Bab 17. Waktu yang Lama untuk Terus Mengingat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah berpamitan, Valeri dan Klana pun pergi ke tempat yang sudah mereka rencanakan untuk didatangi. Selama beberapa menit awal di dalam mobil, hanya diam karena sama-sama canggung dan kebingungan ingin mengatakan apa. Sampai di lampu merah pertama yang mereka lewati, Klana mengerem mendadak karena tiba-tiba ada pengendara motor yang memotong jalannya.

"Eh, awas! Depan," pekik Valeri spontan tepat saat Klana menginjak remnya.

"Aduh ... maaf, Valeri. Kamu kaget, ya?" tanya Klana memastikan kondisi Valeri sembari berhenti untuk menunggu lampu merah.

Valeri menganggukkan kepala. "Iya, tapi nggak apa-apa, kok."

"Beneran? Nggak ada yang luka, kan? Atau kepentok?" Klana benar-benar takut melakukan kesalahan pada kencan pertamanya setelah berabad-abad. Ini semua berkat cerita dari Gemuris mengenai macam-macam kesalahan pada kencan pertama dan akibatnya.

Valeri tersenyum. "Aku nggak apa-apa .... Dokter–"

"Mas ...." Klana menginterupsi perkataan Valeri. "... boleh saya minta untuk dipanggil dengan Mas?"

"Okey ... Mas Klana, nggak apa-apa, kan?" Sebenarnya terasa sedikit canggung untuk memanggil Klana dengan sebutan Mas seperti ini. Akan tetapi, Valeri pikir akan lebih canggung lagi jika dia terus-terus memanggil Klana dengan sebutan yang formal.

Lampu hijau kembali menyala. Klana pun kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan normal.

"Saya nggak apa-apa. Maaf, ya. Kalau saya terkesan kikuk nyetirnya. Biasanya saya nggak nyetir sendiri. Saya biasa kalau ke kantor naik kendaraan umum atau barengan sama temen akrab saya yang tempat kerjanya dekat rumah sakit," jelas Klana sejujurnya.

"Eh, kenapa begitu? Biasanya dokter malah lebih suka naik kendaraan sendiri nggak, sih? Soalnya jam kerja dokter kadang nggak menentu, kan?"

Klana terkekeh mendengar pertanyaan Valeri. "Kalau dokter sekelas saya pekerjaannya masih belum sebanyak itu. Senior saya banyak yang beban kerjanya sudah lebih banyak. Lagian, saya nggak suka nambah polusi udara sama nambah macet. Temen saya juga naik mobil sendirian terus. Jadi dari pada dia sendirian terus, mending saya nebeng dia, kan?"

Meskipun sebenarnya alasan utama Klana adalah karena Gemuris memang ajudannya dan Klana malah menyetir sendiri. Baru alasan keduanya karena Klana menggilai teori-teori pencegahan perubahan iklim. Ini karena sebagai makhluk yang sudah hidup selama sembilan abad, dia sangat amat merasakan perubahan iklim dan siklus cuaca yang ada.

Valeri tersenyum lebar mendengar ucapan tersebut. "Benar juga, sih. Lebih baik mengurangi penggunaan kendaraan pribadi kalau pergi sendirian-sendirian gitu. Nanti jadinya macet banget kayak Jakarta."

"Nah, saya juga nggak mau Solo jadi semacet Jakarta ... kayak, pasti bakal capek di jalan, kan?"

Valeri menganggukkan kepala setuju. "Iya, mana langitnya juga jadi jelek." Salah satu hal yang Valeri sukai setiap berkunjung ke Solo adalah karena langitnya masih terlihat bersih dan udara di Solo masih terasa lebih baik.

"Kamu suka banget sama langit, ya?" Tiba-tiba Klana teringat Valeri yang dari media sosialnya terlihat sangat menyukai langit.

Saat Valeri dan Klana sibuk mengobrol, ternyata mereka sudah sampai di tempat tujuan. Valeri menjawab pertanyaan Klana, tepat saat lelaki itu selesai memarkir mobilnya.

"Iya, suka banget, banget, banget. Soalnya menurutku, ya, Mas. Langit selalu kelihatan indah gimana pun bentuk dan cuacanya. Bahkan langit mendung pun kelihatan indah buat aku." Melihat dari cara bicaranya. Valeri sudah merasa lebih santai untuk mengobrol dengan Klana yang tentu saja hal tersebut turut mempengaruhi Klana untuk lebih santai juga.

Kemudian, selagi Valeri menjawab pertanyaan Klana tadi. Tangan lelaki itu bergerak melepaskan sabuk pengaman Valeri. Setelah Valeri selesai bicara pun, Klana terlebih dahulu turun dari mobil untuk membukakan pintu dan membantu Klana turun dari mobil.

"Kalau kamu memang sesuka itu dengan langit, berarti pilihan saya cukup trpat untuk mengajak kamu ke sini."

Begitu keluar dari mobil, Valeri sangat senang melihat langit yang nampak jelas. Sementara Valeri sedang sibuk mengagumi langit, Klana mencoba peruntungannya dengan menyenggol sedikit tangan Valeri. Ternyata perempuan itu tidak menjauhkan tangannya dari Klana.

Kemudian Klana mencoba lagi untuk menggandeng tangan Valeri yang membuat perempuan itu menolehkan kepala kepada Klana. "Ayo, duduk di sana sambil minum es coklat," ajak Klana sembari tersenyum. Valeri pun menganggukkan kepala setuju dan sama sekali tidak melepaskan genggaman tangan Klana.

"Oh, ternyata tempatnya di tepi sungai, ya? Wah ... bersih lagi sungainya. Jadi bagus kena pantulan cahaya matahari sore," komentar Valeri sembari duduk di salah satu kursi taman.

"Iya, tempatnya sampai sungai .... Sebentar, ya. Tunggu sini dulu. Saya pesenin es coklat."

Valeri pun menunggu Klana memesan minuman sembari memperhatikan riak kecil pada air di depannya. BYUR! Mendadak bayangan Candra Kirana yang terjun ke dalam kolam pun melintas di dalam kepala Valeri. Perempuan itu pun menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap Candra Kirana menghilang dari pikirannya.

"Ayolah, Valeri! Fokus dulu, lo kagi first date," gumam Valeri yang ternyata terdengar oleh Klana yang sudah berjalan kembali.

"Kenapa, Val?" tanya Klana sembari menyerahkan kepada Valeri segelas es coklat dengan sepotong roti di dalamnya.

"Eh?" Valeri agak terkejut. "Nggak apa-apa, kok, Dok ... eh, Mas. Makasih es coklatnya."

"Gimana menurut kamu? Bagus nggak?" Valeri menganggukkan kepalanya dengan senang. "Nanti akan lebih bagus lagi waktu mataharinya udah mau tenggelam.

"Oh, iya?" Valeri langsung mengeluarkan ponselnya dari sling bag. Berjaga-jaga untuk menangkap momen yang pas.

"Eh, ngomong-ngomong ... kamu kembali ke Jakarta kapan?"

Membicarakan perihal jakarta dan kondisi lingkungannya, membuat Klana teringat bahwa Valeri tidak lama di Solo. Dia pasti akan segera kembali ke Jakarta dan Klana harus mempertimbangkan waktu, berapa lama dia bisa mendekati Valeri sampai bisa mendapatkan ciuman cinta sejati dari perempuan itu.

"Emm ... mungkin sekitar dua mingguan lagi. Dua minggu lebih dikit," jawab Valeri sembari menikmati es coklatnya. Dia tidak bisa memberikan tanggal pasti kepulangannya karena juga belum mengetahui akan pulang kapan.

Klana terdiam. Waktu dua minggu adalah waktu yang sebentar untuk melakukan pendekatan bagi Klana. Dulu saja dia mendekati Angreni membutuh waktu yang cukup lama. Berapa lama, ya?

Mendadak Klana berusaha mengingat-ingat saat dia masa-masa mendekati Angreni. Akan tetapi, anehnya Klana tidak bisa mengingat apa pun dari masa itu? Padahal Klana masih bisa mengingat masa kecil Candra Kirana saat bermain bersamanya dahulu kala.

"Memang kenapa, Mas?" tanya Valeri kepada Klana yang mendadak diam seperti orang termenung.

"Nggak apa-apa, sih. Tanya aja ... ya, sekarang saya lagi deketin kamu, kan? Maksudnya saya mau tau, kapan kita akan mulai LDR. Soalnya kamu pasti kembali ke Jakarta, kan?"

Ah, benar juga. Valeri baru ingat, jika mereka akan menjalin hubungan jarak jauh--jika benar-benar jadian.

"Oh, iya, ya. Aku hampir lupa sama itu."

"Makanya ... tapi nggak apa-apa. Saya bisa LDR, kok." Padahal sebenarnya di dalam kepala Klana, dia berencana mendapatkan ciuman itu sebelum Valeri kembali ke Jakarta. Klana tidak ingin menunda lebih lama lagi untuk menyelesaikan kutukannya.

"Hal yang penting kamu dan saya sama-sama bisa jaga hati aja. Jaga kesehatan juga, jangan sampai kecapekan sampai sakit seperti kemarin."

Diingatkan masalah sakit, Valeri jadi kembali teringat Candra Kirana. "Sebenarnya, aku nggak sakit karena capek, Mas. Tapi beberapa hari sebelum itu, aku sering mimpi aneh."

"Mimpi apa?"

"Mimpi perempuan, namanya Candraneswara ... dan sampai akhir-akhir ini dia masih sering datang ke mimpiku."

Untuk beberapa saat, jantung Klana berdetak lebih cepat dari pada semestinya setelah mendengar nama Candraneswara disebutkan. Kemudian dia baru ingat bahwa Candraneswara memang sudah berjanji untuk membantu Klana menyelesaikan kutukan ini.

"Perempuan? Sampai sekarang?" Klana pura-pura terkejut. "Mimpi seperti apa?"

Valeri terdiam sebentar. Dia sedang mempertimbangkan untuk bercerita kepada Klana atau tidak. Sampai kemudian, Valeri memutuskan untuk bercerita karena dia pikir, Klana juga tidak akan mempercayai mimpi tersebut. Secara Klana adalah dokter.

Valeri juga butuh bercerita mengenai mimpi anehnya itu. Supaya tidak gila sendiri.

"Emm ... kayak dia berusaha menunjukkan kehidupanku di masa lalu. Tentang Candra Kirana, Inu Kertapati, dan Angreni."

Sekali lagi, jantung Klana berdetak lebih cepat saat ketiga nama itu disebutkan oleh Valeri. Klana berusaha menahan dirinya untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan reaksi berlebihan apa pun.

"Aku sebenernya nggak terlalu percaya sama mimpi itu, Mas. Tapi anehnya, waktu lihat Inu Kertapati nangis sambil meluk jasad Angreni, aku ikut ngerasa sedih. Terus waktu Candra Kirana tau tunangannya menikah diam-diam dengan perempuan lain, rasanya aku ikut sakit hati. Nyeri banget hatiku, kayak aku yang lagi patah hati."

Mendengar cerita Valeri, Klana baru ingat bahwa sempat ada kejadian Angreni dibunuh dan Klana menemukan perempuan itu di tepi pantai. Meskipun begitu, mereka tetap bisa bertemu kembali. Akan tetapi, Klana lupa bagaimana mereka bisa bertemu kembali?

Semakin dia berusaha mengingat-ingat masa lalunya, semakin Klana menyadari bahwa banyak hal telah terlupakan. Ingatannya sudah termakan zaman.

Namun, bagaimana bisa dia melupakan hal-hal mengenai Angreni dan Candraneswara yang dia cintai? Sejak kapan?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro