Chapter 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dedaunan kering jatuh berterbangan, berhembus mengikuti arah angin. Awan mendung menggumpal dicakrawala hingga sinar matahari tak terlihat jelas. Rintik-rintik hujan masih enggan turun tatkala angin semakin kencang seolah akan berubah menjadi badai sewaktu-waktu. Sekolah tingkat menengah pertama itu masih ramai seperti hari biasanya.

Bunyi dentangan yang sangat kuat menghantam tanah itu mengalihkan perhatian murid-murid sekolah. Seluruh kelas terhanyut dalam keterkejutan. Murid-murid segera berlari menuju jendela, melihat sebuah mayat yang sudah tercabik-cabik dan menghitam baru saja jatuh dari atap sekolah. Seketika, sekolah berubah menjadi pentas teriakan. Pekikan yang nyaring dari murid-murid menghiasi ruangan sekolah.

"Sialan, apa sedang ada parade tahun baru? Kalian berteriak seolah ada yang mati saja." Salah satu anak murid laki-laki yang tertidur dipojokan menggaruk kepalanya sebal. Tidur singkatnya terganggu oleh pekikan yang sahut menyahut satu sama lain sehingga kelopak mata terpaksa ia buka.

Baru membuka mata, pandangan yang masih buram menangkap sosok teman kelas wanitanya berlari kearah kursinya. Alisnya bertaut bingung, tetapi ia buru-buru bangkit saat temannya itu muntah disudut kelas. Melihat cairan kuning yang mengalir disana, ia seketika bergidik jijik. Hasrat untuk muntah mulai memakan isi kepalanya, tetapi penasaran akan apa yang sedang terjadi ternyata lebih merajai pikirannya.

"Jen! Kemari! Kita harus turun untuk melihatnya lebih dekat." yang dipanggil Jen itu merengut kesal, semakin penasaran akan apa yang sedang terjadi. Sahabat laki-lakinya itu sudah tak tahan dan segera berlari kearah tangga lalu menghilang dibelokan koridor kelas. Meninggalkan Jen dikelas sendirian ditemani angin yang menyapu rambutnya. Teman sekelasnya yang barusan muntah saja sudah hilang entah kemana, meninggalkan bekas muntahannya yang berbau seperti kencing kuda.

Jen perlahan melangkahkan kakinya kearah jendela lebar dikelasnya. Perkotaan yang sempit dapat terlihat dari jauh dan lapangan sudah penuh dengan murid-murid yang beramai-ramai berkumpul dilapangan. Jen mengernyit bingung, sedang apa mereka dibawah sana bersempit-sempitan bagai ada sembako gratis?

Matanya menyipit ketika rambut hitam pekat tebalnya mengganggu pemandangan karena ia menunduk kebawah dari jendela. Angin semakin ribut, bagai mengerti perasaan tersiksa yang dirasakan oleh sosok yang tergeletak tak bernyawa dibawah sana.

Disana, sebongkah mayat kaku yang perutnya sudah tercabik-cabik jatuh dari atap sekolah. Gadis itu masih menggunakan seragam sekolah, dengan wajah yang menghitam dan mata yang melotot keatas. Pasang matanya bertemu dengan bola mata putih, yang diatas seketika merinding tak karuan tetapi masih terus menatap kebawah.

Waktu terasa melambat bagi Jen. Matanya menatap intens pada setiap cabikan-cabikan yang terpampang jelas ditubuh sang gadis. Perutnya berlubang, dengan isi yang sudah tak tahu ada dimana. Jen kesulitan meneguk ludahnya sendiri, perasaan yang familiar tapi sialnya juga terasa asing. Ia merasa pernah melihat wajah itu entah dimana. Sesak tiba-tiba saja menyerang dadanya, ia meremat seragam putihnya dengan kasar.

"Ugh!"

Sebuah tarikan kuat dari belakang membangunkannya dari lautan pikiran yang menjalar kemana-mana. Ia terjatuh duduk dengan bahu yang bergetar hebat, pandangannya hanya terfokus kearah lantai kelas. Telinganya berdengung kencang seakan ada rayap yang berterbangan didaun telinganya dan napas yang semakin sesak

"Jen! Bangun!"

Jen tersentak kaget, mendongak hanya untuk menemukan bahwa sahabat laki-lakinya sedang memegang bahunya erat dengan tatapan khawatir. Tulang belikatnya terasa akan remuk saat ini juga, dadanya bagai dihimpun oleh batu berton-ton hingga bernapas saja sulit.

"Liam ... "

"Brengsek, kau ini kenapa? Membuatku takut saja!" yang dipanggil Liam itu mendesis gusar. Hampir ia dibuat jantungan saat bola matanya menangkap Jen yang kesulitan bernapas didekat jendela. Ia masih tak bisa menghilangkan ingatan bagaimana tubuh seorang gadis yang jatuh dari atap itu terbaring ditanah. Wajah gadis itu sudah menghitam dan sedikit lebam ungu, bola matanya sudah menjadi putih dan perutnya tercabik-cabik serta organ dan usus yang hilang entah kemana.

"Bukankah itu Perana? Si sialan yang menumpahkan air soda kemangkuk makan siangku dua hari yang lalu?" tanya Jen sesaat setelah ia bisa menormalkan napasnya. Ia memandang lekat pada kedua tangannya, jari jemarinya masih bergetar.

Liam terdiam untuk beberapa saat, setelahnya ia langsung memukul kursi didekatnya dengan alis yang sedikit naik. Ia berkata dengan nada yang cukup besar, "Benar! Aku sempat mengenalinya karena jaket hijau kuno dan norak yang selalu ia pakai ke sekolah, tadi aku sempat ragu apakah itu benar-benar dia atau tidak." Mendengar perkataan Liam, Jen semakin yakin bahwa yang jatuh dari atap sekolah itu memanglah Rana.

Dua hari yang lalu, kantin sekolah menjadi cukup sepi dikarenakan banyak murid-murid yang memilih untuk membeli jajanan di kantin yang baru saja selesai renovasi diatap sekolah sejak seminggu yang lalu. Kebanyak dari mereka tergesa-gesa untuk melihat pemandangan kota yang membosankan dan angin sepoi-sepoi dari atap sekolah ditambah dengan makanan-makanan yang nikmat. Sehingga kantin yang berada dilantai bawah menjadi terbangkalai, hanya beberapa murid yang masih disana. Para koki juga bahkan terlihat tak begitu niat memasak dan menyajikan makanan pada murid dikantin bawah yang rata-rata anak culun dan tak punya teman.

Jen menjejakkan kedua kakinya diatas keramik lantai kantin dengan kedua tangan yang berada di saku celana sekolah. Ia tak begitu minat untuk berlama-lama, hanya ingin membeli soto kesukaannya disana. Salah satu koki sekolah yang sudah berusia diakhir 40 tahun itu awalnya memasang wajah malas lalu sedetik kemudian tersenyum saat ekor matanya menemukan Jen dan Liam yang memasuki kantin.

"Seperti biasanya, Jen?" tanya ibu itu lembut, tak lupa dengan senyum yang sedari tadi tak luntur dari wajahnya.

"Dua porsi! Apa ibu lupa ada aku disini, huh?" Liam berujar jengkel, menarik salah satu kursi dan menjatuhkan bokongnya disana dengan wajah yang cemberut.

"Dasar, anak muda! Kau pikir mata ini sudah buta? Ibu bahkan bisa melihatmu dari jarak 10 kilometer!" sang ibu memukul lengan Liam dengan centong cukup keras hingga yang dipukul menjerit kesakitan. Jen hanya bisa terkikik, memandang kejadian yang selalu terulang dan terulang setiap harinya. Terkadang, ia merasa kasihan dengan lengan Liam yang sering sekali dipukul oleh centong ibu koki.

Jen menyusuri kantin yang sepi, murid yang makan disini bahkan bisa dihitung oleh jari. Ia mengalihkan atensi saat pintu kantin terbuka dan tiga orang gadis masuk dari sana. Salah satunya menggunakan jaket hijau edisi lama yang sekarang terlihat sangat norak apalagi jika dipakai ke sekolah. Jen segera mengalihkan pandangannya dan fokus melihat ibu koki memasak dengan lugas.

"Ibu! Aku pesan nasi goreng 3 porsi! Secepatnya, aku lapar," ketus gadis dengan nametag 'Perana Hankorsa' itu. Ia memberi tatapan malas dan menarik kursi dengan kasar. Setelahnya ia berbincang dengan kedua temannya tentang perihal kuku yang tak Jen hiraukan.

"Selesaikan punya kami lebih dulu, bu. Aku ada presentasi untuk hari ini dan aku harus makan untuk menambah tenaga berdebat," pinta Jen setelah dirinya melihat ibu koki mulai memasak nasi goreng dan meninggalkan soto miliknya yang belum selesai. Bisa ia rasakan tatapan tajam dari arah kirinya, ia pastikan gadis itu sedang menatapnya penuh amarah.

"Aku tebak tak akan ada yang berani berdebat denganmu, Jen." Ucap Liam. Bukan tanpa alasan, bahkan guru saja lelah dengan Jen karena anak itu yang tak pernah mengalah dalam perdebatan. Beruntung dirinya selalu terpikirkan poin penting dan memenangkan perdebatan.

"Ibu! Bukankah aku bilang untuk masak dengan cepat? Kau tak melihat kami sudah kelaparan? Jangan pedulikan dua idiot ini dan masak saja punyaku!" bentak Perana, ia memukul meja dengan keras seolah menunjukkan bahwa perintahnya adalah hal yang harus dikerjakan dengan cepat. Liam yang mendengar dirinya dipanggil idiot seketika berdiri dan memandang Perana sinis.

"Jika kau butuh kaca, aku dengan senang hati akan membelikannya untukmu. Disini juga ada air bersih, kau bisa mencuci otak udangmu itu disini," cemooh Liam dengan senyum miring yang ia sampirkan. Jen tak bisa menahan tawanya, ia berdehem sedikit tetapi nyatanya ia memang tak bisa. Ia terkikik pelan sembari memegang perutnya. Sindiran Liam memang yang terbaik! Ia bisa melihat tatapan maut yang dilemparkan oleh Rana dan kedua temannya. Namun, Liam hanya bergeming dan mengambil soto miliknya lalu mulai melahapnya dengan nikmat.

"Budayakan mengantri," tegur Jen sopan. Ia mengambil soto miliknya dari ibu koki dan membawanya ke meja Liam. Ia baru mulai menyantap soto miliknya dan mangkok milik Liam sudah tersisa setengah. Tak heran, Liam memang orang yang makan banyak. Karena itu ia sangat malas mengajak Liam untuk jalan-jalan atau pergi bermain, pada akhirnya Liam hanya akan mengajak Jen pergi ke rumah makan terus menerus.

Liam berucap disela-sela ia mengunyah, "Mereka menyebalkan sekali."

Jen tak menjawab, ia hanya terkekeh karena dirinya sendiri juga setuju akan hal itu. Perana memang terkenal akan kesombongan dan sifat memerintahnya disekolah. Ia diperlakukan bak Ratu oleh murid laki-laki dikarenakan parasnya yang cantik jelita. Tak dapat dipungkiri, ia sendiri juga pernah jatuh dan terpesona oleh paras yang memabukkan itu. Namun, setelah mengetahui apa yang dilakukan oleh Perana. Kesan Perana seketika berubah drastis dalam pikiran Jen.

Belum sempat Jen mengambil satu suapan dari mangkok, air berwarna merah meluncur dari atas dengan mulus tepat pada mangkok soto miliknya. Mengubah warna soto yang awalnya kuning menjadi sedikit oranye karena dicampur dengan air soda merah. Jen tak memberi reaksi kala suara dengan kikikan itu berbunyi dari arah samping kirinya.

"Ups, tanganku terpleset. Maaf maaf, silahkan lanjutkan makanmu." Perana sempat membulatkan bola matanya saat ia melihat Jen menatapnya tajam dan ketus. Setelahnya ia tertawa, menaruh kedua tangannya diatas meja dan mencondongkan badannya lebih dekat kearah Jen. "Kalau dipikir-pikir, aku sepertinya pernah melihatmu," celetuknya disela-sela ia meneliti wajah Jen dengan lekat. "Ah! Kau laki-laki yang pernah mengatakan bahwa aku cantik, bukan? Sebuah keberuntungan bisa bertemu denganmu lagi," lanjutnya sembari memberi senyuman geli. Kedua temannya tergelak dimeja mereka dan saling berbisik mengenai wajah Jen.

"Dasar, jadi dia gadis yang kau ceritakan tahun lalu itu? Aku terkejut tipemu turun drastis seperti ini," Liam menyindir dengan halus, mengelap sisa makanan disisi bibirnya dan melirik wajah Perena yang merasa dihina.

Jen memandang Liam untuk sebentar, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya paham kemana arah pembicaraan ini Liam bawa. Ia berdehem sebentar dan berkata dengan nada mengejek, "Kau benar. Aku sendiri tidak ingat bagaimana bisa aku berpikir seperti itu."

Grebb!

Perana menarik kerah Jen dengan gusar, "Apa maksudmu, huh?" ia bertanya dengan murka, tetapi wajah marah itu malah membuat Jen tak kuasa menahan gelak tawa. Perana yang merasa harga dirinya semakin terhina dan sedang dilihat oleh kedua temannya itu hendak melayangkan tamparan pada wajah Jen. Namun, tangannya berhasil ditangkis oleh Jen lebih dulu.

Jen menarik tubuh Perana lebih dekat, membisikkannya sesuatu yang membuat sekujur tubuh Perena merinding dan ketakutan bukan main seketika. Ia buru-buru melepaskan tangannya dan berlari keluar kantin meninggalkan kedua temannya yang terperangah kebingungan oleh aksi Perena.

"Apa yang kau katakan?" tanya Liam heran.

"Apa, ya? Aku hanya mengatakan bahwa aku memegang salah satu rahasianya." Jen tak terlalu membicarakannya dan meminta ibu koki untuk memasakkannya soto yang baru.

Itu adalah ingatan terakhir yang Liam ingat saat ia bertemu dengan Perana. Liam melemparkan tatapan curiga, yang ditatap merasa aneh lalu menaikkan alisnya bertanya. Liam bertanya dengan hati-hati meskipun ragu, "Jen, apa kau yang membunuh Perana?"

"KAU TAK WARAS?"

Liam terkejut dan mundur beberapa langkah. Ia protes dan membalas dengan nada yang tinggi juga, "Aku, kan, hanya bertanya! Mengapa kau harus berteriak begitu?" balasnya tak terima.

"Bukannya begitu! Tetapi, pertanyaanmu itu bisa mengundang salah paham jika didengar oleh orang lain, bodoh!" Jen beranjak bangkit lalu membersihkan celananya dari debu lantai kelas yang berserakan. "Lagipula, aku tak punya alasan untuk membunuhnya. Bukankah harusnya dia yang punya alasan untuk membunuhku? Aku mempermalukannya dua hari yang lalu, kau tahu, kan?"

Jen maupun Liam tak menyadari, bahwa sedari awal ada sepasang telinga yang mendengarkan obrolan mereka dari bawah meja guru.

...

Jen sudah tak tahu berapa kali ia menguap dalam jam pelajaran. Sekolah berjalan seperti biasanya, ia yakin dengan pasti bahwa sekolah berusaha menutup-nutupi kejadian Perana dua hari yang lalu. Meskipun bagi Jen, itu adalah hal yang sia-sia karena media sudah banyak menulis artikel tentang kematian Perana. Namun entah mengapa, pihak sekolah seolah menangani masalah ini terlalu santai.

Jen menoleh kearah jendela disampingnya yang terbuka lebar. Gorden jendela itu berterbangan, menari dengan angin begitu bahagia. Jen menggerakkan tangan kirinya dengan lambat, menyentuh gorden putih kelasnya itu selagi guru menjelaskan didepan. Ia sibuk memandang gorden sebelum sesuatu berwarna hitam didekat hotel yang tak berada jauh dari sekolah terlihat oleh ujung mata Jen.

Ia menyipitkan matanya, mencoba memperjelas penglihatannya. Sesuatu berwarna hitam itu bergerak perlahan dari balkon ke balkon lainnya. Sesuatu yang hitam itu terlihat seperti seekor siput yang begitu besar! Jen mengusap-usap kelopak matanya, mencoba memperjelas penglihatannya dan berpikir ia baru saja berhalusinasi. Namun, setelah berkali-kali mengucek kedua matanya, siput hitam yang besar itu masih ada di hotel seberang dan bergerak menuju balkon lainnya.

Sial, hari ini Liam sedang berada di ruang Guru Bimbingan Konseling karena anak itu bertengkar dengan murid kelas sebelah. Jen tak menyalahkan Liam karena bertengkar, Liam sendiri memang memiliki kontrol emosi yang buruk. Apalagi jika dirinya yang diprovokasi. Ia mungkin awalnya hanya akan menyindir halus, tetapi jika ia semakin terganggu, ia bahkan berani melakukan perlawanan fisik.

"Jen! Apa yang kau lakukan disana seperti orang bodoh?"

"Aduh!"

Jen menggerutu, mengelus-elus pucuk kepalanya yang baru saja dipukul dengan spidol oleh sang guru. "Dengarkan dengan baik!" suruh sang guru yang kembali berjalan menuju papan tulis dan kembali menjelaskan pelajaran pada murid-murid.

Jen melipat kedua tangannya diatas meja dan menaruh kepalanya lipatan tangan menghadap jendela. Siput aneh itu sudah menghilang.

...

"Oh, Jen?" gadis dengan seragam sekolahnya itu menatap keheranan pada sosok Jen yang berada diantara rak buku di perpustakaan. Ia mengerjap Berkali-kali, memastikan bahwa yang didepannya sekarang betul-betul adalah Jen.

"Ah ... " Jen berkedip, menemukan seorang gadis yang sedang mengambil buku dirak buku. "Halea, lama tak bertemu."

Halea berjalan mendekat sebelum membuka suara, "Betapa langka, seorang Jen berada di perpustakaan." Halea bergurau sedikit. "Kau pasti sedang suntuk." Jen tak menjawab melainkan hanya merespon dengan kekehan kecil. Ia lalu melanjutkan acara membaca bukunya dan menenggelamkan dirinya dalam lautan buku. Bisa ia lihat dari ujung mata bahwa Halea kembali sibuk mencari buku yang menarik dan hendak ia baca.

Setelahnya, 1 jam pun berlalu. Jen meregangkan sendi-sendi dan menguap lebar. Ia menyisir pandangan dari sudut perpustakaan ke sudut perpustakaan lainnya. Aneh, padahal jarang sekali perpustakaan menjadi sesepi sekarang. Meskipun ia jarang menaruh kedua kakinya disini, ia tahu bahwa perpustakaan menjadi salah satu tempat favorit para murid karena bertumpuknya novel-novel populer disini. Namun, hari ini sepi.

Jen tak menghiraukan hal itu, ia beranjak dari kursi dan berniat menaruh buku-buku yang sudah selesai ia baca. Setiap langkah yang ia taruh, sepi semakin terasa dipundaknya. Ia berhenti untuk sebentar, melihat keseluruh ruangan dan memperhatikannya dengan seksama. Bulu kuduknya naik, ia meneguk ludahnya dengan sulit.

Bayangan sekelebat lewat didekat pintu perpustakaan yang sedikit terbuka. Bulu kuduk Jen semakin berdiri, ia menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia menghentikan langkahnya saat melihat Halea sedang memandang pintu perpustakaan didekat salah satu meja disamping jendela ruangan. Pandangannya tertuju lekat pada pintu, lalau beralih menatap wajahnya.

Keduanya tersentak kaget ketika kontak terjadi oleh pasang mata mereka. "Jen, jangan bilang ... " Halea tersendat, menelan kata-katanya diujung tenggorokan.

Grett...!

Belum sempat Jen bersuara untuk bertanya mengapa Halea masih berada di perpustakaan dikala tak ada eksistensi manusia lagi disana, lendir hijau yang berukuran lebar itu terlempar ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Ia bersyukur masih bisa mengelak dan merunduk sehingga lendir itu hanya mengenai seinci tepi rambutnya.

Lendir itu mengenai salah satu rak, menempel untuk beberapa saat lalu bergerak seketika mengarah Jen. Jen terkesiap tak sempat berpikir, ia segera memaksa kedua kakinya untuk berlari dari ruangan ini. Instingnya seolah berkata bahwa situasi ini bukanlah mimpi dan lendir aneh itu berbahaya.

"Sialan, apa-apaan itu?" Umpat Jen disela-sela ia terengah berlari menuju mana saja. "Halea!" Jen memekik memanggil nama Halea, gadis itu berdiri menatap pada siput yang berukuran besar didepannya yang hendak memuncratkan lendir hijau. Persis seperti yang sedang mengejarnya.

Sialan, sialan, sialan!

"HALEA!"

Kedua kaki Jen terhenti, ia memejamkan kedua matanya erat. Dingin lendir menyentuh wajahnya, dingin. Jen perlahan membuka kelopak matanya, seketika ia tercengang. Rahangnya jatuh melihat Halea yang tak memberi ekspresi takut ataupun ekspresi yang diharapkan oleh Jen. Disana, hanya ada ekspresi risih yang terpahat.

"Gah, Dobal menyebalkan."

Jen meneguk ludahnya kasar. Pemandangan didepannya, sedikit sulit untuk ia pahami. Saat ini, Halea dikelilingi oleh sinar biru aneh. Tangan kanannya terlihat tak berbentuk dan mengenggam tombak merah. Jari tangannya terlihat lebih panjang, dan yang paling membuatnya terkejut adalah kedua mata Halea yang berubah. Dari yang awalnya normal berwarna hitam, kini bukan hitam melainkan merah pekat.

"H-halea," panggil Jen lirih. Ia ragu, akan apakah yang didepannya ini benar-benar Halea atau bukan.

Halea terkesiap kaget, melupakan kenyataan bahwa eksistensi orang yang membuatnya berdiri disini masih berada di perpustakaan. Lebih tepatnya, berdiri didepannya dengannya wajah kebingungan.

"Jen?" Halea segera mengubah tangannya menjadi seperti semula, melirik siput yang sudah terbelah menjadi beberapa bagian itu. "Apa yang kau lakukan?" Jen menaikkan sebelah alisnya heran. Itu harusnya pertanyaan miliknya. Namun, ia memilih untuk meraup oksigen sebelum menjawab.

"Aku membaca buku dengan santai sebelum lendir hijau aneh tiba-tiba saja mengejarku," jawab Jen dengan kekehan kecil diakhir. "Meskipun terdengar aneh, tetapi itu yang terjadi."

Halea melirik sekitar, mencoba bersikap seolah tidak ada yang terjadi. "Be-begitukah?" ia sedikit tergagap meskipun masih bisa kembali bersuara.

"Ya, dan anehnya kau juga menjadi sedikit berbeda. Terlebih tangan dan matamu. Apa kau tak ada niatan untuk menjelaskan?"

Skakmat! Halea memejamkan kedua matanya dengan malu yang berdesir didadanya. Memang tidak mungkin baginya untuk berpura-pura seolah tak ada yang terjadi didepan Jen. Jen akan selalu menemukan sesuatu dibalik setiap kondisi dan sikapnya.

Halea mengambil napas sebelum mengintip wajah Jen dari salah satu mata. Dilain sisi, Jen menunggu perkataan meluncur dari bibir Halea, karena dirinya sendiri masih sangat bingung dan penasaran akan apa yang baru saja terjadi. Siput itu, makhluk macam apa itu? Ini pertama kalinya ia melihat hal seperti itu dalam hidupnya.

"Mengapa kita tak mengambil istirahat sebentar dan duduk?" ajak Halea yang langsung dituruti oleh Jen. Keduanya duduk dilantai, menunggu satu sama lain bersuara. Hening melanda, Halea masih berpikir keras dan merangkai kata-kata yang tepat sehingga tak ada salah paham.

"Itu Dobal, iblis." Ucap Halea memulai pembicaraan. "Makhluk tak berbentuk, tingkat terakhir, lemah, mudah lolos," lanjutnya. Ia sempat melirik Jen, sekilas. Wajah Jen tak tampak begitu peduli, bahkan terlihat tak percaya. Mungkin, ini terdengar seperti bualan omong kosong yang terucap dari mulut Halea bagi Jen.

Tak ada yang bersuara, keduanya diam tanpa kata. "Iblis?" Jen buka suara setelah beberapa detik menegangkan bagi Halea.

"Benar, iblis."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro