valeri pun mau tidak mau bergegas turun dari ranjang, lalu keluar menuju ruang tengah dengan rambut yang masih berantakan dan muka bantal yang belum sempat terkena air. Sedangkan Vina yang sudah berpenampilan rapi di ruang tengah sedang duduk bersama Endah dan Nyonya Handoko.

"Walah, Ndoro Putri sudah bangun ternyata," ucap Endah sembari tersenyum lebar. Meskipun Valeri mengetahui bahwa kakak dari ibunya itu sebenarnya sedang menyindir. Valeri yang jam segini baru bangun.

"Iya, nih, Budhe. Mumpung liburan. Budhe juga pagi-pagi udah ke sini ada apa?" Meskipun Valeri sedikit kesal dengan sindiran tadi, tetapi Valeri tidak ingin ambil pusing. Tidak ada gunanya.

"Iya, ini Budhe mau nganterin kain buat seragam keluarga nanti pas nikahan Mbak Vina." Kemudian Endah menggeser beberapa potong kain yang sudah dibungkus dua meter per potong. "Ini ada empat potong, nanti pas pulang kasih ke Mama, ya. Dari pada dikirim lewat paket, Budhe titipin aja ke kamu, ya"

"Oalah, oke, Budhe. Emang Mbak Vina jadinya nikah kapan?" tanya Valeri lebih lanjut untuk memastikan waktunya. Mengingat orang serumahnya selalu sibuk sepanjang waktu.

"Tiga bulanan lagi, Val. Nanti dikabarin lagi tanggal pastinya," jawab Vina kali ini. Valeri mengangguk-anggukkan kepala.

"Eh, kamu habis ini luang nggak, Val?"

"Valeri udah pasti luang lah, Nduk. Orang di sini juga nggak ngapa-ngapain. Iya, kan, Val?" Sekali lagi, Endah berusaha menyindir Valeri.

Namun, sekali lagi juga Valeri hanya tersenyum menanggapi sindiran tersebut. Saudara yang julid itu nanti akan ribet jika terus ditanggapi. "Iya, luang, kok. Kenapa, Mbak?"

"Nah, ikut Mbak Vani, yuk. Mau ke kampus. Temenin Mbak, bentar paling." Valeri mengerutkan dahi saat mendengar kakak sepupunya itu akan ke kampus.

"Bukannya Mbak Vani udah wisuda tahun lalu? Kok, masih mau ke kampus?"

"Iya, mau ketemu kenalan adek tingkatnya Mbak. Dia biasanya nerima job buat foto prewedding sama nikahan."

Valeri pun mengangguk-anggukkan kepala. "Oalah, Valeri mandi dulu kalau begitu." Kemudian Valeri pun segera berdiri dan bergegas ke kamar mandi. Dia tidak ingin berlama-lama dan lebih banyak lagi mendengarkan sindiran dari Endah.

Tidak sampai satu jam, Valeri sudah kembali ke ruang tengah. Akan tetapi, di sana sudah tidak ada Endah. Hanya tersisa Vina dan Nyonya Handoko yang sedang asik mengobrol.

"Loh, Budhe udah pulang?"

"Iya, tadi di jemput sama Ayah. Katanya mau diajak pergi ... nggak tau mau ke mana," jelas Vina.

"Iya, baru aja," imbuh Nyonya Handoko. "Ya, udah. Kalau kalian mau pergi, Eyang mau menyiram-nyiram dulu mumpung masih pagi."

Setelah itu Nyonya Handoko langsung menuju halaman rumah, tempat tanaman-tanaman kesayangannya tumbuh subur. Vina tersenyum melihat neneknya. Dia senang melihat sang nenek masih kuat beraktivitas di umurnya yang sudah tidak muda lagi.

"Dulu Mbak pikir, Eyang bakal kesepian waktu ditinggal Eyang Kakung. Makanya dulu Mbak nggak mau kuliah di luar kota, biar bisa sering-sering nemenin Eyang. Eh, ternyata sekarang Eyang malah have fun sama hidupnya." Mata Vina memancarkan binar perasaan sayang begitu besar kepada sang nenek. Valeri pun ikut tersenyum senang mendengar hal tersebut.

Setelah itu, tepat pukul setengah sepuluh Vina dan Valeri pun berangkat. Tentu tidak lupa untuk berpamitan kepada Nyonya Handoko.

Namun, saat sampai kampus, ternyata fotografernya belum bisa diajak bertemu. "Katanya, dia masih ketemu dosen buat bimbingan skripsi. Barusan orangnya nge-chat."

"Yah ... lama nggak?"

"Nggak tau, tapi mungkin lumayan lama, sih. Soalnya kata dia, dosennya baru bisa ditemui .... Gimana kalau kita ke perpustakaan dulu. Mbak mau nyari buku buat urusan kerjaan, siapa tau di perpus sini ada. Jadi nggak perlu beli."

Valeri pun menyetujui usulan tersebut. Dia juga tidak ingin bosan menunggu. Jadi dia mengikuti kakak sepupunya saja menuju perpustakaan.

"Tasnya tinggal mobil aja, bawa yang penting aja biar nggak perlu nitipin barang." Sesuai permintaan Vina, Valeri hanya membawa ponsel lalu memasukkannya ke dalam kantong celana.

Saat sampai di dalam perpustakaan, Valeri melihat denah koleksi. Lalu dia melihat koleksi novel berada di lantai enam. Dia pun berpikir untuk menuju lantai tersebut.

"Mbak Vina, mau ke lantai berapa?" tanya Valeri.

"Satu, doang, kok. Soalnya ini di katalog online, bukunya di lantai satu. Gimana emangnya, Val? Mau ke lantai lain?"

Valeri menganggukkan kepalanya. "Lantai berapa?" tanya Vina.

"Lantai enam. Mau lihat-lihat novel."

"Oalah, naik lift aja. Nanti keluar, belok kiri udah langsung ruang koleksi," jelas Vina. Dia sama sekali tidak berpikir untuk menemani Valeri, karena menurut Vina, Valeri sudah cukup dewasa untuk memiliki kapasitas menelusuri perpustakaan sendirian.

Meskipun sebenarnya Valeri agak kikuk harus berada di tempat yang asing baginya. "Oke, Mbak. Nanti kabarin kalau udah mau ketemu fotografernya."

Mereka pun sepakat bertemu lagi di lobi perpustakaan saat memang sudah mau bertemu si fotografer. Lalu Valeri benar-benar pergi ke lantai enam sendirian. Walaupun kikuk, tetapi Valeri juga menyadari bahwa dirinya sudah cukup dewasa untuk melakukan hal-hal seperti ini sendirian.

Setelah sampai di lantai enam, Valeri menemukan beberapa novel yang cukup menarik untuk dibaca. Satu jam berlalu begitu saja dengan membaca salah satu novel yang Valeri temukan di sana. Sampai kemudian Valeri merasa kakak sepupunya tidak kunjung memberi kabar. Jadi Valeri berniat menyusul sang kakak ke lantai satu.

Veleri kembali naik lift untuk ke lantai satu. Ting. Pintu terbuka, Valeri masuk ke dalam lift. Lalu lift tersebut turun ke lantai lima. Ting. Pintu kembali terbuka. Seorang lelaki masuk ke dalam.

"Dokter Klana?"

"Loh, Valeri?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro