-- 5 --

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

"Pesananmu yang biasa." Seseorang menyodorkan kantong plastik kecil kepada pria berambut hitam yang baru duduk di depannya. Melepas jas dokter dari tubuh yang ujung-ujungnya kotor oleh tanah dan jejak sepatu, serta sedikit noda darah, lalu bersandar. Menghembus napas lelah.

"Petak umpet dengan pasienmu lagi?"

"Hari ini ditambah baku hantam." Icarus memperhatikan lengannya yang lecet karena cakaran dua pasiennya yang bertengkar tadi. Sambil menahan nyeri dan linu juga mulai terasa di beberapa sisi tubuh lain, dia mengambil barang pemberian temannya tersebut dan mengecek isinya. Beberapa bungkus kertas origami panjang dengan berbagai motif dan ukuran ada di sana.

Disimpannya lagi benda pesanan Airi ke dalam kantong plastik dan berterimakasih kepada temannya. "Maaf merepotkan."

"Tidak masalah. Kau sudah janji ke gadis itu dari tiga hari yang lalu. Dan, ini bukan pertama kali kau lupa dan menyuruhku." 

"Menitip, lebih tepatnya," ralat Icarus, tapi takdiindahkan si pembicara.

"Akan lebih merepotkan kalau kau lupa membelikannya kertas lagi."

Benar. Pekerjaannya yang mendadak membeludak beberapa hari ini memaksa Airi untuk membuat bintang-bintang kecil dengan kertas sobekan buku, karena Icarus lupa membelikannya kertas origami. Belum lagi perkara pasiennya yang kabur dan sampai sekarang belum ditemukan. Icarus harus memutar otak  sambil berkejar-kejaran dengan waktu dan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa menimpa pasien sakit jiwa itu di luar sana.

Airi memang terlihat tidak mempermasalahkannya, tetapi Icarus iya. Dia sudah melanggar perkataannya sendiri. Ia merasa bersalah.

"Kau mau sampai kapan mengurus anak kecil itu?" tanya Ezell di sela suapan makan siangnya.

Icarus menelan makanan yang dia bawa dari rumah, lalu menjawab, "Sampai sembuh tentu saja. Dan, sekedar informasi, Airi bukan anak kecil, Ezell. Dia sudah dua puluh tahun."

"Oh. Kau sendiri yang bilang dia anak kecil."

"Karena badan Airi memang kecil dibanding rata-rata anak seusianya di Jepang."

Ezel ber-oh pendek lagi. Satu suapan, dua suapan, tidak ada yang bicara. Icarus sendiri tenggelam dalam pikirannya. Masih mempertimbangkan kondisi Airi dan satu gagasan takbiasa yang sekonyong-konyong terbesit di pikirannya.

Airi bukan anak kecil. Umurnya sudah 20 tahun dari pengakuan gadis itu sendiri. Sudah bisa dibilang dewasa, atau baru dewasa. Dan, gadis yang baru dewasa ini tinggal satu atap dengannya. Dengan status sebagai orang asing. Bukan keluarga, bukan kerabat, apalagi istri. Ini menjadi hal yang bisa saja memicu kesalahpahaman antara dia dan pasiennya tersebut di mata orang lain.

Meski, hampir semua rekan kerjanya tahu perihal ini dan tidak begitu mempermasalahkan–sebab rumah Icarus memang satu paket dengan tempat praktek mandirinya–tapi Icarus sendiri khawatir, jika Airi sudah sembuh dan mau keluar rumah nanti, dia akan mendapat pandangan yang tidak-tidak.

"Kau bilang tadi anak itu 20 tahun?"

"Ya, kenapa?"

"Mau memacarinya?"

Icarus tersedak. "P–Pardon Me?"

Ezell mengendikkan bahu. "Dia sudah di umur yang tidak wajar tinggal satu atap denganmu, Icarus. Satu atap sebagai orang asing, maksudku," katanya.

Icarus menanggapi setelah menenggak sedikit minuman, "Saya juga tahu itu. Tapi kau sendiri tahu–"

"Traumamu kepada wanita, ya, aku tahu," potong Ezell. "Aku mengatakan itu berdasarkan umur. Tapi, aku pribadi lebih melihatnya sebagai anakmu daripada kekasih."

Anak, ya ....

"Aku rasa dia akan bahagia jika tinggal dengan orang yang jelas bisa merawat dan mengerti kondisinya. Mental maupun fisik." Kopi panas diseruputnya tanpa mendapat respon apapun dari si kawan bicara. Ezell pikir Icarus tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini lagi, karena memang Icarus dan topik soal wanita bukan sebuah kombinasi yang mengenakkan.

Ezell lantas diam menikmati sisa kopinya seakan pembiacaraan ini tidak pernah ada. Seperti yang sudah-sudah.

Namun, takdisangka Icarus tiba-tiba menyahut. Membuat mata Ezell menatapnya .

"Ide bagus."

"Apa?"

𖥸


Bintang kecil yang sudah ada hampir tiga toples ini seharusnya cukup menjadi bukti seberapa banyak doa dan harapan yang Airi buat. Meski ingatan datang dan hilang secara berkala karena terapi dan obat-obatan, ia terus menabung keinginan-keinginan terpendamnya lewat setiap lipatan origami mini ini.

Mendekam sendiri di bangunan bernama rumah bukan lagi perkara yang menaktukan. Kehadiran dokter penyelamatnya memunculkan setitik harapan kecil bagi Airi untuk kembali bisa hidup normal. Pergi ke luar rumah dan menyusuri jalan setapak seperti yang dia lihat dari jendela kamar. Menghirup udara segar. Merasakan terik matahari.

Bertemu orang.

Orang. Manusia. Entitas yang bahkan namanya saja bisa merusak harapan kecil yang tengah ia buat. Mengacaukan lipatan yang tengah dirinya rajut di atas kertas rapuh nan terbatas.

Makhluk yang kini–entah bagaimana–tiba-tiba mendobrak zona amannya. Monster yang sudah lama tidak dia temui, kini memamerkan taring kepada mangsa yang tak bisa apa pun selain ketakutan atau melarikan diri.

"Maaf, Airi. Saya hari ini pulang larut lagi. Tapi, ini sudah perjalanan pulang. Apa ada yang Airi mau? Oh, kertas origaminya sudah saya beli. Ada cukup banyak untuk Airi."

Airi termangu membaca pesan teks di ponsel genggamannya. Tak membalas.

"Airi, kau baik-baik saja di sana? Kalau ada apa-apa kabari saya segera, ya."

Notifikasi yang terus-terusan masuk mengiringi suara bantingan barang dan teriakan seseorang di ruangan lain, serta langkah kaki yang terdengar semakin mendekat. Benda di tangannya bergetar kuat. Airi menempelkannya ke telinga.

"Halo? Halo! Airi? Apa terjadi sesuatu? Kau baik-baik saja!?"

Langkah kaki berat dan tergesa terus mendekat. Pintu terbuka.

"... Se ... Sensei...."

"Kau masih di sana? Airi! Ada apa!?"

Airi menutup mulut dengan sebelah tangan. Merapatkan pelukan di lutut sambil berharap pakaian di dalam lemari baju ini mampu melenyapkan eksistensinya. Namun, siluet besar yang malah menghadang cahaya masuk dari celah-celah yang ada, jelas memupuskan harapannya.

Kemudian, yang terakhir kali Icarus dengar adalah teriakan dan seruan penuh amarah di seberang sana.

Serta jerit kesakitan yang sudah lama tidak Icarus dengar dari pasiennya.

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro