Part 23. Badai (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raja Trev menghela napas berat ketika Ken mengakhiri ceritanya. Cerita mengenai kehidupan Liz dan Ben. Rasa sesal merasup hingga ke dalam hati. Seandainya hatinya tidak lemah karena kehilangan Arneth, barangkali waktu itu pikirannya bisa terbuka untuk mencari fakta sebenarnya.

“Ben beberapa kali menemuiku, terakhir kali menemuiku karena ia ingin meminang Liz. Namun, setelah itu tak ada kabar darinya lagi.”

“Kami berdua beberapa kali ke Pulau Suci untuk memberitahukan tentang keberadaan Liz dan anak Anda, tetapi orang-orang Ratu Mazmar terus menerus menghalangi kami. Kami bahkan pernah di penjara, sampai kemudian Liz datang dan membebaskan kami. Sejak itu, kami berjanji tak akan datang lagi ke Pulau Suci.”

“Yang Mulia, selama ini, Liz lah yang merawat Sang Putri. Dia terlalu banyak menderita sampai akhir hidupnya.”

Kepalan tangan Sang Raja semakin dalam. Mengapa ia mempercayai cerita Mazmar? Padahal dia sendiri melihat kebencian Mazmar pada Arneth. Mengapa ia tak menyadari semua ini dari awal? Penyesalan ini sangat besar, hingga banyak menelan korban karena kelemahannya.

“Aku akan mengambil semua utang-utang Mazmar pada Ben dan Liz. Ken, bergabunglah denganku! Kami akan menuju Samhian. Samhian sedang diburu dari berbagai sisi, bukan saja karena putriku berada di sana. Namun, karena musuh kita pun sedang mengadakan pesta pora.”

“Yang Mulia, kami akan bergabung dengan Anda. Tanpa Anda minta, kami akan menuju Samhian.”

Raja Trev mengangguk dengan senyum bangga. Tangannya menepuk bahu Ken dengan penuh terimakasih. Menarik napas pelan, ia kembali bertanya, “Dapatkah kau katakan? Siapa Nama Putriku?”

Ken tersenyum mengangguk, “Dia bernama Kanna, Kanna yang berarti bunga kehidupan.”

***

Langit gelap seakan tetap pada pendiriannya. Tak ada sama sekali cahaya matahari. Seakan memang Samhian tercipta untuk kegelapan.

Istana saat ini dikepung dari berbagai sisi. Bahkan negara Ragda dan Rushka kini datang dan bergabung dengan Valia. Pasukan mereka berada di tepi barat. Teluk-teluk Samhian pun kini disinggahi kapal perang dari Zenev, negara kecil yang selama ini diam akhirnya menunjukan taring dengan bergabung bersama Valia.

Beberapa komandan perang Samhian berkumpul di ruangan dengan peta Samhian yang telah ditandai bendera merah, putih, biru dan kuning. Setiap bendera diberi nama negara masing-masing. Merah untuk Samhian, putih untuk Ragda, biru untuk Valia, dan kuning untuk Zenev.

“Benteng distrik timur telah dikuasai Ragda, komandan Thasamet telah tewas.” Heragold memberi laporan.

“Itu artinya benteng yang masih bertahan hanya utara. Benteng Barat telah membelot, dan sekarang pasukan angkatan laut Zenev berusaha menyerbu wilayah utara.” Zeon menunjuk bendera kuning bertuliskan Zenev.

Zarkan Tar menatap satu persatu bendera dalam peta tersebut. ia kemudian memandang bendera berwarna kuning. Wajahnya datar seakan tanpa emosi menggebu-gebu. Namun, siapapun yang mengenal Zarkan Tar akan tahu bahwa keadaannya saat ini sedang tak bisa di ganggu.

“Biarkan mereka masuk ke wilayah utara.” Zarkan Tar memajukan bendera kuning ke peta bergambar benteng utara.

“Yang Mulia, mengapa?”

“Memancing ikan besar, tentu harus dengan umpan besar.”

Zeon dan Zarkan Tar saling berpandangan. Zeon menganggukan kepala, ia tiba-tiba mengerti dengan rencana Sang Mahadiraja. Mereka berdua lalu menatap kapten angkatan laut Samhian, Vashka.

“Izinkan tamu masuk dan berikan jamuan makan malam. Zenev kuat dalam bertarung di laut, tapi mereka lemah bertarung di darat.” Zarkan Tar memindahkan bendera merah ke sebelah bendera kuning.

Sorot dua bola mata emas itu mendingin dengan tajam. Jemarinya mengelus bendera kuning, saat ia melepaskan elusannya api tiba-tiba membakar bendera bertuliskan Zenev tersebut.

“Hancurkan hingga mereka tahu apa arti kesia-siaan.”

*** 

Sarusa, Raja Valia mendorong dadu bertuliskan Zenev. Perlahan kedua matanya  memandang komandan pasukan laut Zenev. Keangkuhannya terlihat dari sorot mata biru pria itu. Bibirnya mengatup dengan keras seakan kemarahan dalam dirinya tak bisa ia kontrol lagi.

“Kau menyuruh kami menyerang utara saat ini juga?” Komandan Pilhesa dari Zanev berkata dengan tak percaya.

“Utara merupakan benteng pertahanan terakhir. Zarkan Tar tak mungkin menolong wilayah tersebut.”

“Tapi, Yang Mulia ….”

“Tunjukan jika kalian memang ingin bergabung dengan pihak kami!” Sarusa menggeram. Sorot matanya sangat kejam. Kematian Halius membuat kepalanya dipenuhi rencana-rencana kejahatan. Tak sabar rasanya ingin memusnahkan Samhian.

“Jika benteng utara jatuh di tangan kami, apakah kau berjanji akan memberikan wilayah tersebut pada kami?”

“Tentu! Benteng itu milikmu.” Sarusa berkata dengan yakin.

Mata pria paruh baya itu menatap peta negara Samhian. Beberapa titik daerah telah ia tandai sebagai daerah taklukan. Hanya sepertiga Samhian lagi yang belum masuk ke dalam taklukannya. Sebelah timur telah jatuh dan Rushka sudah mendudukinya. Artinya istana utama nanti akan masuk ke dalam wilayah taklukan Ragda. Ia tak bisa menyerahkan istana utama untuk Rushka maupun Zenev.

“Kami akan berangkat sesuai aturan darimu, tapi kau harus menepati janjimu. Untuk kebaikan kita sebagai sekutu, istana utama harus diserang bersama-sama.”

“Kau bisa yakin dengan hal itu.”

“Baiklah! Aku percaya padamu, Yang Mulia Sarusa!”

Pilhesa kemudian pamit dan segera keluar dari tenda ruang pertemuan. Suasana hening kembali. Sarusa duduk di kursi singgasananya dengan mata yang masih fokus menatap peta.

Udara yang jatuh berubah menjadi dingin membuatnya mengawasi sekitar tenda dengan was-was. Tanda-tanda yang ia rasakan ini selalu akan menghadirkan sosok misterius yang berniat menolongnya untuk menaklukan Samhian. Tebakannya benar, sekelebat kabut putih keabuan kemudian membentuk sosok manusia berjubah kelabu. Seorang pria tampan dengan wajah yang sangat dingin.

“Hamba menyambut kedatangan Anda, Yang Mulia Sautesh.” Sarusa berjalan maju dan memberi hormat. Sautesh tak menjawab hormatnya tapi langsung menuju ke arah peta yang masih terbuka di meja.

“Kau berniat menaklukan utara?”

“Benar, sisi barat, selatan dan timur telah kami taklukan. Setelah utara takluk. Kami akan bersama-sama menyerang Istana utama.”

“Jangan gegabah! Apa kau tak sadar mengapa begitu mudah Zarkan Tar melepaskan tiga benteng pada kalian?”

“Bukankah itu karena pasukan mereka lemah?”

Sautesh menarik bibirnya membentuk senyum sinis. “Jangan bodoh. Zarkan Tar dan pasukannya tidak semudah itu melepaskan daerah kekuasaan.”

“Lalu? Apa maksud mereka takluk? Kami bahkan mengejar pasukan mereka yang berusaha kabur.” Dengan bangga Sarusa menceritakan prestasi pasukan-pasukan yang telah merebut benteng-benteng Samhian.

“Benarkah? Kau telah melihat tahanan itu?”

“Tentu saja!”

Sautesh terdiam, tetapi pikirannya semakin berkelana jauh. Sangat janggal pasukan Samhian menyerah begitu saja. Ia sangat tidak yakin, entah mengapa perasaannya tidak puas dengan hasil ini.

“Yang Mulia, Anda bisa tenang dengan semua rencanaku. Kami pasti akan merebut kemenangan ini.”

“Ehm … semoga memang semua seperti apa yang kau katakan.” Sautesh berbalik kemudian menghilang kembali.

Sarusa memikirkan keraguan Sautesh. Namun, kesombongan manusia akan kemenangan yang di depan mata mengaburkan semua keraguan itu. Ia sangat yakin, bahwa seluruh pasukan gabungan tiga kerajaan telah memperoleh kemenangan besar. Tak ada kata ragu, ia yakin sekali Samhian akan runtuh.

***

‘SSLLLUURRUUPPP’

‘SSLLLUURRUUPPP’

‘SSLLLUURRUUPPP’

‘SSLLLUURRUUPPP’

Ratu Mazmar  terperangah melihat Raja Yaves yang tengah mengunyah organ-organ dalam pasukan yang sengaja ia bunuh. Pria itu penuh darah di mulut dan tangannya. Jenggotnya yang tebal kini ikut berwana merah. Tak peduli siapa yang ada di dekatnya, Yaves hanya fokus mengunyah organ-organ tersebut.

“Apa yang terjadi?” Sang Ratu bergumam lirih.

Di depan matanya, pria yang ia cintai berkali-kali merobek tubuh para prajurit nya sendiri. Terlihat bahagia saat mendapatkan jantung, paru dan lainnya. Tak sadar bahwa tindakannya tersebut telah menakuti Ratu Mazmar.

“Yaves!”

“Yaves!”

“YAVES!”

Raja Yaves menghentikan kegiatannya yang tengah mengunyah sebuah jantung . Kepalanya menengok dengan mata memelototi si pengganggu. Terlihat sekali bahwa ia terganggu dengan adanya wanita itu.

“Kau menggangguku!”

“Yaves, mengapa kau berubah? Mengapa kau seperti ini?”

“Enyah! Enyah kau dari hadapanku!”

“Yaves, mengapa ….”

“GGHHHAAAAA!” teriakan Yaves membuat Mazmar berjingkat mundur. Mata itu semakin marah dan melototinya dengan janji kekejaman.

“Enyah atau kau akan menjadi makananku berikutnya.” Yaves menggeram. Sang Ratu menggelengkan kepalanya seolah tak percaya.

Berusaha menormalkan degup jantungnya, Sang Ratu menarik napas. Matanya telah berkaca-kaca, ia sekali lagi menatap Sang kekasih hati sebelum berbalik dan keluar dari tenda.

“Memuakan! Pengganggu!” geraman itu masih terdengar ketika Ratu Mazmar telah berada diluar.

Air matanya menetes menjadi isak tangis. Apa yang terjadi? Apa yang salah? Mengapa Yaves berubah menjadi menakutkan seperti itu?

Inikah konsekuensi yang dimaksudkan Dewa Atheras? Benarkah Yaves menjadi sosok lain? Namun, mengapa? Mengapa semua menjadi seperti ini?

Hal ini tak pernah ada dalam pikirannya. Ia memimpikan sosok Yaves yang dulu. Penyayang dan lembut terhadapnya. Kembalinya Yaves entah mengapa seperti tidak mengenali Mazmar sama sekali.

“Ibu ….” Panggilan suara gadis yang sangat dikenal masuk ke pendengarannya. Ratu Mazmar menoleh dan melihat Yeva tengah berlari ke arahnya.

Tangannya terulur menyambut Yeva. Sang Putri tersenyum bahagia lalu memeluknya dengan erat.

“Aku merindukanmu, Bu!”

“Aku tahu, Ibu juga merindukanmu. Kau baik-baik saja?”

“Bagaimana mungkin baik-baik saja. Dendamku belum usai, hatiku masih sakit.”

“Ehm ….”

“Zarkan Tar mengkhianatiku, hatiku hancur karena dia. Bu, kita harus membuatnya menderita! Juga wanita pelacur itu, wanita yang tak diketahui asal-usulnya. Ia juga harus menderita!”

“Ya! Ya! Kita akan membalas semuanya, Sayang!”

Yeva akan kembali mengadu saat suara pintu tenda terbuka. Sosok pria yang terlihat masih muda keluar dengan bercak-bercak darah di pakaiannya. Ia menyeringai melihat Yeva dan Mazmar berpelukan.

“Wah, wah, wah … bukankah ini anakku?” suaranya serak dan mengerikan. Yeva beringsut semakin memeluk ibunya. Sang Ratu pun refleks menyembunyikan Yeva ke belakang menghindari tatapan Yaves.

“Siapa dia, Bu?”

“Aku akan menjelaskannya nanti, Yeva. Cepatlah pergi!” setengah mendorong, Ratu Mazmar melepaskan Yeva. Gadis itu tak ingin berdekatan dengan pria asing yang tiba-tiba datang, segera saja ia pergi ke tenda ibunya.

“Kau tak ingin mengenalkan ayahnya sendiri?”

“Tidak sampai kau menormalkan dirimu!”

Yaves terkekeh, ia kemudian membelai wajah Mazmar. Darah teroles di pipi putih itu merusak keanggunan Sang Ratu.

“Kau membangkitkanku karena menginginkan kekuatanku bukan? Hanya dengan memakan organ manusia kekuatanku akan bangkit. Mazmar, seharusnya kau mengenal siapa diriku.”

“Kau tidak seperti ini, Yaves. Kau adalah pria lembut yang berani berbuat apapun untukku. Aku membangkitkanmu karena aku mencintaimu, tak peduli kau lemah atau cacat, aku ingin kau tetap bersamaku.”

Yaves tertawa terbahak-bahak. Tawanya membuat Mazmar semakin tak mengerti. Ia sangat tidak mengenali pria di depannya ini.

“Mazmar! Kuberitahu sesuatu, kehidupanku yang lalu hanya untuk kekuasaan besar. Aku ingin menjadi seorang Mahadiraja. Aku mendekatimu kembali untuk mendapatkan pasukan Pulau Suci. Pada akhirnya, aku mendapatkan hatimu dan itu sangat memudahkanku. Kau, hanyalah pion untukku.” Pria itu terkekeh menatap air mata yang mengalir dari dua kelopak mata berwarna hijau.

“Tak ada yang utama selain kekuatan dan kekuasaan. Mazmar, kau tak pernah berubah. Tetap menjadi wanita bodoh yang selalu kutipu hahahahaha ….”

Yaves tertawa terbahak-bahak sambil meninggalkan Mazmar yang termangu dengan wajah penuh air mata.

Apa ini? Apa kah ini mimpi? Bisakah ia percaya bahwa ini sekedar mimpi buruk?

Dua bola mata hijau Mazmar mengikuti kepergian Yaves yang kian menjauh. Tak lagi kuat menopang kekuatan tubuh, Ia kemudian tersungkur. Air mata semakin banyak mengaliri pipi sampai ke dagu. Sungguh, ia tak ingin percaya dengan semua yang terjadi saat ini.

***

Pasukan Zenev melompati kapal-kapal mendarat di beberapa bagian daratan. Mereka membawa senjata masing-masing. Dengan langkah tegap serentak berlari menyerbu pangkalan laut Samhian. Serangan mendadak membuat beberapa pasukan Samhian yang tak siap menjadi terdesak. Mereka semakin maju menyerang hingga ke pintu gerbang benteng utara.

Cuaca wilayah utara sangat dingin, tetapi bagi pasukan Zanev itu tak seberapa. Wilayah Zenev selalu tertutup salju abadi. Sehingga cuaca dingin di Samhian, bukanlah suatu halangan berat.

Pertarungan telah memasuki gerbang benteng yang telah didobrak paksa. Semua pasukan benteng utara berjibaku dengan senjata-senjata pertahanan. Namun, apa daya. Pasukan Zenev menyerang dari segala sisi. Pada akhirnya mereka harus menyerah.

Komandan utama Zenev, Pilhesa tertawa dengan sangat congkak. Ia kemudian menanamkan bendera negara Zenev di atas benteng utara dengan mencabut paksa bendera Samhian. Tangannya mengibarkan bendera Samhian ke arah anak-anak buahnya. Sontak sorak sorai pasukan Zenev bereuphoria menyambut kemenangan mereka. Berwajah sinis komandan Pilhesa menatap bendera berlambang naga merah itu, lalu dengan keangkuhannya ia menginjak-injak sebelum membuangnya sembarangan ke luar benteng.

Bendera tersebut berkibar melayang dari atas menuju ke bawah. Angin dingin bertiup kencang membuat Sang Bendera Samhian berputar-putar. Ketika bendera tersebut berjarak beberapa kaki lagi jatuh ke bawah, sebuah tangan menangkapnya dengan cepat.

Dua bola mata emas menatap bendera berlambang naga merah itu dengan sorot yang sangat dingin. Perlahan kepalanya mendongak menatap komandan Pilhesa yang tengah bersorak ria dengan para pasukan Zenev yang kini berkumpul di lapangan benteng.

“Zeon,” ia berucap dengan pelan.

Zeon yang tepat berada di belakangnya mengangguk kemudian membalikkan tubuhnya pergi untuk melaksanakan perintah.

Euphoria sorakan-sorakan pasukan Zenev masih terdengar nyaring dan riang. Mereka memasuki halaman benteng dan menuju ruangan-ruangan untuk menjarah berbagai barang yang bisa mereka jarah. Senjata, emas, perak, permata, pakaian, apapun yang ada di dalam sana tak segan-segan mereka ambil semuanya.

Layaknya hewan kelaparan, bahkan area dapur pun mereka masuki dan begitu tergesa-gesa menyantap apapun yang dilihatnya.

Nyanyi-nyanyian lagu kebangsaan Zenev koor serempak mereka nyanyikan. Seakan ini adalah final dan keyakinan mereka bahwa kemenangan ini adalah milik Zenev.

“Et su, Et su, Barahan san es ta es ta va. Rum rum gah barahan ta ga va va es parh!” sorak nyanyian terus menerus berkumandang indah. Dendang yang bahkan terdengar hingga keluar benteng.

Sorak nyanyian kebahagiaan itu masih berkumandang ketika suara ledakan besar terdengar bersahut-sahutan. Sampai kemudian seorang penjaga yang diperintahkan untuk menjaga atas benteng melihat dari arah laut kepulan asap hitam membumbung tinggi. Ia lalu meniup terompet tanda peringatan.

Suara nyanyian berhenti. Mereka yang sedang menikmati makanan pun langsung berdiri dengan mulut yang masih dipenuhi makanan.

“Apa? Apakah ada serangan? Bukankah kita telah menaklukan benteng ini?”

Riuh pertanyaan menggantikan nyanyian sebelumnya. Berbondong-bondong mereka akhirnya kembali keluar dengan kepanikan.

“Apa yang terjadi?” seluruh pertanyaan dari setiap prajurit.

“Arah laut ada asap hitam membumbung tinggi.”

“Apa?”

“Ini tidak mungkin mereka menyerang kita begitu cepat. Benteng ini milik kita!”

Masih dalam kasak-kusuk antar prajurit. Tiba-tiba suara derap langkah keras menggetarkan tembok-tembok benteng. Tak sampai mereka menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba seluruh sisi-sisi atas tembok telah siaga pasukan pemanah Samhian.

“Apa? Mereka? Bagaimana mungkin?”

Suara ledakan kembali terdengar. Pintu benteng meledak dan potongan pintu tersebut berhamburan mengenai prajurit. Tak cukup itu, tiba-tiba seseorang terbang melayang lalu menembakan anak panah ke salah satu prajurit.

Aba-aba penanda dari Zeon adalah teriakan pasukan Zenev. Mendengar teriakan itu seluruh pasukan pemanah Samhian langsung menarik kekang busur dan serentak melepaskan anak panah.

Kocar kacir pasukan Zenev saling berlindung dari anak panah. Bahkan ketika mereka membentuk manuver-manuver perlawanan tak ada yang bisa menghindari pasukan pemanah Samhian. Satu persatu mereka menjadi tumpukan mayat yang menggunung.

Komandan Pilhesa gemetar. Kakinya bahkan tak bisa ia ajak untuk beranjak. Degup jantung kian berdetak kencang. Wajah Sang Komandan pucat pasi melihat ribuan pasukannya menjadi gunungan mayat di tengah-tengah halaman benteng. Ia masih mendengar sorak nyanyian kebangsaan mereka. Namun, tak selang berapa lama, nyanyian itu digantikan oleh jeritan-jeritan tak berdaya mereka.

“Z … Zarkan ….” Terbata ia berucap saat sosok berjubah emas memasuki gerbang benteng yang masih terbakar karena ledakan.

Komandan Pilhesa memundurkan langkahnya. Rasa takut kini membanjiri hati dan pikiran. Tak ia sangka, Sang Mahadiraja bahkan datang sendiri untuk melawannya. Ia berputar mencari sosok-sosok pasukan Zenev. Akan tetapi, tak ada segelintir tubuh pun yang masih bernapas. Kemanapun ia berjalan, selalu ia dapati tubuh-tubuh pasukan penuh anak panah.

“A,Ampun … ampuni aku!” Komandan Pilhesa bersandar ke tembok berusaha menopang tubuh. Saat sosok bermata emas itu semakin mendekat, tak sadar celananya basah terkena air seninya sendiri.

“Tidak, tidak! Ampuni aku, wahai Mahadiraja!” kepala Komandan Pilhesa menggeleng-geleng dengan keras. Ia benar-benar dicekam ketakutan.

2000 pasukan. Mereka musnah dalam sekejap. Mengapa ia tak memikirkan sebelumnya? Mengapa ia terlalu meremehkan Samhian? Bahkan gabungan dari berbagai negara pun mungkin tak akan bisa mengalahkan Samhian.

Rasa penyesalan menyelusup begitu dalam. Ia menyesal. Sangat menyesali semua hasutan yang ia iyakan. Seandainya ia tetap diam dan menolak. Zenev tak akan menyia-nyiakan 2000 pasukan untuk mati dalam sekejap.

“Ampun Yang Mulia. Ampuni Hamba!” tangis meluruhkan air mata Komandan Pilhesa. Rasa tak berdaya benar-benar meruntuhkan seluruh tulangnya. Ia bersimpuh memohon di bawah kaki sorot mata dingin Mahadiraja.

Ia merasa menjadi komandan yang gagal, yang tak bisa melindungi pasukan dan negaranya. Karena ketamakan akan kekuasaan. Ia telah mengorbankan seluruh pasukan dengan sia-sia.

Zarkan Tar sama sekali tak bergeming. Sorot matanya masih menatap Komandan Pilhesa dengan dingin. Saat itu juga Pilhesa mengerti. Zarkan Tar tak akan mau mengotori tangannya sendiri untuk membunuh manusia seperti dirinya.

Pilhesa menghunus pedang yang berada di pinggangnya. Ia kemudian menatap Zarkan Tar yang masih tetap begitu dingin dan tak tersentuh akan keadaan sekitar.

“Yang Mulia, mohon lepaskan Negara Zenev. Akulah yang bersalah. Raja Zenev tak pernah mengetahui rencanaku, biarkan aku ….”

“Kau menginjak bendera Samhian dengan penuh kesombongan. Haruskah aku menerima kompromimu?”

“Aku ….” Tercekat Pilhesa tak bisa berkata-kata lagi. Keangkuhannya benar-benar membawa bencana.

“Aku mengerti, Yang Mulia!” bisiknya lirih.

Zarkan Tar melihat Komandan besar Zenev mengangkat pedangnya. Pria itu gemetar dengan gurat tangis di wajah. Seandainya ia tak menerima ajakan Sarusa. Seandainya ia tak meremehkan kekuatan Zarkan Tar. Seandainya, dan banyak seandainya lain yang ingin ia ucapkan.

Ujung pedang bermata dua kini mendekati lehernya. Seakan tak rela ia harus mati, rasa ragu begitu terlihat.

Zeon tersenyum sinis. Dengan menjejakan kakinya ia melayang dan dengan kecepatan tak terukur pedang bersinar melayang dan menebas kepala Komandan Pilhesa. Darah berhamburan dari leher yang terpotong itu membasahi lantai benteng.

Tubuh komandan Pilhesa masih bergetar sebelum terjatuh mengalirkan darah merah hingga ke tumpukan pasukan-pasukannya.

Masih dengan ekspresi datar, Sang Mahadiraja melihat tubuh Pilhesa. Ia kemudian berbalik menatap Zeon, “Kecepatanmu berkurang, kau perlu berlatih lagi.”

Zeon terkekeh kemudian menganggukan kepalanya. Pria itu lalu berdiri di samping Zarkan Tar, “Kupikir akan sulit menaklukan Zenev.”

“Kau bercanda,” Zarkan Tar melangkahkan kakinya pergi diiringi Zeon, mereka bahkan melangkahi mayat Sang Komandan Zenev.

Setelah kepergian mereka berdua, api besar membumbung tinggi membakar gunungan mayat. Asapnya bahkan terlihat dari berbagai sisi-sisi Samhian. Sebuah peringatan besar. Bahwa satu negara telah runtuh di bawah kaki Zarkan Tar.

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro