Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semua orang sudah berada di kamar masing-masing sekarang. Kelelahan. Beberapa orang masih tertawa ketika masuk ke kamar. Setengah mabuk. Senang. Paling tidak hiburan seadanya yang mereka dapatkan di malam pertama ini cukup menjanjikan. Mungkin saja mereka berada di tempat yang benar bersama orang-orang yang benar.

Lana memperhatikan mereka masuk ke kamar masing-masing. All memberinya kerlingan. Dia sudah terbiasa untuk tidak peduli pada laki-laki seperti All. Sudah terlalu banyak laki-laki seperti itu yang masuk dalam hidupnya.

"Aku tidak tahu pukul berapa ini, tapi...," Silvia tergelak. Langkahnya limbung. Dengan cepat, Lana menangkap bahunya sebelum gadis itu jatuh. "Selamat malam," ucap Silvia lagi.

Lana membantunya berjalan ke kamar. Aroma gadis itu campuran antara keringat dan anggur. Berkali-kali dia bersendawa keras.

"Yah, cuma ini yang kita punya." Lana menidurkan Silvia di tempat tidurnya. "Sweet dream."

"Apa yang ingin kau impikan?" tanya Silvia dengan mata tertutup.

"Aku ingin memimpikan rumah," jawab Lana sambil menutup pintu kamar Silvia.

Lana tidak tidur. Dia memang terbiasa tidak tidur.

Di kepalanya, berputar-putar banyak sekali teka-teki membingungkan yang membuatnya terus terjaga. Suara-suara di kepalanya sekarang menjeritkan banyak pertanyaan.

"Tidak," kata Lana keras pada diri sendiri. "Bukan tentang bagaimana cara keluar dari rumah ini. Yang terpenting adalah kenapa kami semua ada di sini? Kenapa kami yang terpilih?"

Pekerjaan, riwayat kehidupan dan latar belakang mereka semua berbeda. Apakah mereka dipilih begitu saja?

Lana mengerutkan kening menatap ruang kamar serba putih. Ia mencoba mengingat-ingat buku-buku yang pernah ia baca. Pasti ada sebuah pola.

Harusnya setiap orang memiliki peran dalam permainan ini. Ia meraih tas dan memeriksan isinya. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika menyentuh agenda kesayangannya. Ia menghela napas lalu menuliskan dalam bukunya.

1. The king. Peran ini diambil oleh All Brown. Mungkin dia adalah King Henry VIII yang suka main perempuan.

2. Si Cerdas. Ada Silvia Grazie. Dia memang belum menunjukkan kecerdasan seperti dia menunjukkan kemampuannya dalam twerking. Tapi, mungkin saja dia menyimpan kemampuan khusus.

3. Ibu pelindung. Jelas ada Gabriella Chase.

4. Monster sudah pasti jabatan yang pas untuk Zac Browson.

5. Remaja yang harus dilindungi dan suka memberontak pasti Ella Chase.

6. Mike Hall adalah laki-laki lemah yang tidak bisa diandalkan. Mungkin saja dia memiliki sesuatu yang bisa membantu kelompok.

Lana memikirkan posisinya sendiri. Lalu kemudian dia mengambil napas dalam-dalam dan menuliskan :

7. Lana fucking Orlov sebagai pelacur.

Lana tersenyum dengan tulisannya sendiri. Bisa tahu di mana tempatnya yang seharusnya merupakan awal yang baik. Dia jadi tahu apa yang mereka harapkan darinya. Tentu saja, dia tidak akan menjalankan peran seperti yang mereka inginkan.

Pintunya diketuk. Ia terlonjak kaget.

"Maaf aku mengejutkanmu. Kau tidak menutup pintu," ucap Zac agak berbisik. "Boleh aku masuk?" Itu bukan permintaan persetujuan. Dia mengatakannya sambil masuk dan menutup pintu walau Lana belim memberikan jawaban.

Jika belum menyadari posisinya, Lana ingin mengatakan senang atas kunjungan Zac. Dia sudah menuliskan perannya dalam kelompok ini. Dia dipasang untuk menjadi perempuan yang menggoda laki-laki dalam kelompok. Mereka akan berkelahi memperebutkannya atau masalah paling memalukan, cinta. Dia tahu apa yang harus dilakukannya, mundur segera sebelum ada masalah.

"Apa yang kau tulis?"

Lana menutup bukunya cepat-cepat. "Tidak ada."

Zac tersenyum. Dia mendongak ke dinding di atas kepala Lana. "Wow, keren sekali."

Penasaran, Lana berbalik dan mengamati arah yang dilihat Zac. Kelengahan itu menjadi kesempatan bagi Zac untuk menarik buku di tangannya. Dengan kesal, lana menyumpah keras-keras.

"Monster? Kau pikir aku Hulk?" Dia menimbang sebentar. "Hulk? Bagus juga. Hei, apa ini?" Zac mengambil pena dari jari Lana dan mencoret baris ke tujuh. Zac mencoret kata pelacur dan menggantinya dengan 'Thinkerbell.'

Zac mengembalikan buku dan pena kepada Lana. "Jangan rendahkan dirimu sendiri," ucapnya sambil tersenyum. "Tidak ada yang bisa menghormatimu jika kau tidak menghormati diri sendiri."

Garis wajah Zac memang keras. Khas laki-laki yang menghabiskan terlalu lama di gym. Latihan keras, diet ketat dan kehidupan yang buruk. Kulit kecoklatannya membuat wajah itu lebih garang dari yang sebenarnya. Tapi ke dua mata biru Zac seperti dua mutiara surga yang tak sengaja tertempel di situ. Cerah dan lugu. Lana bisa melihat banyak hal di dalamnya.

Mata biru itu kini mengawasi Lana. Mata yang seolah tersenyum kepadanya.

Tiba-tiba Lana merasa kikuk.

"Kenapa kau tidak tidur," tanya Lana pelan.

Zac menyandarkan tubuh pada tangan di belakang tubuhnya. "Aku sudsh tidur lama sekali. Aku bukan beruang. Aku melihat pintumu tidak tertutup, jadi, kupikir bisa berbicara dengan seseorang. Aku melihat pintumu tidak tertutup rapat."

Lana meraih bukunya dari tangan Zac. "Aku lebih suka tidur dengan pintu agak terbuka."

"Tidak di tempat ini," katanya keras. "Kau tidak mengenal siapa pun di sini. Kunci pintumu dan berhati-hatilah."

"Termasuk darimu?"

"Ya, tentu saja."

Lana tertawa. "Baiklah, Hulk. Aku akan berhati-hati."

"Kenapa kamu menulis semua itu?"

"Agar aku tahu peran kita semua di tempat ini. Aku penasaran kenapa mereka memilih kita. Kalau memang karena kita semua orang sial, kenapa memilih All? Dia sukses dan kaya. Kenapa dia ada dalam permainan?"

"Bagaimana kalau dia berbohong?" Suara Zac sangat pelan. "Bagaimana kalau dia berbohong tentang pekerjaan dan kekayaannya? Dia terlihat seperti orang yang suka membual."

Lana tidak menampik pendapat Zac karena memang All memiliki potensi untuk melakukan kebohongan itu.

Tiba-tiba sesuatu mengejutkan Lana. Seperti kilatan kesadaran yang masuk ke kepalanya. Dia berdiri tegak dan membaca tiap kata di dalam surat berembos logo aneh itu.

"Daripada itu, aku berpikir, kenapa mereka mengatakan permainan ini 8th Looser? Kita bertujuh. Apa kah ini artinya akan ada orang ke delapan yang nanti akan menyusul?" Zac duduk di tempat tidur.

"Ada pemain yang gagal ditangkap? Mereka jadi hanya memainkan dengan orang seadanya?"

"Kenapa namanya harus 'loosers'?" Lelaki itu tertawa. "Apa kegagalanmu?"

"Gagal adalah nama tengahku, Zac. Aku terlahir untuk gagal," ucapnya sambil menengadah, menatap langit-langit yang putih yang terlihat lebih tinggi dari jarak sebenarnya.

"Aku seharusnya masuk Royal Balet di Moskow. Tapi aku tidak bisa. Ayahku meremukkan tempurung lututku," ucap Lana dalam sebauh bisikan. Ia mengambil napas dalam beberapa kali. "Ayahku orang kampung yang kolot. Pikirannya masih berada di era Stalin. Buatnya, perempuan adalah pencuci piring di rumah. Perempuan yang melakukan pekerjaan laki-laki adalah pemberontak. Perempuan yang menjadi pusat perhatian adalah pelacur. Hukuman untuk itu semua adalah rasa sakit." Ia mengernyit, membayangkan rasa sakit yang dulu akrab pada tubuhnya.

Lana bisa merasakan ayahnya berteriak marah saat ia membaca buku-buku yang berhasil ia curi dari banyak tempat. Membaca buku bisa membuatnya lupa pada kehidupan buruk yang dialaminya. Lana belajar bahasa-bahasa dunia seorang diri dalam kegelapan dengan sebauh senter atau lilin di tangan. Jika ayahnya memergoki, ia pasti mendapatkan pukulan rotan.

"Syukurlah aku memiliki bibi yang baik hati. Dia memberiku obat-obatan yang bisa menghilangkan bekas pukulan ayahku."

Hati Zac melepuh saat melihat Lana menceritakan masa lalunya dengan senyum. Lana masih bisa tersenyum mengingat betapa pahit hidupnya. Sedang dirinya sendiri terlalu mengubur diri pada dendam masa lalu.

"Kau harus memperkenalkan aku pada bibimu. Aku punya luka yang tidak mungkin bisa sembuh. Saat anak lain mendapat hadiah ulang tahun, aku mendapatkan tusukan dari ayahku." Dia tertawa pelan. "Keluargaku dari Manchester. Aku pindah ke New york bersama ibuku. Kami sudah muak hidup dengan pukulan di sana. Tapi ibu tergila-gila pada ayahku dan meninggal karena merindukannya. Aku tidak tahu perempuan bisa mencintai seseorang seperti itu."

Lana mengangkat bahu. Ia sendiri belum bisa sedetikpun melupakan Dmitri. Sekuat apapun ia mencoba. Dmitri tetap terus menemani mimpinya. Tersenyum dengan kepala berdarah.

"Aku melarikan diri ke New York sendirian. Usiaku masih tiga belas waktu itu," ucap Lana dengan suara kecil. Ia tertunduk.

Zac menaikan alis kepadanya. Lana mengambil napas dalam. Ia belum pernah menceritakan pengalaman hidupnya kepada siapapun. Tapi laki-laki di hadapannya membuatnya ingin sekali membagi banyak hal.

"Aku menghabiskan berhari-hari dengan makan sampah di kapal barang. Aku bersembunyi dari orang-orang. Tubuhku kecil sekali Aku bisa menyelinap di balik peti-peti besi. Aku berlatih cara berbicara bahasa orang-orang yang kudengar. Aku ingin menghilangkan logat rusiaku yang menyebalkan." Lana tertawa kecil. "Sebuah keluarga sempat mengadopsiku sebelum akhirnya anak laki-laki tertua mereka mencoba memperkosaku. Apapun itu, aku sudah memiliki kewarganegaraan Amerika. Mereka mengeluarkan uang banyak sekali untuk itu."

Ia masih bisa mengingat bagaimana Harold menyakitinya. Lana masih ingat bagaimana rasa sakitnya.

Hanya tawa kosong yang bisa ia rasakan ketika mengenang hidupnya yang muram. Mulanya, ia pikir akan menangis. Namun, bercerita di bawa sorot mata biru elektrik Zac membuatnya merasa nyaman. Ia ingin menceritakan lebih banyak lagi.

"Setelah berumur tujuh belas tahun, aku mendaftar di beberapa klub. Aku penari yang baik. Sejak saat itu aku bekerja di Darling. Aku bersyukur. Mereka mnemberiku perlindungan sekalipun aku tidak akan pernah bisa menjadi yang terbaik di klub." Lana menghentikan ceritanya dan menyentuh lutut kirinya. "Kaki ini tidak bisa bertahan lama menari. Beberapa luka di punggung bahuku juga tidak bisa hilang dengan sempurna."

Lana menarik bagian kerah kaosnya untuk memperlihatkan garis keperakan di bahu kanan. Untuk seorang stripper, bekas luka kecil itu adalah kecacatan.

"Kalau kau tidak masuk kerja, bukankah Darling akan mencarimu?"

Lana menggeleng keras. "Aku meminta cuti," Ucapnya sambil menghela napas. "Malam itu adalah hari terakhirku di darling. Aku berencana ke..."

"Ibiza?" Zac menebak dengan cepat. "Banyak gadis yang ingin menghabiskan masa libur di sana."

"Aku ingin kembali ke Moskow. Aku ingin melihat apa yang terjadi di sana selama aku pergi."

"Merindukan rumah?"

Lana menggeleng. Dia ingin melihat tempat yang ditinggalkannya, mungkin agak menertawakan masa lalu konyol yang dulu menghancurkannya. Tidak. Dia sangat ingin mengunjungi Dmitri, makam kecil di belakang rumah yang dibuat dengan tegesa-gesa. Dia sangat ingin memperbaiki makam itu, memberikan Dmitri pemakaman yang layak.

"Kau harus melihat Rusia saat--"

PRANG!!!

Mereka saling berpandangan dengan siaga. Suara piring yang pecah disusul suara jeritan perempuan. Ella.

Zac berdiri untuk berlari ke bawah. Lana menyusulnya dengan degup jantung yang sangat tidak bersahabat.

Zac sudah melesat dengan cepat saat Lana berlari melewati koridor. All berjalan cepat di sebelahnya. Silvia yang terlihat baru bangun tidur bertanya dengan panik.

Semua orang berkumpul di dapur. Ella membanting piring ke dua di depan ibunya.

"Astaga, drama keluarga lagi," desis All tidak sabar.

Gabriella mengangkat jarinya dengan penuh kemarahan. "Sekali lagi kau berani menyebutku begitu, aku akan..."

"Akan apa, Mom? Kau memang sundal. Kau yang membuat ayah pergi. Kau dan selingkuhan keparatmu itu. Aku akan terus meneriakimu. Kau sundal!"

Gabriella menampar Ella dengan keras. Ella memegang pipi yang memerah sambil menjerit-jerit memberondong ibunya dengan umpatan-umpatan kotor. Zac memegang Ella untuk memisahkannya dari ibunya. Ella meronta dan terus mengumpat ibunya dengan kata-kata paling kotor yang pernah didengar Lana.

Silvia memeluk Gabriella yang menangis di pelukannya. "Hentikan mulut kotormu," hardik Silvia.

"Apa pedulimu, Jalang," umpat Ella dengan keras.

Zac membawa Ella ke sofa. Walau Ella meronta sekuat tenaga, tubuh besar Zac bisa mengangkatnya dengan mudah. Zac menidurkannya ke sofa. Ia menekan bahu Ella ke sofa sambil membisikan sesuatu di telinga gadis remaja itu.

Ibunya masih menangis di pelukan Silvia.

Semua ini membuat kepala Lana pusing. Tangisan dan jeritan masih terdengar. Mike berdiri kebingungan di dapur. All duduk di kursi makan memainkan jari-jarinya.

Lana meraih sebuah gelas di dapur dan menyalakan keran. Ia meminum air putih dari keran itu banyak-banyak sampai tumpah dan membasahi kaus tanpa lengannya. Ia membawa segelas lagi untuk Gabriella dan segelas lagi untuk Ella.

Zac masih menekan bahu Ella di sofa empuk. Ella masih meronta seperti kerasukan. Lana mengerling pada Zac. Zac melepaskan pegangannya dari bahu Ella.

"Minumlah ini, Ella. Air bisa mendinginkan pikiranmu."

Ella mengangkat wajah dan menampar gelas di tangan Lana. Gelas itu pecah berserakan di lantai. Semua orang memandang ke arahnya sekarang.

"Kau pasti membelanya kan?" Remaja itu menjerit keras sekali. Lana merasa kupingnya berdengung.

"Ella, aku..."

"Apa kau, sundal keparat!" Ella memotong suara Lana.

"ELLA!" Suara Zac menggelegar mengejutkan Ella. Ella menoleh kepadanya.

"Diam kau, Monster! Kau sendiri mendorong ibumu ke sungai kan?"

Zac baru akan bereaksi pada kalimat Ella saat Lana menyentuh lengannya dengan kuat. Zac berpaling kepadanya.

"Kalian dua orang paling menyedihkan. Paling terkutuk di dunia." Ella menunjuk hidung Zac dan Lana sambil menjerit-jerit.

Lana berpikir mungkin Ella mendengar mereka saling ebrcerita tadi. Gadis ini licik sekali.

"Tutup mulutmu, Bocah sial! Kalau kau ingin menjadi pusat perhatian di sini, lupakan saja. Kau memang sampah." Silvia meradang.

"Jangan sombong, kau anak sundal! Aku melihat dompetmu. Kau dikeluarkan dari MIT karena beasiswamu dicabut kan? Dasar kau pembual sampah!"

Wajah Silvia memerah. Gabriella terlihat sangat marah berjalan menghampiri anaknya.

"Kau pencuri sialan!" Silvia berlari ke meja dapur dan mengambil pisau dari kotaknya yang aman. Lalu semua seperti gerakan lambat di mata Lana.

Silvia melemparkan pisau ke pada Ella yang jauh berada di sofa. Pisau itu melewati Mike yang masih berdiri kebingungan. Pisau itu melesat jauh menuju Ella yang berdiri di atas sofa. Tapi Gabriella lebih dulu melihatnya. Ia berpaling untuk menghadang pisau yang menyasar anaknya.

Pisau itu menancap dengan tepat di mata kiri Gabriella. Pisau yang sangat tajam itu menancap begitu dalam hingga masuk ke dalam rongga kepala Gabriella dan melukai otaknya. Ada bunyi menjijikan saat pisau itu menemukan tempatnya menancap. Darah berhambur keluar membasahi ruangan yang putih bersih.

Tidak ada satu orang pun yang bersuara saat Gabriella ambruk ke lantai. Tidak ada satu orang pun yang bergerak saat Gabriella terbanting dengan keras ke lantai keramik putih.

Lana merasakan sebagian dari dirinya dicabut saat menyadari apa yang terjadi. Dia ambruk di lututnya.

Mike muntah-muntah hebat.

Ella menjerit memanggil ibunya yang terbaring dengan sebelah mata terbuka lebar dan sebelahnya lagi tertancap pisau. Ella melihat dengan ngeri tubuh ibunya yang mengejang-ngejang sebelum akhirnya kaku sama sekali.

"MOOOMMMMMM!" Jeritan Ella yang memilukan terdengar keras ke penjuru ruangan. ella memeriksa ibunya yang sudah tidak bernapas lagi.

Tepat saat Ella akan berlari ke arah Silvia, Zac menangkapnya. Zac memeluknya dengan erat.

All memeluk Silvia yang bergetar hebat. Silvia masih tidak percaya pada apa yang dilakukannya. All membisikan sesuatu kepadanya. Tubuh Silvia melorot ke lantai. All menangkapnya dan terus memeluknya untuk membuatnya tenang. Begitu pula yang dilakukan Zac kepada Ella yang masih menjerit-jerit.

Kaki Lana gemetar hebat. Kunang-kunang beterbangan di penjuru kepalanya. Ia ingin mengetuk-ketuk kepala untuk mengusir pergi bendar-pendar di dalam kepalanya.

Pelan-pelan, Ia merangkak untuk memeriksa Gabriella. Tangannya menyentuh pisau yang tertancap penuh di mata gabriella. Ia mencabut pisau itu dengan cepat. Pisau perak yang ramping dan panjang di tangannya penuh berlumuran darah dan sedikit daging Gabriella.

Lana mulai menangis. Ia ingat bagaimana gesper ayahnya menghancurkan tengkorak Dmitri hingga otaknya berceceran di lantai.

Lana meletakan pisau itu di lantai pelan pelan. Air mata berjatuhan di pipinya. Tangannya memegang tubuh Gabriella yang masih hangat. Ia berusaha memejamkan sebelah mata Gabriella yang terbuka. Mata itu tidak mau menutup sehingga Lana harus menekankan jarinya di pelupuk mata Gabriella beberapa saat.

Lana bersimpuh di lantai. Ia benar-benar lemas. Padahal baru beberapa saat yang lalu mereka berkenalan dan menari bersama. Dunia seperti berputar-putar. Ia menatap kepada Zac yang memeluk Ella dengan kuat. Lelaki itu membalas tatapannya tak berdaya.

"ASTAGA!" Teriak Mike dengan putus asa. "Kita baru sehari di sini dan sudah ada orang yang mati. Hancur sudah harapan mendapatkan satu juta dollar."

***

Nah selesai satu bab lagi. Bagaimana menurut kalian?


Setelah ini, baru part yang salah posting kemarin. Hihihi...

See you next chapter.

Love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro