5. PINTU DENDAM

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Yang Mulia!"

Zeon menyongsong kedatangan Zarkan Tar saat sang Raja melompat dari punggung Pegasus. Raut wajah abdinya itu terlihat sedikit serius. Memandang Sang Raja ia akhirnya menghembuskan napas lega.

"Ada apa?" tanya Zarkan Tar.

"Perkiraan Gayara meleset. Utusan Pula Suci telah memasuki Samhian dan sekarang berada di perbatasan desa Valla menuju jalan utama ke istana ini."

Zeon mengerutkan keningnya, "senja tadi salah satu prajurit kita menemukan perkemahan mereka berada di dekat hutan gelap. Kemungkinan besok mereka akan sampai ke istana ini."

"Lalu?" tak acuh Zarkan Tar mengabaikan Zeon. Ia langsung memasuki kediamannya dengan santai.

"Yang Mulia! Bagaimana dengan rencana kita?"

"Tetap berjalan." Masih dengan acuh tak acuh, Zarkan Tar berkata sambil melepas jubahnya.

"Aku akan membersihkan diri," ucapnya lagi. Jubah emas itu ia lemparkan pada sebuah kursi santai.

Zeon bergegas ke arah jubah yang tersampir malas di kursi berniat mengambilnya untuk diserahkan pada dayang istana. Kebiasaan Sang Mahadiraja hanya ingin memakai sesuatu yang bersih sehingga siapapun yang melihat pakaian atau hal kotor mereka harus secepatnya mengambil untuk membersihkannya. Namun, saat ia akan mencapai jubah tersebut tubuh Zeon tiba-tiba tak bisa digerakkan.

Zeon memandang Zarkan Tar dengan penuh tanda tanya. Zarkan Tar mengibaskan tangan kanannya dengan tak acuh. Secara ajaib tubuh Zeon kembali dapat digerakkan.

"Jangan sentuh jubah itu! Jangan pernah ada yang menyentuhnya! Atau aku...akan membunuhmu," ancamnya serius tepat menatap Zeon.

Zeon semakin berkerut bingung. Seserius itu Sang Raja mengancamnya hanya gara-gara jubah?
"Sepertinya Yang Mulia butuh beristirahat, baiklah...hamba pamit keluar!" Zeon tersenyum geli, rasa proteksi Zarkan Tar terhadap jubahnya itu terlihat lucu. Ini pertama kali dia melihat ekspresi kekanakan seperti itu dari sosok Mahadiraja.

"Zeon!" panggil Zarkan Tar saat abdinya itu sudah mencapai pintu keluar.

"Hamba, Yang Mulia..."

"Aku ingin kau menyelidiki wanita dari desa Valla bernama Kanna dan ibunya. Aku ingin hasil secepatnya."

Zeon terbelalak kaget. Zarkan Tar menatap Zeon dengan sarkastik, "apa ada yang salah?"

"Tidak ada Yang Mulia, hamba akan menyelidikinya secepat mungkin." Zeon menahan senyumnya lalu secepatnya berbalik dan melangkah pergi.

Sesampainya di luar kediaman Sang Raja, Zeon membalikkan tubuhnya menatap pintu masuk yang berukiran rumit. Senyum lebar tak terlepas dari bibirnya saat kembali mengingat tingkah laku Sang Raja.

"Kanna...Kanna...musim semi tahun ini memang sangat berbeda, baiklah...mari kita lihat siapa gadis itu," ucapnya kemudian melanjutkan langkahnya kembali.

***
Sapuan angin keras memukul pintu rumah mungil yang di huni Liz. Pintu terjerembab terbuka lebar mengantarkan angin yang menerpa tubuh ringkih Liz. Dengan bertopang tongkatnya Liz menutupi wajah dari derasnya terjangan angin.

Suara tawa menggelegar masuk ke pendangarannya. Tawa yang sama dari orang yang sama. Liz tidak akan pernah melupakannya sama sekali.

Saat terjangan angin mereda, Liz membuka tangannya. Di halaman sana Ram menatapnya dengan angkuh. Liz perlahan berjalan sampai teras rumahnya. Masih mengamati jumlah sekelompok berjubah putih itu, ia kemudian menyunggingkan senyum datar.

"Sungguh sangat menyanjungku." Liz menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Untuk membunuhku saja kau harus menyertakan anjing-anjing pulau suci ini, Ram." Liz terkekeh. Sorot matanya kini tak bisa ditebak.

"Kami ingin berpesta, Liz. Jika kau tak keberatan, sajikan hidangan terbaik untuk kami."

"Tak ada pesta untuk tamu yang tak di undang Ram. Sebagai anjing pulau suci, kau hanya manusia rendah. Aku tak ingin menjamumu dengan baik," ucap Liz sambil mengangkat tongkatnya.

'DRRRAAKK'
'DRRRAAKK'
'DRRRAAKK'
'DRRRAAKK'
'DRRRAAKK'

Tanah di sekeliling halaman rumah bergetar. Muncul sosok-sosok manusia tanah yang menyerupai manusia. Kendali tongkat Liz membuat manusia-manusia tanah itu bersiap untuk berperang.

"Trik yang sama tak akan pernah mempan untukku, Liz!" Ram menjejakkan kakinya lalu melompat dan melayang ke atas. Diangkatnya kedua tangan melakukan gerakan memutar, sebuah bola api besar terbentuk di atas kepala Ram.

"Musnahkan!" raung Ram. Ia kemudian melemparkan bola api besar itu dengan sekali ayunan.

'DUUUAAMMM!'

Bola api besar meluluh lantakan manusia tanah buatan Liz dalam sejekap. Akan tetapi, tanah yang hancur lebur itu tiba-tiba kembali bangkit membentuk manusia tanah kembali. Kali ini di tubuh manusia tanah itu muncul suar-suar api.

Ram terbelalak. Ia kemudian memelototi Liz.

"Keparat! Kau menggunakan sihir milik Arneth? Aku tak akan mengijinkannya!"

"Kau tak berhak sama sekali mengucapkan nama Arneth dengan mulut khianatmu itu, Ram!" teriak Liz. Ia kemudian menjejakan kakinya dan meluncur terbang ke arah Ram.

Ram memelototi Liz dengan kebencian memuncak. Wanita di depannya ini sangat pucat, terlihat sekali tubuhnya sangat tidak sehat. Karena itu Ram meremehkannya. Namun, jika memang Liz menguasai kekuatan Arneth. Ram harus hati-hati melawannya.

"Aku tak mengijinkanmu memiliki kekuatan Arneth!"

"Begitupun aku, Ram! Arneth tak pernah mencintaimu, ia membencimu. Membencimu dari Valhalla sana. Bahkan jika kau ingin mengejarnya sampai Valhalla, aku tak akan pernah mengijinkanmu bertemu dengannya." Geram Liz menatap Ram dengan kebencian serupa.

"Liz....aku sangat ingin membunuhmu! Tak pernah seperti ini sebelumnya, mereka yang menghalangiku dan Arneth bersatu aku akan membunuhnya!" raung Ram.

Pria itu melompat dengan kepalan tinju mengarah ke Liz. Liz mengibaskan tongkatnya kemudian berputar menghindari serangan Ram.

Gerakan keduanya begitu lincah saling bertahan dan menyerang. Sama halnya dengan di bawah halaman sana. Para manusia tanah sedang menyerang kelompok berjubah putih yang datang bersama Ram.

Pergulatan hebat seakan membuat para lawan semakin gencar berniat memusnahkan musuh. Liz melihat para manusia tanahnya satu persatu musnah karena gelombang api dan angin dari sembilan orang pulau suci. Musnah dan kembali menjadi tanah biasa.

Liz bergerak melepasakan diri dari kungkungan tali api cambuk Ram. Bergerak bebas ia terbang menghindar ketika Ram kembali melayangkan pukulan bola api. Meleset, Ram kembali mengejar Liz.

Liz merasa terpojok. Ia menatap was-was ke arah hutan gelap, berharap Kanna tak kembali sekarang ini. Ia semakin kewalahan ketika melihat sembilan orang yang melawan para manusia tanah itu kini bergerak mengepungnya.

"Sungguh kumpulan para pengecut." Liz mendecih kemudian melemparkan tongkatnya.

Tongkat Liz bergetar hebat, suar cahaya biru pekat melingkupi getaran itu.

'DUUAARRR!'

Tongkat Liz meledak dengan api biru yang mengeluarkan gelombang tinggi.

Ram dan sembilan pengikutnya menutupi wajah mereka dengan jubah suci yang mereka kenakan untuk menghalangi kekuatan tongkat tersebut.

'KHAAAKKK!'
'KHAAAKKK!'
'KHAAAKKK!'

Ram terbelalak, ia kemudian dengan cepat membuka jubah yang menutupi wajahnya untuk melihat burung besar yang terbang di hadapannya. Matanya menyorotkan ketidak percayaan. Phoenix biru adalah jiwa Arneth, bagaimana mungkin Liz memilikinya.

"Phoenix biru..." lirihnya memandang burung biru besar yang kini menatapnya seakan seekor buruan.

"Menghindar!!!" teriak Ram dengan keras ketika sang phoenix bergerak menyerangnya.

Liz memejamkan matanya merapalkan mantra. Mantra sihir milik Arneth. Liz tak memiliki kekuatan api. Elemen sihirnya adalah tanah. Mengeluarkan phoenix biru artinya ia siap menjual jiwanya pada alam semesta untuk dimusnahkan.

Pertahanan terakhir. Tak mengapa jika ia akan mati. Asalkan mereka tak pernah menemukan Kanna.

"Liz! Aku akan membunuhmu! Berani-beraninya kau menyentuh sihir Arneth! Aku bersumpah akan membunuhmu!" teriak Ram.

Ia kemudian melemparkan belatinya yang kemudian berubah menjadi singa api. Sang singa api bergerak ke arah phoenix biru mengulurkan cakarnya membalas serangan.

Ram menatap marah pada Liz yang kini memejamkan matanya. Sudut bibir Liz mengalir darah hitam pekat. Rasa sakit mengoyak organ dalam tubuhnya. Tak ada lagi jalan kembali. Liz menyadari akhir hidupnya sendiri.

Pertarungan phoenix biru dan singa api semakin panas. Singa api terluka di beberapa bagian. Pukulan dan cakarannya terlihat melemah sehingga dominasi phoenix biru semakin kuat.

Ram menatap tak percaya bahwa singa apinya kewalahan. Ia memandang Liz yang masih merapalkan mantra-mantra penguat phoenix biru. Sudut bibir Ram berkedut dengan kemarahan yang tak terukur.

Ram menatap salah satu anak buahnya sebagai tanda perintah. Anggukan Ram membuat anak buahnya itu menatap Liz lalu bergerak menuju tempat Liz berdiri. Sebilah pedang tersembunyi tiba-tiba berada di tangannya.

Liz masih merapalkan mantranya ketika rasa sakit menerjang dadanya dengan kuat. Ia membuka matanya dengan rasa tak percaya ketika melihat salah satu dari orang-orang pulau suci ini menghujamkan sebilah pedang ke dadanya dengan wajah datar.

Ram tertawa terbahak-bahak ketika Liz memuntahkan darah hitam semakin banyak akibat tusukan pedang itu.

Phonix biru tiba-tiba tersabet cakaran singa api. Kekuatan burung biru itu melemah karena mantra Liz terputus. Teriakan Sang Phoenix biru begitu nyaring menyedihkan. Seakan menceritakan akhir hidup seseorang.

Liz menatap phoenix biru dengan pandangan buram. Dan pandangannya semakin memburam saat singa api melayangkan kedua cakarnya ke bagian dada phoenix biru. Sang phoenix berteriak keras sebelum kemudian menghilang tanpa jejak.

Tubuh Liz terasa berat. Kekuatan sihirnya hilang. Dari ketinggian langit, tubuh yang tak lagi mempunyai kekuatan itu jatuh melayang. Matanya terpejam seakan melepaskan semua rasa sakit yang tak bisa lagi ia tahan.

'GRREEBB!'

Dua tangan hangat menangkap tubuh Liz saat tubuh ringkih dan pucat tak bertenaga hampir menyentuh tanah.

Mata Ben berkaca-kaca ketika melihat betapa pucatnya Liz. Ia menatap ke atas langit, di mana sepuluh orang berjubah putih masih melayang-layang dan menatapnya dengan congkak.

"Pengecut! Kalian sungguh pengecut!" teriak Ben dengan napas memburu. Hatinya sangat sakit melihat Liz yang kini tak berdaya. Aura kehidupan dalam tubuh Liz semakin menipis. Tangan Ben gemetar memeluk Liz.

Kanna terbelalak tak percaya saat melihat tubuh ibunya melayang jatuh dari ketinggian. Ia ingin berlari menghampirinya. Namun entah kenapa tubuhnya tak bisa ia gerakkan sesuai yang ia inginkan.

Setiba mereka di garis pekarangan rumah, Paman Ben tiba-tiba berhenti dan mendorong Kanna ke rimbunan semak-semak. Tanpa persetujuan Kanna pria paruh baya itu mengeluarkan sihir dari tangannya lalu mengarahkan padanya. Tiba-tiba Kanna jatuh telentang dan tak bisa berkutik. Menjeritpun ia tak bisa seakan seluruh tubuhnya sudah tak bisa ia kontrol lagi. Ia hanya bisa memiringkan kepalanya menatap pemandangan suram di sana.

'Ibu...'

Mata Kanna berkaca-kaca melihat pucatnya Liz. Darah hitam menodai pipi dan leher ringkih ibunya. Hati Kanna sangat sakit. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kanna semakin terbelalak ngeri saat sepuluh orang berjubah putih yang terlihat begitu suci itu turun dan mengepung Paman Ben dan ibunya.

Sepuluh orang dengan sepuluh senjata yang terhunus dan diarahkan pada dua orang paruh baya yang berada di tengah-tengah.

"Ben. Jadi kau yang menyelamatkan Liz, huhh pantas aku tak bisa mencium jejaknya dengan benar. Kau menutupi dengan segel ruang hampamu."

"Ram! kau benar-benar pengkhianat! Kau menggiring Arneth pada kematiannya, kau juga membunuh Liz dengan begitu brutal. Tak pernah kutemukan hal yang menjijikan kecuali dirimu Ram."

"Tutup mulutmu! Orang mati tak pantas berbicara! Serang....!"

Kesepuluh jubah putih itu bergerak maju menyerang dengan senjata yang kini mengeluarkan cahaya. Ben meletakkan tubuh Liz yang sudah tak berdaya dengan lembut di atas rerumputan.

Ia bangkit lalu menatap Ram. 17 tahun lalu ketika ia menemukan Liz, tubuh wanita itu hampir tak bisa bertahan lagi. Seluruh organ dalamnya terluka parah. Racun api menyebar ke setiap titik pembuluh darahnya. Dan pelaku tunggal itu ada di depannya.

Ben mengangkat kedua tangannya, suara desau angin mengirama saat kedua tangan Ben membentuk pola air. Sebuah tongkat Kristal terbentuk di tangannya dengan sempurna.

Bibir Ram tersungging senyum menjijikkan. Kepalanya miring bergetar seakan menahan sesuatu yang bergejolak dari dalam tubuhnya. Getaran itu semakin lama semakin hebat. Tubuh Ram tiba-tiba membesar dengan otot-otot hitam yang mengelilingi garis kulitnya. Bola mata hitam Ram berubah menjadi semerah darah, giginya bergelutuk kemudian tumbuh menjadi taring-taring seperti binatang buas.

'GRROOOAARR!'
'GRROOOAARR!'
'GRROOOAARR!'

Ram secepat kilat menerjang Ben yang kini bergerak melayang. Ben memutar tongkatnya lalu mengarahkan ke bagian punggung. Ram menjerit saat tongkat itu memukul punggungnya. Gelombang air besar keluar mendorong Ram hingga tersungkur. Hal itu menyebabkan Ram semakin beringas saat air yang Ben keluarkan terasa perih menyentuh kulitnya.

"Kau bahkan menggadaikan jiwamu dengan meminum ramuan terkutuk," desis Ben. Ia kembali melaju menyerang Ram dengan kiriman sapuan gelombang air. Sembilan orang yang merupakan anak buah Ram hanya bisa menonton karena gelombang yang Ben ciptakan merupakan gelombang penghancur jiwa. Terkena sedikit jiwa mereka bisa terserap.

'GRRROOOAARR'

Ram meraung. Raungan yang menyebabkan tubuhnya diselimuti api.

Ben menatap Ram dengan waspada. Api yang Ram keluarkan bukan api biasa. Sama halnya Ben mempunyai gelombang penghancur jiwa. Api Ram merupakan api pembakar kekuatan sihir. Terkena api itu akan melenyapkan kekuatan Ben.

Ram tertawa terbahak-bahak. Lengkingannya membuat bulu kuduk merinding. Kanna yang menyaksikan pertarungan itu semakin mengutuk dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Ram dan Ben kembali maju saling serang. Pukulan tongkat Ben tak bisa berfungsi karena api tubuh Ram kembali mematahkan sihirnya. Napas Ben semakin berat. Ia begitu fokus menatap Ram sampai tak sadar serangan pukulan sihir dari arah belakang mematahkan tulang punggungnya.

'SREETTT!'

Sulur tali dari sembilan orang mengikat tubuh Ben. Ben terhenyak saat kekuatan sihirnya tak bisa lagi ia gunakan.

Ram beringsut mundur, perlahan tubuhnya kembali seperti sedia kala. Ia memandang Ben dengan sorot kemenangan. Matanya yang diliputi dendam semakin menjanjikan kekejaman.

"Sungguh suatu sia-sia," ejek Ram. pria itu mendekati Ben yang meronta-ronta berusaha melepaskan kekangan tali. Melihat hal itu, Ram tertawa seakan-akan rontaan Ben adalah hal terlucu yang ia lihat.

"Kau bersedia mati untuk gadis lemah seperti Liz, Ben. Mengukur kekuatanmu, aku yakin Ratu Mazmar mau merekrutmu menjadi salah satu prajuritnya." Ram terkekeh layaknya orang gila. Sedangkan Ben memelototinya.

"Ben...kau sangat mencintai Liz kan? Aku tahu dulu kau lah yang selalu menguntit kemanapun Liz pergi. Karena itu, sebagai penghargaan untuk rasa cintamu itu. Aku akan mengirim kalian bersama-sama membusuk di neraka."

Ram tertawa terbahak-bahak. Ia bertepuk tangan seakan idenya adalah ide yang paling cemerlang. Lalu ia terdiam. Membalikkan badan, ia mengamati Liz yang masih tak sadarkan diri.

"Jangan berani mendekatinya! Jangan menyentuhnya Ram!" raung Ben saat melihat Ram menatap Liz.

Ram menoleh kembali pada Ben. Sorot gilanya membuat Ben ingin menerjang dan menghabisi Ram.
"Kau benar! Sampai aku memotong-motong tubuhnya pun Liz tak akan mungkin berbicara. Jadi, biar kau saja yang harus menjawab." Ram mendekat.

"Dimana anak Arneth?" tanyanya lugas. Ben mendelik kemudian membuang mukanya.

"Cih! Kau sama sulitnya dengan Liz. Mengapa kalian suka sekali mempersulit diri sendiri?"

"Sampai kami mati pun kau tak akan pernah mengetahui anak itu, Ram!" desis Ben dengan sorot menantang.

"KAU..."

***

Kanna meneteskan air matanya. Rasa tak berdaya meliputi seluruh relung hati. Seandainya ia bisa menolong ibu dan Paman Ben. Seandainya ia mempunyai kekuatan sihir sedikit saja. Setidaknya jika mereka mati, ia bisa mengikuti kematian mereka.

Ia menyadari paman Ben menyihirnya seperti ini untuk menolong hudup Kanna. Dan itu semakin membuat hati Kanna perih.

Didepan matanya Kanna melihat paman Ben diseret dengan tali yang membelit tubuhnya. Sedangkan tubuh Liz diinjak oleh pria jahat itu. Paman Ben menjerit meronta-ronta saat belati yang berada di tangan pria bernama Ram di arahkan pada dada ibunya.

Kanna menjerit dalam hati. Kecemasan yang membuatnya gila. Matanya terbelalak saat pria bernama Ram itu mengeksekusi tubuh ibunya.

Raungan Paman Ben memecah malam tetapi tak bisa menghentikan perbuatan Ram. Kanna menjerit dalam hatinya saat belati itu mengoyak dada ibunya, semburan darah dari belahan belati itu menyembur pada wajah pria bernama Ram. bukannya jijik pria itu tertawa seolah-olah suatu kesenangan yang tiada tara.

Lelehan air mata Kanna semakin deras. Meski jeritannya tak bisa terdengar ia merasa tenggorakkannya sakit. Bahkan seluruh tubuhnya pun sakit.

Tangan pria bernama Ram itu merogoh masuk ke celah belahan belati. Kanna melihat tangan itu seolah-olah mengaduk-aduk dalam tubuh ibunya. Paman Ben menjerit-jerit dengan penuh ancaman seakan-akan ia ingin menerjang. Namun tali yang mengekang tubuhnya membuatnya tak berdaya sama sekali.

Kanna menangis dengan tangisan memilukan. Mengapa orang sekejam ini menyakiti ibunya?

"AAARGGGGHHH!" Kanna menjerit dalam hati. Sakit, ia merasakan kesakitan itu.

Kanna melihat tangan Ram kembali dicabut dengan segumpal organ yang penuh darah merah milik ibunya. Air matanya tak kuasa lagi berderai begitu deras.

"TIDAAKKK!!!" Kanna menjerit dengan mata melotot marah menatap pria jahat itu.

Pria bernama Ram itu tertawa terbahak-bahak dengan jantung Liz di telapak tangan kirinya. Lalu tanpa aba-aba Ram melayangkan tinju penuh api pada ulu hati Ben. Ben terbatuk dengan darah hitam menggelegak keluar.

Tak cukup hanya itu, seperti tak puas melihat Ben hanya memuntahkan darah, pria bernama Ram meninju kembali dadanya. Seketika suar api melingkupi Ben membakar tubuhnya dengan api yang begitu besar.

Pria bernama Ram itu tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk-nunjuk Ben dan Liz yang kini tak lagi bisa bergerak.

Gigi Kanna bergelutuk menahan kebencian. Ia tatap wajah pria bernama Ram itu dengan mata memerah, kemudian beralih satu persatu pada wajah sembilan orang yang membantu mengungkung Paman Ben.

"Kalian...kalian...aku bersumpah! Aku akan meminta bayaran atas nyawa-nyawa mereka."

"Ibu! Paman! Aku berjanji, aku akan membunuh dan mengirim mereka ke neraka paling dalam. Aku akan mencabut setiap jantung mereka untuk kupersembahkan pada kalian."

Kanna menatap ke langit malam yang begitu gelap.

"Wahai Alam! Keadilan apa yang bisa kau berikan padaku? Kau sudah membuatku menjadi manusia tanpa daya, lalu kau menakdirkan kematian mengerikan pada kedua orang yang kusayangi. Begitu senangkah kau melihat nasib burukku?" mata Kanna memelototi langit seolah-olah langit kini senang melihat hidupnya.

"Tunggu! Tunggulah! Aku akan menghancurkan semuanya, bahkan jika kau, Hai Alam semesta! Tak mengijinkanku membalas semuanya, aku, Kanna! Aku akan menghancurkan dunia ini bagaimanapun caranya!"

Mata Kanna nyalang menatap ke langit. Jejak kepolosan terhapus dari sorot matanya. Menyisakan pandangan penuh dendam dan kebencian pada seluruh alam semesta.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro