14. Ayo Lakukan Itu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hazel merasa terkejut, seolah waktu berhenti sejenak di hadapannya. Ia merasa terjepit dan ingin melarikan diri dari situasi canggung yang melingkupinya, tetapi kakinya seperti terikat di tempat.

"Mustahil aku melakukan hal yang tidak pantas," ujar Hazel sambil berusaha menutupi getaran dalam suaranya. "Permintaan Anda sangat merendahkan."

Rainhard memperlihatkan senyum miring yang mengejek. "Apakah kau merasa takut pada dosa, Lady? Jangan bersikap seperti seorang biarawati atau orang suci. Aku tahu kau menikmati setiap sentuhanku."

"Maaf, Tuan, aku harus pergi."

Saat Hazel melangkah pergi, perutnya tiba-tiba mengeluarkan suara nyaring menandakan kelaparan. Rainhard tersenyum lebar. Semakin sering dia bertemu dengan Hazel, semakin menarik wanita itu baginya. Rainhard berencana untuk mengungkapkan identitasnya hari ini, tetapi melihat betapa canggung dan gugup Hazel saat berbicara di telepon, bahkan sampai pingsan karena kecemasan, membuatnya memikirkan ulang. Dia memutuskan untuk menunggu hingga pernikahan mereka tiba.

Rainhard menertawakan keinginan Hazel untuk pergi. "Apakah kau benar-benar berniat pulang dalam keadaan lapar, Lady?"

Hazel bimbang, tetapi rasa laparnya terus mengganggu perutnya.

"Tidak apa-apa. Aku bisa makan di rumah," jawabnya.

"Apakah kau takut padaku, Lady?" tanya Rainhard.

Hazel tidak memberikan jawaban, tetapi hatinya berperang antara rasa takut dan daya tarik.

"Maaf jika aku membuatmu merasa tertekan," kata Rainhard dengan lembut, berusaha menenangkan Hazel. "Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu."

Hazel memandangnya dengan canggung. "Aku telah menjelaskan berkali-kali bahwa aku akan menikah. Maaf jika penolakanku menyinggung Anda, Tuan."

Rainhard menggelengkan kepala dengan lembut. "Tidak perlu meminta maaf. Semua baik-baik saja. Yang penting sekarang adalah kita menikmati waktu bersama."

Rainhard mengajak Hazel ke ruang VIP. Hazel merasa tak bisa menolak, terutama karena rasa laparnya. Pelayan segera menyodorkan menu.

"Apakah Anda ingin memesan sesuatu?" tanya Rainhard.

"Aku akan menyerahkan pada kemurahan hati Tuan," jawab Hazel.

"Baiklah, aku akan memesan Salad foie gras dengan saus truffle, Canapé dengan foie gras dan selai bawang merah, Sup krim labu dengan krim asam dan biji labu panggang, Gnocchi dengan saus keju parmesan dan bayam, Steak tuna dengan salsa mangga dan sayuran panggang, Kue lavender dan madu, dan Panna cotta dengan raspberry dan mint."

Hazel merasa terkejut dengan kemurahan hati pria misterius ini, namun dia tak bisa menolak tawaran tersebut. Rainhard memesan berbagai jenis hidangan, dari pembuka hingga penutup. Hazel belum sempat sarapan karena harus mempersiapkan diri untuk bertemu pria yang pada akhirnya membatalkan janji sepihak. Perutnya benar-benar lapar. Tak lama setelah itu, pelayan membawa pesanan Rainhard. Perut Hazel kembali berbunyi nyaring, membuatnya merasa malu.

Rainhard tersenyum lembut melihat reaksi Hazel. "Jangan merasa malu. Ayo kita makan bersama," katanya.

Hazel merasa lega melihat banyak makanan di meja. Meskipun dia bukanlah seseorang yang sangat peduli dengan makanan, variasi hidangan ini cukup membantu mengalihkan perhatian dari ejekan pria misterius yang sering mengganggunya.

Setelah makan di Hubertus Restaurant, Hazel berpikir mungkin dia harus berolahraga di treadmill selama lima jam sehari dan menjalani diet ketat selama sebulan. Namun, itu masalah yang akan dipikirkan nanti.

Di tengah makan siang yang tenang, Rainhard menatap Hazel dengan tajam. "Lady, apakah kau punya janji dengan seseorang di sini?" tanyanya tiba-tiba.

Hazel menatapnya sejenak sebelum mengangguk pelan. "Ya, tapi dibatalkan," jawabnya singkat.

Rainhard mengangkat alis dengan nada mengejek. "Apakah orang itu tunanganmu yang tidak sopan, Duke Kingsley?" ujarnya sambil tersenyum sinis. "Sepertinya kau akan memasuki pernikahan yang penuh masalah."

Rainhard sengaja menguji reaksi Hazel. Namun, seperti biasanya, Hazel tidak pernah berbicara buruk tentang 'Duke Kingsley', meskipun Rainhard terus-menerus menyindir dan mengejeknya. Hazel tetap diam, matanya menunjukkan ketidaknyamanan. Rainhard menikmati perubahan emosi Hazel dan merasa puas menggodanya.

"Tapi, Tuan, ini bukan urusan Anda," ujar Hazel dengan nada lembut. "Apa yang terjadi antara Duke Kingsley, saya, dan keluarga kami, bukanlah urusan Anda."

"Benar, itu bukan urusanku. Namun, ada satu hal yang memang urusanku."

Hazel menatap dengan bingung.

"Tubuhmu."

Wajah Hazel seketika memerah karena malu. "Itu sangat tidak sopan! Aku tidak memerlukan hal seperti itu! Lagipula, aku akan segera menikah. Hal semacam itu...." Hazel tidak melanjutkan kalimatnya karena terlalu malu untuk membahasnya secara vulgar.

Rainhard tertawa kecil. "Apakah kau yakin? Aku bisa memberikan lebih dari apa yang dia bisa berikan," godanya, membuat Hazel semakin merah.

"Aku tidak mengerti maksudmu."

"Terkadang penjelasan memang sulit dimengerti. Kau akan tahu jika mencoba," kata Rainhard dengan nada menggoda yang semakin intens.

Hazel menunduk, berpura-pura sibuk menikmati hidangan yang sangat lezat. Koki di sini memang benar-benar ahli dalam menyajikan makanan.

"Lady, jangan malu-malu," goda Rainhard terus-menerus. "Kau tidak perlu terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia. Cobalah bersenang-senang denganku, kau tidak akan menyesal. Bagaimana?"

Wajah Hazel semakin memerah, tapi dia berusaha menahan diri. "Sudahlah, Tuan. Ini tidak pantas," ujarnya, berusaha mengakhiri percakapan.

Rainhard tersenyum puas melihat reaksi Hazel. "Baiklah, Lady. Tapi ingatlah tawaranku. Aku selalu ada untukmu," ucapnya sambil mengangkat gelas wine.

"Saya tidak minum lagi, Tuan. Kesehatan saya tidak baik." Hazel merasa sesak di dadanya dan mempercepat makannya, mencari alasan untuk segera pergi. "Maaf, aku harus pulang," ujarnya cepat.

Saat Hazel hendak pergi, Rainhard menahan tangannya. "Kau harus belajar jujur pada dirimu sendiri, Lady. Jangan korbankan dirimu demi kebahagiaan orang lain yang tidak memikirkanmu."

Hazel merasa marah dengan nasihat dari pria misterius ini, yang dirasakannya lebih sebagai omong kosong daripada nasihat bijak.

"Anda mengejek calon suamiku dan menyebutnya sebagai pria egois dan tidak sopan. Namun, justru Anda yang tampaknya egois, tidak sopan, dan merendahkan," desis Hazel, meski ia berusaha menahan suaranya agar tidak berteriak.

Rainhard terkejut. "Kau membela pria yang tidak mencintaimu dan meninggalkanmu di pesta?"

"Benar sekali!" balas Hazel dengan tegas. "Jangan provokasi aku lagi, Tuan."

Rainhard mendekat. "Kenapa? Kenapa kau begitu marah, Lady? Aku hanya mengungkapkan kenyataan."

Hazel mengalihkan muka, menyadari betapa kuatnya emosi negatif yang menguasai dirinya. Dada Hazel bergetar dengan cepat.

Rainhard menganggap ini adalah sebuah kesempatan. Ia mengambil tangan Hazel lantas mengecupnya. Hazel hendak menarik tangannya, akan tetapi Rainhard lebih kuat menahannya. Rainhard menoleh ke arah Hazel, matanya dipenuhi dengan kelembutan yang jarang terlihat.

"Lady, kau tidak tahu betapa lamanya aku menahan diri untuk mengungkapkan perasaanku kepadamu?" katanya lembut, dengan nada penuh kehangatan.

Hazel memandangnya dengan mata yang bercampur marah, bingung, dan sedih. "Aku tidak bisa, hentikan ini."

Rainhard menanggapi tatapan Hazel dengan penuh kasih sebelum akhirnya merangkulnya dengan erat. Hazel merasakan jantungnya berdegup kencang, terombang-ambing antara antusiasme dan kecemasan.

"Mungkin ini terasa cepat, Lady, tapi aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku," bisik Rainhard di telinga Hazel, membuat bulu kuduknya merinding.

Hazel mengangguk dan mendekat ke arah Rainhard. Rainhard tersenyum penuh tipu daya; menggoda Hazel tampaknya sangat menyenangkan baginya. Mereka saling bertukar pandang, seolah merasakan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk membuang segala keraguan.

Dengan lembut, Rainhard menempelkan bibirnya pada bibir Hazel dalam ciuman yang penuh gairah meski lembut. Hazel membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan ciuman mereka. Ia merasa sangat munafik; meskipun bibirnya menolak, tubuhnya seolah tidak bisa menolak dorongan pria misterius itu.

Detik-detik berlalu tanpa mereka sadari, dunia di sekitar mereka tampaknya berhenti sejenak, meninggalkan mereka berdua dalam momen itu. Ketika akhirnya mereka melepaskan ciuman, wajah mereka bersinar dengan kebahagiaan yang tak tertahan. Mereka saling tersenyum, meresapi keindahan dari momen yang mereka bagi.

"Kita telah menunggu terlalu lama untuk ini, Lady. Aku berjanji akan memberimu sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh calon suamimu," ujar Rainhard dengan tulus, matanya bersinar.

Rainhard semakin berani. Ia kembali menyibakkan gaun Hazel dan menyelipkan jemarinya ke area pribadi wanita itu. Hazel tidak bisa melawan; ia malah mengerang dalam kenikmatan yang diberikan Rainhard.

"Kau menikmatinya, Lady," ujar Rainhard.

"Tidak." Hazel menolak dengan kata-kata, meski ia mengangguk.

Rainhard tertawa kecil. "Kau memang tidak pandai berbohong."

"Ah, tolong, jangan terlalu dalam," Hazel memohon dengan sedikit ketakutan.

"Apakah kau belum pernah merasakannya sebelumnya, Lady?" Rainhard memperlambat gerakan jarinya di bawah meja makan.

Hazel memandang Rainhard dengan tatapan sayu. Pria itu tampaknya tergoda untuk mengecup bibirnya yang ranum.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro