39. Epilogue

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sinar jingga menembus awan tipis yang terbentuk di angkasa lepas. Hutan belantara yang masih belum terjamah kemajuan teknologi modern, terbentang luas di areal milik sebuah negara yang cukup berkekurangan, Hongaria. Pohon ek berdiri kokoh, melengkapi rindangnya tanah yang subur yang banyak ditumbuhi rumput hijau. Di tengah hamparan alam yang menawan, berdiri sebuah bangunan berpagar batu yang membelah tanah kosong.

Senyum manis terlukis di masing-masing wajah mungil tak berdosa yang berada di balik dinding, menyambut kedatangannya. "Selamat datang, Sir. Siapakah yang anda cari di tempat ini?" ucap salah satu anak yang usianya kira-kira lebih tua dari yang lainnya. Bercak totol merah menghiasi kulit putih wajahnya. Rambut coklat yang sudah terlalu panjang bagi seorang pria terlihat berantakan tertiup angin sepoi-sepoi.

"Apakah Mrs. Ellana ada bersama kalian?" tanya pria beriris merah yang merasa kehadirannya mendapatkan sambutan.

"Tentu saja, beliau ada di dalam. Bila anda berkenan, saya bisa mengantarkan anda hingga bertemu beliau." Bocah yang usianya berkisar tiga atau empat belas tahun tersebut kembali menyahut dengan senyum ramah yang masih melekat di paras lugunya.

Pria dewasa yang mendengar ungkapan tersebut mengangguk setuju.

Bocah lelaki yang baru saja mengatakan jawaban, langsung berpaling menghadap teman-teman kecilnya. "Permainannya kita tunda dulu ya. Lagipula, ini sudah terlalu senja untuk kembali bermain. Sebaiknya kalian kembali ke asrama dan mandi. Mom tidak akan senang jika kalian hadir di meja makan dengan bau kambing."

Wajah anak-anak tersebut sedikit memelas. "Baiklah," ucap mereka hampir bebarengan. Tak lama, mereka segera berlarian menuju bangunan inti yang berdiri di tengah pelataran tersebut.

Setelah kepergian anak-anak lainnya, bocah lelaki langsung berbalik menghadap tamu yang berpakaian serba hitam. "Mari, Sir."

Langkah-langkah mereka menyusuri jerambah yang dipenuhi rumput hijau pendek, hingga sebuah rumah besar menyapa. Cat kelabu pudar menutupi sisi tembok bangunan yang terkesan lawas. Jauh dari anggapan yang mengatakan bahwa, dunia sudah begitu maju. Mereka mulai menaiki tangga yang mengarah ke sebuah pintu di teras, kemudian bocah lelaki tersebut membukanya.

Seorang gadis kecil menyambut dari balik pintu yang terbuka. Tangannya memeluk rapat boneka lady yang terbuat dari lilin. Tatapan polosnya memandang dua pria yang baru saja masuk ke dalam tempat tersebut. "Jerry ... bi-bisa bantu aku menyiapkan makan malam?" ujar wanita yang kira-kira usianya tak jauh beda dari lelaki yang diajaknya bicara.

Bocah laki-laki bersurai coklat meletakkan tangan kanannya di atas kepala gadis tersebut. "Tentu, setelah aku mengantarkan tuan ini ya," jawabnya.

Gadis berambut merah pudar tersebut mengangguk gugup. "Te-terima kasih," lirihnya sambil terburu-buru berjalan menyusuri lorong.

Iris merah pria berjubah hitam terus saja memperhatikan gerakan gadis mungil, hingga tubuh kecilnya menghilang di ujung koridor. "Dia begitu manja kepadamu kah?" lontarnya.

"Helen ya? Dia begitu rapuh jika dibiarkan sendirian. Tidak ada salahnya kan dia bergantung padaku, selama hal itu masih mampu kulakukan untuknya." Bocah tersebut menjelaskan, membuat pria yang bertanya manggut-manggut mendengar jawabannya.

Mereka berdua kembali melangkah menyisir koridor. Tiba-tiba, bocah lelaki menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu yang tertutup rapat. Tangannya bergerak memberikan ketukan pada papan kayu tersebut. "Mom ... kau ada di dalam? Ada seseorang yang ingin menemuimu."

"Ya, tunggu sebentar." Terdengar suara dari balik pintu. Tak lama, pintu itu terbuka dan seorang wanita dengan kacamata yang bertengger di atas batang hidungnya muncul keluar. Seketika kelopak mata perempuan tersebut terbuka penuh ketika mengetahui siapa tamu yang dimaksud. "Terima kasih Jerry, sudah mengantarkannya sampai sini. Kamu boleh kembali ke asramamu."

"Dengan senang hati, Mom." Bocah tersebut segera berlalu, meninggalkan dua orang yang masih saling beradu pandang.

Setelah kepergiannya, pria berjubah hitam tersebut mulai membuka mulut. "Sudah lama tak jumpa ya, Ellana."

Wanita tersebut menundukkan wajahnya. "Panggil saja, Seren. Sejak dulu, aku tak pernah menyukai nama asliku." Ia membetulkan letak kacamatanya kemudian mulai menatap paras pria yang berdiri di hadapannya. "Masuklah, Luiz. Ruang kerjaku adalah tempat beristirahat sekaligus sarana untuk menerima tamu," lanjutnya.

Luiz mengikuti wanita yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam ruangan tersebut. Terlihat rak-rak buku yang terisi penuh bersandar di setiap sisi dinding, menambahkan kesan bahwa kebiasaan perempuan itu sebagai kutu buku belum sirna. "Baiklah, Seren. Omong-omong, apa tujuanmu mendirikan tempat seperti ini di tengah hutan belantara?." Bersamaan langkahnya, daun pintu kembali tertutup.

"Mereka bisa terkena serangan paru-paru jika kesehariannya hanya menghirup asap polusi di perkotaan. Walaupun mungkin disini terkesan primitif, tetapi lihatlah tawa alami mereka. Hidup bahagia memang harus terpenuhi di usia dini, atau mungkin mereka akan tenggelam dalam dendam dan kebencian selamanya tanpa pernah mengenal apa itu kebahagiaan." Seren menjelaskan.

Luiz tersenyum. "Kamu tidak berubah, masih tetap memanusiakan manusia."

Seren mengambil teko kaca, kemudian menuangkan cairan yang ada di dalamnya ke dalam cangkir kecil. "Apa boleh buat kan? Aku tak ingin kejadian yang dialami semua temanku turut menimpa mereka di kemudian waktu. Ah ya, omong-omong bagaimana keadaan Irene di sana?"

"Memegang kendali penuh tanpa mengetahui siapa dirinya." Sinar jingga menembus masuk dari jendela yang berada di belakang kursi kerja Seren, menyorot tampang rupawan Luiz.

"Masih sama seperti yang terakhir kami lihat." Wanita bersurai hitam yang digelung rapi menghembuskan napas berat. "Ketika seseorang bangkit dari kematian, apakah orang tersebut akan kehilangan ingatan dari kehidupan sebelumnya? Aku sangat menyesal, jangankan ingat padaku atau Fay, dia bahkan tak ingat pada dirinya sendiri." Seren bergumam.

Luiz memalingkan wajah dari cahaya yang masuk ke dalam netra temaramnya. "Dalam segelintir kasus, mereka bisa mempertahankan ingatan. Tetapi, sepertinya kasus tuanku tak seperti itu."

"Tuan?" Senyum samar terlukis di wajahnya. Perlahan, menjelma menjadi senyum getir yang penuh asa. "Bagiku, Irene hanyalah teman yang baik."

"Mau bagaimana lagi?" Luiz mendengkus kemudian mendorong tubuhnya ke belakang, menyandar ke kursi yang berada di seberang rak. "Langsung saja, berapa jumlah anak yang akan kamu kirimkan untuk kurikulum depan?"

"Sepuluh."

"Tidak lebih?"

"Untuk apa? Aku tak ingin mereka menjadi makanan para monster di dunia itu. Lagipula, jumlah siswa yang dibutuhkan Scolamaginer memang hanya sepuluh. Aku yakin, Fay pasti sepemikiran denganku."

Luiz melipat tangannya di depan dada. "Aku sudah menemuinya tadi, dini hari. Katanya, keputusannya berdasarkan apa yang kamu putuskan. Astaga, kalian seperti pasangan yang memiliki ikatan batin."

Seren terkekeh. "Dia sekarang berada di Rusia. Tetapi, harusnya hari ini dia sudah kembali kesini."

"Perlu kamu tahu, medan untuk mencapai tempat ini cukup sulit. Mungkin dia sudah mendarat di bandara dan sedang berada dalam gerbong kereta untuk saat ini."

Seren mengangguk setuju. Ia ikut duduk di kursi yang berada di hadapan Luiz. "Setiap ia pulang, seorang anak selalu ikut dibawanya kemari. Berbagai latar belakang berbeda yang dialami anak-anak tersebut. Yang terakhir dibawanya, Helen Terra, keluarganya dibantai karena sudah begitu lama tak sanggup membayar pajak negara. Kemudian dirinya yang masih berusia tiga belas tahun, dijadikan boneka malam oleh para manusia bangsat. Beruntung, Fay mampu membawanya dan semoga kehidupannya disini mampu mengobati luka masa lalunya."

Luiz terdiam. Pikirannya menangkap sosok gadis berambut merah yang berdiri saat dirinya memasuki rumah tersebut. Tangannya memegang boneka lady, suara bocah lelaki yang menjawab permintaanya terdengar menggema di benaknya, "Helen, ya?" Teringat wajah polos yang terkesan begitu menyedihkan. "Dia gadis yang kuat," ucap Luiz seakan menentang kalimat bocah lelaki yang tadi mengatakan bahwa wanita tersebut begitu rapuh.

"Kamu benar. Luka membuatnya kuat. Sungguh, dia lebih tangguh dari mereka yang hanya melihat bungkusnya." Seren membenarkan ucapan Luiz barusan yang sebenarnya terlontar entah untuk siapa. "Orang-orang bedebah itu sepertinya memang perlu diberi hukuman."

"Kurasa, dirimu dengan Fay sudah cukup untuk memberi mereka pelajaran. Dasar, ketika duniaku sudah kembali aman, malah ganti dunia kalian yang dipenuhi pertikaian." Luiz tersenyum masam mengenang kejadian yang sudah berlalu di tempatnya berasal.

"Masalah tak akan berhenti. Aku juga tak akan menyia-nyiakan banyak hal yang sudah diajarkan oleh kalian." Kacamatanya terpias oleh cahaya jingga, menyebabkan kedua belah matanya tak terlihat dari depan. Tangan wanita tersebut bergerak, menyerahkan sebuah cangkir yang terisi penuh. "Mau minum bersamaku kali ini?" ujarnya.

"Darah 'kan?" Luiz menerima cangkir yang berisi cairan merah tersebut.

"Tentu saja. Aku sudah menyiapkan yang terbaik untukmu."

"Terima kasih banyak, tapi, aku tak bisa berlama-lama disini. Tuanku hanya memberiku waktu sehari. Jika aku menghabiskan waktu lebih lama, gerbang portal akan tertutup, dan aku harus menunggu lama untuk bisa kembali." Luiz langsung meminum cairan tersebut tanpa menunggu Seren ikut mengangkat cangkirnya.

Seren memandang sambil terdiam kagum. "Irene sangat disiplin ya. Apakah tuanmu yang sebelumnya juga melakukan hal yang sama seperti itu?"

Luiz menggeleng sambil menarik kembali cangkir yang sudah setengah kosong. "Dulu, mereka memberikan akses portal padaku. Namun, harusnya kamu juga tahu bahwa tuanku saat ini memegang kendali penuh dunia tersebut."

"Benar, plegmatis pecinta damai sudah pasti tak akan memberikan sesuatu pun yang dapat menyebabkan perselisihan. Baiklah-baiklah, segeralah kembali dan bahagiakan tuanmu tersebut ya," lirih Seren yang memalingkan wajah, menyembunyikan sorot pandang sedihnya.

Luiz menyeruput tetes terakhir cairan yang tersisa di dalam cangkirnya. "Sepertinya percuma, kabar apapun yang kubawakan untuknya sama sekali tak membuatnya mengeluarkan mimik wajah yang berbeda. Pandangannya selalu kosong, rupanya selalu datar. Seakan tak ada apapun yang menempati jiwanya."

"Dia baik-baik saja. Lain waktu, mungkin aku akan berkunjung kesana. Kuyakin itu," tuturnya yang masih menyembunyikan duka. Kemudian ia ikut menyeruput cairan yang tertampung di dalam cangkir. "Pergilah. Sebentar lagi aku harus keluar menemani makan malam anak-anak."

"Kau mengusir?"

"Tidak, aku mempersilahkan."

Luiz tersenyum simpul. "Baiklah, tempo hari aku akan datang kembali."

"Aku kan menunggu saat itu," pungkasnya.

Setelah itu, Luiz mulai bangkit dan melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Tapaknya begitu tenang sehingga memberikan kesan tak menyentuh ubin. Tanpa kembali menoleh ke belakang, ia menghilang di balik pintu yang tertutup. Meninggalkan wanita tersebut di dalam ruangan seorang diri.

Seren memalingkan pandangan dari arah pintu kembali menatap cangkir yang ditinggalkan pria tersebut di atas meja. Kosong, seperti cawan yang sudah tak berisi itu. Pikirannya melayang jauh dari kenyataan.

Semua terlihat abu-abu. Tak tahu mana yang benar, mana yang salah. Dunia tak tahu harus menghukum siapa.

Ia meletakkan cangkir yang tadi berada di tangannya ke meja dihadapannya. Ia berdiri, mengitari meja kerja, kemudian berhenti di ambang jendela kaca. Langit masih menyisakan sinar jingga kemerahan di ufuk barat sebelum sepenuhnya tertelan oleh kegelapan. Sorot cahayanya kembali terpantul di kacamata bundarnya yang menatap lurus ke arah luar.

Dan yang mampu dilakukan tiap-tiap makhluk hanyalah bertahan hidup, sebagai konsekuensi karena sudah terlahir di dunia yang tak terduga ini.

—END—

**☆**

21 Feb 2021

~Daiyasashi~

Last ... aku senang jika kalian membaca sampai bagian sini. Terima kasih banyak ya. ^^
"Kak, kenapa banyak sekali time skip nya?"
Ya karena kalau diperlihatkan kejadian setelah chap 38 kemarin, dengan murid yang tinggal tersisa dua orang (soalnya Irene bukan murid lagi ... awokawok) gak asik lah. Malah tambah membingungkan.

Lagi pula, ini first story aku. Jadi masih buanyak sekali kekurangan yang terdapat di dalamnya. Sekali lagi, aku sangat berterima kasih pada kalian ya.

Sampai jumpa kembali denganku di story lainnya! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro