The girl under the streetlight

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dedicated: ReadersWritersClub

Aku berjalan sambil memeluk tali tas punggungku. Sambil mengelap dahiku yang beberapa kali mengeluarkan keringat. Padahal, malam ini angin berderu sangat kencang. Di tambah, jalan yang aku lewati dekat dengan laut. Tetapi, kenapa aku malah berkeringat?

Sialan. Aku menghentikan langkahku. Dia di sana, berdiam diri di bawah lampu jalan sambil memasukkan sebelah tangannya di saku celana, menunduk menatap kakinya yang tak lagi menggapai tanah. Aku meneguk ludahku. Berjalan mundur dengan langkah hati-hati.

Jangan menoleh, kumohon. Keringat di dahiku terus bercucuran dengan derasnya. Degub jantungku, sudah semacam lampu diskotik. "Hei!" Orang itu berteriak memanggilku. Aku harus lari, segera!

Terlambat. Dia sudah menarik tasku terlebih dahulu, memperlambat setiap langkahku. "Sudah kukatakan, kau tidak bisa lari dariku! Manusia lamban!"

"Maumu itu apa?!" Aku setengah berteriak, menggoyang-goyangkan tubuhku. Agar tangannya yang mencekal tasku dapat terlepas. Aku dapat melihat dia menyeringai. "Kan sudah kukatakan kau harus membantuku!"

Aku memutar kedua bola mataku. Dia gadis yang meninggal pada bulan November, saat perayaan hari jadian yang ke 3 tahun bersama kekasihnya. Gadis itu meninggal tepat di bawah lampu jalan yang berada di pinggir laut. Dan yang terakhir, gadis itu selalu menerorku untuk membantunya menyelesaikan beberapa masalahnya. Agar dia bisa pulang ke tempat yang abadi.

Memangnya aku cenayang apa? Yang seenak jidatnya memanggil dan memulangkan roh. Gila. Hanya karena aku dapat melihat mereka bukan berarti aku bisa membantu mereka. Lagi pula, aku juga masih suka takut melihat spesies mereka. "Dan sudah kukatakan lagi, aku tidak bisa membantumu!"

Dia menggeram kesal. "Kau!!!" Matanya memerah. Oh tidak, aku telah membuatnya marah. Ini bahaya. Dia mendorongku, dan membuat punggungku tertabrak dengan tembok jembatan pemisah jalan dan laut. Nafasku tercekat. Dia mencekikku.

You don't have to be afraid. You're life, and they're not. Orang yang hidup itu rohnya lebih suci, daripada yang tidak. Aku yang sedari tadi memejamkan mataku, dan kemudian membuka mataku; menantang. Kutipan quotes dari film horror yang aku lihat kemarin malam, benar. Aku tidak perlu takut. Aku mendorong tubuhnya dengan kuat, hingga ia terlempar jauh menabrak tembok jembatan.

Dia bangkit. Aku bersiap-siap memasang kuda-kuda, menatapnya dengan mantap dengan tangan yang terkepal di depan dada. Dugaanku salah, aku pikir dia akan melawanku ternyata dia malah menghilang. Aku merapikan bajuku yang mulai lusuh, nafasku masih memburu. Aku melangkahkan kaki berjalan pulang.

"Aku pulang." Aku membuka pintu kos-kosanku, dan langsung menghempaskan tubuhku ke kasur. Habis sudah tenagaku gara-gara melawan hantu sialan itu. "Lemes gitu. Ada apaan sih?" aku menolehkan kepalaku ke arah kamar mandi. Adit. Teman sekamarku yang kini tengah bertelanjang dada, sambil menggesek-gesekkan handuk ke kepalanya yang basah.

"Biasa. Setan gila di bawah lampu jalan yang di dekat laut itu lho ..."

Dia menganggukkan kepalanya, kemudian menjatuhkan bokongnya di kursi depan meja komputer. Terlihat seperti tengah berpikir keras. "Emangnya setannya itu kayak apa sih, Rez? Cantik gak? Kalau cantik gebet saja, Rez. Kamu kan jomblo akut." Adit tertawa, aku melempar wajahnya dengan bantal.

"Sialan." Aku ikut terkekeh. "Kayak kamu enggak jomblo saja,"

"Aku memang jomblo tapi aku jomblo kelas atas." Adit menampilkan wajah sok gantengnya. "Semerdeka kamu lah, Dit."

Aku menempelkan punggungku ke tembok dengan kedua tangan yang terlipat di belakang leher. Apa aku harus bantu hantu itu? Kalau dipikir-pikir hantu itu terlihat menyedihkan sekali. Tak jarang aku mendengar suara tangisannya.

Tak berniat ambil pusing. Aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Aku menghentikan langkah kakiku. Terpaku tatap pada kaca yang berlumur darah, bertuliskan. "Tolong aku!!!" dan suara tangisan pun mulai menggema. Lampu kamar mandi yang tadinya menyala, kini berubah menjadi gelap. Aku merasakan embusan angin yang berembus di wajahku

"Dia sudah berjanji ..., dia berjanji."

***

"Dit, ikut aku." Dia langsung menarik tangan Adit tanpa meminta persetujuannya. "Mau ke mana?" Adit berusaha melepaskan tangannya yang dicengkram kuat oleh teman sekamarnya itu.

"Sudah ikuti saja aku." Tak ingin membantah, Adit terus mengikuti langkah kaki teman sekamarnya itu. Sampai akhirnya, teman sekamarnya membawanya ke lampu pinggir jalan yang berada di pinggir laut. Lampu jalan yang sering terdengar kabar burung bahwa ada sosok wanita yang sering berdiri di bawah lampu jalan sambil menangis.

Dia menundukkan kepalanya tepat di bawah cahaya lampu jalan. Membiarkan lampu jalan meneranginya dan orang yang selama ini dinantinya tetapi tak kunjung datang. "Aku menunggumu, aku menunggumu di sini." Dia menatap Adit lekat-lekat. "Kau sudah berjanji padaku, Tia."

Adit terperangah, ketika suara teman sekamarnya berubah menjadi suara perrempuan. Ini adalah tubuh Reza teman sekamarnya, tetapi jiwa ini. Bukan jiwa Reza. Tia. Nama terakhir dari nama aslinya, Aditya. Dan hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama Tia.

***

Adit: Maaf ya, sayang. Aku gak bisa jemput kamu.

Ratna: Iya. Santai saja, Tya. Tapi nanti kamu janji ya, bakalan dateng.

Adit: Janji

Ratna: Bener nih? Jangan kayak waktu itu, ya. Kamu bilangnya dateng tapi kamu malah enggak dateng.

Adit: Kan waktu itu aku ada keperluan, makanya enggak dateng. Kali ini aku pasti dateng kok. Kamu tunggu saja

Ratna: Oke.

Ratna beberapa kali, mondar-mandir sambil menempelkan seperangkat kotak bernama ponsel ke telinganya. Adit tidak mengangkat telepon darinya. Adit sudah berjanji akan datang. Untuk merayakan anniversary hubungan mereka yang ke 3 tahun.

Hari sudah mulai gelap. Sudah 3 jam, ia menunggu Adit di bawah lampu jalan ini. Tiba-tiba segerombolam orang berwajah sangar menghampirinya. Ratna memasang muka cemas.

"Hai, cantik. Sendirian aja nih, mau ditemenin sama abang enggak?" salah satu anggota preman membuka suara. Menggoda, dan mencolek lengan Ratna. Ada sebagian yang tertawa, melihat aksi temannya yang menggoda Ratna.

"Jangan, macam-macam. Atau saya akan teriak." Ancam Ratna.

Semua preman itu tertawa mengejek. "Oh, aku jadi takut. Jangan galak-galak atuh, neng." Preman berambut gondrong memasang gimik pura-pura takut. Dan seketika ia memasang wajah sangarnya. "Silakan teriak, kami tidak takut." Preman itu tertawa.

Preman itu mulai menarik paksa baju Ratna. Menyobeknya ke sana, ke mari tanpa ampun. Ratna berteriak meronta-ronta, menangis tanpa henti. Berharap ada keajaiban seseorang akan menolongnya. Tapi nihil.

Ratna diperkosa dengan keji, rambutnya ditarik kemudian dipukul ke tiang lampu jalan. Di malam bulan November ini, seharusnya ia bisa bercanda tawa bersama sang kekasih. Seharusnya, ia merayakan anniversarynya yang ke 3 tahun. Tetapi apalah daya, sang pujaan tak kunjung datang. Dan di malam bulan November ini yang seharusnya ada kebahagiaan malah berbuah lara.

Saat jiwanya sudah tak lagi melekat pada jiwanya, Lampu jalan, laut, angin, dan jembatan ini akan menjadi saksi bisu atas kematian Ratna.

***

Jangan membuat janji, kalau tidak bisa menepatinya.
Kalau waktu seseorang yang kita beri janji masih panjang, kita masih bisa menepatinya.
Tetapi kalau tidak?

Kita tidak pernah akan tahu,
kapan mati atau hidupnya seseorang.

Janji. Kata sesederhana yang memiliki arti yang tidak sesederhana namanya. Janji.

Berhati-hatilah dengan: Janji.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro