12: Inovasi dan Motif Penculikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Liona Catur Purwasita menatap ke arah jam dinding di kamarnya, jarum jam menunjukkan pukul sembilan. Kamarnya yang sudah rapi bertambah nyaman untuk dilihat karena cahaya matahari yang menghiasi, mulai bersinar terik.

Tubuhnya sudah terasa segar, dengan setelan kaus dan celana jeans selutut gadis itu segera melangkah menuju lantai bawah, menghampiri dapur.

"Selamat pagi!" sapa Alfan, membuat Ziolin dan Avdan menoleh. Mereka bertiga ada di meja makan yang terletak di sebelah dapur.

Liona tersenyum tipis menimpali, mendekat ke arah kompor.

"Sarapan, Lio," ujar Ziolin yang sedang makan.

Liona meraih piring dan mengambil nasi goreng. "Bang Zio yang masak?"

"Iya." Ziolin menjawab. Liona mengangguk-ngangguk, membawa sepiring nasi goreng itu ke meja makan, duduk di samping Avdan dan berhadapan dengan Ziolin.

"Udah ungu tuh, masih sakit?" tanya laki-laki di hadapannya itu.

"Kalau kesentuh." Liona menjawab. Lebam di pipinya memang semakin tampak, dan itu hal yang wajar. Apabila lebam atau memar itu ringan, setelah berwarna ungu seharusnya tidak lama lagi akan pulih.

Ziolin datang ke rumah kemarin malam, setelah mendengar berita bahwa Liona dihajar. Ia membantu mengobati luka lebam itu sambil menceramahinya.

Diondar ikut-ikutan dengan menimpali, "Bukannya udah dibilang kalau mau berantem juga harus perhitungan? Kecuali emang terdesak. Tapi kalau bisa ya mending kabur atau panggil siapa dulu kek."

Liona hanya menjawab dengan, "Iya, iya."

Liona juga memberi tahu bahwa ia sebenarnya tidak sendirian, hanya saja temannya kabur. Alfan malah menyahutinya dengan berkata backup-nya tidak patut dijadikan backup.

"Jadi, lo nggak bakalan balik ke mereka lagi, Fan?" tanya Liona setelah menelan sesendok nasi goreng.

"Nggak mungkin." Alfan menjawab. "Gue udah ketauan dan mereka pasti udah lebih berpengalaman, setelah tau kalau gue cuma nyusup, mereka bakalan lebih hati-hati."

"Tapi, bukannya lo pernah ikut Bang Haikal nyerang mereka, ya? Kenapa bisa mereka terima lo gitu aja?"

"Udah dibilang mereka itu minim pendidikan ...," ujar Alfan, kemudian ia berpikir sebentar. "Bukan, minim akal. Gue cuma ganti gaya rambut sama ngasih luka doang udah cukup, tapi itu juga karena gue waktu nyerang mereka pakai masker sama windbreaker, sih."

"Hmm ... untung Alfan bisa ngambil informasi dengan cepat, tiga hari dan kita jadi tau motif teror mereka." Avdan menyahut, dia sibuk menatap handphone.

Alfan tersenyum miring. Sebuah kesalahan memuji kedua orang yang duduk berhadapan itu. "Namanya juga gue, mata-mata terpercaya."

Kemarin, Alfan ternyata sedang bertugas. Ia mengaku merupakan anak geng baru yang dimasukkan ketua karena sebagian kelompok mereka sempat diringkus oleh geng Haikal. Untungnya, info yang Alfan dapatkan tentang mereka cukup, Alfan mengetahui nama ketua geng dan beberapa wajah dari membernya.

Goresan luka bakar di bawah matanya itu sendiri merupakan hiasan. Pemanis, kata Alfan. Ia tidak seberani itu untuk membuat codet, sehingga memutuskan membakar kulit bawah matanya dengan setrika saja.

Sungguh sebuah pengorbanan untuk menjadi mata-mata.

"Jadi, siapa di antara kita yang bakal diculik selanjutnya?" tanya Diondar yang baru saja datang ke dapur.

Alfan mengendikkan bahu. "Mereka beneran nggak tau apa-apa. Maksudnya, semua ini arahan ketua, ketua pun dikasih tau siapa yang harus diculik itu seminggu sebelum waktu penculikannya."

"Kalau pertama Hasan, kedua Liona, kira-kira ada pattern-nya nggak?" Diondar yang sedang mengambil nasi bertanya lagi.

"Firasat gue, kalau nggak lo, ya Avdan."

Avdan sontak menghentikan game-nya, mendongak dengan delikan. "Gue?"

"Lo unsur penting di saat-saat kayak gini, lo juga lemah–maksudnya nggak sekuat yang lain–jadi possible aja." Alfan menjelaskan.

Avdan menghela napas. "Memang, sih, gue ini penting banget."

"Kalau pattern-nya berdasarkan yang penting, berarti gue lebih penting dong dari Bang Avdan?" tanya Liona pada Alfan, heran, tidak bermaksud menyinggung.

"Memang," sahut Ziolin cepat, bermaksud menyinggung.

Avdan mendengkus, sementara Alfan terkekeh. "Ya, lo bisa dibilang berharga, sih, satu-satunya perempuan di sini, bungsu lagi, siapa yang nggak bakal anu kalau lo yang diculik?"

"Sama kayak Bang Hasan." Ziolin berujar. Diondar bergabung ke meja makan.

Berdasarkan informasi yang Alfan dapat dengan masuk di antara geng bawahan Dharma itu, sistem geng mereka dibagi menjadi kelompok untuk pekerjaan ini. Ada tiga kelompok dan setiap korban harus satu saja yang bergerak, sebagai bentuk antisipasi. Alfan bergabung di kelompok yang dianggap kelompok ketiga, sedangkan kelompok yang mau meringkus Liona merupakan kelompok kedua.

Sehingga, ketika satu kelompok diserang, kelompok lain jadi masih sepenuhnya utuh dan kuat, tanpa terdeteksi bahwa mereka masih ada dan bergerak. Namun, untungnya, Purwasita tidak sembarangan. Setelah proses pengumpulan data, mereka mengetahui masih ada yang berkeliaran.

"Semangat banget elah saudara-saudara gue, masih pagi udah ngebahas penculikan," sahut Haikal yang berjalan melewati meja makan. Tubuhnya terlihat bersimbah keringat hingga hampir membasahi baju kausnya secara total.

Mereka hanya melirik laki-laki itu, kemudian mengalihkan perhatian lagi.

"Kalian nggak ada yang ke perusahaan?" tanya Liona, merasa asing dengan keramaian ini. Karena mereka sebenarnya sudah hampir tidak pernah duduk bersama lagi seperti ini.

"Aku, nanti," jawab Diondar, "sama Bang Avdan, ya, 'kan, Bang?"

"Ya."

Liona melirik laki-laki berkacamata itu. Kepribadiannya ketika bermain game dan tidak sungguh berbeda. Sok cool, kalau kata Liona.

"Lancar, 'kan, ya, projek aplikasinya?" tanya Alfan.

"Sampai sekarang, syukurnya iya," jawab Diondar.

Nasi goreng di piring Liona sudah tandas, ia teringat obrolan Jiovana dan Raihan yang samar-samar ia dengar dulu, kemudian mendongak, menatap Ziolin dan Diondar bergantian. "Yang maksudnya Ayah disuruh menyerah itu, inovasi ini, 'kan?"

Mereka berdua tertegun, tidak menyangka akan dilempar pertanyaan seperti itu.

"Eumm ... bisa dibilang iya." Ziolin menjawab. "Tapi, kayaknya mereka lebih ke anak perusahaan baru-nya Purwasita Group, sih."

Liona mengernyitkan kening.

Alfan menjentikkan jari di hadapan Liona. "Anak perusahaan baru media itu loh, udah pernah gue kasih tau, 'kan?"

"Iya, iya, gue inget. Anak perusahaan baru itu juga dasarnya kebentuk karena inovasi ini, 'kan, kata lo?" balas Liona.

"Bener, sih, tapi walaupun gitu, tetep beda konteks. Kalau aplikasi baru kita dicegah, misalnya, diapain, lah, anak perusahaan juga bakal tetep berdiri. Aplikasi ini jadi tolak ukur aja kalau kita bisa punya peluang untuk dirikan perusahaan iklan dan media," jawab Ziolin lagi.

"Memangnya aplikasinya apaan, sih? Sampai ngundang beginian segala." Akhirnya, pertanyaaan inti mengenai inovasi dilontarkan oleh Liona.

"Aplikasi hotel, cuma ... kita punya fitur VR." Ziolin melipat kedua lengannya di atas meja. "Virtual reality."

"Wah? VR?" Liona tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Iya, virtual hotel tour pakai VR, jadi orang bisa bener-bener ngebayangin gimana hotel kita sebelum mesan."

"Cukup buat naikin pemasaran?" sahut Alfan bertanya.

"Kita, sih, percaya cukup banget. Di 2019 ini, VR udah makin terkenal bahkan di Indonesia, cuma belum banyak yang manfaatin teknologi ini sebagai media-media di luar game. Jadi, perusahaan dan hotel kita bisa dianggap sebagai salah satu yang pertama bikin inovasi ini di Indo." Kali ini, Diondar yang menjawab.

"Ini berarti berlaku cuma buat yang punya VR?" tanya Liona.

"Ada yang namanya pemasaran langsung, kita bakal nyediain VR ini di hotel dan di tempat umum ... kayak mall misalnya, karena ya ... mungkin belum banyak yang punya VR." Ziolin kembali setia menjawab.

Liona bergumam. Sejujurnya, Liona selalu kagum dengan kakak-kakaknya, bahkan pada Diondar. Laki-laki yang tampangnya biasa-biasa saja dan terlihat seperti anak petakilan di sekolah itu sebenarnya juga sangat pintar.

"Emang ya, otak Ayah digabung sama otak bawahan-bawahan Ayah–Gara, Pak Arkan, Raihan, Bang Jio, Zio–ini nggak bisa diragukan," celetuk Avdan yang sudah selesai bermain game. "Apalagi kalau ditambah otak gue, makin makin."

Jadi, kurang lebih motif teror mereka ini penculikan yang nggak akan dilepaskan sebelum Ayah menggagalkan rencananya, begitu ya? Liona bergumam dalam hati, mengabaikan personal branding Avdan, dan sayangnya memang tidak ada yang peduli. Mereka semua bangkit membawa piring masing-masing ke wastafel.

Avdan malah tercengir sendiri, kemudian ikut beranjak dari meja makan menuju kamarnya. Liona menemukan mereka hanya menaruh piring tanpa mencuci, sehingga ia yang mencucikan semuanya.

Waktu berlalu, Liona hendak naik kembali ke kamarnya. Diondar dan Avdan sudah siap dengan setelan kemeja dan celana jeans, beranjak keluar rumah.

Tiba-tiba, terdengar suara ringtone yang cukup nyaring. Avdan mengeluarkan handphone-nya dan mengangkat telepon itu.

"Ya, halo, Gar?"

Liona menaiki tangga sembari memasang indra pendengarannya.

Avdan terkesiap. "Hah?"

"Kok bisa? Oke, Gar, siap!" Avdan terdengar panik. Laki-laki itu berlari kembali menuju kamarnya, sambil mencoba menghubungi seseorang.

Liona berhenti, turun kembali dan melongokkan kepalanya dari tangga, menatap kamar Avdan. Ia menoleh ke arah Diondar yang berdiri di perbatasan antara ruang tamu dan ruang keluarga, menaikkan sebelah alisnya sembari mengendikkan dagu bertanya.

Laki-laki itu sepertinya sedang loading, karena setelahnya ia baru berseru panik, "Sistem perusahaan diretas! Ada dokumen atau data yang dicuri!"

Sontak, perkataannya disahuti dengan seruan 'hah' yang nyaring dari penghuni rumah yang tersisa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro