Day 0 - Rhea City

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Page 1
Audrey's Journal - Place of Birth

Hari ini, setelah bekerja paruh waktu di kafe, aku segera pulang dan berberes rumah. Sebenarnya, hari ini cuaca sedang cerah, dan bintang-bintang terlihat jelas menggantung di langit.

Di halaman, ada bangku panjang yang biasa kugunakan untuk rebahan sambil melihat bintang. Namun, kali ini, aku harus menyelesaikan tugasku dan beristirahat. Kusempatkan menyapu atau mengelap debu di meja setelah bekerja. Karena jika di pagi hari sebelum berangkat bekerja ke toko roti, aku tidak akan sempat mengurus rumah. Kali ini, aku membersihkan bagian kamar ibu dan ayah. Lama sekali aku tidak membersihkan ruangan ini. Debunya sudah tebal dan kasurnya berbau apek. Dindingnya lembap. Ada rasa sesak di dada mengingat zaman dulu kita hidup dengan harmonis dan bahagia.

Sungguh. Saat ini aku merindukan ibu. Sangat rindu.

Sejenak aku duduk di tepi kasur sekadar mengingat betapa cantiknya ibu saat tersenyum atau betapa hangatnya dia saat perhatian padaku. Masih kuingat jelas kebaikan ibu.

Terkadang, aku merasa sedih dan sempat berharap tidak pernah dilahirkan jika hidupku terus sengsara. Aku sudah tidak punya orang tua. Sanak keluarga lainpun tidak ada.

Namun, ada hal yang juga aku syukuri di hidupku. Sebuah pengalaman yang mungkin tidak semua orang mengalaminya. Pengalaman yang membuatku menjadi lebih kuat dan lebih mensyukuri hidup.

Selain itu, aku juga mencintai Kota Rhea, kota kelahiranku. Bagi penduduk luar kota, kota Rhea terkenal dengan kota yang makmur. Memang benar. Rhea merupakan pusat kegiatan segala sektor ekonomi dan pariwisata. Pemandangan kota Rhea selalu menarik wisatawan baik dalam kerajaan maupun di luar Acallaris.

Namun, tetap saja ada hal-hal gelap yang tidak diketahui kota lain. Kriminalitas, pasar gelap, kemiskinan, kesenjangan sosial, mahalnya bahan pokok di pasar utama, dan sisi gelap lain. Meskipun hidup di kota makmur, bukan berarti penduduknya juga ikut makmur. Tetap ada yang namanya kemiskinan. Jika tidak punya uang dan miskin, apalah artinya hidup di kota makmur? Makmur hanya kata-kata bagi orang yang berduit.

Hidup benar-benar tidak adil, 'kan?

Hidup miskin di kota besar sungguh sulit. Aku bisa saja meninggalkan kota Rhea. Tetapi, aku tidak mau meninggalkan ibu. Ibu dimakamkan di kota ini, tepatnya di Rhea City Cemetery. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian dan tidak bisa jauh darinya. Sebulan sekali, aku mengunjungi ibu. Memberinya bunga, minyak wangi, dan air sumber sumur. Di tempat tinggalku, inilah cara menghormati orang meninggal.

Hal lain yang membuatku tidak bisa meninggalkan kota adalah karena hidupku dijadikan jaminan utang oleh ayah kandungku. Perjanjian itu tidak bisa dibatalkan karena dilindungi oleh hukum. Ada perjanjian hitam di atas putih. Aku tidak pernah bisa melawannya.

Sedangkan ayah?

Ayah sudah lama tidak pulang. Bertahun-tahun. Entah berapa tahun sampai aku lupa menghitung. Seingatku, dulu dia berpamitan mencari pesugihan dan berjanji akan melunasi utangnya. Ayahku memang percaya dengan hal-hal supranatural seperti itu. Tidak ada yang aneh. Penduduk Rhea sebagian besar memang percaya.

Dia sering membakar dupa di rumah, hampir setiap hari. Setiap tanggal tertentu, dia memberi sesajen di beberapa makam di Rhea City Cemetery. Tentunya, di makam yang dia percaya sebagai makam keramat. Sesajen itu berupa beberapa potong daging domba sulung yang dimasak dengan rempah-rempah tertentu, bunga-bunga tujuh rupa, cengkeh, dan entah apa lagi yang tersaji di piring kecil itu.

Padahal, anak satu-satunya ini tidak pernah merasakan bagaimana rasanya daging domba. Lalu, dupa, lilin, patung-patung yang entah dari mana dia dapatkan bergantian menjadi penghuni meja makan kami.

Aku sering bertanya mengenai itu. Dengan entengnya dia menjawab bahwa sesajen itu adalah bentuk persembahannya agar mendapatkan uang. Namun, rasanya tetap saja tidak ada yang berubah. Uang apanya? Yang ada, gaji ayah sebagai lelaki serabutan, habis untuk sesajen. Dia juga sering mendaki gunung keramat untuk bertapa. Pulang-pulang, dia hanya membawa badannya sendiri. Uang? Tentu saja tidak ada.

Selama ayah pergi, hampir setiap hari ada orang-orang suruhan Tuan Mikael. Tak jarang juga mereka datang ke toko roti meskipun aku selalu rutin membayar mereka.

Terkadang, saat aku berada di titik rendah, aku menyesal karena hidup. Apakah aku hidup hanya sebagai alat jaminan utang ayah? Apakah dia pernah bertanya apa aku menginginkan menjadi budak saudagar konglomerat? Tidak! Dia tidak pernah bertanya. Yang dia inginkan hanya uang. Rumah dan putrinya menjadi jaminan. Aku tidak pernah tahu uang yang didapatkan itu untuk apa. Mungkin untuk berjudi atau berinvestasi bodong? Atau malah digunakan untuk kesenangannya sendiri berkeliling negara?

Kendati demikian, masih ada setitik rasa rinduku untuknya. Hanya dia keluargaku satu-satunya dan entah di mana dia sekarang. Masih hidup atau sudah mati.

Untuk mengalihkan pikiranku darinya, ada beberapa tempat di kota ini yang sering kukunjungi. Tentu saja tempat nyaman yang tidak perlu membayar. Seperti Olwenn's Bakery, alun-alun festival atau Blossom Shop.

Namun, saat ini, aku bersyukur bisa bekerja sebagai penjaga toko roti Olwenn milik Nyonya Olwenn. Toko roti ini sangat terkenal karena macam kue yang dijual sangat lengkap. Toko ini setiap hari menyediakan kue fresh dari dalam oven, jika sisa pun jarang. Sebenarnya, aku malah berdoa agar sering sisa, karena Nyonya Olwenn pasti membagikan kue sisa itu kepadaku. Tak jarang, ada roti yang hampir berjamur karena beberapa hari tidak laku. Jika itu terjadi, aku akan meminta izin Nyonya Olwen  untuk membiarkanku membawa pulang kue itu.

Setiap pulang bekerja dari toko Nyonya Olwenn atau kafe, kadang aku menyempatkan diri duduk-duduk di alun-alun sambil menikmati roti yang kudapat dari toko. Alun-alun itu nyaman, banyak bangku yang bebas dipakai, dan jika malam, itu adalah tempat sempurna untuk melihat bintang. Luas dan jernih. Setiap hari, alun-alun itu ramai. Banyak yang menghabiskan waktu berpiknik bersama keluarga juga orang tersayang. Kadang aku berpikir apakah suatu saat nanti aku dapat merasakan hal yang sama? Apakah suatu hari nanti ayah akan pulang dan berkata : "Nak, ayah menyayangimu."

Aku tahu itu mungkin, hanya saja, kemungkinannya kecil. Dia bahkan membuatku menjadi jaminan untuk utangnya. Seumur hidup, aku tidak akan mau menjadi budak Tuan Mikael. Dia juga tidak pernah pulang dan membiarkan putrinya berjuang sendiri.

Tak jauh dari alun-alun, ada Rhea Library. Dulu aku sering mengunjunginya bersama ibu. Banyak koleksi buku-buku dan tempatnya luas. Ibuku kenal dengan penjaganya, Wilona. Mereka sering bertukar informasi mengenai buku terbaru. Ibu juga memperbolehkanku meminjam komik dan bacaan novel anak yang kusuka. Kami sering mengunjungi perpustakaan ini meskipun tidak lama, karena ibu harus berdagang ikan di sekitar pelabuhan. Saat itu, keuangan kami ditopang oleh ayah yang menjadi buruh nelayan dan ibu yang berjualan hasil tangkapan ayah di pelabuhan. Meskipum hanya itu pekerjaan orang tuaku, tapi kami hidup dengan cukup dan tentunya bahagia.

Tempat favoritku selanjutnya adalah Blossom Shop, toko bunga di sudut jalan. Nyonya Olwenn sering menyuruhku ke sana untuk mengambil pesanan bunganya. Aku menyukai toko ini karena ruangannya harum dan seakan menyatu dengan alam. Rasanya segar sekali menghirup udara di ruang Blossom Shop. Aku juga jadi mengetahui nama-nama bunga beserta maknanya saking seringnya Nyonya Olwenn menyuruhku mengambil pesanannya. Bunga-bunga pesanan Nyonya Olwenn sebagian ditaruh di sudut-sudut ruangan toko roti, juga untuk bebauan di rumahnya. Terkadang, jika berkunjung ke rumah sanak saudaranya, Nyonya Olwenn juga membawakan bunga.

Aku selalu menyuruh penjaga Blossom Shop untuk tidak tergesa-gesa menyerahkan pesanan Nyonya Olwenn. Aku sedikit mengulurnya untuk berkeliling toko. Memandangi bunga-bunga yang berwarna-warni dengan penataan yang cantik membuat hatiku juga terasa sejuk. Kadang, aku datang bersamaan dengan penjaga toko yang menyemprotkan air segar ke arah bunga-bunga itu. Akibatnya, bau-bau macam bunga itu semakin semerbak dan terlihat segar. Setelah puas berkeliling, aku akan mengambil pesanan Nyonya Olwenn, membayarnya, dan segera kembali ke toko roti. Untungnya, Nyonya Owenn tidak pernah mempermasalahkan lamanya waktuku mengambil pesanannya.

Tempat lain yang sering kukunjungi adalah Kuki de Cafe. Tentu saja sering karena di situlah tempatku bekerja paruh waktu. Setelah shift-ku berakhir di toko roti, ada jeda 3 jam istirahat. Aku menghabiskan waktuku di alun-alun festival sebelum jam masukku di kafe. Menjadi pelayan tambahan di sana juga menyenangkan karena kafe ini terletak di tepi laut. Pemandangan laut di sekeliling pulau Serena serta pelabuhan dapat terlihat lewat jendela kafe ini. Makanya kafe ini memiliki citra yang bagus di kalangan pengunjung.

Tempat selanjutnya adalah Pasar Permukane. Di situlah aku belanja untuk kebutuhan sehari-hari. Setiap pagi sebelum berangkat ke toko roti Nyonya Olwenn, aku memasak untuk sarapan. Harga-harga bahan pokok murah dan memang pasar itu ditujukan bagi warga menengah ke bawah seperti kami, berbeda dengan Pasar Troist yang diperuntukkan bagi penduduk kalangan atas. Terkadang, aku juga jalan-jalan ke bagian pasar yang disebut Tengahe. Letaknya agak ke dalam pasar.

Beginilah sehari-hariku. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Aku menulis jurnal ini, dengan harapan suatu saat nanti, aku bisa memulai lembar baru dengan cerita petualangan, romansa, atau mungkin kesuksesanku di masa depan. Bukan lagi keluhan atau meratap seberapa miskinnya aku.

Aku hanya berharap itu.

Rhea City, 23.01

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro