Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesuatu menepuk pipi kiri dan kananku bergantian. Mulanya, aku enggan membuka mata, karena masih ingin tidur. Namun, tepukan itu berganti menjadi guncangan di bahu dengan cukup keras, hingga aku terpaksa membuka mata. Tampak Ibu sedang duduk di sisi tempat tidur, dan masih mengenakan gaun gelap seperti sebelum aku tidur tadi.

Aku mengusap kedua mata, sambil menahan kuap. Jujur saja, Aku tidak berani menguap di depan ibu, karena beliau pasti akan langsung menegurku. Kata beliau, tidak pantas anak perempuan membuka mulutnya lebar-lebar.

"Kenapa Ibu membangunkan Lea?" Aku menatap beliau, tetapi karena suasana kamar yang cukup remang, aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresi ibu saat ini. "Apa ini sudah pagi?" Aku menoleh ke arah jendela kamar, tetapi belum ada tanda-tanda matahari akan terbit. Bahkan suara ayam jantan, yang biasa berkokok ketika waktu mendekati dini hari, sama sekali tidak terdengar. Hanya ada keheningan yang dipecahkan oleh desau angin.

Situasi di paviliun timur memang terlalu tenang. Selain jauh dari istana utama, tempat ini memang letaknya berada di area belakang istana dan dekat dengan kebun. Bila bukan karena perintah Kurante, mungkin paviliun ini hanya akan kami tempati berdua, karena tidak mungkin ada dayang atau pelayan yang sudi melayani orang-orang yang terbuang.

"Ganti bajumu dan bersiap-siaplah." Ibu menarikku turun dari tempat tidur.

Kali ini kantukku benar-benar hilang. "Bersiap-siap untuk apa?" Aku menatap beliau bingung. Namun, Ibu tidak menjawab pertanyaanku.

Beliau lalu menyalakan lilin dengan bantuan dua buah geretan dari batu. Kemudian, membantu mengganti baju tidurku dengan setelan kemeja dan celana yang biasa dipakai anak laki-laki. Setelah itu, beliau mengambil sebuah jubah pendek berwarna kelabu yang tersampir di pegangan kursi yang berada di dekat tempat tidur.

"Kenapa Lea memakai baju ini?" Aku menatap beliau tak mengerti.

Ibu tetap diam setelah selesai mengencangkan sabuk kain pinggangku.

"Apa kita akan pergi?" tanyaku lagi.

Ibu balas menatapku. Wajah cantik ibu tampak sangat tua. Jemarinya yang mulai keriput menyusuri wajahku, lalu beliau menangkup kedua pipiku dan memberikan sebuah ciuman di kening.

"Ibu?" Aku menatap beliau heran.

Air muka beliau semakin bertambah suram. Ada kesedihan yang sulit kupahami dalam tatapannya yang berkaca-kaca. Namun, kedua sudut bibir ibu tertarik datar, sehingga menunjukkan ekspresi keras dan kaku. Entah apa yang sedang beliau rencanakan.

Semenjak ayah dan kedua kakak lelakiku meninggal, semenjak kami dipisahkan dari kedua kakak perempuanku, dan semenjak perang terjadi di dalam ibu kota, perangai ibu berubah. Sikap beliau memang masih tenang seperti sebelumnya, tetapi, ada kemuraman yang tak pernah sirna.

Walau aku berusaha menghibur beliau dengan memberikan bunga-bunga, mengajak bermain, dan menceritakan apa saja yang kulihat di luar jendela, senyum ibu belum juga kembali. Yang ada, kesedihannya semakin bertambah, dan membuatku selalu berpikir dua kali untuk menceritakan apa yang kulihat atau pun mengajak beliau bermain.

"Kenapa Ibu menangis?" Aku mengusap pipi ibu yang basah oleh air mata.

Aku tidak melakukan apa pun, tetapi kenapa ibu kembali menangis? Apa beliau teringat dengan ceritaku tadi mengenai penjaga yang memukuli pelayan karena sudah memberiku permen kacang? Ataukah beliau sedang mengingat ayah lagi?

Aku benar-benar tidak tahu apa yang dipikirkan ibu saat ini, apalagi beliau hanya diam dan menatapku lekat-lekat.

"Kalau Ibu tidak mengatakan apa pun, Lea tidak akan tahu apa-apa," kataku lagi.

Kali ini satu isakan lolos dari bibir ibu. Beliau mengusap rambutku, kemudian merengkuhku dalam pelukan yang hangat.

"Ibu menyayangimu, Lea," ucap ibu pelan. "Ibu sangat menyayangimu. Ayahmu juga sangat menyayangimu. Kau adalah anak kami yang paling berharga, seperti kakak-kakakmu. Jangan pernah berpikir, bahwa kami membuangmu. Sekarang, kau adalah satu-satunya harapan kami."

Aku tidak paham, kenapa Ibu tiba-tiba berkata seperti ini. "Ibu kenapa?"

"Kau anak yang cerdas, Lea," Ibu berbisik. "Kau anak yang pandai, tahu apa yang terjadi di sekitarmu dengan baik."

Beliau melonggarkan pelukannya, lalu sedikit menjauh supaya bisa memandangku kembali.

"Sigurd." Ibu memanggil seseorang.

Dari balik sketsel kayu yang berada di sudut kamar, Sigurd berjalan mendekati kami. Dia mengenakan setelan berupa kemeja katun gelap yang dirangkap rompi yang terbuat dari kulit, serta celana panjang hitam. Di sabuk pinggangnya tergantung sebilah belati serta sebuah pedang yang panjangnya sama seperti panjang kedua lenganku.

Aku menatap ibu dan Sigurd bergantian. Kebingunganku bertambah. Bagaimana bisa Sigurd masuk kemari? Kenapa dia tidak ditangkap penjaga yang bertugas? Harusnya mereka tahu ada orang yang memasuki kamar ini. Kemudian baru kusadari, bahwa tidak ada suara percakapan orang di luar paviliun ini. Keadaan benar-benar sepi. Padahal biasanya para penjaga suka berbincang di luar dan terkadang tertawa cukup keras, hingga mengganggu tidurku. Namun, kali ini suasana sangat sepi. Apakah... penjaga-penjaga itu ketiduran?

Ataukah... Sigurd yang membereskan mereka?

Bulu kudukku meremang membayangkan apa yang terjadi dengan para penjaga yang biasa berdiri di depan paviliun kami, jika Sigurd benar-benar membereskan mereka. Aku teringat dengan beberapa prajurit yang terpaksa meregang nyawa karena berusaha melindungiku dan ibu saat kami diseret ke paviliun timur. Ada darah dan mayat di depan kami, dan yang bisa kulakukan saat itu hanyalah bersembunyi di belakang ibu sambil menangis ketakutan. Sigurd sanggup melakukan hal itu dan aku tidak berani membayangkan, bahwa orang-orang yang biasa berjaga di depan paviliun kami bisa saja sudah menjadi mayat sekarang.

Sigurd adalah kesatria kepercayaan ayah dan ibu sekaligus kapten pengawal pasukan bayangan atau Nafetri. Setelah aku dan ibu diasingkan di paviliun ini, aku sama sekali tak pernah melihat Sigurd lagi. Kukira, Sigurd sudah dihukum mati bersama orang-orang yang membangkang perintah Perdana Menteri. Namun ternyata, dia masih hidup dan bahkan bisa berdiri di hadapanku lagi.

Lelaki berperawakan sedang, berambut hitam pendek dan berkulit cokelat itu tersenyum ke arahku. Tampaknya dia memaklumi kebingunganku, karena sedari tadi ibu sama sekali tidak menjelaskan apa pun padaku.

"Semua persiapan sudah selesai, Permaisuri," ucap Sigurd.

Ibu menarik napas, lalu berkata, "Hanya ini yang bisa kita lakukan."

Tatapan beliau tertuju lurus padaku. "Mulai saat ini, patuhi Sigurd dan belajarlah darinya. Pelajari semuanya dengan baik."

Sigurd lalu menarik tudung rompinya hingga menutupi kepalanya serta menutup bagian bawah wajah dengan kain. Dia memandangku dan berujar, "Mari kita pergi, Putri."

"Lea mau dibawa kemana?" Aku mundur menjauhinya, ketika dia hendak menggendongku.

"Kita akan pergi, Putri," jawab Sigurd, "Kita akan meninggalkan Thaliantes."

Sekarang aku mengerti, kenapa Ibu terlihat keberatan, kenapa beliau menangis, dan kenapa beliau memelukku erat-erat tadi. Aku menggeleng kuat-kuat. "Aku tidak mau pergi! Aku mau di sini bersama Ibu. Aku akan menemani Ibu!"

"Tidak, Lea." Ibu menoleh kepadaku. "Kau akan ikut Sigurd."

"Kenapa Lea harus pergi?" tanyaku tak mengerti. "Apa Lea melakukan kesalahan? Atau Lea membuat Ibu kesal? Kenapa Lea tidak di sini saja bersama Ibu?"

"Karena kau harapan kami satu-satunya." Jawaban Ibu membuatku terdiam bingung. "Hanya kau yang bisa menyelamatkan kami, Lea. Hanya kau. Karena itu, pergilah. Jangan menoleh ataupun kembali kemari sebelum kau tahu bagaimana caranya menolong kami."

"Bawa Lea, sekarang!" perintah Ibu yang langsung dipatuhi Sigurd. Dia langsung menggendongku, meski aku meronta-ronta.

"Tidak mau!" Giliranku yang berkaca-kaca mendengar perintah Ibu. "Aku tidak mau pergi. Aku tidak mau berpisah dari Ibu!" Aku berupaya lepas dari gendongan Sigurd.

Dia kesulitan menahanku dalam gendongannya, lalu memilih angkat tangan, sehingga aku bisa berlari pada ibu. "Lea ingin di sini, bersama Ibu!" kataku sambil mencengkeram gaun gelap ibu yang kasar. "Lea tidak mau pergi bersama Sigurd!"

Ibu tidak berkomentar apa pun. Beliau hanya memberikan tatapan dingin yang membuat lidahku kelu. Namun, sebelum aku bisa merengek lagi, tiba-tiba sebuah kain dengan aroma menyengat membekap mulut dan hidung, sehingga kepalaku pusing. Dengan kesadaran yang mulai kabur, bersamaan dengan tubuh yang limbung, cengkeramanku pada gaun ibu mengendur.

Andai Sigurd tidak menangkapku, pasti aku sudah jatuh ke lantai.

"Maaf, Putri," ucap Sigurd sembari menggendongku.

Aku tidak bisa membantah atau melawan, ketika Sigurd bergerak menjauhi ibu. Sekalipun aku ingin berteriak dan memohon untuk tetap berada di sini bersama ibu, pada akhirnya, kesadaranku menyerah dalam kegelapan.

(Selasa, 23 Januari 2024)

====================

Note:

Enjoy the story!

Jangan lupa, vote dan komen cerita ini yaa!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro