20: Fakta Terungkap (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Liona menaruh nampan di atas nakas dan beranjak duduk di kursi tak jauh dari sana, menyenderkan punggungnya, menatap wajah Alfan yang terlihat berada di alam mimpi. Perban menutupi pipi kiri dan pelipis kirinya. Dokter sudah memeriksanya sejak malam hari kejadian dan dia masih harus banyak istirahat.

Entah apa yang mengendalikannya, Liona tersenyum kecil. Beruntung Alfan orang yang kuat. Namun, tak lama ekspresinya berubah normal kembali, setitik beban menguasai matanya. Ia masih belum mendapati kebenaran mutlaknya, apa yang terjadi di antara keluarganya dan keluarga Rio, apa yang membelakangi konflik ini, tentang ayahnya ... apa ia perlu bertanya pada kakak-kakaknya?

Liona melirik telapak tangan Alfan yang terbuka, lalu menatap selimut yang menutupi tubuh pemuda itu. Ziolin bilang, Alfan bercerita kalau dirinya dikeroyok dan ditendangi. Liona menghela napas, menumpu siku kiri di kasur dan menopang dagu dengan tubuh menghadap nakas, sempat melirik Alfan lagi sebelum beralih ke dua piring makan di atas nampan.

Sepertinya ia tidak perlu membangunkannya. Biarkan Alfan makan saat sudah bangun dengan sendirinya. Akan tetapi, ini sudah hampir melewati jam makan siang.

Liona mengangkat dagu dan menjatuhkan lengan ke kasur, terdiam sejenak menatap badan nakas. Ia pun memutuskan untuk beranjak, tetapi tertegun saat punggung tangannya terlingkupi hangat telapak tangan milik satu-satunya orang di ruangan ini selain dirinya.

Liona merasakaan desiran aneh mengaliri tubuhnya. Ia mengangkat pandangan pelan, menatap tangan Alfan yang bergerak ke bawah tangannya, sehingga telapak tangan mereka kini bersentuhan.

"Aih, tangan kanan, dong."

Liona menaikkan pandangan, melihat Alfan masih terpejam. Namun, tak lama matanya terbuka secara perlahan, melirik Liona dengan senyum tengil khasnya yang tak bisa ia tahan.

Ah, dasar, kondisi begitu masih aja suka jail sama perasaan orang. Liona mendengkus, tetapi tak bisa menyangkal perasaan aneh yang merasuki jasmani dan rohaninya. Ia pun menarik tangannya.

Alfan menatap lebam di pipi gadis itu, tersenyum miris, merasa sedikit bersalah. Ia mengangkat punggungnya menyender ke kepala kasur sembari mengernyit. Setelah nyaman, jari-jari tangan kirinya bergerak naik-turun memanggil. "Sini tangan kanannya."

Liona menatap Alfan malas, mengendik ke arah nampan. "Makan sana."

"Bentar, ngumpulin energi dulu." Ia berujar, masih setia menyodorkan tangan kirinya. "Sinii, bantu biar energinya bisa kekumpul."

Karena gemas, Liona memukul lengan kiri Alfan. Erangan langsung terdengar. "Aduh, itu sakit!"

Liona mendelik, baru ingat lengan Alfan juga memar. "Eh-eh, maaf."

"Kebiasaan," tukas Alfan sinis, mengusap pelan lengan kirinya. Memilih menyerah. Lagipula, ia jadi merasa geli sendiri. "Ke mana aja lo kemaren? Bosen gue, yang selalu ke sini Avdan, Bang Zio, Avdan, Bang Zio terus."

"Pengumpulan energi, diem di kamar, nggak kayak lo, ngumpulin energi megang tangan orang. Lo megang tangan Bang Avdan kemaren?"

"Iya." Alfan tertawa. "Ya nggaklah."

Liona memutar bola matanya, menggeleng-geleng pelan sembari mengalihkan pandangan. Ia melirik jam dinding di kanan. Sudah hampir sore.

"Ada sesuatu lagi di sekolah?" Liona menoleh mendengar pertanyaan itu. Alfan mengangkat sebelah alisnya.

Liona tersenyum tipis, lalu beralih menatap kedua tangannya di pangkuan, memain-mainkan jarinya. Senyumnya luntur, digantikan raut wajah yang terlihat menimbang keputusan. Ia mengembuskan napas berat seraya merapatkan bibir, berujar, "Not in school."

Alfan tersenyum. "Lo nggak harus terus-terusan nyimpen apa yang lo rasain. Lo pinter, lo pasti tau yang mana yang bisa dibagikan dan siapa yang bisa jadi tempatnya."

"Yeah, I know."

"Ye ai no, ye ai no aja, beneran know nggak?"

Liona mendengkuskan tawa dan menundukkan pandangan, lalu mendongak dan tersenyum. "Iya, Alfan."

Alfan terkekeh geli. "Anjir, jangan gitu."

"Lo emang maunya dikasarin terus ya?" Liona mengangkat sebelah alisnya.

"Ya nggaklah!"

Liona mencibir. "Lo kayak yang nggak abis setengah sekarat."

"Masih rada nyeri sama pegel aslinya, tapi bisa aja tahan." Alfan meregangkan lengannya.

Liona mengangguk-ngangguk. Alfan terdiam, menatap gadis di samping kirinya itu lamat, lantas berdeham. "Gue baru tau Rio bagian dari Dharma, dia anaknya siapa?"

Liona membatu, sorot matanya kembali berubah, timbul rasa sakit tersendiri. Alfan memang mengenal Rio, tetapi hanya pernah bertemu sekali. "Dia beneran ada di deket lo?"

"Dia ... aneh, selama gue udah tepar, dia jadi bagian yang jagain gue, tapi ... kayak nggak bener-bener jagain." Alfan berujar, mulai mengerti keadaan yang menimpa Liona. "And he asked about you."

Liona mendongak, menunjukkan raut yang Alfan tak bisa artikan.

"Dia nanya kabar lo, terus kayak yang ... yah, tiba-tiba cerita kalau kalian udah hampir nggak pernah tukar suara," lanjut Alfan, "Agak ngeselin, sih, gue pengen nabok dia kalau aja punya energi, orang udah keliatan bonyok malah nanyain lo."

Liona tersenyum pahit, lagi-lagi berhasil dibikin galau oleh tindakan Rio. "Yeah ... dia memang aneh."

Senyum pahitnya berubah menjadi senyum kecil, Liona bangkit berdiri. "Makan dulu, udah mau sore."

Alfan menatap nampan di samping dan Liona bergantian. "Lo yang masak?"

Liona mengangguk, hendak pergi menjauh. Alfan tersenyum manis, mengucapkan terima kasih, yang dibalas Liona dengan senyum hangat nan tulus. "Sama-sama." Cepet sembuh.

Liona beranjak keluar kamar, tanpa tahu sosok yang ditinggalkannya tertegun tak percaya melihat pemandangan yang baru saja terjadi.

Liona memutuskan untuk pergi ke halaman belakang setelah melihat keberadaan Haikal di sana dari jendela. Ketika tidak ada kerjaan, laki-laki itu suka sekali menikmati udara belakang rumah sembari merokok.

Liona mendekati sosoknya yang duduk bersila di atas batu pijakan menuju kolam ikan, lengannya terlipat di atas lutut yang ditinggikan. Liona berhenti di samping kanannya, tepat saat kepulan asap terlihat di udara.

Haikal melirik ke arah Liona yang memandangi langit di depan, tak berkata apa-apa. Ia beralih mengetuk-ngetukkan ujung rokok ke sisi batu yang didudukinya, lalu mendongak dan menghela napas dengan rileks.

"Boleh minta rokoknya juga?" tanya Liona, membuat Haikal mendelik. Ia mendongak, menatap Liona yang kini menatap ke arahnya.

Haikal terkekeh, menggeleng-geleng tak percaya. "Gue bisa ngasih, tapi izin dulu tuh sama kakak lo yang di balkon, entar gue lagi yang disemprot."

Liona menoleh ke belakang, menatap balkon lantai dua, mendapati ZIolin duduk dengan pandangan lurus memperhatikan mereka.

"I guess it's a no." Liona menatap depan kembali seraya mengendikkan bahu tak acuh, ia mendudukkan dirinya di atas rumput yang terpangkas rapi, lalu meluruskan kakinya dan sedikit menekuk lutut ke atas.

"Berat ya, Li? Anggap aja simulasi quarter life crisis." Haikal berujar, dengan santainya kembali mengisap rokok.

Liona tersenyum kecil sekilas, melingkarkan lengannya mengelilingi bagian lutut yang tertekuk. Meskipun terlihat jarang menghabiskan waktu bersama, Liona dan Haikal tak canggungan, karena salah satu orang yang mengajari Liona berantem ketika masih SD adalah Haikal.

"Emangnya quarter life crisis berhubungan sama bunuh-bunuhan, sama persaingan nggak sehat?" tanya Liona, lalu menoleh ke arah Haikal.

"Ya ... anggap aja rasanya kayak gitu." Haikal menjawab dengan apapun yang muncul di kepalanya.

Wajah Haikal tampak bersih seakan tak terlibat perkelahian besar kemarin lusa, mungkin imbasnya bukan ke wajah tetapi tubuhnya.

Liona mengalihkan pandangan ke depan kembali, mengerjap-ngerjap saat matanya berserobok dengan cahaya matahari yang mulai berubah jingga. "Abang nggak ngerasain tertekan?"

Haikal menggesek-gesekkan ujung rokok ke batu, kemudian melemparnya tanpa tahu arah, hampir masuk ke kolam ikan. Liona pun mendapati satu putung lagi di dekatnya.

"Tertekan?" Haikal mengulang. "Yah ... gue tertekan untuk cepet-cepet nonjok pelaku utamanya."

Liona tersenyum miring, menggeleng-geleng kecil. Ia mendongak ke kiri saat Haikal beranjak berdiri, laki-laki itu tersenyum tipis menatap suasana petang hari. "Sekali-sekali lo emang harus meditasi di luar kamar."

Haikal pun pergi meninggalkan Liona yang kembali fokus menatap ke depan, ia menarik lututnya hingga lebih tertekuk, lalu memeluknya. Dia juga nggak tau apa-apa di balik semua ini?

Angin yang berembus tenang serta langit senja yang memanjakan mata membuat Liona belum ingin beranjak. Namun, lamunannya terputus saat seseorang menyusul duduk di sebelahnya.

Liona menoleh ke kiri, memperhatikan wajah Ziolin yang menggantikan posisi Haikal. Laki-laki itu pun menoleh, tersenyum kecil. "Banyak yang terjadi ke kamu, ya?"

Liona hanya tersenyum kecil untuk beberapa saat, lalu menghela napas sembari menundukkan pandangan ke arah kaki. "Bukan ke kita?"

"Kamu dapet ekstra."

Liona paham apa maksudnya. Ia menaikkan pandangan, tak tahu benda apa yang menjadi sorot fokusnya. Benaknya hanya berisikan nama Rio dan Alfan. "Bang Zio denger Bang Haikal sama Bang Raihan berantem?"

Ziolin mengangguk. "Nggak begitu jelas, sih, paling pas bagian teriak-teriaknya aja, suasana di antara mereka juga udah mulai mencair."

"Apa ada alasan selain moral yang bikin Bang Raihan nggak mau ngebunuh orang yang jadi bagian nyakitin Alfan?"

Ziolin bergeming untuk sesaat. "Setau aku, Bang Raihan memang tipe yang ngeliat kekerasan ada takarnya, dia nggak mandang sebelah mata banyak hal, melainkan melihatnya secara luas."

Oke, terus apa yang bisa diliat secara luas dari pembunuhan? Bukannya mereka udah bunuh Bang Hasan? Liona menipiskan bibir. Ia melirik Ziolin, berpikir sejenak, kemudian memantapkan diri, bertanya, "Sebenernya Ayah sama Om Ananta udah bersaing dari kapan?"

Ziolin menoleh dan menaikkan kedua alisnya, lalu menghadap depan kembali dengan wajah sedikit tertunduk. "Kita emang udah bersaing dari lama, Liona."

"Makanya kalian nggak kaget?"

"Ya ... aku tetep kaget, sih. Kirain mereka nggak akan sampai kayak gini." Ziolin menjawab, kemudian menatap Liona, meneliti raut wajahnya. "Ini yang ngeganggu kamu? Kirain keliatan nggak berenergi gara-gara Alfan."

Liona melirik kakak keduanya itu sekilas, lalu merubah posisi duduk jadi bersila. Embusan angin membawa helaian rambutnya ke belakang. "Bermula dari apa? Kita udah bersaing dari aku masih SMP, 'kan?"

Ziolin terdiam, matanya bergulir menatap pemandangan di depan. Setahunya, Liona tak begitu tahu intrik permasalahan perusahaan. Ia menghela napas pelan. "Kamu sadar ya, ternyata? Atau ada yang ngasih tau kamu?"

"Rio." Liona berkata jujur. "Aku ketemu dia dan dia bilang, keluarganya ngelakuin semua ini karena Ayah sendiri."

"Memangnya Ayah kenapa?" Liona akhirnya menoleh. "Apa Ayah yang mulai semuanya?"

Ziolin bergeming, melirik Liona. Menimbang-nimbang apa perlu ia menjawab sejujurnya. Laki-laki itu mengulum bibir. Namun, apakah berbohong langkah yang tepat? Liona pasti mengharapkan kebenaran. Ia mematut-matut, membuat keputusan.

"Rio nggak salah." Ziolin berujar. "Jujur, aku juga nggak tau banyak tentang masalah perusahaan sebelum jadi karyawan, tapi Bang Jio tau. Dia juga bicarain itu sama aku. Kita sama-sama bingung. Kamu aja bingung, 'kan, kenapa bisa Ayah yang mulai?"

Kelopak mata Liona meredup, tetapi ia ingin mendengarkan lebih.

"Dulu, Dharma Konstruksi itu perusahaan terbuka, artinya mereka ngejual bebas saham mereka di bursa saham, jaringannya lebih luas. Resikonya ya ... kecurangan sama penipuan mudah masuk. Dharma Konstruksi ngalamin itu, perusahaannya udah bisa dibilang bangkrut." Ziolin membiarkan kata demi kata keluar. "Mereka mutusin buat datengin Ayah, secara dulu kita pernah kerja sama waktu Ayah juga kesulitan. Bang Raihan sama Bang Jio ada di sana, mereka minta bantuan, nggak tau apa, tapi Ayah nolak."

Liona mengangkat sebelah alisnya.

"Bang Raihan juga nggak nyangka Ayah secepat itu nolak, terus ya ... kasar. Ayah emang pinter ngomong, nggak heran kalau mungkin Om Ananta jadi kena mental."

"Ayah ngomong apa?"

"Bang Jio cuma bilang, Ayah malah nyalahin Om Ananta, katanya, salah Om Ananta sendiri nggak perhitungan ngambil langkah buat perusahaan, karena kesalahan sendiri ya harus diselesaikan sendiri. Intinya kayak gitulah, seakan bilang Om Ananta itu bodoh dalam hal bisnis."

"Kenapa Ayah gitu?"

Zioling menggeleng-geleng. "Nggak ngerti juga."

"Emangnya cuma begitu bisa dendam sampe begini?" Liona mengernyitkan kening.

"Nggak berhenti di situ, setelah Dharma Konstruksi berhasil bangkit lagi pun Ayah justru kayak ngajak bersaing, mungkin dari situ Om Ananta jadi dibuat benci kayak gini?"

Liona masuk ke dalam lautan memorinya, bergumam pelan, "Ayah gue takut ayah lo semakin semena-mena."

"Aku tau karena Om Ananta pernah nyindir kita di media." Ziolin melanjutkan.

Setelahnya, suara Ziolin serta keadaan di sekitar Liona seakan senyap, jawaban tadi sudah cukup menjawab pertanyaan gatal di kepalanya.
Betapa ia sangat ketinggalan berita, betapa tak ia sangka bahwa kegelisahannya benar, Giovander yang memulai persaingan tidak sehat ini.

Tapi kenapa Rio bisa nggak dibuat ikut benci gue? Liona menatap menerawang, mengingat pesan terakhir Rio yang mengatakan meski ia kangen, ia harus berada di sisi ayahnya.

"Kita juga  ggak tahu hati orang, 'kan? Makanya, sebuah kata-kata bisa jadi sebuah pedang." Ziolin tersenyum tipis. "Tapi, aku cerita gini bukan berarti kita patut membelot dari Ayah, nggak."

Ia menepuk-nepuk kepala Liona. "Udah, yuk, keburu gelap."

Liona tetap di tempat sementara Ziolin telah masuk ke dalam rumah. Ia menunduk dalam, bingung merespons semua fakta yang ada.
Terlalu memusingkan, Dharma tengah melaksanakan dendam, ketakutan. Dendam. Bukankah berarti Purwasita memang bersalah dan pantas? Jika mereka membalas Dharma, dendam dibalas dendam. Liona mengacak rambutnya frustrasi, kenapa jadi rumit begini?

Hebat banget anak itu, hatinya terbuat dari apa, sih? Ayahnya sampai dendam, dia malah meminta ayahnya untuk nggak menyakiti kita. Liona tersenyum miris. Seketika, kenangan tentang mereka berputar kembali di kepalanya.

Sepuluh tahun yang lalu, Liona sebagai anak baru, ditempatkan di sebelah Rio Wijaya Putra. Lalu ayah mereka terlibat kerja sama perusahaan, membuat Liona dan Rio menjadi semakin dekat.

Liona menghela napas berat, ia lebih dulu mengenal laki-laki itu daripada kakak-kakak angkatnya. Bahkan, dulu Liona sempat merasakan perasaan lebih untuk Rio, hingga ia sadar mungkin mereka tak lebih dari sekadar sahabat, dan Liona pun menyadari lama-kelamaan perasaannya lebih terasa seperti rasa sayang kepada saudara.

Liona tertegun, menyadari suatu hal.

"Enak banget, sih, saudaramu banyak, aku di rumah sendirian terus."

Liona mencibir. "Makanya, punya saudara."

Rio terkekeh, menatap Liona dengan pandangan berbinar. "Aku selalu nganggap kamu saudaraku kok, Liona. Kamu itu kayak adek yang selama ini aku pengen, kamu mau, 'kan, kita jadi saudara?"

Rasa sesak kian menyelimuti dada Liona. Tak ada isakan, tak ada tangisan. Namun, terasa sangat menyakitkan. Ini bukan lagi sekadar berpisah dengan sahabat. Ini ... seperti kehilangan dua orang saudara.

Liona menengadah, menatap langit yang mulai menggelap dengan sendu, tanpa mengetahui ... seseorang turut merasakan sesak yang sama.

Di dalam rumah tingkat dua, di dalam ruangan bernuansa cerah, laki-laki berkacamata itu bersender pada dinding dengan tatapan kosong. Tak beranjak dari kamar sejak hari di mana mereka saling membentak.

Keduanya menghela napas panjang.

Jadi, siapa yang sebenarnya jahat di sini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro