Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pintu kamar Zac tidak berbunyi ketika Lana membukanya. Zac tidur dengan menelungkup di tempat tidur putih. Napasnya berat dan teratur, seperti bayi besar yang kelelahan bermain.

'Semuanya akan baik-baik saja,' pikir Lana.

Ia menutup pintu kamar Zac di belakangnya dan meletakan baki makanan dan air putih di atas meja Zac. Ia tersenyum saat mendekati tempat tidur Zac, bertanya-tanya sendiri kenapa laki-laki bisa tidur tanpa pakaian dengan suhu yang sangat dingin?

Lana baru akan pergi saat Zac menangkap tangannya dan memuntir tangan itu belakang dengan gerakan cepat. Lana menjerit tertahan. Zac mengerjap.

"Sorry. Aku tidak...."

Lana meringis, memegangi lengannya yang masih terasa nyeri. "Aku membawakanmu makanan. Silva yang membuatnya. Kau... terbiasa tidur dengan siaga?"

Zac memakai kausnya lagi. "Kalau kau hidup dengan berbagai bajingan di sekelilingmu, siaga adalah keharusan."

"Apa yang mereka lakukan saat kau tidur?"

"Mencuri, membunuh, memperkosa." Zac mengangkat bahu. "Banyak hal buruk yang bisa dilakukan orang saat kau tidur nyenyak."

"Memperkosa? Yang benar saja." Lana tertawa. "Tentu saja seharusnya mereka berpikir dua kali melakukannya padamu."

Zac tidak tertawa. "Well, kalau kau pernah dipenjara, perkosaan bukan hal yang tidak mungkin, tidak peduli sebesar apa tubuhmu. Mereka tidak sendirian. Mereka bergerombol. Mereka memegangi tubuhmu dan memasukkan apa saja ke duburmu sampai bisa memaksakan penis mereka masuk."

Lana menelan ludah. "Ka-kau pernah mengalaminya?"

"Hell no! Lebih baik aku mati daripada mengalaminya." Dia mengangkat alis pada makanan Lana. "Boleh kumakan sekarang?"

Lana mengangguk. "Maaf. Aku tidak tahu kalau penjara bisa sebrutal itu."

"Tidak hanya di penjara. Di jalanan, mereka menyerang apa saja yang berlubang. Kau tahu, alkohol dan obat membuat libido meningkat. Mereka butuh lebih dari tangan untuk memuaskan diri. Shit! Ini enak sekali."

Lana tertawa. "Memang. Enak sekali. Silvia pintar sekali masak masakan pedas."

Dia tertawa juga. "Apa yang kau lakukan?"

"Menontonnya," jawab Lana dengan riang. "Aku hanya bisa menbuat sandwhich."

"Kudengar gadis Mexico memang terlahir dengan kemampuan memasak yang hebat."

"Mereka diwajibkan mandiri sejak kecil karena harus segera menikah. Keluarga miskin ingin segera melepaskan anak gadisnya. Tidak ada yang bisa dilakukan gadis-gadis selain melakukan pekerjaan domestik dan memuaskan laki-laki." Lana tertawa lagi, kali ini tawanya hambar dan sedikit getir. "Tidak ada yang percaya perempuan bisa melakukan hal lebih. Tokoh-tokoh perempuan hanyalah contoh pemberontakan dan anomali. Letak perempuan harus selalu di bawah. Menggelikan."

"Kalimat itu diucapkan oleh gadis yang bekerja di klub hiburan?" Zac meletakkan garpunya. "Kenapa kamu memilih pekerjaan itu?"

"Karena pekerjaan itu yang bisa kulakukan tanpa latar belakang pendidikan dan menghasilkan banyak uang." Lana melompat berdiri, agak kesal dengan pertanyaan zac. Tidak. Dia kesal pada diri sendiri. Seharusnya sudah lama dia meninggalkan pekerjaan ini, terutama setelah lelaki itu mengajaknya pergi. Seharusnya dia menuruti lelaki itu. Seharusnya dia memang tidak kembali lagi.

"I'm sorry," ucap Zac pelan.

"Tidak masalah. Aku juga kesal pada diri sendiri yang tidak bisa melakukan apa pun untuk memperbaiki ini." Lana menarik napas dalam-dalam. "Seharusnya aku mencari pekerjaan yang lebih baik."

"Hei... hei...," Zac memegang tangannya. "Aku tidak menyalahkan pekerjaanmu. Sungguh. Aku hanya takjub melihatmu memiliki pemikiran seluas itu. Kau tahu... penari sepertimu seharusnya memiliki otak yang kecil. Jangan tersinggung. Kebanyakan seperti itu. Tapi, kamu berbeda. Kamu memiliki kecerdasan melebihi mahasiswa MIT itu."

"Itu pujian paling membosankan yang pernah kudengar." Zac tertawa. "Caramu merayu memang parah."

"Aku tidak pernah punya kekasih. Aku buruk dalam urusan percintaan."

"Kau tidak harus berbohong untuk mendapatkanku." Lana tersenyum lalu memiringkan kepalanya.

"Sumpah." Zac mengangkat tangannya. "New York bukan tempat untuk bersantai. Aku harus berlatih siang malam untuk menaklukannya. Satu-satunya kekasihku adalah ibuku."

Zac terdiam. Setelah meletakkan piring kosong, dia memegangi gelas air putih dan memutar-mutar gelas di tangannya itu.

"Ibuku melompat ke sungai. East River. Seharusnya aku bisa menolongnya. Tapi... aku takut sungai. Aku takut air yang mengalir deras. Aku cuma melihat ibuku menghilang di sungai dingin dan mengapung lagi. Aku melihat semua seperti orang dungu."

"Thalassophobia?"

Zac mengerutkan kening. "Apa?"

"Thalassophobia. Ketakutan berlebih saat melihat sungai atau laut."

Lelaki itu bergidik. "Aku tidak tahu namanya. Aku hanya merasa konyol saat merasakannya. Ayahku pernah mencoba menenggelamkanku di sungai. Sejak itu aku takut pada sungai, laut atau walau hanya kolam renang. Bahkan melihat fotonya saja membuatku mual." Dia melihat Lana. "Kau bisa tertawa kalau mau."

Lana tersenyum geli karena permintaan itu. "Tidak, Zac. Aku juga punya ketakutan senduri. Setiap orang punya phobia dan maniaknya sendiri. Tidak ada yang oatut ditertawakan. Ada yang takut memiliki kekasih." Lana tertawa. "Aku contohnya. Aku takut menjalin hubungan dengan siapa pun. Ini konyol. Banyak yang menawarkan hubungan, tapi tidak. Aku tidak ingin melakukannya. Kau tahu, rasanya mengerikan membayangkan seseorang bertanggung jawab terhadap diriku dan aku ter iasa bergantung padanya. Lalu, suatu hari dia meninggalkanku seperti orang gila. Tidak. Lebih baik sendiri selamanya. Ini jauh lebih aman."

Lelaki itu bingung harus menanggapi kalimat Lana dengan ekspresi apa. Dia sering mendengar orang takut pada benda kecil atau lubang pori-pori manusia. Tapi takut terhadap hubungan? Yang benar saja. Semua orang ingin memiliki hubungan dengab orang lain. Dia sendiri sudah lama berharap memiliki seseorang yang bisa mengerti dan memahami masa lalunya.

"Lihat wajahmu," kata Lana sambil menggeleng. "Kau melihatku seolah aku baru mengatakan kalau aku penyembah setan."

Zac menarik napas dalam. "Well, lebih baik aku mendengarmu mengatakan kalau kau penyembah setan. Aku yakin sudah banyak laki-laki yang kau buat patah hati."

Lana menghitung. Cukup banyak, tapi tidak ada yang segigih lelaki itu. Setiap hari dia mengirimi bunga dan hadiah-hadiah kecil. Gadis itu memasukkan semua pemberian lelaki itu ke dalam kardus besar. Jika suatu hari lelaki itu menuntutnya, kardus itu bisa mengembalikan harga dirinya.

"Jangan buat aku menderita, Lana. Apa tidak cukup aku merangkak ke pintumu setiap hari? Ayolah, aku... kita bisa memulai hidup baru. Sebut saja ke mana kau ingin pergi. Kita pergi saat ini juga," kata lelaki itu padanya.

Dari dalam dirinya, Lana sangat ingin tergoda dan mengikuti ajakan lelaki itu. Namun, mimpi buruk tetaplah mimpi buruk, terlebih hatinya telah dibawa mati kakak laki-lakinya.

Lana merebahkan tubuh di tempat tidur. "Seharusnya aku bisa keluar dari pekerjaan itu. Aku sudah merencanakannya. Aku sangat ingin berhenti. Aku ingin tinggal di kota yang sepi dan hangat. Sayang, sekarang aku terjebak di sini." Dia berpaling pada zac. "Bersamamu dan orang-orang aneh itu."

Zac tertawa. "Kukira, aku saja yang menganggap mereka aneh."

"Aku juga aneh."

"Aku juga. Ini alasan kenapa kita ada di sini. Mereka mencari orang aneh untuk membusuk di sini. Kalau aku yang membuat ini, aku akan membuat kita semua saling membunuh demi uang. Yah... kau tahu, itu lebih menyenangkan dan cepat selesai. Manusia sangat mudah terpancing dengan uang."

"Keserakahan alami," bisik Lana.

Sudah bertahun-tahun Lana mendapat klien pebisnis dan politikus. Mereka semua saja, serakah. Mereka melakukan banyak hal untuk memenuhi nafsu mereka akan kekayaan yang lebih banyak. Mereka menjual citra diri penuh kebaikan agar orang menyukai mereka dan menjadi pengikut mereka. Semakin banyak pengikut artinya semakin banyak yang mendukung dalam kasus apa pun. Vox populi vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Menggerakkan massa adalah cara menggerakkan takdir dan menambah kekayaan lebih banyak lagi.

Sudah lama uang menggantikan posisi Tuhan di bumi. Tidak ada aturan dan kitab suci. Siapa yang memegang uang paling banyak, dia bisa mengubah takdir sesukanya.

Inilah alasan terbesar Lana membenci manusia. Baginya, hanya manusia yang tidak menyukai uang hanya mayat.

"HEY, GUYS! GUYS, CEPAT!!! FUCK!"

Suara Mike terdengar sangat keras dari arah bawah.

"Ya, Tuhan apalagi ini?" Zac mengeluh tidak berdaya. Lana sudah bergerak cepat berdiri dan keluar dari kamar Zac. Ia bertemu dengan All yang tergopoh memakai kausnya sendiri.

Mike berdiri di depan meja makan dengan wajah bingung. Di depannya ada tas pakaian dari kulit berwarna cokelat yang terlihat tebal.

"Apa ini," tanya Lana sambil terengah-engah. Mike menggeleng tidak mengerti.

"Aku akan turun untuk mengambil minuman tapi kulihat ada tas ini." Mike membuka risletingnya dan melihat ada tumpukan uang di dalamnya.

Semua orang memandang ke dalam tas itu dengan bingung. Uang baru yang belum pernah dipakai. Terikat rapi dalam kertas bertuliskan nominal uang dan jumlah uangnya. pecahan 100 dolar yang bertumpuk-tumpuk. Lana merogok ke dalamnya dan menarik keluar sebuah amplop putih berembos. Amplop yang sama seperti yang ditemukan Silvia.

Lana membuka amplop itu dengan tegang. Zac berdiri rapat di sebelahnya. Orang-orang lain juga merapat padanya.

"Dear peserta The 8th Looser." Lana melihat seluruh temannya. "Ini adalah hadiah pertama kalian. Silakan berbagi satu juta dolar ini. Akan ada satu juta dollar lain yang akan datang setiap ada satu kematian. Semakin bagus kematian itu, semakin mahal harganya. Kerja bagus Miss Gracie."

Semua orang menatap Silvia dengan bingung, sama bingungnya dengan reaksi Silvia sendiri.

"Aku tidak..."

Mike menyentuh tangan Silvia. "Sudahlah. Semua sudah berlalu. Yang penting kita bagi uang ini dengan adil." Mike menjilati bibirnya. Tas yang penuh dengan uang membuat liurnya mengalir deras.

"Astaga!" All Menatap Mike dengan marah. 

"Mike, ini pancingan mereka. Mereka ingin kita semua saling membunuh demi uang. Mereka membuat kita jadi psikopat. Mereka tahu kita sangat butuh uang. Lalu apa artinya uang kalau kita tidak bisa keluar dari tempat ini?" Lana menjeritkan isi hatinya. Semua orang terpaku. Termasuk Mike yang sudah meneteskan liur keserakahannya.

"Begini saja, Kita bagi saja uang ini lalu kita lupakan apa yang terjadi, oke?" Mike mulai membagi-bagi uang di dalam tas itu.

"Ambil saja bagianku. Aku tidak butuh," ucap All dengan sedih. "Yang harus kau pikirkan, kalau uang itu bisa masuk ke sini, pasti ada jalannya. Aku heran bagaimana ada manusia yang bisa hidup tanpa otak sepertimu."

Lana menatap Mike. "Di mana kau temukan tas itu?"

"Di situ." Mike menunjuk bagian tengah meja. "Aku tidak memindahkannya sama sekali."

Lana menatap Silvia yang menatapnya dengan bingung. "Teori kita benar, Silvia. Mereka punya jalan masuk. Itulah cara mereka memasukkan benda ini."

Silvia melongo.

Lana menatap ke arah langit-langit yang tinggi. "Mustahil, Lana. Ini lantai satu. Ada satu lantai lagi yang harus kau lewati untuk mencapai atap." All menatapnya putus asa.

Lana tidak menunggu lama untuk melesat ke lantai dua. Bagian atas dari ruang makan adalah dinding kamar Mike. Lana Mengetuk-ketuk dinding dan merasa telinganya mendengar sesuatu yang berbeda. Ada rongga berlapis di balik dinding itu.

"Di balik dinding ini ada sesuatu. Rongga berlapis. Bukan dinding biasa. Seperti cerobong asap." Lana menggeleng lemah pada teman-temannya yang menatap bingung. "Bagaimana kalau kita cari di bagian atas ruang makan?"

"Hah?'

Lana tidak menghiraukan seruan heran Zac. Ia berjalan menuju ruang makan tempat teman-temannya berkumpul. Mike menghitung uangnya.

"Guys, bisa tolong pindahkan meja makan ini?" Lana meminta dengan nada memerintah dan suara yang keras. Semua orang menoleh kepadanya. "Di atas meja makan ini benar sekali ada jalan masuk berbentuk cerobong asap, kukira. Mereka memasukan uang dari tempat itu. Kita bisa mencapainya."

"Gila! Tidak ada tangga." Silvia mengerutkan kening.

Lana menggeleng dengan semangat. "Aku tidak butuh tangga. Aku akan memanjat Zac. Zac akan naik ke atas kursi makan."

"APA?!" Zac menjerit tidak percaya.

"Percayalah padaku, Zac. Beratku tidak sampai lima puluh kilo. Tidak seberapa dengan berat latihanmu." Lana mengedipkan matanya.

"Sebentar. Ladies. Kenapa kau ingin sekali keluar kalau di sini bisa mendapatkan uang?" Mike menatap heran kepadanya.

"Mike, gunakan otakmu! Apa kau tidak baca apa yang tertulis di surat itu? Mereka menginginkan kita untuk saling membunuh demi uang. Mereka pikir kita sebegitu putus asanya untuk mendapatkan uang. Setelah kau dapatkan uangmu lalu apa yang akan kau lakukan? Mati memeluk uang? Mereka tidak berniat mengeluarkan kita."

Zac menatap Lana dengan terkejut.

"Ya, Zac seperti katamu. Pertunjukan berubah sekarang. Lebih menyenangkan melihat sekumpulan orang yang saling membunuh. Penonton lebih banyak dan lebih bersemangat. Apalagi jika mereka saling bertaruh." Lana menatap All. "Pokoknya kita harus keluar dari tempat ini. Uang yang ada pada kita sudah cukup. Oke?"

Mereka mengangkat meja makan berta itu bersama-sama. Meja kaca itu jauh lebih berat dari yang mereka perkirakan. Tapi meja itu tidak akan cukup kuat menahan berat badan Zac dan Lana sekaligus.

Lana menyusun dua buah kursi di bawah Chandelier kecil. Ia menatap Zac dengan wajah serius. Keringat membasahi anak rambutnya walau ruangan terasa begitu dingin.

"Kau yakin?"

Lana mengangguk dengan pasti. "Sangat." Ia menjawab dengan sepenuh hatinya. "All, Silvia, tolong duduki kedua kursi untuk menjaga keseimbangan saat Zac berdiri di atasnya."

Maka atraksi itupun terjadi.

Zac berdiri di atas ke dua kursi yang dimaksud Lana. All dan Silvia menduduki masing-masing kursi. Lana memanjat tubuh Zac untuk berdiri di bahunya. Lekukan otot Zac memudahkan kakinya mencari pijakan yang kokoh.

"Ulurkan tanganmu padaku, Zac. Kita masih belum sampai." Lana berbisik pada Zac. Zac menurutinya. Ia mengangkat ke dua tangannya dan membiarkan Lana menginjak ke dua telapak tangannya.

Berat badan Lana memang tidak seberapa dibanding Ban besar yang digunakan Zac untuk berlatih. Tapi ia benar-benar khawatir Lana terjatuh atau apa. Kaki Lana terasa berdiri dengan mantap dan seimbang di telapak tangannya. Tetap saja ia berdoa agar Lana bisa melakukan misinya dengan selamat.

Lana meraba-raba papan langit-langit untuk mencari celah yang ia bayangkan ada di situ. Keringat mengucur di balik kaus dan celah rambutnya. Jantungnya berdebar keras. Bukan karena dia takut pada ketinggian. Lana suka ketinggian. Dia suka pose akrobatik. Tapi karena semangat saat ia menemukan apa yang dicarinya. Sebuah celah yang hampir tidak nampak. Celah yang benar-benar menutup dengan presisi. Lana menelan ludah agar tidak terlalu gembira atas apa yang ditemukannya.

Lana meratakan tangannya dan berusaha mendobrak sisi di sekitar celah itu. Keras sekali tapi ia yakin celah itu masih terbuat dari kayu. Ia mengepalkan tangan dengan rapat. Lalu meninju papan itu dengan sekuat tenaga. Tangannya kesakitan. Papan itu sama sekali tidak bergerak.

"SIAL!"

"Lana, Apapun yang kau lakukan di atas, tolong jangan biarkan dirimu jatuh, Honey." Zac berujar dengan penuh ketakutan.

Lana menyerah. Kayu itu terlalu keras untuk ditembus tangan kurusnya.

"Kau bisa menangkapku?" Lana melihat pada Zac yang ada di bawahnya.

"Hah? Apa?"

"Aku akan melompat. kau tangkaplah pinggangku."

"Jangan sinting. Kau bisa turun dengan cara biasa."

"Jangan mendebatku. Tanganmu sudah keram. Kau tidak akan bisa menahan tubuhku jika aku berjongkok untuk turun. Percayalah pada instingmu, Zac."

Lana melempar tubuhnya ke udara dan membalik tubuhnya dengan cepat membalik badan menghadap ke arah Zac. Zac menangkapnya. Tepat di pinggangnya.

Mata Zac menatapnya dengan ngeri, seperti melihat mayat hidup. "Ya, Tuhan... Ya Tuhan..." Zac tidak melepaskan tangannya dari pinggang Lana seolah memegang sebuah boneka keramik yang mudah pecah.

"Kau bisa menurunkan aku sekarang, Zac." Lana berkata dengan lembut sambil memegang lengan Zac. Lelaki itu gemetar.

Zac menurunkannya sebelum ia sendiri melompat turun dari kursi. "Tolong jangan lakukan itu lagi." Ia buru-buru memeluk Lana dengan erat.

"Apa yang kau dapatkan?" Silvia penasaran.

"Jalan keluar." Lana tidak melepaskan diri dari pelukan Zac. Pelukan itu membuat debar jantungnya terdengar menyenangkan. "Ada celah sebesar tubuhku atau Ella. Tapi tidak mugkin memanjat setinggi itu tanpa jatuh. Kupikir aku akan kelelahan. Kayunya kuat sekali. Tidak bergema saat kupukul kan?"

"Apa yang dipikirkan orang-orang sialan itu?" All menjerit marah.

"Apapun itu, yang jelas, kita tidak akan membuat mereka senang." Lana menarik nafas panjang. "Mereka menikmati apa yang kita lakukan. Kita bisa kembali ke kamar kita masing-masing dan mengecewakan mereka semua. Kalian coba cari benda berpendar di sisi pendingin ruangan di kamar kalian kalian seperti ini. Ambillah. Jangan buat mereka senang." Lana mengacungkan kamera mikro yang ia temukan kepada mereka semua.

"Hancurkan saja," ucap All dengan geram.

Lana mengangkat bahu, "Aku akan mendinginkan kepalaku. Sial! Aku benar-benar penasaran."

***

Sebenarnya saya lupa kalau harus update ini. Tapi, ada notifikasi email saat saya membuka HP yang isinya komentar, "Kak lanjut lagi dong."

Saya jadi ingat kalau ada yang menunggu cerita ini juga.

Maaf ya saya lagi beresin Drey di Filthy Shade of Drey. Jadi yang lainnya agak terlupa.

Kalian sudah baca Unbroken Vow?

Kisah remaja 15 tahun yang hidup dengan keluarga angkatnya setelah menjadi yatim piatu. But she's ruin everything. Dia menghancurkan keluarga barunya sendiri.

Just read it. You will love it!

See you next part, Little Bees.

Love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro