26. Sudut Pandang Lain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ya Tuhan, gila! gila!

Elio merutuki dirinya sendiri.

Mama Leta?

Astaga! Bagaimana bisa Elio memanggil Leta seperti itu. Ini gara-gara Mara terus saja keceplosan memanggil Leta dengan sebutan Mama Leta, Elio jadi mulai terbiasa mendengarnya sampai mengatakannya begitu saja.

Segera, Elio meralat dengan cepat dan tanggap, "Maksud aku, Leta nggak suka keju."

Namun, usahanya tidak membuahkan hasil. Suasana meja jadi canggung. Leta melotot ke arahnya, Ibunya tersenyum geli sambil geleng-geleng kepala, dan Mara yang senyam senyum senang.

Anak itu berkata dengan gembira, "Oke. Rasa cokelat buat Mama Leta." Mara menyerahkan bolu rasa cokelat ke Leta. Leta tersenyum manis dan berterima kasih.

Bu Lila mencicipi kuenya sambil berkata, "Jadi ini Mara lagi main MamaPapa-an gitu, ya?"

Mara mengernyit bingung. "Emang bisa?" tanya anak itu polos.

"Kalau Mama Leta mau, ya bisa."

Leta melebarkan mata mendengar ucapan Bu Lila.

"Ibu," Elio memanggil Ibunya untuk menegur.

Bu Lila melirik Leta sambil terkekeh. "Bercanda."

Leta tersenyum kaku. Jelas, bercandanya Bu Lila tidak lucu sama sekali.

"Enak loh ini, Leta. Kamu bikinnya gimana?" tanya Bu Lila sambil memandang bolu buatan Leta penuh minat.

"Iya, enak banget," sahut Mara.

Dua perempuan dewasa itu terlibat topik perempuan dewasa pada umumnya, membicarakan resep kue. Mara memperhatikan mereka dengan serius. Sekali, dia mengganggu seolah paham lalu menyahut heem saat ditanya persetujuan.

Elio mencoba bolu bagiannya. Tekstur lembut dengan rasa manis cokelat menguasai indra perasanya. Nikmat dan menenangkan. Enak. Elio serasa memakan awan manis. Pria itu menghabiskan bolunya dalam dua kali lahap. Kemudian, dering telepon menarik perhatiannya. Elio meraih ponselnya dan melihat nama si penelepon. Wren, rekan bisnis sekaligus rivalnya waktu SMA dulu.

Elio segera menyisih dari kerumunan dan mengangkat telepon dari Wren. Beberapa waktu sibuk membahas bisnis, pria itu kembali ke ruang makan, tetapi meja itu sudah sepi. Bolu juga sudah habis. Tidak ada jejak keramaian di meja itu. Saat memandang sekeliling, Ibunya muncul dari dapur.

"Leta udah pulang," beritahu sang Ibu.

Elio pun menyadari suasana sepi yang mendadak terasa di rumahnya. Sepi artinya Leta sudah pulang. "Dadakan?"

"Enggak. Kamu aja yang udah satu jam telponan jadi nggak sadar waktu."

"Oh," sahut Elio salah tingkah.

Bu Lila berjalan mendekati dispenser dan mengambil air minum. "Mama tahu kamu sibuk, tapi tadi momen bareng Mara. Harusnya nggak kamu lewati gitu aja."

Elio terdiam, memang menyadari kesalahannya. Dia selalu terbiasa berdiskusi bisnis lewat telepon sampai lupa waktu.

"Mara di mana?"

"Kamarnya."

Elio berjalan menuju kamar anak itu. Dia mengetuk pintu dan melihat Mara sedang duduk di salah satu meja sambil bermain game.

"Papa?" tanya Mara. "Kenapa?"

"Boleh Papa masuk?"

"Heem."

Elio berjalan mendekati Mara dan duduk di kasur kecil milik anak itu. "Lagi apa?"

"Main game." Mara menjawab sambil fokus pada ponselnya.

"Mara happy di sekolah?"

"Iya. Semenjak ada Mama Leta, Mara jadi happy."

Elio mengernyit. "Dulunya enggak?"

Mara mengangguk.

"Kenapa? Apa atau siapa yang bikin Mara nggak happy? Kok enggak pernah bilang ke Papa?" Perasaan, entah harga dirinya, tiba-tiba terusik.

"Temen-temen dan Bibi pengasuh. Soalnya Papa sibuk, jadi Mara males cerita."

Elio terdiam mendengar ucapan polos Mara karena anak itu sambil fokus bermain game jadi berkata jujur apa adanya. Ucapan anak itu menohok dadanya. Elio selalu merasa dia tahu banyak hal soal Mara dan telah membuat anak itu bahagia dimanapun dan kapan pun. Namun ternyata, ada beberapa sisi yang tidak bisa Elio kendalikan. Sisi itu hanya bisa dibina oleh sosok lain selain Ayah atau Nenek. "Mara dijahatin sama temen-temen dan Bibi pengasuh? Dari kapan? Mara bisa bilang aja kalau ada apa-apa. Meski sibuk, Papa akan denger dan bantu Mara."

"Gapapa, kok. Soalnya, udah ada Mama Leta."

Elio memandang anaknya dengan perasaan yang tiba-tiba terasa rancu. Di satu sisi, dia ingin mencari tahu siapa dan apa yang membuat Mara tidak nyaman di sekolah, tetapi di sisi lain, dia tidak bisa memaksa Mara. Jadi, Elio berusaha mengendalikan emosinya. Dia harus bertanya pada Leta, sepertinya perempuan itu kini jauh lebih tahu tentang Mara. Maka, Elio malah bertanya hal yang selalu ingin diketahuinya. "Mara suka banget sama Miss Leta?"

Mara mengangguk. "Iya."

"Kenapa?"

"Mara nggak tahu kenapa Papa nggak suka sama Mama Leta, tapi Mara suka. Suka...banget! Mama Leta cantik, suka pakai pakaian bagus, matanya jernih, baik juga, tapi kadang ngeselin. Tapi, kalau Mara nakal, Mama Leta lucu. Soalnya, suka lawan balik Mara. Jadi deh, Mara suka jahilin Mama Leta. Mama Leta juga janji bakal lindungi Mara dan tepati janjinya." Mara menjauhkan ponsel dari wajahnya dan memandang Elio. "Papa nggak bisa ya, suka sama tante Leta?"

"Soalnya, Miss Leta nggak suka Papa."

"Kalau Papa suka, Miss Leta bakal suka, kok. Pasti. Papa ganteng, baik, dan suka mau kalah. Cocok sama Miss Leta."

"Sok tahu," cibir Elio.

"Ya kan, Mara emang tahu."

Elio memandang anaknya ragu, kemudian berkata, "Kalau Mara punya Mama kayak Miss Leta, gimana?"

Mara terdiam, tampak berpikir sejenak, lalu memandang Elio dengan kedua mata terbeliak. "Papa...udah punya pacar?"

Elio menggeleng. "Belum."

"Terus, maksudnya?"

"Maksud Papa, kamu mau main Mama-Papa-an sama Papa dan Miss Leta kayak kata Oma tadi?"

Mara mengerjap bingung.

Elio menjelaskan lagi. "Kita bertiga pura-pura jadi keluarga di depan keluarga Aldo. Papa jadi Papa kamu, Miss Leta jadi Mama kamu. Tapi, jangan sampai ada yang tahu kalau kita pura-pura."

Mata Mara berbinar. "Mau!" pekik anak itu. "Beneran juga Mara mau!"

Elio mengernyit. Luar biasa, pikir pria itu. Mara sudah sangat suka Leta. Ini bisa jadi bumerang sekaligus keuntungan. Elio juga barusan malah keceplosan bilang asal tanpa berpikir terlebih dulu. Akibat ucapan kurang pertimbangannya barusan, Mara melempar ponselnya ke kasur dan bergelayut di samping Elio sambil bertanya banyak hal, mulai dari kenapa, bagaimana, kapan mereka menjadi keluarga. Elio mencoba menjawab sesingkat mungkin sambil berusaha melarikan diri dari anak itu. Di antara kekisruhan anak dan Papa, Elio mendapat pesan dari Leta.

Leta: Hafalin, besok aku tes. (melampirkan dokumen).

Dan, Elio tersenyum geli. Mama dan anak sama saja nggak mau kalah.

***

AKHIRNYA BISA UPDATE! T_T

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro