1. TERATAI BIRU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara langkah kaki berlari memecah keheningan sebuah lorong istana mungil yang tertata apik dengan penuh aneka bunga. Derap langkahnya terkesan buru-buru, ada aura ketakutan pada setiap langkahnya.

Melihat pintu yang dituju sudah terlihat ia semakin mempercepat larinya. Tanpa perlu mengetuk pintu ia langsung membukanya dengan napas yang terburu-buru.

Di dalam ruangan itu terdapat dua orang wanita dan satu bayi mungil yang baru beberapa jam dilahirkan. Bayi cantik dan terlihat bersinar. Orang yang baru datang itu langsung berlulut dengan keadaan tubuh yang gemetar.

"Berdirilah!" ucap wanita cantik yang sedang menimang bayi. Ia memandang pria yang kini sedang bangkit itu dengan tatapan tenang.

"Bagaimana?" tanyanya.

"Yang Mulia. Hamba mohon, secepatnya pergi dari sini! Mereka..mereka membawa pasukan kemari, tujuan mereka akan mengeksekusi Yang Mulia Selir di sini." Ucap Si Pria itu dengan suara bergetar.

"Itu tidak mungkin! Apa kesalahan Yang Mulia Selir? Semua kabar itu hanyalah fitnah. Yang Mulia Selir memang keturunan penyihir hitam tapi dia tak pernah menyakiti siapapun." Dengan suara gemetar, Liz, dayang kepercayaan Selir Arneth menatap prajurit yang tengah menunduk itu.

"Aku percaya! Karena itu aku memohon pada Yang Mulia Selir untuk lekas pergi dari istana ini. seluruh penghuni istana ini membelot pada Ratu Mazmar. Tidak ada satu prajurit pun lagi di sini. Dan, jika Yang Mulia Selir melawan itu hanya akan memperkuat tuduhan mereka. Posisi kita serba salah." Jelas prajurit itu dengan sungguh-sungguh.

Selir Arneth masih dengan tenang tersenyum menatap dua orang kepercayaannya itu. Ia lalu memandangi bayi perempuan yang berada di dekapannya. Ia mengelus wajahnya dengan sepenuh hati. Lalu mengecupnya perlahan.

Tangan Selir Arneth menyingkap sedikit pakaian Bayi. Tato teratai berwarna biru terpatri indah pada bahu anaknya. Sang Takdir telah memberikan kepercayaan kepada putrinya. Dan entah siapa yang membocorkan, Ratu Mazmar mengetahuinya. Bukan dirinya yang menjadi target eksekusi ini, tetapi anaknya yang masih bayi lah tujuan Ratu Mazmar.

Selir Arneth merupakan selir dari Penguasa Pulau Suci. Daerah yang tidak masuk dalam kekuasaan enam negara dunia Gartan. Pulau suci merupakan pulau yang di anggap suci dan penduduk pulau ini hanyalah para manusia-manusia terpilih. Yang tidak akan mempunyai emosi negatif atau kesenangan duniawi. Pulau yang di ramalkan akan kedatangan seorang Teratai Biru dari ratusan tahun lalu.

Penduduk Pulau Suci mempercayai ramalan itu akan datang ketika rasi bintang Halianus muncul. Rasi binta Halianus hanya muncul 500 tahun sekali. Para penduduk mempercayai wanita suci teratai biru dilahirkan oleh Ratu Mazmar. Karena itu ketika bintang Halianus muncul Ratu Mazmar memaksakan kelahiran anaknya dengan segala cara, agar ramalan itu terpenuhi. Namun, tanpa diketahui siapapun. Nun jauh di istana mungil yang dikhususkan sang Raja Pulau Suci untuk selir yang dicintainya. Selir Arneth, ia merupakan keturunan murni penyihir hitam. Dan dia melahirkan anaknya tepat ketika rasi bintang Halianus bersinar terang.

Selir Arneth melahirkan hanya ditemani Liz. Karena ia tidak mempercayai dayang-dayang lain yang berada di istana ini. Bayi perempuan cantik itu terlahir dengan membawa takdir besar yang akan mengubah jalan dunia Garnat. Takdir yang juga diramalkan bahwa teratai biru adalah Permaisuri Sang Mahadiraja Zarkan Tar.

Arneth menyentuh hidung mungil anaknya yang tengah membuka mata, mata ungu terang yang indah seperti matanya. Bibir bayi kecil itu menyunggingkan senyum pada ibunya. Selir Arneth ikut tersenyum sambil mengecupnya sekali lagi. Ia lalu memandang kedua orang kepercayaannya itu dengan sebuah harapan.

"Liz, Ram, kalian berdua bawalah anakku. Pergilah ke salah satu negara di luar sana. Hiduplah jadi orang biasa. Jangan pernah gunakan sihir kalian, karena itu akan menjadi pelacak handal untuk orang-orang Ratu Mazmar. Aku memohon pada kalian hiduplah sebagai orangtuanya." Sahut Selir Arneth dengan nada memohon.

Liz dan Ram terkejut kemudian mereka menjatuhkan diri bersujud pada Arneth.

"Yang Mulia, kami tidak pantas untuk menjadi orang tua Tuan Putri. Hamba mohon jangan mengatakan hal itu lagi." Suara Liz gemetar.

"Yang Mulia, kami mengabdi padamu. Tapi kami tak berani untuk mengakuinya sebagai anak kami." Suara Ram tak kalah gemetar. Putri Selir Arneth membawa takdir alam yang sangat besar. Tidak mungkin mereka berdua bisa menjadi orang tuanya.

"Kalian menolak perintahku?" suara dingin itu menyambar hati Liz dan Ram dengan rasa ketakutan.

"Yang Mulia, kami tak bermaksud begitu.."

"Kalau begitu, laksanakan perintahku!" suara Arneth semakin mendingin. Jejak aura kekuatan menguar dari tubuhnya.

"Yang Mulia..." Liz yang akan berkata kembali dihentikan oleh Ram. Pria itu lalu bangkit kemudian duduk bertongkat lutut dengan tangan kanan menyilang di dadanya ia menatap tegas pada Selir Arneth.

"Yang Mulia. Hamba menerima perintahmu!" sahutnya. Liz terbelalak menatap Ram. Ia kemudian menunduk saat air matanya mulai mengalir.

"Liz!" panggil Selir Arneth. Liz menggelengkan kepalanya dengan isak tangis yang semakin keras.

"Bangunlah! Aku tahu kau akan mencintai anakku sebesar rasa cintaku padanya." Suara lembut Selir Arneth membuat isak tangis Liz semakin tergugu dengan aliran air mata yang deras. Ia mendongakkan matanya menatap wajah cantik Selir Arneth kemudian memandang ke arah makhluk mungil yang terbungkus kain sutra berwarna emas dengan ukiran teratai berwarna biru.

Liz lalu mengerti, ia dapat menyimpulkan sesuatu. Selir Arneth telah meramalkan hal ini. Ia juga pasti telah meramalkan akhir hidupnya. Bagaimana mungkin takdir kejam seperti ini menghampiri wanita baik hati ini?

Lis berdiri lalu perlahan melangkah mendekati ranjang dimana Selir Arneth menimang Sang Putri. Selir Arneth tersenyum lembut pada Liz. Yang disambut air mata Liz semakin jatuh berderai.
"Tidak bisakah Yang Mulia ikut dengan kami?" tanyanya dengan serak.

Selir Arneth menggeleng, "Aku tidak akan lari dari takdirku, Liz. Mereka mungkin akan senang membunuhku. Tapi, tak akan kuijinkan mereka membunuh anakku." Sahut Selir Arneth dengan suara dinginnya.

"Sembunyikan diri kalian dengan merubah wajah kalian!"
"Samarkan kekuatan sihir kalian! Jadilah manusia biasa!"
"Aku akan menyembunyikan tato teratai biru anakku, sihir ini akan bertahan sampai usianya menginjak 17 tahun. Selama itu, hindarkan dia bertemu Zarkan Tar!"
Selir Arneth menatap Liz dan Ram yang kemudian mengangguk paham.

Dengan wajah sendunya ia menatap wajah cantik putri mungilnya. Rasa sedih tak terkira menusuk-nusuk jantungnya. Tidak akan ada ibu yang mau berpisah dengan anaknya. Tapi takdir mereka hanya sampai di sini untuk bersama.
"Anakku, ketika besar nanti, Jangan membenci ibumu ini!" lirihnya kemudian mengecup dahi bayi mungil yang kini telah terlelap itu.

Selir Arneth mengangkat telunjuk tangan kanannya. Kemudian suar warna kemerahan keluar dan mengarah melingkupi bayi mungilnya. Sang bayi menggeliat-geliat merasakan sesuatu yang aneh padanya. Saat suar kemerahan itu masuk sempurna pada tubuh mungil itu Sang Bayi membuka matanya. Matanya tak lagi berwarna ungu melainkan hitam legam seperti mata Liz. Selir Arneth membuka pakaian bayinya untuk melihat tato teratai biru yang berada di punggung sebelah kanan. Ia lalu tersenyum ketika melihat tato itu telah menghilang.

"Aku juga menghilangkan kekuatan sihirnya. Ia akan menjadi manusia tanpa kekuatan sihir. Tapi ketika tatonya kembali muncul, kekuatan itu akan ikut tumbuh besar. Tugas kalian harus memastikan mental dan fisiknya kuat saat kekuatan itu masuk pada tubuhnya!" seru Selir Arneth.

Liz dan Ram saling menganggukkan kepalanya. Selir Arneth sekali lagi mengecup dahi dan bibir bayinya sebelum kemudian ia menyerahkan bayi mungil itu pada pelukan Liz.

"Pergilah sekarang! Aku meraskan Ratu Mazmar sudah mendekati tempat ini. Ingat apa yang kuperintahkan!" tegasnya sekali lagi. Lis dan Ram kembali menganggukan kepalanya.

Mereka berdua kemudian bergegas pergi dengan tergesa-gesa. Langkah mereka mengarah ke pintu belakang istana yang mengarah pada jalan hutan gelap. Mereka mencari jalan agar tidak bertemu satu orang pun.

Tampilan mereka telah berubah menjadi sosok wajah lain. Sesuai perintah Selir Arneth mereka juga segera menyegel kekuatan sihirnya agar tak terlacak oleh pasukan Ratu Mazmar.

Dengan rasa hati yang bercampur aduk, mereka melangkah keluar dari istana Selir Arneth. Menyembunyikan Sang Teratai Biru. Untuk takdir besar yang dikirimkan alam semesta.

***

"Di mana kau menyembunyikan anakmu?" Tanya wanita yang bergaun putih itu dengan suara anggunnya. Ia memutari Arneth yang kini tangannya telah terikat erat di belakang punggung. Perlakuan yang tak semestinya diterima oleh seorang selir agung.

"Bukan urusanmu!" sahut Arneth dengan tak acuh. Wajahnya menyembunyikan kedinginan yang mendalam.

"Jika Trev kembali apa yang akan ia lakukan padamu?" Tanya Arneth dengan senyum dingin tersungging.

"Kau telah membunuh peramal kuil. Dia tak akan memaafkanmu, Arneth!" sahut Mazmar dengan senyum liciknya.

Arneth tersenyum dengan malas, "Kau seyakin itu ia akan mempercayai aku yang telah membunuh Astra? Kau tidak mengenal Trev dengan baik." Sahut Arneth mencemooh.

"Tak peduli ia akan mempercayaiku atau tidak, aku hanya akan memastikan kau terbunuh hari ini. apakah kau masih belum memahami jika seluruh penghuni istana telah berpindah mengabdi padaku?"

"Arneth, satu hal yang harus kau ketahui. Kau lah penyebab hilangnya keprcayaan orang-orang di Istana Pulau Suci ini. Karena ia menikahimu, Trev kehilangan orang-orang yang mendukungnya. Selamanya Pulau Suci tak akan pernah menerima penyihir hitam."

Arneth menatap sengit pada Mazmar. Ratu Mazmar adalah penyihir putih yang diagungkan di Pulau Suci sehingga dukungan penduduk akan lebih berpihak pada Ratu Mazmar. Awal ketika ia memasuki istanapun tak ada yang mau menghormatinya. Hingga ia memilih hidup di istana terpencil untuk meyakinkan para penghuni istana utama bahwa dirinya tak pernah ada niat untuk merebut posisi Ratu Mazmar atau mempengaruhi kekuasaan Trev.

Hingga suatu hari, ketika Arneth berniat akan berdoa di kuil Pulau Suci. Ia menemukan mayat Sang Peramal bersimbah darah. Arneth bahkan mengenali jejak kekuatan yang membunuh peramal itu karena sihir hitam. Namun bukan dia yang membunuhnya. Semua orang menuduh Arneth lah yang melakukannya. Tidak ada yang memihaknya. Dengan tanpa saksi-saksi ia kemudian menjadi tahanan istana karena eksekusi harus menunggu Trev kembali terlebih dahulu. Saat ini pria itu sedang bepergian ke Negara Samhian.

Arneth menunggu Trev kembali untuk meminta keadilan untuknya yang dituduh membunuh peramal kuil. Namun, sampai satu bulan ini suaminya belum ada kabar kapan kembali. Hingga kemudian ia melahirkan putrinya ketika Rasi Bintang Halinius bersinar terang. Ia menyembunyikan kelahirannya hanya dengan ditemani Liz. Namun siapa yang menyangka bahwa mata Ratu Mazmar tetap bisa mengetahui kelahiran anaknya.

"Trev akan membencimu!" sahut Mazmar berbisik.

"Dia mencintaiku!" sahut Arneth membuat Mazmar memelototinya dengan kemarahan yang meninggi.

"Pengawal! Bawa bayi itu!" teriak Mazmar membuat jantung Arneth berdegup kencang. Ia lalu melihat pintu terbuka dari luar.

Mata Arneth terbelalak penuh kekagetan. Ia menatap sosok yang menggendong putrinya itu dengan kebencian yang sangat kentara.

"RAM!!!" raungnya penuh amarah. Jadi, dialah pengkhianatnya. Orang yang sangat Arnteh percayai. Tak pernah sedikitpun Arneth curiga pada Ram. Ia, Ram dan Liz adalah para penyihir hitam yang berteman sejak kecil. Ketika Arneth dipinang Trev, Ram dan Liz mengikutinya sebagai tanda persahabatan sehidup semati. Ia tak pernah menyangka sedikitpun Ram akan mengkhianatinya.

Ram menatap datar pada Arneth. Wajah pria itu masih sama saja seperti dulu. Membawa ketampanan luar biasa, tapi tak sedikitpun membuat Arneth tertarik. Sekarang Arneth bahkan jijik menatap wajahnya.

"Maafkan aku Arneth! Aku tak ingin kau dibunuh. Aku mencintaimu, jadi lebih baik putrimu yang dibunuh daripada aku melihatmu dibunuh. Kau harus berterimakasih padaku karena menyelamatkan nyawamu. Dulu ketika Trev menyelamatkan nyawamu, kau bersedia untuk menikah dengannya. Sekarang akulah yang menyelamatkanmu, karena itu kau harus menikah denganku!" sahut Ram menatap Arneth penuh fantasi gila.

"Kau sungguh menjijikan!" teriak Arneth.
"Di mana Liz?"
"Kau apakan Liz? Di mana dia?"

"Aku membunuhnya!" kata Ram dengan enteng. Arneth semakin membelalakan matanya. Mereka bertiga adalah teman dekat sejak kecil. Kenapa Ram semudah itu membunuhnya.

"Aku membencimu, Ram!"

"Tidak! Kau harus mencintaiku Arneth! Akulah yang selalu ada untukmu. Dari semenjak kecil hanya aku yang melindungimu. Seharusnya akulah yang menjadi suamimu!" teriak Ram. Kegilaan di matanya membuat Arneth terkejut. Ram sudah gila.

"Kau gila Ram! Kembalikan anakku!" teriak Arneth hendak melangkah namun cekalan kedua penjaga serta tangannya yang terikat membuatnya tak bisa bergerak.

"Sudah kukatakan. Anak ini adalah alat tukar hidupmu! Ketika kita hidup bersama kelak, kau akan melahirkan bayiku yang lebih hebat dari anak Trev ini!"

Arneth semakin menggelengkan kepalanya. Ram benar-benar sudah gila.

"Yang Mulia Ratu Mazmar! Kuserahkan bayi ini padamu. Aku sudah melakukan semua intruksi yang kau perintahkan. Kekuatan bayi ini pun sudah disegel oleh ibunya sendiri. Kau bisa membunuhnya sesuka hatimu," sahut Ram dengan wajah berbinar.

Mazmar menatap pria gila yang berada di depannya itu dengan senyum lembut.
"Cintamu sungguh besar untuk Arneth!" pujinya membuat Ram tersenyum lebih lebar.
"Anda benar Yang Mulia! Cintaku pada Arneth tak ada yang bisa mengalahkannya. Aku dan Arneth akan berbahagia, kau bisa tenang dengan suami dan anakmu."

Ratu Mazmar tersenyum tipis lalu menoleh pada Arneth yang memandangnya penuh kemarahan.
"Arneth! Seharusnya kau menikahi pria ini, cintanya akan membuatmu bahagia," ucap Sang Ratu dengan senyum mengejek.

"Kau bisa membunuhku Mazmar, tapi lepaskan anakku! Dia tak akan menyalahi takdir anakmu. Dia hanyalah bayi biasa yang tak mempunyai kekuatan sihir. Kau bisa menyiksaku semaumu! Tapi jangan bunuh anakku. Aku mohon padamu!" raung Arneth dengan mata penuh air mata.

"Tenang saja Arneth! Kau dan dia akan selalu bersama." Sahut Mazmar sambil mengambil bayi dari pelukan Ram.

"Pengawal! Bawa Arneth! Eksekusi dia sekarang juga!"

Ram terbelalak mendengar perintah Ratu Mazmar. Ia menoleh dan menatap Sang Ratu yang sedang memandang bayi yang berada di tangannya.

"Kau bilang padaku untuk melepaskan Arneth! Mengapa dia tetap di eksekusi?!" Tanya Ram dengan tak mengerti.

Ratu Mazmar melirik Ram tak acuh. Ia menyerahkan bayi perempuan itu pada dayang di sampingnya.
"Ia akan mengikuti eksekusi ibunya!" sahutnya pada Dayang tersebut.

"Yang Mulia Ratu.." Ram akan kembali berucap ketika Ratu Mazmar menatapnya tajam.

"Aku tak pernah menjanjikan apapun padamu! Kau sendiri yang bersedia melakukan semua perintah itu." Sahutnya dengan dingin.

"Ibu maupun bayinya akan mati hari ini!" sahut Ratu Mazmar dengan suara lantang sehingga para pengawal mendengar perintahnya.

"Siap laksanakan Yang Mulia!" ucap para pengawal bersamaan. Mereka kemudian segera membawa Selir Arneth yang terikat erat itu beserta bayi mungil yang berada di tangan seorang Dayang.

"Tidak! Tidak! Kau tak boleh membunuh Arneth! Kau menyalahi janjimu!" raung Ram.

Ratu Mazmar meliriknya dengan jijik lalu berbalik dengan diikuti para pengawal utamanya.

Ram hendak mengejar namun kemudian ia di tangkap, sampai sebuah rasa berdentam sakit membuat pandangannya gelap. Para pengawal yang di belakang Ram memukul kepalanya dengan keras membuatnya pingsan seketika.

***

Arneth menatap kayu bakar yang di susun menjulang tinggi di bawah kakinya. Ia di ikat erat pada sebuah tiang salib dengan tanpa daya. Kekuatan sihirnya dilucuti oleh Mazmar. Sehingga ia sama sekali tak bisa menyelamatkan bayinya.

Bayinya. Arneth melihat bayinya yang diletakannya pada sebuah meja dengan algojo yang tengah siap dengan pedang besar untuk memenggal leher anaknya. Hati Arneth sangat sakit melihat hal ini.

"Mazmar! Aku mohon lepaskan anakku! Kau bisa membunuhku sesuai keinginanmu! Tapi jangan anakku, kumohon!" teriak Arneth. Namun dengan santai Ratu Mazmar duduk di singgasana berwarna putih yang disediakan oleh pengawalnya. Ia menatap pemandangan di depannya dengan kebahagiaan terpancar. Aroma kopi di cangkir yang berada di tangannya entah mengapa menjadi sangat harum.

"Eksekusi segera!" perintahnya dengan datar. Pengawal yang berada di sebelahnya mengangguk.

"Keputusan telah dikeluarkan oleh pihak penguasa Pulau Suci. Menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup pada Selir Arneth yang telah terbukti melakukan pembunuhan pada Astra Sang Peramal Kuil Dewa. Dengan ini, beserta anak yang dilahirkan Selir Arneth, bayi yang dipercaya akan membawa takdir buruk pada penghuni Pulau Suci, Ia akan di eksekusi dengan pemenggalan!"

Arneth terbelalak tak percaya dengan keputusan itu. Ia memandang Mazmar dengan kemarahan.
"Mazmar! Hidupmu tak akan pernah bahagia! Para Dewa tak akan pernah membiarkan wanita jahat hidup di Pulau Suci ini. Kutukan takdir buruk semoga menimpa kau dan anakmu! Sampai hembusan napas terakhirku pun kau tak akan pernah menang dariku."

"Dengarlah wahai Alam Semesta! Kupersembahkan jiwaku padamu! Berikan aku kekuatan terakhir untuk melawan ketidakadilan ini untukku!" jerit Arneth mendongakkan kepalanya ke atas. Air mata Arneth mengalir deras dengan hati yang bergejolak takut namun putus asa. Anaknya di sana sedang menghadapi kematian yang dipaksakan oleh orang-orang ini.

'Shhhhuuuuu'
'Shhhhuuuuu'
Suara desiran angin melambaikan rambut panjang Ratu Mazmar.

Kemudian suara gemuruh langit membuat para pengawal yang berada di berbagai sisi saling menatap ke atas langit. Awan hitam pekat tiba-tiba menutupi cahaya matahari.
Ratu Mazmar meletakkan cangkirnya dengan keras. Ia lalu bergerak cepat dan mengambil obor yang berada di tangan pengawal yang bertugas membakar Arneth hidup-hidup.

"Sudah kuperintahkan kalian untuk membakarnya! Kenapa kalian tak melaksanakan perintahku!" jeritanya sambil menendang pengawal itu. Lalu dengan tatapan penuh amarah ia melangkah mendekati dimana kayu bakar yang menggunung itu melingkupi tubuh Arneth.

"Orang mati tak akan pernah bisa mengutuk!" sahut Mazmar lalu melemparkan obor tersebut pada tumpukan kayu bakar.

Api besar merambat dengan cepat, membentuk api raksasa yang sangat panas menyengat.

Mata Arneth menajam menatap Mazmar. Sebelum kemudian menutup pasrah matanya. Takdir kematiannya telah datang. Tapi, ia berdoa dalam hatinya. Semoga anaknya terselamatkan. Ia merapalkan semua harapannya dalam doa pada para Dewa dan Dewi. Napasnya sesak. Panas api membuat kulitnya terbakar dengan mudah. Lalu ditengah hembusan napas terakhirnya. Ia merapalkan mantra sihir terlarangnya.

Langit gelap pekat membuat hati para pengawal dicekam ketakutan. Akankah Selir Arneth mengutuk mereka semua. Namun, bukankan kutukan dari orang yang bersalah tak akan mungkin mengenai jiwa suci mereka. Ya benar. Mereka adalah orang-orang suci. Tidak ada yang bisa menyentuh mereka. Bahkan kutukan dari Dewa pun.

Suara gemuruh kembali terdengar. Api masih membesar membakar tubuh Arneth yang kini telah terkulai. Jiwa Arneth melayang menyerahkan diri sebagai pengorbanan untuk sihir terlarangnya.

Ratu Mazmar melihat tubuh mati yang terbakar itu dengan puas. Ia kemudian beranjak melangkah ke arah bayi yang terbungkus rapat itu dengan sorot kejam. Bayi itu harus mati, atau rencana besarnya akan gagal.

"Bunuh bayi itu!" sahutnya dengan suara penuh keji. Pengawal yang berada di sebelahnya mengangguk dengan ragu.

"Algojo! Laksanakan perintah Yang Mulia Ratu!" sahutnya. Bagaimanapun seorang abdi akan tetap mematuhi perintah tuannya. Ia tak boleh kasihan pada Sang Bayi.

Mata para dayang menunduk. Mereka tak berani melihat pemenggalan pada bayi yang bahkan belum berumur sehari. Tapi mereka juga tak bisa membujuk Ratu mereka.

Pedang yang teracung kemudian terangkat tinggi. Wajah algojo yang tertutupi topeng terlihat memejamkan matanya. Ia tak ingin menatap wajah bayi tak berdosa itu. Namun tugasnya mengharuskan ia melakukan segala perintah dari pihak penguasa Pulau.

'GRRRAAOOO!'
'GRRRAAOOO!'
'GRRRAAOOO!'
'GRRRAAOOO!'

Aura aneh berpendar dari langit. Warna merah mencekam disertai kilatan demi kilatan petir. Seakan menandakan bahaya besar telah turun.

"Cepat penggal dia!" teriak Ratu Mazmar tak sabar. Sang Algojo kini ragu karena langit terlihat marah padanya. Akankah ia dikutuk jika pedangnya memenggal kepala bayi ini.

"Kau atau bayi itu yang harus kupenggal?!" jerit Sang Ratu membuat Algojo berkerut takut. Ia kemudian mengangkat kembali pedangnya. Lalu dengan jeritan putus asa ia mengayunkan pedangnya menuju leher Sang Bayi.

'GRRRAAOOO!'
'GRRRAAOOO!'
'DRRRAAAKKKK!'
Sang Algojo terpental keras ketika suara aneh itu datang kembali.

Mata para pengawal dan Ratu Mazmar terbelalak karena terkejut. Belum sampai mereka mendapat jawaban karena hal itu, tiba-tiba sebuah suara dentuman besar memekakan telinga membuat mereka terjatuh tak sadarkan diri. Para pengawal yang berjumlah ratusan maupun Ratu Mazmar tergeletak di tanah.

Angin badai bertiup kencang memporak porandakan Pulau Suci. Sebagai tanda kemarahan tumbal Jiwa yang diserahkan Selir Arneth pada alam. Ketakutan mencekam para penduduk, tak ada yang berani keluar selangkahpun dari rumah mereka.

Seseorang dari semak belukar keluar dengan tubuh gemetar. Tertatih ia mendekati di mana Sang Bayi tergeletak. Ia lalu mengambilnya dengan perlahan seakan takut menyakiti Sang Bayi. Berbalik ia kemudian meninggalkan tempat itu dengan langkah tertatih menuju arah lautan.

"Yang Mulia, tenanglah di Valhalla sana. Aku akan menjaga Sang Putri dengan pertaruhan seluruh hidupku!" lirih Liz bergumam sambil memandang langit yang penuh kilatan petir.

Tertatih ia tetap berjalan mengabaikan kaki dan tubuhnya yang penuh luka akibat serangan Ram. Ia harus secepatnya keluar dari Pulau ini.

Hanya satu yang ada di pikirannya. Ia harus melindungi Sang Putri dari takdir buruk pulau ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro