3. Benang Takdir Yang Bersinggungan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keesokan harinya, aku terbangun dengan kaki yang masih nyeri. Dari mulut gua, aku bisa melihat sinar matahari menerangi hutan ini. Tidurku semalam pasti benar-benar pulas karena aku sama sekali tidak terganggu sekaligus tidak merasakan apa pun sampai langit seterang ini. Aku memindai sekeliling gua, mencari-cari keberadaan Mirtha di celah-celah bebatuan pendek ataupun ceruk-ceruk kecil yang terjangkau oleh penglihatanku, tetapi lelaki itu tak ada di mana pun. Hanya ada aku, barang-barangku, serta api unggun yang masih menyala dan menguarkan aroma wangi yang sedikit aneh.

Aku bergegas memeriksa isi tas dan menghela napas lega saat mendapati barang-barangku masih utuh. Aku berjalan tertatih-tatih ke arah api unggun yang menyala. Kayu-kayu di sekitar api unggun sebagian besar telah berubah menjadi arang dan sebentar lagi nyala apinya akan padam. Di antara arang-arang tersebut, aku melihat beberapa bulatan ganjil yang bentuknya tidak wajar. Aku mengambil salah satu ranting yang kutemukan di sekitar api dan menusuk bulatan tak wajar itu dengan ujung kayu.

Setelah mengangkat bulatan itu dari api dan memotongnya dengan pisau, aku tergiur melihat isinya yang sudah matang sempurna. Umbi bakar ini terlihat lezat dimakan. Memang bagian luarnya hitam dan sedikit mengeluarkan aroma aneh, tetapi bagian dalamnya mengepulkan wangi yang membuat perut lapar. Aku kembali menengok ke sana sini, mencari-cari keberadaan Mirtha. Apa lelaki itu benar-benar meninggalkanku setelah memastikan aku tidak akan kelaparan di sini?

Pertanyaanku terjawab saat akan menyantap umbi bakar yang sudah matang. Mirtha kembali entah dari mana dengan salah satu tangan membawa pedang. Penampilan pria itu berubah sepenuhnya! Wajahnya kini bersih tanpa bakal janggut maupun kumis. Rambut hitamnya pun telah dipotong pendek. Dilihat dari wajahnya yang segar, kemungkinan dia baru saja mandi. Sesaat aku tak mengenalinya, tetapi ketika dia memandangku dengan tatapan datar, aku baru menyadari bahwa dia adalah lelaki yang kutolong kemarin.

"Kau terlihat berbeda." Aku mengernyit sambil memasukkan sepotong besar umbi matang yang sudah dingin ke dalam mulut. Meski pakaiannya kotor oleh tanah dan bercak darah, itu tak membuatnya tampak buruk. "Kupikir kau meninggalkanku, ternyata tidak," kataku sambil mengunyah makanan.

Mirtha tak berkomentar, hanya menatapku yang sibuk makan. Sepertinya dia tidak terkesan melihat sopan santunku yang kurang. Lelaki itu masih berdiri di mulut gua, tatapannya sama sekali tak beralih dariku.

"Apa?" Aku tak suka melihatnya terus-terusan memandangku, rasanya aneh.

"Apa kau akan terus bersantai-santai di sini?" Dia justru balik bertanya. "Kita harus segera pergi. Jika mereka berkeras mencari kita, bukan tidak mungkin siang ini mereka sampai ke sini."

Baru juga makan, sudah disuruh pergi. Aku mengerutkan dahi. "Secepat ini?"

"Lebih cepat lebih baik." ujarnya.

Aku memutar bola mata. "Maksudmu, kau ingin lebih cepat bertemu kekasihmu?" Pertanyaanku disambut ketidaksukaan di wajahnya. Sambil membawa umbi bakar yang tersisa setengah, aku bangkit berdiri. Aku tertatih-tatih ke arah tas perjalanan dan jubahku yang tergeletak tak jauh dari api unggun.

"Kau tak ingin membersihkan diri dulu?" tanyanya.

"Bukannya kau bilang kita harus cepat pergi dari sini?" Aku memandangnya jengkel.

Mirtha tampak tak acuh, lalu duduk di salah satu bebatuan dan mengambil umbi yang sudah matang. "Ada sungai kecil di dekat sini. Kau bisa mencuci muka atau membersihkan luka-lukamu dulu."

"Tidak perlu," ujarku ketus.

"Ke mana kau akan pergi nanti?"

"Untuk apa kau tahu?"

"Setidaknya aku bisa mengantarmu sampai ke tempat tujuanmu sebelum kita berpisah," jawabnya.

Aku terdiam sejenak, menimang-nimang penawarannya yang menguntungkan. "Di mana kita sekarang?" tanyaku.

"Iskahan," jawabnya singkat.

"Bukan itu." Aku mengerutkan dahi. Sedikit berat membawa tas perjalanan, kuseret benda itu ke dekat Mirtha. Baru setelah itu, aku duduk di sampingnya. Kuambil kompas serta peta dari dalam tas dan menyerahkannya pada Mirtha. "Di mana kita sekarang?" Aku mengulangi.

Mirtha membuka peta dan kompas itu, lalu menunjuk salah satu arah. "Kemungkinan kita di sini."

Aku memelototi posisi kami yang justru menjauhi Amurega. Padahal aku berniat ke kota tersebut, tetapi kenapa justru mengarah ke Tenariye––provinsi bagian tengah?

"Kau mau ke Amurega?"

Aku mengangguk.

"Bukannya lebih baik ke Silika? Lebih dekat dari sini."

Aku melemparkan pandangan jengkel ke arahnya. "Katamu kau mau mengantarku sampai tempat tujuan. Tujuanku Amurega, bukan Silika!"

"Baik, baik. Maaf," ujarnya, tampak tidak seperti ingin meminta maaf. "Mungkin sore nanti kita bisa sampai ke Amurega dengan selamat." Dia melirik ke arah kakiku. "Itu pun kalau perjalanan kita lancar."

"Kalau begitu pilih jalur yang benar-benar bisa membuat perjalanan kita lancar." Aku mengomel sambil merebut peta dan kompas itu darinya lalu memasukkannya ke dalam tas.

***

Pada akhirnya, aku mengikuti anjuran Mirtha untuk membersihkan diri di sungai yang letaknya tidak terlalu jauh dari gua persembunyian kami. Setelah melewati jalur setapak yang menurun dan sedikit berkelok, aku menemukan sungai kecil yang lebarnya tidak lebih dari dua langkah serta dalamnya hanya sampai selutut. Airnya jernih dan dingin, sehingga aku tidak berani lama-lama berendam di sana.

Usai membilas diri, aku memakai pakaian yang baru, kemudian mencari beberapa tumbuhan obat dan menghaluskannya untuk dioleskan pada lututku yang terluka, setelah itu membebatnya dengan kain baru yang kuambil dari tas. Yah, aku masih tidak memercayai Mirtha, jadi saat mandi di sini, sekalian saja kubawa tasku. Biar saja dia menunggu di gua sendirian. Di dalam tas punggungku terdapat beberapa barang yang berguna seperti kain untuk membebat luka, kotak jahit, dua setel pakaian dan sebuah gaun, peta dan kompas, serta sekantong uang yang cukup untuk biaya hidup selama dua atau tiga bulan.

Selesai berbenah, aku pun kembali ke gua dan mendapati Mirtha tengah melamun di mulut gua. Pakaiannya yang ternoda darah membuatnya terlihat seperti pemuda tampan yang sedang terluka. Akan ada banyak gadis yang sukarela mengobatinya kalau dia berendah hati meminta bantuan mereka.

"Mir." Aku memanggilnya.

Dia mengerjap dan mengalihkan pandangannya kepadaku. Air mukanya tak banyak berubah, tetap muram.

"Ayo." Aku memberinya isyarat untuk berjalan lebih dulu menuju Amurega.

Kubiarkan dia memimpin jalan karena dialah yang lebih mengenal Iskahan, sedangkan aku membuntuti dengan langkah sedikit janggal karena berusaha tidak membebani kaki kiriku yang sakit. Mirtha berbaik hati memanggul tas punggungku serta mencarikan sepotong kayu yang membantuku berjalan.

Kalau melihat penampilannya sekarang, aku maklum kenapa putri majikannya bisa jatuh cinta kepadanya. Mirtha mungkin budak, tetapi ketampanannya seperti seorang lelaki bangsawan. Kemarin, aku sempat terkecoh karena penampilannya berantakan, tetapi setelah melihatnya dalam kondisi paling bersih, aku jadi memahami kenapa gadis itu bisa jatuh cinta kepadanya.

Mirtha memiliki perawakan sedang, tidak gemuk, tetapi juga tidak kurus. Tubuhnya tinggi tegap dengan bahu lebar dan bidang. Tinggiku bahkan tak sampai daun telinganya. Kulitnya lebih putih daripada kulitku, cerah dan bersih. Dia memiliki mata gelap yang memancarkan pandangan misterius. Jenis tatapan yang bisa membuat hati para gadis jungkir balik. Ekspresinya pun begitu tenang dan berwibawa, makin menambah kesan dalam penampilannya.

Selain itu, Mirtha sepertinya cerdas. Dia bisa menilai, memperhitungkan, dan juga mempertimbangkan hal-hal tertentu dengan cepat sebelum mengambil keputusan. Secara keseluruhan, Mirtha adalah sosok yang sempurna dan ideal. Hanya satu kekurangannya, dia adalah budak. Untuk lelaki sepertinya, seharusnya dia bisa masuk kemiliteran kerajaan. Bakatnya akan sia-sia saja kalau cuma menjadi pengawal pedagang yang upahnya tak seberapa dan bahkan lehernya masih terpasung karena statusnya adalah budak. Ya, itu pun bila hidupnya beruntung.

Sebentar, kecerdasannya masih patut dipertanyakan, karena dia hampir melarikan anak gadis majikannya. Dia benar-benar cerdas, atau luar biasa bodoh?

Aku menghela napas, berusaha mengusir isi kepalaku yang aneh.

"Aku heran dengan teman-temanmu," ucapku, memecah keheningan di antara kami. "Mereka membawamu jauh ke selatan Iskahan hanya untuk mengeksekusimu. Kalau aku, pasti tidak akan mau repot-repot membawamu jauh-jauh sampai kemari."

Karena dia tidak mengatakan apa-apa, aku kembali melanjutkan. "Membawamu kemari bukan berarti kau akan langsung mati kan? Atau—"

"Mereka hanya tidak mengira bahwa akan ada yang menyelamatkanku." Mirtha memotong ucapanku. "Mereka memilih area itu bukan tanpa pertimbangan. Tempat itu sepi, jauh dari jangkauan orang, dan mayatku sudah pasti tidak akan mudah ditemukan. Kalau mereka menghukumku di sekitar Amurega, mereka justru akan diserang. Kaverush tidak pernah membiarkan para majikan menghukum budaknya tanpa melalui pengadilan."

Kaverush, kelompok yang berusaha melindungi sekaligus menolong para budak maupun orang-orang yang dijebak menjadi budak supaya bisa memperoleh kebebasannya lagi. Mereka lihai dan licin. Selama sepuluh tahun berkembang di Amurega, tak sekali pun aparat pemerintah berhasil menyentuh kelompok tersebut dan wali kota pun takut pada mereka.

"Oh, Kaverush." Aku menyahut tanpa minat, meskipun sangat ingin membahas kelompok tersebut. "Yah, kali ini, aku benar-benar paham kenapa mereka membawamu sampai ke sana. Namun, apa pengadilan budak benar-benar akan membantumu?"

Pengadilan budak adalah pengadilan yang dibentuk pemerintah terdahulu untuk menangani masalah yang berkaitan dengan para budak maupun perbudakan itu sendiri. Dulunya, pengadilan ini berperan dalam menentukan hukuman bagi budak-budak yang bersalah serta menjadi penengah antara pihak budak dan pemilik budak. Namun, setelah kepemimpinan di kerajaan ini berganti, sistem pengadilan budak pun berubah.

Pengadilan budak sekarang lebih mengurusi hal-hal bersifat administratif, seperti surat-surat perbudakan, pelunasan surat budak, dan segala macam mengenai dokumen kelengkapan. Hukuman bagi budak-budak bermasalah dikembalikan ke tangan majikan masing-masing, yang menyebabkan kaum budak sering kali mendapati hukuman yang tidak manusiawi. Hal ini memundurkan kemajuan yang telah didapat kerajaan Athaliant dalam pengelolaan budak.

"Pengadilan budak di sini masih sama seperti pengadilan budak sebelum Raja Sohein tewas," ucapnya. "Tidak ada perubahan apa pun. Atau tepatnya pemerintah Kota Amurega dipaksa untuk tidak mengubah apa pun."

Aku yakin ini ada kaitannya dengan Kaverush, dan siapa pun yang berdiri di balik kelompok tersebut merupakan orang yang punya pengaruh di pemerintahan kota.

"Jadi, bila ada masalah yang dibawa ke pengadilan budak, pengadilan tersebut akan memutuskan sesuai hukum lama sebelum kudeta terjadi?" tanyaku.

"Begitulah," jawabnya.

Aku ber-oh panjang. Mirtha sepertinya tahu banyak mengenai sistem perbudakan di Amurega. Kelihatannya lelaki ini memang agak cerdas. Jahat kalau aku mengatakan dia bodoh. Namun, kurang tepat juga menilai dia amat cerdas, karena di mana akal sehatnya saat dia memutuskan membawa kabur putri majikannya?

"Dari kemarin, aku bertanya-tanya, kenapa kau nekat sekali melarikan anak majikanmu? Majikanmu memperkerjakanmu sebagai pengawal. Itu posisi yang sangat bagus di kalangan para budak dan pastinya kau mendapat upah yang tidak sedikit. Yah, meski kau tetap saja budak." Aku sengaja menekankan kata-kata itu dengan nada meremehkan. "Aku jadi mempertanyakan kecerdasanmu."

"Aku juga mempertanyakan kecerdasanmu. Dengan kaki cedera dan bela diri tidak seberapa, kenapa kau nekat sekali melawan sepuluh orang pengawal terlatih sekaligus?" Mirtha bertanya tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.

Sialan.

"Kenapa kau berani melarikan anak majikanmu? Apa kau benar-benar yakin bisa hidup bahagia dengannya?" tanyaku, setengah kesal karena balasannya barusan.

"Kehidupan pribadiku bukan urusanmu." Nada suaranya masih terkendali, tetapi aku sedikit mendengar kejengkelan dalam kata-katanya. Benar dugaanku, dia selalu tak terkendali kalau membahas kekasihnya.

"Kenapa kau bisa jatuh cinta kepadanya?" tanyaku.

Mirtha menoleh sedikit ke belakang, melirikku dengan tatapan yang tidak mengenakkan. "Kenapa kau bisa berkelana?"

"Aku suka berkelana." Aku mengedik tak acuh. "Ini menyenangkan. Bisa melihat kota dan desa-desa baru, serta bertemu dengan banyak orang asing, termasuk dirimu."

Mirtha mengernyit. "Jawabanmu terlalu lancar, seolah-olah kau sudah menghafal dan melatihnya supaya terdengar wajar."

Itu benar. Aku memang menyiapkan jawaban itu untuk menjawab rasa penasaran orang seperti Mirtha.

"Hanya perasaanmu saja," kataku.

"Biasanya perasaanku sering benar," katanya.

"Termasuk perasaanmu pada kekasihmu?" Aku memancingnya sekali lagi.

Dia tak menanggapi dan memilih diam sepanjang sisa perjalanan kami menuju Amurega.

***

Mirtha membawaku masuk ke Amurega tanpa melewati gerbang kota. Dia menuntunku memasuki celah dinding benteng bagian barat yang memisahkan kota dengan hutan. Katanya, ini adalah salah satu pintu keluar masuknya bila ada urusan penting yang harus dia selesaikan di luar kota. Ceritanya, ada beberapa celah seperti ini di Amurega dan luput dari pengawasan para prajurit. Sering kali orang-orang seperti dia atau para perampok menyusup lewat celah-celah ini.

Mirtha beralasan bahwa bisa saja kawan-kawannya menunggu di gerbang kota untuk menangkapnya, tetapi aku tak terlalu memedulikan alasan itu. Bagiku, masuk Amurega tanpa harus menghadapi petugas penjaga itu menyenangkan. Setidaknya aku tak perlu menjalani pemeriksaan petugas keamanan yang bertele-tele.

"Kau mengatakan celah ini biasa dipakai untuk urusan darurat. Apa kau yakin mereka tidak berpikir kalau kau melewati celah di bagian ini?" tanyaku sambil menyingkirkan debu yang mengotori kepala serta bajuku. Merangkak di sebuah lubang amat tidak menyenangkan.

"Untuk yang satu ini, kurasa mereka tidak tahu. Hanya sedikit yang tahu soal celah yang ini." Dia menutup celah itu dengan keranjang serta kotak kayu kosong.

Celah tersebut membawa kami ke area gang buntu yang sepi penduduk. Di kiri kanan kami, memang terdapat rumah-rumah besar, tetapi kebanyakan gelap dan sepi, sama sekali tidak mengesankan kehidupan. Hanya lampu-lampu jalan yang menerangi langkah kami. Itu pun tidak semuanya menyala. Mirtha menunggu sampai langit benar-benar gelap saat membawaku masuk Amurega. Oleh karena itu, sebelumnya kami menunggu di luar benteng sampai matahari terbenam.

"Rumah-rumah di sekitar sini adalah gudang," ucapnya. "Jika malam tiba, tempat ini biasanya sepi. Baru kembali ramai ketika dini hari."

Aku ber-oh pelan sambil memandangi rumah-rumah itu. Bulu kudukku berdiri. Suasana di sekitar tempat ini tidak mengenakkan. Untung saja kami tidak berlama-lama di area itu, karena setelah menemukan jalur arteri, kami bergerak menuju pusat kota yang ramai.

"Apa kau tahu tabib yang bisa kudatangi?" tanyaku saat kami sampai di depan salah satu rumah hiburan. Tempat itu ramai dengan teriakan manja wanita-wanita yang berusaha memikat kaum lelaki yang berlalu-lalang di sekitar distrik ini.

Mirtha mengangguk pelan. "Aku bisa mengantarmu ke sana."

"Bagus." Aku tersenyum lebar. "Sebelum kita ke sana, kita perbaiki dulu penampilanmu."


(Selasa, 13 Februari 2024)

====================

Note:

Masih kangen dengan Lea dan Mirtha?

Aku harap masih yaaa

Btw, saya punya ilustrasinya Lea, minggu depan mungkin bisa saya upload. Semoga pas untuk chapter terbarunya The Conquered Throne juga udah jadi :D

Jangan Lupa vote dan komen yaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro