36. More

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kilatan cahaya putih yang begitu terang seketika menyinari bagian lorong yang sudah dekat pada sebuah celah yang mengarah ke luar. Seperdetik kemudian, gelap temaram kembali menyelimuti daerah tersebut. Tangga yang begitu panjang, seakan berdiri menjulang pada hembusan angin kencang. Menghantarkan pada kepekatan yang dicurahkan oleh alam bebas.

Tak lama, satu persatu dari mereka mulai menginjakkan kaki di tanah lapang. Tak ada lagi dinding yang mengapit ruang gerak mereka. Gerak angin malam terasa menggelitik pori-pori, yang tanpa mereka sadari telah membuat bulu kuduk sedikit meremang. Perubahan suhu yang begitu cepat, memaksa mereka harus mudah beradaptasi.

Raungan yang mengerikan terdengar dari kejauhan. Sinar putih halilintar kembali bergerak menembus awan pekat. Membuat kilatan cahaya terang, yang menyambut kedatangan mereka. Namun, seketika kilat tersebut kembali lenyap dihempas waktu, dengan disertai gemuruh yang menggelegar.

Makhluk-makhluk mitologis yang berwujud sebuah sosok diluar nalar manusia mulai terlihat dari kejauhan. Menggeram, meraung, memekik, dan suara lainnya yang tak dapat dijelaskan. Menambah suasana mencekam di malam yang gulita itu. Mengiringi langkah mereka yang semakin lepas keluar.

"Dione, kuharap kamu mengerti situasinya," lirih Eris pada pria yang berdiri tak jauh darinya.

Dione mengarahkan pendar matanya menatap sosok yang mengajaknya bicara. Sorot tajam namun teduh terpancar dari balik iris merah pekatnya. "Apa yang kamu inginkan sih?" celetuknya yang langsung paham apa yang sedang dikhawatirkan oleh lelaki tersebut. Akan tetapi, ia tak tahu apa yang sedang dipikirkannya.

"Pergi lah. Beritahu mereka bahwa aku sedang berada disini." Bersamaan dengan terlontarnya kalimat tersebut, kilat kembali menyambar. Menimbulkan suara gemuruh, namun teredam oleh tebalnya tanah bebatuan yang berdiri menggunung di atas celah yang baru saja mereka lalui.

Dione nampak kebingungan. "Hah? Apakah kamu masih menyimpan muka untuk ditunjukkan pada mereka setelah apa yang kamu lakukan?"

"Apakah itu penting?" tukasnya tak acuh. Tatapannya langsung menusuk tajam ke arah lawan bicaranya. Membalikkan tubuhnya sedikit, sehingga berhadapan langsung dengan Dione. Tubuh gadis yang masih dibopongnya, terlihat begitu tak berdaya dengan darah yang sudah bersimbah di tubuh mungilnya.

"Sungguh, aku tak mengerti jalan pikiranmu," keluh Dione. Detik berikutnya, pandangannya mulai menangkap tubuh wanita yang berada di tangan Eris. Gadis tersebut hanya bergeming, sama sekali tak sadarkan diri. "Selain itu, siapa gadis yang ada di ayunanmu?"

Eris ikut mengarahkan pandangan ke arah gadis tersebut. "Pemilik darah suci. Dia, adalah gadis yang dibicarakan waktu itu."

"Eh, dengan kata lain, dia memiliki potensi untuk ... " Tatapan tajam dari Eris membuatnya berhenti bicara. Seakan-akan ia mampu menerima jawaban dari sorot dingin yang terpancar dari pria yang baru saja hendak diberinya pertanyaan.

"Cepatlah pergi sebelum semuanya terlambat!" titahnya.

Dengan ragu, Dione menuruti permintaan tersebut. "Ba-baiklah." Kemudian ia segera bergerak cepat, melangkah menuju dataran yang lebih rendah dari tempat tersebut. Menuju kumpulan makhluk aneh yang terlihat jelas dari atas sana.

Kilau cahaya membawa guntur yang bersahut-sahutan. Gemuruh seakan mengguncang angkasa, menggetarkan darat. Membuat danau besar serta luas yang ada dihadapan mereka, beriak. Menimbulkan gelombang kecil yang berpusar di beberapa sisi cekungan air raksasa tersebut.

Empat penyihir muda, terlihat sudah menyusul langkah mereka di belakang. Tampak mengkhawatirkan keadaan kawannya yang masih menutup mata itu. Segera, kelompok kecil tersebut menginjakkan kaki di tanah, mendekati keberadaan Eris dan Luiz yang berjalan semakin mendekat ke tepi danau. Sapu terbang yang mereka gunakan, secara ajaib menghilang tanpa jejak.

Eris meletakkan tubuh gadis tersebut di tanah yang datar. Membuat teman-temannya mampu melihat tubuh malang tersebut. Cordelia langsung menggerakkan tangannya untuk menutup mulutnya yang menganga, akibat melihat cairan kental yang terus menerus mengalir keluar. Membuat kulit wanita tersebut, terlihat begitu pucat kekurangan darah.

"Maafkan aku ... "gumam Luiz yang entah ditujukan untuk siapa. Pandangannya langsung beralih menatap danau yang makin beriak tak terkontrol.

Leo yang tak terima oleh kenyataan, langsung berusaha memastikan dengan dirinya sendiri. Ia melangkah mendekat, kemudian berlutut untuk menyentuh pergelangan serta leher gadis tersebut. Semuanya seakan kehilangan nafas, ketika pria tersebut menggelengkan kepala perlahan. "Tidak ada denyut nadi," lirihnya.

Eris mendengkus tak terima. "Cek lagi." Tatapannya seakan menyiratkan sebuah harapan yang amat mendalam.

Leo kembali memeriksa tubuh gadis yang sudah terbujur. "Sedikit. Hampir sama sekali tak dapat dirasakan," ujarnya setelah beberapa saat terdiam sambil menyentuh bagian yang sama.

"Walau begitu, dia masih hidup. Apakah tak ada cara untuk menyelamatkannya?" Cordelia memperlihatkan wajah pedulinya.

"Heal tak akan berguna kau tahu? Si bajingan itu sudah menanamkan suatu sihir yang menghalangi penggunaan heal. Ini sungguh mustahil," jawab Leo tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis berambut putih tersebut. Membuat sang penanya kehabisan kata-kata, dan hanya sanggup membisu.

"Aku, punya sebuah cara, tetapi ... aku yakin kalian tak akan menyetujuinya," celetuk Eris tiba-tiba setelah beberapa saat keheningan melanda.

"Katakan saja," balas Luiz tak acuh.

Eris menghela nafas berat. Ia memalingkan pandangannya dari tubuh gadis tersebut, kemudian menunduk dalam. "Mengubahnya, menjadi vampir sepertiku."

Halilintar kembali menyambar. Hembusan angin memecah kesunyian yang dibuat oleh mereka. Gemuruh menyusul setelah beberapa detik cahaya menghilang. Gemericik air semakin terdengar keras. Namun, tak ada satupun dari mereka yang mengeluarkan suara. Semua sibuk mencerna kalimat yang dilontarkan oleh Eris beberapa saat yang lalu.

"Kalau memang hanya itu kesempatannya, mengapa tidak lakukan saja?" ujar Rigel seketika memecah kebisuan di antara mereka.

"Aku sependapat," timpal Cordelia yakin. Walaupun sorot matanya menunjukkan keraguan.

Eris melirik ke arah Luiz yang sejak tadi tak memandang sedikitpun ke arah mereka. "Bagaimana denganmu?" tanyanya.

Luiz menoleh, memperlihatkan batang hidung lancipnya. "Oh Eris, dengarkan teman-temannya. Bukan diriku."

Eris mengerti apa yang dimaksud Luiz. Ia segera menggigit urat nadi yang terletak pada pergelangan tangan. Gigi taring tajamnya, menembus kulit yang putih pucat. Membuat ia mampu merasakan hangat darah yang mulai membasahi mulutnya. Setelah dirasa cukup dalam, ia melepaskan taring yang tertancap di tangannya. Kemudian hendak memberikan darah yang keluar dari tubuhnya kepada gadis tersebut.

Namun, sebelum ia melakukan hal tersebut, tiba-tiba ia merasakan adanya bahaya. Seketika, pandangannya membelalak terkejut akan aura yang dirasakannya tersebut. Dengan cepat, ia menolehkan kepalanya ke belakang, dan melihat para remaja yang berdiri di belakangnya hanya bergeming dengan mata yang melotot hingga bukaan terlebar.

"Rigel, Cordelia, Richo!" pekik Leo yang masih berlutut ketika ia melihat di detik berikutnya, tubuh dari ketiga temannya terbelah menjadi dua. Degup jantungnya kian berpacu cepat. Sosok bayangan yang semakin jelas wujudnya, seorang pria berbalut kain hitam, yang muncul bersamaan dengan kilat petir tertangkap di netra beningnya.

"Lu-cifer?" Luiz tergagap.

Sosok tersebut memamerkan seringai yang mengerikannya. "Ah, aku sudah memberikan kalian banyak waktu," ucapnya sambil melempar sebuah kepala yang tadi berada di genggamannya ke arah ketiga pria yang berdiri kaku di tepi danau.

Kepala tak bertubuh yang menggelinding, akhirnya terhenti. Memperlihatkan wajahnya yang sudah berlumuran darah ke arah mereka. "Rhea ... " sergah Leo saat menyadari pemilik sebenarnya dari kepala tersebut. Emosi serta kebencian semakin meluap dalam dirinya.

"BANGSAT KAU!" pekiknya sambil berlari, berusaha menyerang sosok yang telah membangkitkan amarahnya.

"Leo, hentikan!" Luiz berusaha memperingati. Sayangnya, Leo sama sekali tak memperdulikannya. Ia sudah terbakar oleh amarah yang memanas akibat perlakuan yang dilakukan makhluk tersebut pada teman-temannya.

Nyala api berkobar di sekitar tubuhnya. Tanpa perhitungan sama sekali, dan hanya melawan berdasarkan emosi, membuatnya serangannya tak terkontrol. Berkali-kali ia melontarkan lingkar merah yang membara ke arah sosok tersebut. Namun, tak ada satu serangan pun yang berarti.

Hingga akhirnya, jarak mereka semakin dekat. Dengan segera, Leo berusaha melayangkan tinju apinya. Tetapi, tubuhnya seketika kaku. Tak dapat bergerak sama sekali. Sosok di hadapannya kembali menyeringai merendahkan.

"Kamu juga. Sebaiknya segeralah menyusul mereka, ya." Senyum sadis menghiasi wajah Lucifer. Sedetik kemudian, ia menjentikkan jari. Membuat api yang melumasi tubuh Leo seketika padam, dan tak lama tubuhnya ikut terbelah menjadi dua.

Eris segera memalingkan wajah, kembali menatap gadis yang terbaring di tanah. Ia langsung sadar, apa yang harus dilakukannya. Kemudian, ia mulai mendekati tubuh wanita tersebut. Berusaha memberikan darahnya pada Irene.

Namun, seketika tubuhnya terasa ditarik mundur. Ia tak bisa melawan arah tarikan yang membawanya menjauh dari gadis tersebut. Tiba-tiba, ia merasakan aura bahaya di belakangnya. Tanpa ia sadari, sesuatu sudah menembus jantungnya dari belakang. Membuatnya begitu kesakitan.

"Tak akan kubiarkan, seorang pun membangkitkannya kembali."

**☆**

16 Feb 2021

~Daiyasashi~

Hello! Jadi pembaca pasif juga tidak masalah. Tapi, boleh bantu tekan bintangnya itu ga? Tetapi, lebih baik kalau berikan kritik dan saran pada cerita ini. Hehehe ... terima kasih semua. ^^

See you! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro