7. Pilihan Yang Harus Dihadapi Setiap Kelompok

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tahu, ini keputusan berisiko. Menerima Mirtha memang menambah daftar kewaspadaanku, tetapi setidaknya dengan membuatnya berada di dekatku, kami tidak perlu lagi bermain kucing-kucingan seperti dua hari ini. Bila sedikit saja ada indikasi dia akan mengkhianatiku, aku akan membunuhnya.

Sebagai ujian pertama terhadap kepatuhannya, aku memintanya untuk tetap berada di dalam kamar untuk menjaga tasku, sedangkan aku pergi menemui Safero. Kali ini, aku tidak berpakaian seperti lelaki. Aku sengaja mengenakan satu-satunya setelan gaun yang tersimpan di dalam tas.

Berbeda dari pakaian lelaki yang lebih ringkas, gaun perempuan Athaliant terdiri beberapa jenis, yaitu gaun dalam, gaun luar, dan luaran. Sederhananya seperti itu, tetapi pada praktiknya, kaum perempuan Athaliant bisa mengenakan sampai enam lapis gaun untuk kegiatan sehari-hari. Tentu saja gaun-gaun tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlihat seperti kain yang ditumpuk di tubuh seseorang, dan biasanya ini dilakukan oleh kaum perempuan dari keluarga kaya.

Bagi perempuan dari golongan menengah ke bawah, biasanya mengenakan tiga lapis gaun sudah cukup. Lagi pula, mereka mengganggap tidak ada manfaatnya mengenakan lapisan gaun terlalu banyak untuk beraktivitas sehari-hari.

Aku iri pada kaum lelaki. Mereka lebih praktis dalam berpenampilan. Jika rambut sudah panjang, tinggal diikat atau dipotong saja. Sementara kaum perempuan terkadang memiliki aturan-aturan tertentu. Untuk seorang gadis, tatanan rambutnya lebih bebas––bisa digerai, dikepang, ataupun dikuncir lalu dihiasi dengan pita atau jepit rambut. Namun, untuk perempuan yang sudah menikah, biasanya rambutnya digelung lalu dihiasi jepit atau tusuk rambut.

Mengingat rambutku sudah dipotong pendek, aku kesulitan menggelungnya. Beberapa anak rambut selalu saja keluar dari gelungan, hingga akhirnya aku membiarkannya, lantas menghiasnya dengan tusuk rambut. Saat keluar dari balik penyekat, aku sempat melihat Mirtha terpana, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan dengan sopan.

"Aku akan pergi sebentar," ujarku sambil menyelipkan kantong uang ke dalam sabuk kain. "Jaga barang-barangku."

"Ya." Mirtha menjawab pelan tanpa memandangku.

"Tetaplah di sini dan jangan pergi ke mana pun." Aku memberinya sedikit peringatan sebelum keluar kamar.

Hari sudah sore ketika aku keluar dari penginapan. Aku yakin, Safero pasti mengkhawatirkanku karena tidak menemukanku di tempat perjanjian kami. Sekali lagi, kubeli beberapa batang tarathia biru di salah satu toko bunga yang kulewati.

Ini untung-untungan. Aku akan mengecek dulu ke Pasar Amurega, melihat apakah Safero masih menunggu di sana atau tidak. Bila dia tidak ada, aku akan langsung ke rumah majikannya nanti. Sambil memastikan belatiku tersembunyi di balik jubah, aku melangkah tanpa ragu menuju pasar Amurega.

Berkali-kali, aku berdoa dalam hati supaya tidak bertemu pengacau-pengacau yang ingin menjualku sebagai budak. Aku juga tidak ingin bertemu dengan petugas keamanan yang mengejarku tadi. Seperti mendengar harapanku, Penguasa Semesta justru mempertemukanku dengan Safero di halaman Pasar Amurega.

Ekspresi wajah pemuda itu sudah tidak keruan, campuran antara khawatir, marah, dan was-was. Saat melihatku, raut wajahnya berubah menjadi lega, kemudian marah. Aku akan menghadapi kemarahannya, tetapi itu nanti.

"Pertemukan aku dengan kaverush. Segera," pintaku.

***

"Pedagang-pedagang budak di sini memang keterlaluan." Safero mendesah pelan setelah mendengar alasan keterlambatanku, tentu saja minus tentang Mirtha maupun anggota kaverush yang tadi. Bila Safero tahu aku bersama pria asing, tak bisa dibayangkan seperti apa kemarahannya nanti. "Mereka tidak peduli siapa yang diculik dan tidak pandang bulu dalam menculik target-targetnya. Kebanyakan yang disasar memang pengembara sepertimu, tetapi pernah ada kejadian pula, anak pedagang Idler diculik dan hartanya dijarah."

"Aku tidak bisa membayangkan kemarahan ayah anak itu saat tahu anaknya hendak dijadikan budak." Kami berjalan bersisian, terlihat seperti sepasang suami istri yang sedang menghabiskan sore bersama-sama.

"Untungnya kaverush berhasil menyelamatkan anak itu dan mengembalikan harta jarahannya." Safero melanjutkan. "Berkat protes si pedagang Idler kepada wali kota Amurega, mereka jadi sedikit berhati-hati dalam menentukan target. Sekarang, yang diincar biasanya dari golongan menengah ke bawah. Kau pasti terlihat sangat miskin sampai mereka berani mengejarmu terus."

Aku mencebik. "Kalau kulihat, tampaknya para pedagang budak itu juga bekerja sama dengan aparat pemerintah."

"Memang." Safero menggeleng pelan. "Perdagangan budak sangat menjanjikan di sini. Keuntungannya besar. Aku bahkan tidak terkejut bila mereka mengembangbiakkan budak-budaknya seperti ternak."

Aku mengernyit jijik. Itu sama sekali tidak manusiawi.

"Pemerintah Amurega setidaknya mendapat seperempat dari keuntungan transaksi di pasar budak. Belum lagi upeti-upeti yang disetorkan para pedagang budak ke wali kota dan beberapa bawahannya. Bayangkan jika perbudakan ditiadakan, mereka pasti akan mengamuk karena kehilangan sumber harta karun. Kaverush mencoba menahan perkembangan perdagangan ini, tetapi lihatlah, mereka pun tidak cukup memiliki kekuatan meski berusaha menyelamatkan banyak budak," ujarnya pelan.

Kami tiba di sebuah rumah kecil di kawasan pinggir kota. Rumah itu kotor dan dipenuhi debu. Papan-papan kayunya banyak yang terpasang asal-asalan. Terasnya tidak terawat, tanaman-tanamannya mati dan rumput liar tumbuh tinggi hingga mencapai sepinggang orang dewasa. Tak jauh dari rumah tersebut, aku bisa melihat dinding batu setinggi enam orang dewasa yang membatasi bagian dalam kota dengan area luar. Keadaan rumah-rumah lain pun sama saja—terbengkalai dan kotor.

"Kau tidak salah tempat, Safee?" Aku memindai keadaan sekitar dengan heran.

"Tidak." Dia menjawab tegas. "Di sini aku biasa bertemu mereka."

"Menyedihkan sekali tempat ini."

"Apa boleh buat." Safero menghela napas. "Sebelumnya, area ini dimiliki kaum petani. Namun, pajak yang terlalu tinggi serta kebutuhan hidup yang terus meningkat membuat mereka tak mampu bertahan, sehingga terpaksa menjual apa saja pada lintah darat demi menyambung hidup."

Aku bisa menebak akhir ceritanya. "Pada akhirnya, mereka harus menjadi budak karena tidak sanggup membayar utang?"

"Begitulah." Safero tersenyum miring. "Selama pasar masih membutuhkan budak, mereka tidak akan berhenti menjual manusia. Mereka akan melakukan segala macam cara untuk memenuhi kebutuhan pasar, mulai dari menjerat orang lain dengan utang yang tidak bisa dibayar, sampai menculik siapa pun di jalan."

"Bila hal tersebut dibiarkan, rakyat tidak akan pernah merasa aman," ujarku sambil duduk di sebuah kursi tua yang diletakkan sembarangan di teras rumah.

Perbudakan di Athaliant terjadi selama ratusan tahun. Mulanya, budak adalah sebutan untuk orang-orang yang dihukum. Perbudakan merupakan bentuk hukuman dari pemerintah kerajaan pada orang-orang yang bersalah dengan tujuan memberikan efek jera pada mereka. Namun, sekarang perbudakan dipandang sebagai perdagangan.

Anshosa Athaliantane Marith—pendiri Kerajaan Athaliant, memperbolehkan perbudakaan untuk menghukum para pembangkang maupun pengkhianat yang berani menentang kerajaan di masa-masa awal berdirinya Athaliant. Saat itu, kerajaan serupa bayi yang baru belajar berjalan–– ada banyak kerusuhan dan masalah yang terjadi, sehingga Anshosa bersikap diktator untuk mendisiplinkan masyarakat.

Hal pertama yang dia lakukan adalah menciptakan keamanan dan ketenangan pada rakyat, yang diwujudkan dengan pemberian hukuman serta sanksi keras kepada mereka yang melanggar aturan. Sanksi tersebut adalah hukuman mati atau hukuman sebagai budak kerajaan selama beberapa tahun. Ketegasan Anshosa membuahkan hasil, kejahatan berkurang dan rakyat pun tunduk takut pada kerajaan. Setelah situasi kondusif, Anshosa pun perlahan-lahan melonggarkan aturan-aturannya.

Sayangnya, hukum perbudakan justru mulai melenceng. Orang-orang melihat keuntungan di balik aturan perbudakan. Mereka pun berlomba-lomba menjebak orang lain menjadi budak, mulai dari menuding petani sebagai pencuri, menuduh seorang pedagang sebagai perampok, bahkan memfitnah keluarga bangsawan sebagai pemberontak.

Seharusnya, budak-budak itu menjadi milik kerajaan dan diharuskan bekerja di bawah pengawasan pemerintah. Namun, oknum-oknum pengawas budak diam-diam menyelewengkan budak-budak itu pada pihak lain dan memaksa para budak bekerja siang malam untuk keuntungan mereka sendiri. Mereka saling bekerja sama dalam kecurangan, menyuap atasan-atasan mereka dengan uang hasil perbudakan, sehingga atasan-atasan mereka berbalik menekan Raja untuk mengizinkan perbudakan dalam bentuk baru. Hal inilah yang kemudian memaksa Anshosa untuk membuat aturan perbudakan yang baru. Dia membuat Shoremusa sebagai dasar hukum mengenai perbudakan serta perlindungan bagi budak itu sendiri. Namun, makin lama Shoremusa tak memiliki taring. Perbudakan semakin kuat dan bahkan orang-orang berani melakukan apa saja demi mendapatkan 'manusia' untuk dijual.

Hal tersebut terjadi selama ratusan tahun, bahkan raja-raja sebelum ayah yang berupaya memperkuat Shoremusa untuk melindungi para budak justru berbalik dimusuhi, termasuk ayah—yang memutuskan mengubah Shoremusa. Perubahan Shoremusa hanya bisa dinikmati para budak selama belasan tahun, sebelum kembali seperti sedia kala, karena kudeta yang dilakukan Kurante.

Demi sekarung harta, dia membunuh ayah dan kedua kakak lelakiku, lalu menimpakan kesalahan pada salah satu keluarga bangsawan di Ariye. Aku yakin, di balik kudeta Kurante, ada campur tangan para pedagang budak yang tertekan akibat pengubahan Shoremusa yang dilakukan ayah. Mereka pasti tidak suka dengan kebijakan ayah yang baru dan karena ayah serta Vidhes tidak mau berkompromi, mereka memutuskan untuk melenyapkan ayah, sekaligus berusaha memberangus keluarga Athaliantane yang telah memimpin kerajaan ini selama ratusan tahun. Lalu seperti mendapat kesempatan emas, salah satu pangeran Sokhanteé ikut membantu kudeta Kurante, sehingga kejatuhan keluarga Athaliantane tidak mampu dihindari.

Suara gemerencing kunci dari dalam rumah mengalihkan perhatian kami. Seorang gadis berkulit cokelat membukakan pintu. Dia melihatku, lalu Safero.

Seolah mengerti dengan keterdiaman gadis tersebut, Safero merogoh sesuatu dari saku dalam luarannya lalu memberikan sebuah kantong hitam kecil kepadanya. Gadis itu menutup pintu dan beberapa saat kemudian baru membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan kami masuk. Di dalam, rupanya ada empat lelaki bersamanya.

"Demi keamanan, kami terpaksa menutup mata kalian."

Ucapannya mengingatkanku pada ucapan pemuda yang menolongku dan Mirtha. Tanpa bisa menolak, mereka mengikatkan sebuah kain hitam di mata kami. Untuk kali kedua, aku dituntun menuruni tangga berbatu menuju ke tempat mana pun yang mereka tuju.

Sekarang, aku mengerti, Amurega memiliki jalur bawah tanah rahasia. Kaverush mengetahui itu dan sepertinya mereka memiliki peta jalur bawah tanah ini. Dari jalur-jalur tersebut, mereka membuat titik-titik penyelamatan yang berbeda-beda dan saling berhubungan. Benar-benar luar biasa. Aku sangat penasaran dengan pemimpin utama kelompok ini. Dari mana dia bisa punya pengetahuan mengenai jalur bawah tanah?

***

Mereka membawa kami ke tempat yang berbeda, sudah tentu.

Tidak seperti saat aku bersama si pemuda itu, penutup mataku tidak dilepas meski kami sudah sampai di tempat tujuan. Kami kembali dituntun dan penutup mata kami dibuka saat tiba di depan sebuah pintu. Gadis itu membuka pintu di hadapan kami dan menyuruhku serta Safero masuk.

Di dalam ruangan lapang yang hanya berisi meja dan kursi itu, sudah hadir beberapa orang yang menunggu. Mereka semua mengenakan pakaian sederhana yang tidak mencolok. Kalau orang-orang ini menyebar di dalam kerumunan masyarakat, aku pasti tidak akan mengira kalau mereka anggota kaverush. Setidaknya ada tujuh orang di dalam ruangan ini, belum termasuk aku dan Safero. Aku menatap orang-orang di sekitarku, memperhatikan wajah-wajah mereka. Air muka mereka memperlihatkan kegarangan dan kewaspadaan. Salah satu di antara mereka, seorang lelaki dengan bekas luka yang memanjang dari pelipis hingga dagu, menyuruh kami duduk di kursi yang tersedia.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan dengan kami, Safero?" tanya lelaki yang memiliki bekas luka di wajah. "Di suratmu, kau mengatakan ingin membahas sesuatu yang penting? Apa ini tentang bergabung dengan Inaftri? Bukankah kami sudah berkali-kali menolaknya?"

Safero meringis. "Nyatanya, memang itu yang ingin kubahas dengan kalian."

Seorang pemuda bertubuh pendek dengan perawakan sedang dan memiliki mata sayu menyela. "Pemberontakan bukan hal sepele. Kau mau mengajak kami melawan pemerintah? Jangan bercanda!"

"Memangnya apa yang kalian lakukan saat ini bukan melawan pemerintah?" Sahutanku sudah lebih dari cukup untuk menarik perhatian seisi ruangan.

"Siapa dia?" Laki-laki yang bicara dengan Safero meliriknya curiga.

"Orang yang ingin bicara dengan kalian." Sekali lagi Safero meringis.

Tanpa memedulikan kernyitan di dahi lelaki itu, aku kembali bicara. "Kalian mengatakan pemberontakan bukan hal sepele. Itu benar. Dan kalian menolak melawan pemerintah. Tidakkah ucapan kalian berlawanan dengan tindakan kalian? Saat ini, aturan apa yang mengatur perdagangan budak? Apa kalian sudah mematuhinya atau justru melanggarnya?"

"Perdagangan budak dan pemberontakan adalah hal berbeda." Pemuda bermata sayu membantah.

"Tidak. Itu sama! Perdagangan budak diatur oleh pemerintah dan kalian melawan aturan-aturan yang berlaku dalam perbudakan. Memang bukan perlawanan besar, tetapi tindakan kalian sudah dikategorikan pemberontakan terhadap aturan pemerintah." Aku menegaskan sambil mengamati mereka satu per satu.

Pandanganku tertahan pada seorang lelaki yang duduk di sudut ruangan, tersembunyi di antara dua orang berbadan tinggi. Dia tampak berbeda. Ketenangan di matanya lain dari kebanyakan orang dalam ruangan ini. Sulit bagiku melepas pandangan darinya, hingga pria yang memiliki bekas luka di wajah bicara.

"Apa yang kau inginkan?" tanyanya.

"Seperti yang kau katakan tadi, kami ingin kalian bergabung dengan Inaftri," jawabku tanpa basa-basi.

Mereka tak menjawab.

"Untuk saat ini, kalian selamat karena perhatian Perdana Menteri ada pada Inaftri. Namun, setelah kami berhasil disingkirkan, pusat perhatiannya akan berubah. Bukan hal sulit bagi kerajaan menerjunkan sekelompok pasukan untuk memberangus kelompok kalian dan setelah itu, yang akan semakin menderita adalah orang-orang yang berusaha kalian tolong."

Dahi mereka berkerut, kelihatannya mereka janggal dengan penyebutanku pada Kurante. Aku memang tidak sudi menyebutnya Raja. Bagiku, dia hanyalah Perdana Menteri pembangkang dan pengkhianat.

"Kami pernah mendengar kegagalan kalian dalam menaklukkan Idler," ujar pria lainnya yang duduk di dekat jendela. "Sebagian besar orang-orangmu dibantai pasukan Jenderal Theoden dan Pangeran Ezburath."

"Ya, itu kesalahan fatal yang kami buat." Aku tersenyum kecut mengingat tragedi mengerikan tiga tahun lalu. "Kami mengira hubungan Perdana Menteri dan Pangeran Sokhanteé sedang tidak baik. Namun, rupanya dugaan kami salah. Hubungan mereka ternyata masih cukup baik."

"Kami tidak ingin terlibat dalam masalah yang lebih besar." Pemuda bermata sayu menyahut.

"Lalu sampai kapan kalian akan bertahan dalam pergerakan kecil semacam ini? Apa kalian puas hanya bisa menolong segelintir orang? Apa kalian tidak mau menolong lebih banyak budak?"

Mereka terdiam, tampak gamang.

"Jika kalian membantu Inaftri, itu sama saja kalian menyelamatkan lebih banyak budak." Aku melanjutkan. "Pemegang tampuk kekuasaan tertinggi pasti tidak akan melupakan jasa kalian."

Si pemuda bermata sayu mendengus. "Itu pun jika kalian ingat pada kami, setelah kami membantu kalian. Para bangsawan biasanya membuang 'anjing-anjing' mereka setelah menggunakannya."

Benar-benar sulit melunakkan kekeraskepalaan orang-orang ini. Aku berusaha menyabarkan diri.

"Lalu siapa lagi yang bisa diharapkan untuk mengubah keadaan kalian? Pemimpin yang sekarang? Anaknya? Terus saja bermimpi. Mereka tidak akan melakukan itu," kataku.

Lelaki dengan luka di wajah menyipitkan mata. "Apa Putri menyuruhmu datang untuk mengatakan hal itu?"

"Tidak." Aku tersenyum tenang. "Justru dia datang sendiri di hadapan kalian untuk meyakinkan, bahwa kalian akan mendapat banyak keuntungan dengan membantunya mendapatkan takhtanya kembali."

Pandangan semua orang kini tertuju kepadaku. Mata mereka membulat, terpaku oleh rasa terkejut dan tidak percaya.

"Aku—Irhelea Athaliantane Sohein, akan membantu kaverush bila kalian bersedia menolong Inaftri," kataku. "Bila tidak, mungkin akan sulit bagi kalian untuk bertahan menghadapi tekanan Perdana Menteri."

***

Tentu saja mereka tidak memercayai pengakuanku. Setelah menunjukkan bukti berupa emblem kerajaan Athaliant, barulah mereka percaya. Kukira dengan menunjukkan diri, mereka akan bersemangat dan mempertimbangkan tawaranku tadi. Namun, ternyata mereka justru memilih diam, seperti tidak tahu apa yang harus dibicarakan saat aku sendiri yang maju dan meminta bantuan mereka. Pada akhirnya, aku merasa kedatangan kami kemari sia-sia saja.

Sambil menelan keputusasaan, aku memilih pergi.

"Aku akan mengantar kalian." Salah satu dari mereka menawarkan diri mengantar kami ke pondok sebelumnya. Dia adalah lelaki yang duduk di sudut ruangan dan keberadaannya sedikit terhalang oleh dua pria bertubuh tinggi.

Safero membeku saat melihat orang itu. Matanya melebar dan bibirnya bergetar. "Bagaimana––." Kata-katanya terhenti saat lelaki itu memberi isyarat pada Safero untuk diam.

Interaksi mereka membuatku curiga.

"Mari." Pria berambut hitam pendek itu menghela kami keluar ruangan.

Kali ini, mata kami tidak ditutup. Mereka membiarkan kami melihat isi rumah persembunyian kaverush. Lentera-lentera menerangi langkah kami di sepanjang lorong yang sepi. Dari tumpukan-tumpukan karung yang kulihat serta banyaknya ruangan yang ada di tempat ini, aku menyimpulkan bahwa tempat ini merupakan sebuah gudang yang letaknya cukup jauh dari keramaian pusat kota.

"Aku tidak mengira, ada lorong bawah tanah seperti ini." Aku membuka pembicaraan dengan lelaki berpakaian putih kusam itu. Kalau dilihat sekilas, lelaki ini mungkin berumur sekitar 30-an. Perawakannya sedang, tingginya juga sedang. Yang paling membuatku curiga adalah kebersihannya. Dia mungkin berpenampilan sederhana, tetapi antara orang yang biasa merawat diri dengan tidak, tentu memiliki perbedaan. Kulitnya tidak kusam dan rambutnya tidak kusut. "Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana mungkin ada jalur rahasia di bawah sebuah kota seramai Amurega."

Dia tertawa.

"Dulu Amurega adalah benteng pertahanan," jawabnya. "Banyak sekali jalur-jalur bawah tanah yang dibuat dan menghubungkan antara satu bagian dengan bagian lain kota. Tidak semua orang tahu ini dan tidak semua yang tahu mempunyai peta jalur bawah tanah."

Aku menyeringai. "Kalian bisa sampai mempunyai denah jalur bawah tanah? Luar biasa."

Lelaki itu tak menimpali. Kami berjalan perlahan-lahan, mencoba berlama-lama menuju tempat kami dijemput tadi.

"Kenapa kalian begitu menginginkan kaverush bergabung dengan Inaftri?" tanyanya.

"Sederhana saja, karena tidak banyak yang memiliki keberanian seperti kalian," jawabku santai. "Di antara semua kelompok yang ada di Athaliant, mana yang bisa bertahan dari cengkeraman Perdana Menteri? Nyaris tidak ada. Berniat melakukan perlawanan pada Perdana Menteri saja sudah terhitung langkah bagus, apalagi mau melakukannya."

"Langkah kami saat ini saja sudah mengkhawatirkan. Bila membantumu, sudah pasti kami akan mati." Dia berkomentar.

"Kau terlalu cepat membuat prasangka." Aku menimpali.

"Apa aku salah? Tidak banyak yang berani melawan Perdana Menteri karena Sokhanteé berada di belakangnya," ujar pria itu. "Kau pasti memahami hal itu dengan baik. Selama Ezburath masih bekerja sama dengan Kurante, perlawanan apa pun akan sia-sia. Justru seperti menyetorkan nyawa kepada mereka."

"Bagaimana jika aku memberi kemenangan kepada kalian?"

Pria itu kembali berhenti, lalu menoleh ke arahku. Tatapannya menyiratkan rasa heran sekaligus kewaspadaan. "Bagaimana kau bisa menjanjikan sesuatu yang mustahil?"

Sialan, dia meragukan kemampuanku untuk mengalahkan Ezbur dan Kurante.

"Kau hanya perlu menjawab 'ya' atau 'tidak' untuk penawaranku."

"Kaverush adalah setengah nyawaku. Aku membangun kelompok ini dengan susah – payah. Mana mungkin aku membiarkan orang lain menghancurkannya dengan mudah," tatapannya berubah dingin, begitu juga ekspresinya. Ada kekakuan dalam gerak-geriknya ketika mengatakan hal itu, seolah-olah kelompok ini merupakan jiwanya.

Di sampingku, Safero begerak gelisah, seperti ingin memperingatkanku, tetapi tak bisa menyampaikannya karena keberadaan pria ini.

"Kita sama-sama menginginkan perubahan dan kemenangan untuk tujuan kita sendiri," kataku tenang. "Kenapa harus menempuh jalan sulit, bila ada yang termudah?"

Pria itu diam sesaat, tampak menimang-nimang pernyataanku baik-baik.

Sekali lagi, aku mencoba membujuknya. "Tidak ada yang menginginkan kemenangan Inaftri sebesar aku."

Setelah bungkam cukup lama, pria itu akhirnya menggangguk sangat pelan, hingga aku merasa salah melihat persetujuannya. "Jika ada yang bisa mengubah peraturan para budak, itu adalah pemimpin tertinggi kerajaan ini," dia berbalik, lalu kembali melangkah menyusuri lorong.

Aku menyeringai puas. "Kalau begitu, akan kuberi tahu cara menghubungi orang-orangku."

(Selasa, 25 Maret 2024)

====================

Note:

Ilustrasi di atas adalah ilustrasi dari Lea!

Pembuatnya adalah artist kikutama.

Dari ilustrasi tersebut, semoga memudahkan kalian membayangkan Lea dan yang lain ya. Kalau ada rejeki lagi, boleh deh saya coba reques ilustrasi tokoh yang lain, hihihi...

Jangan lupa vote dan komennya ya~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro