48. Situasi Aneh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ya Tuhan, kenapa hari ini harus hari Minggu?

Tidak seperti hari-hari biasa, Elio tidak menyentuh pekerjaannya di hari Minggu. Pria itu lebih suka menghabiskan waktu dengan Mara -yang artinya, Elio juga akan berinteraksi dengannya.

Argh!

Sungguh hari yang membuat tidak nyaman.

Leta belum memutuskan untuk resign atau tidak, by the way. Tidak dalam waktu dekat, sepertinya, mengingat ada tanggung jawab yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Dia harus bersikap profesional. Saran temannya dan pemikiran spontannya kemarin benar-benar tidak profesional.

Kini, Leta mengintip dari balik pintu kamar Mara. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Elio sejak Leta sampai di rumah ini. Leta merasa lega tapi juga was-was kalau tiba-tiba bertemu Elio dalam keadaan belum siap.

"Kenapa Miss?" tanya Mara, ikut melongok ke balik pintu.

Leta langsung menegakkan badan, kaget karena ketahuan. "Enggak."

"Papa masih olahraga di halaman belakang," beritahu Mara tiba-tiba, dengan sorot mata polos yang seolah tahu isi pikiran Leta.

Leta mengibaskan tangan. "Miss nggak nyari papa kamu, kok."

"Oh," Mara angguk-angguk. "Siapa tahu kan, Mama nyariin."

"Haha, mana mungkin." Leta tertawa hambar yang suaranya terdengar aneh.

"Ya udah." Mara berjalan menuju rak buku kecil di kamar lalu meraih satu buku menggambar, pensil, dan sepaket alat mewarnai. Kemudian, anak itu berjalan keluar kamar setelah sebelumnya berkata, "Ayo Miss, kita mewarnai."

"Di mana?"

"Ruang tamu biar leluasa."

"Di kamar aja."

Mara menggeleng tegas. "Nggak mau."

Leta terpaksa memberanikan diri berjalan keluar kamar Mara setelah sejak tadi bersembunyi di sana dengan alasan mengajak Leta main game di ponsel -yang jelas sekali sekarang anak itu sudah bosan memainkannya.

Leta sudah duduk di sofa ruang tengah bersama Mara, mulai menggambar dan mewarnai. Mara mewarnai di kertas warna, mulai dari rumah stroberi, pohon cokelat, sampai putri melati. Leta ikut menggambar rumah kurcaci yang ternyata hasil gambarnya tidak terlalu bagus. Malas menggambar lagi karena hasilnya jelek, Leta menyimpan pensil dan buku gambar ke meja.

"Mau makan buah-buahan?" tawar Leta, memilih menyibukkan diri dengan hal lain.

Mara mengangguk. "Mau."

"Oke." Leta berjalan ke dapur yang terhubung dengan ruang tengah. Dia membuka kulkas, mengeluarkan pepaya, mangga, dan semangka. Perempuan itu mengupas dan memotong buah-buahan itu dengan rapi.

Saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah dapur, Leta berkata tanpa menoleh, "Buah-buahannya mau dipisah apa disatukan?"

"Pisah aja."

Jawaban itu membuat Leta menengadah, menyadari bukan Mara yang menjawab, melainkan Elio. Pria itu memakai setelah olahraga. Badannya masih penuh keringat. Jelas, dia baru selesai lari di sekitar kompleks. Seketika, Leta kehabisan kata-kata. Perempuan itu merasa canggung. Dia belum siap bertemu Elio. Bibirnya seketika kelu.

Berbanding terbalik dengannya, Elio tampak biasa saja. Pria itu berjalan mendekat, meraih gelas berisi air mineral dan meminumnya sampai tandas lalu melirik Leta.

"Aku mau pepaya aja," kata Elio.

Leta meraih piring berisi pepaya, semangka, dan mangga lalu berjalan meninggalkan dapur tanpa menjawab ucapan Elio.

Perempuan itu praktis mengabaikan kehadiran Elio.

Elio mematung di tempat, tertohok dengan cara luar biasa dalam.

***

Di sisi lain, pada waktu yang bersamaan, Bu Lila bergabung bersama Mara di sofa ruang tengah. Mereka memperhatikan interaksi Elio dan Leta melalui pintu yang terhubung ke dapur.

"Di Bali nggak berjalan lancar, ya? Kok Papa kamu sama Miss Leta jauhan gitu?" tanya Bu Lila, sambil mengganti saluran televisi.

Mara mengangkat kedua bahu. "Lancar kok, Oma. Mama sama Papa main bareng terus. Deket-deketan, lagi. Mara juga main terus sama Aldo kayak yang Oma suruh."

Bu Lila angguk-angguk lalu memperhatikan putranya. "Terus kok Miss Leta kayak nggak suka sama Papa kamu?"

Mara menggeleng lalu mendesah, bak orang dewasa yang lelah. "Nanti Mara tanya, deh. Kasian Papa udah kayak orang nggak makan lima hari. Pucet gitu wajahnya."

"Itu wajah galau," beritahu Bu Lila.

"Kok ngeri banget ya, Oma? Mara nggak mau galau ah, kalau gede nanti."

Bu Lila tersenyum geli. "Yah, semoga."

Mara menatap Omanya bingung. Memang orang dewasa galau terus, ya?

***

Elio tahu dia berengsek dan sudah melakukan kesalahan fatal. Namun, diabaikan terus-terusan oleh Leta jelas membuatnya kehilangan akal. Elio terbiasa berdebat, bukan dihindari. Kondisi sekarang membuat pria itu gamang dan uring-uringan.

Pasalnya, selain merasa bersalah, Elio kesal pada diri sendiri karena sepertinya salah mengartikan respons Leta selama berinteraksi dengannya sebagai sinyal persetujuan. Elio telah melakukan kesalahan karena mencium Leta tanpa izin, tetapi Leta luar biasa cantik malam itu. Bagaimana bisa Elio menahan diri padahal ada kesempatan di antara mereka?

Elio mendesah lalu memperhatikan ibunya, Mara, dan Leta yang sedang duduk bersama di sofa ruang tengah. Mereka -lebih tepatnya ibunya dan Leta- membahas model pakaian dari majalah yang baru sampai ke rumah tadi pagi.

Elio duduk di sofa ruang tamu yang menghadap ke pintu ruang tengah, memperhatikan mereka dari jarak sekitar tiga meter.

Elio tahu jelas Leta menghindarinya. Fakta itu makin memperumit hubungan mereka. Bagaimana bisa hubungan mereka membaik kalau tiap dia ingin bicara, Leta selalu menghindar?

Bukan satu dua kali. Tadi, saat Elio berusaha berbicara saat perempuan itu mengupas buah-buahan, Leta mengabaikannya habis-habis, Elio bak nyamuk tak kasat mata. Kemudian saat mereka berpapasan di pintu ruang tengah, Elio memanggil Leta, tetapi perempuan itu pura-pura tidak mendengar. Saat Elio bergabung dengan Leta dan Mara, untuk mengobrol atau bermain sesuatu, Leta mundur, menjauh dari jangkauannya dan tiba-tiba sibuk dengan hal lain.

Leta jelas marah padanya, karena itu Elio harus segera bicara dengan perempuan itu.

Masalahnya, bagaimana caranya?

Suara batuk Mara membuat Elio menoleh ke arah anak itu. Tahu-tahu, Mara sudah ada di sampingnya. Mara sedang menatapnya serius sambil ngemil keripik ubi. Ah, Elio terlalu fokus pada Leta sampai tidak menyadari pergerakkan Mara sampai tiba-tiba sudah ada di sini.

"Papah bikin Miss Leta marah, ya?" Mara geleng-geleng kepala, mengasihani. Dia ikut menatap Leta dan Omanya. "Harusnya Papa nggak bikin Mama marah. Padahal di Bali, Mama kayak udah suka sama Papa dikit."

Elio mengerjap. "Bener? Kayak kelihatan suka?" Elio memastikan.

Mara angguk-angguk. "Dikit. Tapi sekarang kayak udah engga."

Elio mendesah. "Kamu sih, di Bali pakai tidur segala."

Mara mengerjap bingung. "Kapan?"

"Malam terakhir."

"Ya Mara tidur karena udah malam, lah. Papa nggak tahu di mana." Mara mencibir. "Ya udah deh, biar papa nggak galau gini, Mara mau bantu Papa."

"Apa?"

"Papa mau dibantu apa? Mana Mara ngerti urusan orang dewasa."

"Coba kamu ajak Miss Leta ke halaman belakang. Papa mau minta maaf."

"Oh, gitu aja. Okey! Gampang itu."

Mara memberikan keripik ubi pada Elio lalu berjalan mendekati Leta. Mara berbisik sesuatu, dan Leta mengikuti anak itu menuju halaman belakang. Saat melewati Elio, Mara mengacungkan jempol dengan senyum lebar.

Elio balas mengacungkan jempol lalu berdiri menuju ruang tengah dan bercermin di cermin yang ada di sana. Elio berdeham, membenarkan kaus yang dikenakannya, lalu menyugar rambutnya agar rapi.

Tak lama, Mara muncul ke tempat Elio berada dan berbisik. "Mara udah suruh Miss Leta cari bunga bagus warna ungu. Papa cepetan ke sana."

Elio menyubit pipi Mara. "Thanks anak Papa paling cakep." Elio berjalan penuh percaya diri menuju halaman belakang.

Begitu sampai di sana, Elio melihat Leta sedang berjongkok di sekitar bunga-bunga.

Seolah mendengar langkah kakinya, Leta bertanya, "Mara, kok Miss nggak nemu bunga mawar warna ungunya? Bohong-"

Leta berbalik dan terkejut ketika melihat Elio. Ucapan perempuan itu terpotong. Sebelum sempat merespons senyum Elio, Leta langsung berbalik lagi dan tiba-tiba berdiri. "Ah, bunganya nggak ada. Coba Miss cari di halaman depan."

Leta hendak berjalan pergi, tetapi Elio berkata, "Kita harus bicara."

Leta diam, mendengarkan ucapan Elio, tetapi enggan menatap pria itu.

"Aku tahu kamu menghindar." Elio mendesah. "Aku minta maaf soal malam itu-"

"Anggap aja nggak terjadi apa-apa," potong Leta. "Tapi aku lagi nggak mau bicara sama kamu dulu. Tolong kasih aku jarak." Setelah mengatakan itu, Leta berbalik pergi.

Elio mendesah, menatap kepergian Leta sambil merutuki diri sendiri karena bersikap tidak masuk akal. Namun, Elio tidak mau menganggap kalau di antara mereka tidak ada apa-apa. Tidak akan.

Di sisi lain, Leta juga merutuki diri sendiri. Merutuki jantungnya yang berdebar, darahnya yang berdesir, dan napasnya yang tersekat karena interaksi singkatnya barusan dengan Elio. Sepertinya ada yang aneh dengan dirinya sejak malam itu. Efeknya masih ada sampai sekarang.

Dia harus memberi jarak di antara mereka, agar perasaan tidak masuk akal di dadanya ini mereda dan normal kembali. Barulah, dia bisa berinteraksi dengan Elio seperti dulu.

Tidak sekarang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro