The Eyes-6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Davendra mengantar aku pulang. Timing-nya pas banget dengan keadaan rumah yang sepi karena Mama lagi nungguin kakak sepupu lahiran di rumah sakit, Papa masih ada di kantor, dan asisten rumah tangga lagi cuti hari ini.

Mau dipikirkan kayak apa pun sebenarnya kegilaan hari ini nggak masuk akal, apalagi aku sampai membiarkan Davendra masuk ke kamarku. Oh, please, jangan mikir aneh. Davendra nggak terlihat mencuri kesempatan walau sampai mengantar aku ke kamar mandi setelah kuminta.

"Gue tunggu di bawah, ya. Nikmati aja waktu santai lo, jangan pikirin gue."

Aku mengangguk pelan, lalu mengiringi kepergian Davendra dengan tatapan. Setelahnya aku menutup pintu kamar mandi, berdiri di bawah shower dan berlama-lama mendamaikan tubuhku dengan air.

Apa yang terjadi hari ini belum pernah aku alami sebelumnya. Kemarahanku yang nggak terkendali itu sangat menyeramkan. Kenapa bisa ada sisi seperti itu dalam diriku? Kalau aku tanya pada Mama dan Papa, apakah mereka tahu jawabannya? Maksudku, bisa saja ketika aku lahir dan saat mereka membesarkanku, sebenarnya ada hal-hal ganjil yang terjadi.

Sesungguhnya aku ingin lebih lama menyegarkan diri, tapi teringat Davendra yang sudah menunggu cukup lama, aku mengurungkan niat. Sebelum menemuinya, aku mampir ke kamar Papa untuk mengambil baju. Lebih baik bajunya agak kebesaran daripada Davendra masuk angin karena terus-terusan topeless begitu.

Rumahku nggak luas-luat amat, jadi ketika turun dari tangga, ruang tamu bisa langsung terlihat di sebelah kanan dan area makan serta dapur di sebelah kiri. Dan sosok Davendra langsung kutemukan berbaring di sofa. Dia pasti lelah.

Aku berjalan mendekat, lalu sedikit menunduk untuk memperhatikan wajahnya yang terlihat damai dalam keadaan mata tertutup. Sampai kemarin kami adalah orang asing dan sebuah keajaiban kini Davendra bisa ada di rumahku. Sebenarnya bagaimana mula kisah kami di kehidupan lalu?

"Dineschara."

Panggilan Davendra membalikkan kesadaranku. Mata kami bertemu, berlanjut dengan bibir tipis Davendra yang tertarik dan menciptakan keramahan di wajahnya.

"Hei, lo kelihatan lebih baik dan ... cantik."

Hah? Astaga! Aku bisa salah tingkah kalau dipuji begitu.

Duh, jantung! Tenang dikit bisa, 'kan?

"Nih, pakai."

Aku melangkah mundur, Davendra duduk sambil memegang baju Papa, lalu memakainya.

"Supir udah gue suruh pulang. Terus gue lihat nggak ada makanan di dapur, jadi gue pesan lewat aplikasi."

"Gue nggak lapar, Davendra. Bisa gue minta penjelasan sekarang?"

"Buru-buru banget, Dineschara? Kita punya banyak waktu."

Davendra tersenyum, yang aku yakin maknanya adalah dia merasa lucu karena ketidaksabaranku. Aku mengempaskan diri di sofa, berseberangan dengan Davendra yang masih mempertahankan senyumnya.

"By the way, lo nggak masalah gue masih di sini, 'kan?"

"Nggak. Santai aja. Lingkungan gue juga aman, nggak bakal ada yang peduli gue masukin orang baru ke rumah."

Davendra mengangguk-angguk.

"Jadi, gimana?"

"Harus sekarang?"

"Iya, sekarang, Davendra. Gue sampai kesetanan kayak tadi masa masih harus nahan diri buat tahu alasannya?"

"Oke. Gue bakal mulai cerita. Tapi gue harus nunjukin sesuatu ke lo. Dan sorry kalau ini menyakitkan."

Hmmm?

Davendra mendekat, kemudian berlutut di bawahku. Aku nggak bisa mencegah pikiran kalau kami bakal berciuman karena Davendra memegangi kedua rahangku. Mata kami bertatapan dan aku perlahan-lahan seperti hanyut di teduhnya mata Davendra. Lalu sakit kepala yang luar biasa mendera sebelum aku melihat kilasan-kilasan membingungkan.

Seorang laki-laki memeluk seorang perempuan yang bersimbah darah. Pakaian mereka aneh, begitu juga dengan lokasinya yang sangat tabu untukku. Di kilasan yang lain, aku melihat laki-laki itu murka dan menghancurkan barang-barang, lalu dia menyerang seseorang yang berdiri di singgasana. Ada banyak kilasan lainnya, tapi kepalaku semakin sakit dan nggak bisa mengingatnya.

"Dineschara ...."

Suara lembut itu ....

Aku tersentak karena merasa seperti ada yang masuk ke tubuhku. Dadaku juga sakit, sampai-sampai aku kesulitan bernapas. Davendra menepuk-nepuk pipiku dan menyuruhku menjawab jika mendengar panggilannya.

"Gue denger," kataku.

Davendra segera berlari dan datang dengan membawa air, lalu membantuku untuk minum. Setelah itu dia memegangi tanganku sampai aku merasa lebih baik. Beberapa kali dia bertanya bagaimana tentang rasa sakit ini dan menyuruhku agar mengatakan jika sakitnya bertambah.

"Kenapa di mata lo gue ngelihat adegan-adegan itu?"

"Karena lewat mata ini kita terhubung, Dineschara. Gue bakal mulai cerita dan semua yang bakal Lo denger emang nggak masuk akal."

Aku mengangguk dan menunggu dengan serius sampai Davendra mengembuskan napas panjang sebelum kembali berucap.

"Kurang lebih 900 tahun lalu adalah awal dari kisah kita."

What?! Sembilan ratus tahun?!

"Pertama kali kita hidup sebagai penyihir di sebuah istana. Kita punya kemampuan melebihi penyihir lain untuk membantu Guan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Kita saat itu partner yang luar biasa, lalu kita jatuh cinta. Yah, tentu aja gue yang duluan suka lo."

Senyum kecil Davendra dan sendu tatapannya membuatku nggak bisa membantah bahwa kisah itu sekadar fiksi. Laki-laki ini ... terlihat sungguh pernah mengalami pengalaman hidup yang luar biasa.

"Guan itu raja?"

"Iya, raja sialan yang bikin kita menderita. Suatu hari dia manggil kita untuk rapat rencana penyerangan ke kerajaan lain. Setelah rapat, di hadapan para petinggi istana, dia ngelamar lo."

Aku nggak bisa berkata-kata karena bingung. Benar-benar cerita yang nggak masuk akal, tapi aku malah semakin penasaran.

"Guan bilang kalau lo jadi selir, Kerajaan Yodya akan lebih hebat lagi karena seumur hidup lo bakal mengabdi ke kerajaan. Kita saat itu bertatapan dengan perasaan terluka. Walau kita punya kekuatan, otoritas raja tetap aja nggak bisa ditolak, terlebih mayoritas petinggi setuju dengan ide Guan. Tapi, Dineschara, kita yang udah sepakat akan segera menikah melakukan pemberontakan. Dengan lantang gue mewakili lo menolak lamaran itu. Guan marah, terlebih saat lo juga menolak dan bilang soal hubungan kita."

Hatiku tiba-tiba sangat sakit, seperti baru saja terluka oleh sesuatu. Dan entah bagaimana air mataku menetes tanpa aba-aba.

"Saat itu kita berjuang, Dineschara. Tapi itu adalah hal yang gue sesali karena cinta gue malah nyakitin lo."

Davendra memegangi rahangku lagi, kali ini wajahnya mendekat dan ... kami berciuman. Anehnya aku malah seperti terlempar di suatu waktu dan tempat asing yang jauh dari modernisasi. Aku berjalan di lorong luas dengan pilar-pilar besar tinggi menjulang di kanan kirinya. Ada taman panjang dan tertata rapi di sini, sehingga perjalananku sangat menyenangkan. Burung-burung berkicau, kupu-kupu beterbangan di bunga-bunga yang tengah mekar. Aku lupa pada Davendra dan ciumannya, serta pertanyaan bagaimana aku bisa ada di sini. Tempat ini pertama kali aku datangi, tapi sangat membuatku nyaman seolah-olah ini memang rumahku.

Sesaat aku hanyut dalam ketenangan ini sebelum aku mendengar kegaduhan dari sebuah ruang tak jauh dari tempatku berdiri. Rasa penasaran memancingku untuk berlari mencari ruang itu. Dan sampailah aku di depan pintu menjulang tinggi yang penuh dengan ukiran indah. Meski sempat ragu, aku tetap menyentuh pintu, berniat untuk mendorongnya. Tapi anehnya, tanganku malah menembus benda ini, begitu juga dengan seluruh tubuhku.

Gila! Aku bisa menembus benda? Apakah ini sekadar mimpi atau sebenar aku sudah mati?

"Kau ingin melawanku, Azzura?!"

Seorang pria bermahkota melayangkan pertanyaan pada perempuan berjubah putih dengan renda emas pada bagian bawahnya.

"Tidak, Yang Mulia Raja. Saya hanya meminta keadilan sebagai makhluk bernyawa. Anda tidak bisa memaksa saya, karena yang akan saya nikahi hanya Atreya."

"Jadi laki-laki ini yang membuatmu menolakku? Akan aku habisi kau, Atreya!"

Secepat yang kuingat, cahaya merah lurus keluar dari tongkat raja itu. Perempuan bernama Azzura berteriak dan memeluk laki-laki di sebelahnya. Gelembung putih melindungi mereka, tapi saat cahaya merah itu mampu menembusnya dan punggung Azzura yang terhantam cahaya itu, darah seketika memuncrat.

Aku gemetaran dan ternganga menyaksikan kejadian menyeramkan ini. Ingin aku pergi, tapi kakiku enggan bergerak dan kepalaku malah terus diisi bisikan untuk tetap melihat tragedi ini.

"Azzura!" Atreya memanggil dengan wajah pucat.

"Sayang sekali kau malah melindunginya, Azzura. Lihat, kau malah terluka seperti itu."

Sang raja terlihat nggak memiliki penyesalan sedikit pun, bahkan semua orang di dalam ruangan ini hanya terdiam tanpa ada yang protes atas tindakan kejam pria itu.

"Raja biadab! Kau melukai Azzura-ku!"

Bola api muncul dari tangan kanan Atreya, lalu dilemparkan ke arah raja. Lemparannya meleset, tapi Atreya enggan menyerah dan tetap melakukan penyerangan. Di dekapannya, Azzura mulai melemah dan terlihat kehabisan harapan untuk bertahan.

"Atreya, jangan. Selamatkan saja dirimu. Aku cukup bahagia dengan mati di pelukanmu."

"Tidak, Azzura! Kau tidak akan mati! Tidak akan! Aku akan menyelamatkanmu!"

Atreya menjerit frustrasi dan menghentikan serangannya pada raja. Raja yang nggak terluka sedikit pun tertawa melihat keputusasaan di wajah Atreya.

"Hei, percuma saja kau mengeluarkan semua mantramu. Kau tahu bukan jika tongkat ini telah diberkati oleh sembilan penyihir tersohor termasuk kalian berdua? Siapa pun yang terluka karena ini tidak akan bisa selamat. Kau yang membuatnya seperti itu, Atreya. Oh, sepertinya kau melupakan bagian itu sehingga kini bersusah payah ingin menyelamatkan kekasihmu."

"Sialan! Kau manusia laknat, Guan!"

Dari tubuh Atreya keluar cahaya berwarna-warni, lalu cahaya itu lenyap saat diarahkan pada punggung Azzura. Enggan menyerah walau nggak melihat kemajuan pada kekasihnya, Atreya meneteskan air mata sambil memanggil-manggil Azzura agar sadar.

"Jangan seperti ini, Azzura, kumohon jangan. Bertahanlah."

"Tidak, Atreya. Kau yang jangan seperti ini. Tolong tersenyum untukku sekali lagi."

Azzura sudah terbata-bata dan Atreya akhirnya menyerah dengan tersenyum, tapi berlinang air mata. Nggak lama setelah itu Azzura menutup mata. Jeritan Atreya menggema di ruangan besar itu, berpadu dengan tawa raja tanpa hati.

"Jika tidak bisa kumiliki, sebaiknya memang musnah saja."

"Biadab kau, Guan!"

Atreya murka, entah berapa puluh bola api yang dia layangkan ke seluruh ruangan sehingga api kini ada di mana-mana. Orang-orang menjerit dan berlari keluar. Nggak hanya itu, melalui sihir, Atreya menggerakkan berbagai benda dalam ruangan itu dan mengarahkannya pada orang-orang yang sedang menyelamatkan diri, juga pada raja.

"Kau gila, Atreya! Hentikan!" teriak Guan sambil menghindari serangan-serangan Atreya.

"Kalian hanya diam saat Azzura kesakitan. Aku akan membuat kalian semua tiada!"

Laki-laki itu mengamuk dengan tetap mempertahankan Azzura dalam pelukannya. Banyak orang yang tumbang dan darah ada di mana-mana. Raja melayangkan beberapa serangan dari tongkatnya, tapi Atreya berhasil menghindar dengan memasang pelindung berlapis-lapis, yang bisa kutahu karena warnanya berbeda-beda.

"Kau sudah membuat kekacauan, maka kau pantas mati, Atreya!"

"Tidak. Kau yang akan mati, Guan!"

Atreya memejamkan mata, bibirnya bergerak-gerak tanpa suara, lalu entah bagaimana tongkat emas yang dipegang Guan melayang dan kini berada di tangan Atreya. Guan kebingungan sambil mengumpat karena kehilangan benda berharganya. Dia turun dari singgasana untuk merebut kembali tongkat itu, tapi Atreya menyerangnya tanpa aba-aba. Raja kejam itu seketika jatuh dan darah membanjiri tubuhnya karena perutnya tertembus oleh tongkat yang dikelilingi api.

"Kau lupa, Guan, bahwa tanpa tongkat itu kau hanyalah manusia lemah. Sihirmu tidak sebanding denganku."

"Si-sialan!"

Itu adalah kata terakhir dari Guan sebelum tubuhnya benar-benar ambruk dan matanya nggak lagi berkedip.

Seluruh tubuhku merinding dan air mataku terus saja menetes. Aku ingin pergi, tapi saat melihat Atreya memeluk jasad Azzura sembari menangis, kakiku malah bergerak mendekati mereka. Aku berlutut di samping sepasang kekasih yang sudah terpisahkan alam ini. Dan saat menatap mereka dengan seksama dari dekat, aku baru menyadari sesuatu.

Rasa sakit di punggungku sejak tadi, pedih di hatiku, dan air mata yang enggan berhenti ini karena ... akulah Azzura yang tiada di pelukan sang kekasih.

To be continued

Haiiii! Kangen banget nulis cerita ini. Kamu juga kangen nggak?

Semoga masih enjoy ya bacanya. Dan jangan lupa vote + komen!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro