3. AMETHYST LIZARD

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau sudah mendapatkan kabar dari pulau suci?"

Mahadiraja Zarkan Tar memasuki ruangan yang penuh buku. Buku-buku itu menutupi seluruh tembok sampai mencapai langit-langit ruangan.

Jubah emas Zarkan Tar melekat gagah di bahunya, dengan rambut hitam legam yang terkuncir rapi siapapun yang memandang akan menangkap kesan pesona seorang pejuang gagah.

"Yang Mulia merindukan permaisurimu eh?" seorang pria yang memakai pakaian seragam petinggi kerajaan mengerling jahil. Ia tersenyum menggoda dengan sebuah buku di tangannya.

"Zeon, Jangan bercanda!" Zarkan Tar menuju sebuah kursi yang biasa di duduki sahabatnya itu. Zeon, sang penasihat raja, terkekeh lalu meletakkan buku yang di pegangnya ke dalam salah satu rak. Ia kemudian memandang ke atas dan dengan jentikan tangannya ia mengeluarkan suar kebiruan. Sebuah buku berwarna coklat yang terletak di rak paling atas tiba-tiba melayang dengan cepat seakan tahu bahwa si pemanggil sedang menunggunya.

"Gayara, tunjukan matamu pada kami!" ucap Zeon pada buku yang melayang-layang di depannya tersebut.

Buku berwarna coklat itu bergetar lalu cahaya kuning melingkupinya, perlahan ia berubah menjadi sosok seorang gadis cantik bergaun warna coklat. Rambutnya ikal memikat dengan warna bibir merah merona membuat siapapun yang memandang akan tergoda akan eksotisnya kecantikan Gayara.
"Salam Gayara kepada Mahadiraja Zarkan Tar," sahutnya dengan lembut. Zeon tersenyum manis pada Gayara yang disambut tak kalah manis si gadis perwujudan buku itu.

Zarkan Tar mengangguk, tapi sedikitpun tak menatap gadis cantik itu.
"Jadi, berita apa yang kau bawa?"

"Yang Mulia, pulau suci akan segera mengirim Sang Teratai biru menuju istana putih ini. Desas-desus yang hamba dengar, putri Yeva akan dikirim kesini bersama lima ratus pengawal dengan kekuatan sihir terhebat di pulau suci. Lalu, hamba mendengar pula bahwa utusan pulau suci telah dikirim terlebih dahulu, kemungkinan mereka akan tiba di istana pada pekan kedua bulan ini." Gayara dengan suara tegas menceritakan keadaan di pulau suci.

"Apakah kau yakin Putri Yeva mempunyai tanda kelahiran Teratai biru?" tanya Zarkan Tar.

Gayara menghela napas pelan. Ia kemudian mengangkat pandangannya dan menghadap langsung pada Sang Mahadirajara.
"Hamba mendengar desas-desus lain Yang Mulia."

Zarkan Tar menopang dagunya dengan tangan kiri sedangkan matanya fokus tertuju pada peta pulau suci yang dilingkari dengan tinta merah. Terlihat pada peta tersebut, beberapa daerah telah ditandai dengan garis silang berwarna merah.
"Apa itu? Ceritakan sedetail mungkin," ucapnya datar masih tetap menatap peta di hadapannya.

"Hamba mendengar cerita tentang kelahiran anak dari Raja Trev sang penguasa pulau suci 17 tahun silam. Dikatakan para penduduk, bahwa raja Trev mempunyai selir cantik dari kelompok penyihir hitam. Selir tersebut melahirkan seorang bayi perempuan, akan tetapi bayi tersebut meninggal dan Sang Selir dibunuh oleh pengawalnya sendiri."

Gayara menghela napas kembali, "namun, Hamba menemukan kejanggalan dari cerita tersebut."

Zeon dan Zarkan Tar mengangkat wajah mereka menatap fokus pada Gayara. "Kejanggalan apa itu?" tanya Zeon mewakili isi pikiran Zarkan Tar.

"Sejak Raja Trev menghukum pembunuh selirnya, Sang Raja sakit keras dan telah lama tidak sadar dari komanya. Lalu, beberapa hari yang lalu, ketika Hamba berkeliling di istana pulau suci hamba mendengar percakapan sang Ratu dengan abdi setianya, bahwa mereka akan mengejar Sang Teratai biru. Dikatakan pula bahwa teratai biru..." Gayara meneguk salivanya ketika merasakan tubuhnya sedikit gemetar. Pandangan Zarkan Tar kini fokus pada dirinya.

"Hamba mendengar, teratai biru yang lain ada di negara Samhian."

***

Kanna sedang terpekur memetik bunga Frein untuk ia jual ke pasar saat tangan halus tetapi sangat ringkih memegang pundaknya. Kanna tak menoleh karena ia tahu itu adalah ibunya. Hati Kanna masih kesal dengan kejadian kemarin. Tak tahu mengapa ia merasa ibunya menyimpa suatu rahasia penting yang disembunyikan darinya.

"Kanna..." Liz memutar tubuh Kanna agar menatapnya. Kanna masih menunduk karena ia tak tahu harus bagaimana di depan ibunya.

"Kau masih marah?" tanya Liz.
Kanna mengangkat wajahnya, "apakah ibu marah kepadaku?" Kanna menggenggam kedua tangan Liz. Ia sangat menyayangi ibunya ini.

"Maafkan ibu, ibu pasti membuatmu bingung. Suatu hari nanti ibu akan menjelaskan semuanya padamu, hingga hari itu tiba, ibu memohon kepadamu jauhi hutan gelap itu."

Kanna menatap ibunya. Sorot serius di mata ibunya menandakan keseriusan masalah ini. Ia mengangguk patuh tak ingin membuat ibunya semakin khawatir. Ia akan bersabar menanti penjelasan itu.

Liz tersenyum ia mengusap dan membelai rambut halus Kanna. Menatap mata anaknya itu dengan penuh arti.

'Yang Mulia, ketika nanti hamba tak bisa melindungimu, kumohon tetaplah bertahan melalui semua takdir besarmu'
Liz berucap dalam hati. Pandangannya memanas saat wajah Arneth melintas di pikirannya. Bisakah ia melindungi Kanna sampai takdir besarnya kelak? Sedangkan jalan takdir yang telah lama ia belokkan kini mulai bersinggungan kembali.

"Ibu, aku akan ke pasar desa untuk menjual bunga Frein ini. Musim semi kali ini sangat membawa berkah, lihatlah aku memetik sekeranjang bunga Frein golden, sangat jarang sekali mereka berbunga. Entah kenapa musim semi tahun ini mereka sangat tumbuh subur," ucap Kanna kembali ceria.

Liz memandang keranjang di sisi Kanna. Bunga Frein golden merupakan bakung langka yang sangat dicari oleh setiap orang yang akan membuat kain berwarna emas. Biasanya warna Frein golden akan dibeli oleh orang-orang dari kerajaan. Hanya Mahadiraja Zarkan Tar lah yang menggunakan warna ini. Ini bukan ketetapan, hanya saja ketika orang lain memakai warna Frein golden mereka sama sekali tak pantas memakainya. Surga seperti tak pernah berhenti memanjakan Zarkan Tar, bahkan Frein golden yang begitu langka hanya bisa untuk Sang Mahadiraja.

"Ibu yang akan menjualnya," sahut Liz. Kanna menatap ibunya dengan tak mengerti. Biasanya ibunya akan selalu menyuruhnya untuk menjual bunga Frein ke pasar. Entah, ada apa lagi pada ibunya ini.

"Tubuhmu sangat lemah, Bu! Biarkan aku..."

"Ibu harus bertemu Ben di pasar, kau jaga rumah ini."
Liz mengambil keranjang penuh bunga Frein golden itu. Ia melirik sebentar pada Kanna yang masih menatapnya tak percaya.

"Bu..." panggil Kanna pelan. Liz menoleh pada Kanna yang kini tersenyum jahil.

"Jadi kau menerima pinangan paman Ben?" sahutnya dengan terkikik.

Liz bersemu merah, "jangan berasumsi sembarangan!" serunya kemudian berbalik segera meninggalkan halaman rumah mungil itu yang kini penuh gelak tawa Kanna.

***

Zeon menatap Sang Raja di depannya dengan pandangan aneh. Tak biasanya rajanya ini akan sibuk dengan suatu benda. Melihat kembali pada tangan Zarkan Tar, Zeon hanya menatap sebuah kalung berliontin amethyst. Apakah ada yang istimewa dengan kalung itu?

Tapi ia pun tak berani bertanya lebih detail tentang kalung yang berada di tangan sang raja.
"Zeon!"

"Ya Yang Mulia," Zeon menganggukan kepalanya tanda penghormatan.

"Apa kau percaya ada seorang manusia yang lahir tanpa sihir?"

Zeon mengernyit, ia berpikir sejenak, "sepengetahuan hamba, manusia tanpa sihir bukanlah manusia dunia Gartan. Ada suatu dunia yang di penuhi manusia-manusia lain, tetapi mereka terlahir tanpa kekuatan sihir."

"Tidak! Manusia itu ada di dunia kita, dan dia juga berada di Samhian." Zarkan Tar mengelus liontin amethyst itu.

"Akan tetapi, manusia tanpa sihir itu memiliki liontin ini. Kau tahu? Amethyst Lizard, permata ini hanya dimiliki oleh ratu penyihir hitam. Kenapa ia bisa memilikinya?"

Zeon kembali menatap kalung berliontin yang kini menjadi fokus pembicaraan mereka. Ia kemudian menggerakan tangannya, sebuah kabut putih pekat muncul tiba-tiba lalu membentuk sebuah buku berwarna putih bertuliskan huruf Sangla, buku yang bertitahkan cerita-cerita kejadian masa lalu.

Segera ia membuka buku tersebut lalu mencari salah satu halaman yang menceritakan klan penyihir hitam.

"Amethyst Lizard..." lirih Zeon. Tangannya bergerak dari atas kebawah mencari-cari nama yang ia lirihkan. Lalu tangannya berhenti pada sebuah gambar ratu penyihir hitam yang mengenakan sebuah kalung berliontin amethyst.

"Ratu Ferkha, 2000 tahun silam adalah ratu pertama yang mengenakan Amethyst Lizard. Dikatakan permata ini adalah buatan Raja duyung Laut selatan, Xandar. Xandar menciptakan amethyst lizard dari kumpulan air mata duyung suci yang diabadikan selama ribuan tahun."

Zeon membalikkan halaman buku tersebut, ia menatap Zarkan Tar sebentar kemudian melanjutkan ucapannya.

"Ratu Ferkha pernah menolong Xandar dari jerat kematian makhluk pencuri jiwa yang disebut Kerr, karena itu Xander menyerahkan Amethyst Lizard sebagai tanda terimakasih dan perdamaian antara kaum duyung laut selatan dan klan penyihir hitam."

"Hanya ini penjelasan tentang Amethyst Lizard. Tidak ada yang lain lagi," ucap Zeon sambil membolak balik halaman buku.

Zarkan Tar menatap liontin warna ungu tersebut, senyum miring tersungging pada garis bibir Sang Raja.
"Amethyst Lizard, bagaimana mungkin ada di tangan manusia biasa? Siapa kamu sesungguhnya?" gumamnya yang hanya bisa ia dengar sendiri.

***

Liz mengambil uang dari seorang pembeli yang telah membeli sekeranjang bunga Frein Golden miliknya. Dilihat dari pakaian si pembeli, semua orang sudah pasti menebak bahwa ia merupakan pelayan istana putih. Liz menatap sekantong kecil koin yang berada di tangannya. Tidak ada raut bahagia pada wajahnya, tak pula ada rasa kebutuhan akan uang yang ada di tangannya. Pikirannya mengelana pada anaknya.

Beberapa waktu ini kejadian demi kejadian seakan memberitahu Liz, bahwa sudah saatnya Kanna mengetahui hal besar tentang dirinya. Liz pun merasakan tubuh tuanya semakin melemah. Entah sampai kapan ia bisa melindungi Kanna. Tanggal kelahiran Kanna tepat minggu depan. Dan, Liz masih belum menemukan cara untuk meredam kekuatan Kanna yang akan bangkit.

"Huk...huk..huk!!" Liz terbatuk. Ia segera menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Disandarkan tubuhnya pada tiang yang menyangga salah satu atap sebuah toko.

"Liz..." panggil suara seseorang. Liz mengenalinya, dia Ben.

"Bukankah tubuhmu tidak sehat? Mengapa kau kemari?" Ben membantu memapah Liz yang terlihat lemah dengan wajah pucat.

"Ben! Untunglah..." suara Liz terhenti saat batuknya kembali. Ben sampai harus sedikit mengeratkan pelukannya ketika Liz hampir terjatuh karena tak kuat menopang dirinya sendiri.

"Ayo! Kuantar kau pulang."

"Tidak Ben, ada yang harus kubicarakan denganmu." Liz mencengkeram salah satu tangan Ben menghentikan niat pria itu membawanya terbang.

"Liz. Kau masih berkeras hati tentang rencanamu itu? Jangan konyol!" Ben menatap wajah Liz dengan geram.

"Ben! Hidupku tak lama lagi."

"Tidak Liz! Aku tak setuju."

"Ben! Kumohon...demi masa lalu kita berdua," lirih Liz terisak. Ben menatapnya dengan kaku, ia kemudian membuang pandangannya agar tak menatap mata sebening permata itu berkaca-kaca.

"Aku sudah menganggap Kanna anakku sendiri Ben. Dan janjiku pada Arneth, aku harus melindunginya."

"Kita bisa mengubah..."

"Tidak Ben...mereka..." ucapan Liz terputus saat sapuan angina membelai wajah dan sebagian rambutnya. Ia tercengang lalu menatap Ben.

"Ada apa Liz?" tanya Ben menatap Liz dengan serius.

"Mereka di sini, mereka sudah di sini..." seluruh tubuh Liz gemetar.

'Drraanggg!'
'Drraanggg!'
'Drraanggg!'
'Drraanggg!'
'Drraanggg!'

"Minggir...minggir! Utusan pulau suci sudah sampai di desa ini. mereka akan melewati pasar ini. ayo semuanya minggir! Rapikan jalanan untuk menyambut mereka!" teriakan salah satu penjaga desa membuat semua orang yang berada di pasar bergegas merapikan dagangan dan saling berdiri di sisi-sisi jalan.

"Beri penghormatan!" teriakan penjaga desa kembali terdengar.

Tubuh Liz gemetar, sehingga Ben kemudian menyampirkan jubah berwarna coklatnya menutupi seluruh tubuh Liz. Mereka berdua duduk bersujud sebagai penghormatan akan kedatangan orang-orang suci dari pulau suci tersebut.

Derap langkah kuda perlahan melintasi jalanan. Semua orang tak berani berkata-kata. Rasa hening membuat gemetar tubuh Liz semakin menjadi meski di sampingnya Ben berusaha menekan Liz agar tak kentara gemetar.

Liz membuka sedikit jubah Ben yang melingkupi tubuhnya. Ia melihat orang-orang yang berseragam khas pulau suci menaiki kuda putih bersih. Terlihat suci dan murni. Tanpa dosa dan sangat abadi.

Gigi Liz bergelutuk menahan rasa bencinya. Munafik. Mereka dalah orang-orang munafik. Pulau suci? Hahh..itu adalah pulau terkutuk.

Rombongan utusan melewati perlintasan di mana Liz tengah bersujud. Jantung Liz berdetak kencang saat ia merasakan sebuah aura yang sangat dikenalnya. Ia tiba-tiba mendongak dan melihat pada baris ke lima barisan rombongan tersebut.

Ram.

Tubuh Liz semakin gemetar menahan segala rasa yang bercampur aduk. Rasa benci lah yang paling mendominasinya saat ini. Ingin sekali ia menerjang pengkhianat itu. Matanya melotot bengis dengan air mata yang berkumpul di pelupuk matanya.

Ben melirik Liz yang tiba-tiba membuka jubahnya. Secepatnya Ben meraih pinggang Liz yang akan berdiri. Ia membekap bibir wanita itu lalu kembali menutupi tubuhnya dengan jubahnya.
"Diamlah, Liz! Kau akan mati jika menyerang sekarang," desis Ben. Liz yang sebelumnya meronta perlahan terdiam. Di balik jubah itu air mata Liz akhirnya jatuh berderai. Ingatan 17 tahun silam kembali berputar di otaknya.

Ram menatap sekelilingnya dengan pandangan angkuh. Matanya diam-diam menyelidik. Karena ia tahu, buruannya berada di desa ini, menunggunya, menunggu untuk ia musnahkan.

Menantikan hal itu, senyum kejam perlahan tumbuh sempurna di bibirnya.

***

Kanna berkeliling di dalam hutan gelap. Ia menjelajah tempat-tempat kemarin ketika ia berburu. Meski harus menyalahi janjinya pada Sang ibu, ia terpaksa kembali karena harus mencari sesuatu yang amat penting. Jika ia tak menemukannya, Kanna tak bisa membayangkan bagaimana cara menjelaskan pada ibunya nanti.

"Demi Gatara Sang pengingat, kemana perginya kalungku?" Kanna mencengkeram rambutnya dengan kedua telapak tangan.

Ia kini tiba di tempat di mana rusa tanduk emas tergeletak. Sejengkal demi sejengkal ia memindai matanya mencari kerlip berlian ungu yang ia yakini pasti terjatuh di sini.

Tak ada apapun.

Raut wajah Kanna hampir menangis saat mengingat ibunya. Liz telah berpesan padanya agar jangan sampai kalung itu jatuh di tangan orang lain. Apa yang harus ia jelaskan nanti jika kenyataannya kalung itu telah ia hilangkan?

Suara gemerisik dari semak-semak membuat Kanna terdiam. Ia tajamkan seluruh panca inderanya untuk waspada terhadap serangan binatang buas. Kanna terlalu terburu-buru ketika berniat mencari kalungnya, sehingga ia meninggalkan senjata panah yang biasa ia bawa ketika memasuki hutan ini.

Kanna memundurkan langkahnya saat suara gemerisik kembali terdengar. Saat ini suara itu terdengar dari arah kanannya.

Suara derap langkah binatang besar. Terlihat dari dedaunan pohon kini bergoyang dengan serentak. Kanna terbelalak. Ia menatap lorong gelap hutan yang terlihat kian mencekam.

Kembali ia memundurkan langkahnya agar tetap waspada.

Saat ia akan mencari batang ranting atau batu di sekitarnya untuk bertahan, tiba-tiba ia merasakan aura seseorang telah berdiri di belakangnya.

Jantung Kanna semakin berdetak kencang. Saat ia akan berbalik, kalah cepat, tiba-tiba ia jatuh dalam bekapan kuat tangan manusia yang berada di belakangnya.

Bahaya. Kanna menyadarinya, ia masuk dalam bahaya besar.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro