Chapter 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hah, siapa?"

...
..
.

°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°

27 Mei 2122

Pagi yang cerah di Jakarta. Walaupun matahari masih di ufuk timur, kepadatan dan kebisingan jalan raya membuat suasana seakan-akan telah menjelang siang. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kepadatan ini diakibatkan oleh pergantian kelas bagi para pelajar. Benar, ini waktunya libur yang panjang.

Para penduduk banyak kembali ke kampung halamannya, walau sekedar melepas rindu dengan sanak saudara atau pergi liburan yang telah direncanakan jauh-jauh hari. Sungguh, tak lama lagi kota yang selalu ramai ini perlahan-lahan akan menjadi sepi. Akan tetapi tetap saja ada beberapa orang yang bertahan di kota, menghabiskan waktu mereka dengan bersantai di rumah masing-masing.

Seperti pemuda berusia 15 tahun ini. Dia masih terlelap dalam dunia mimpinya dan tak peduli suara mobil tetangganya yang berlalu lalang dari tadi. Hari libur ini dia manfaatkan dengan bersantai sambil mencari SMA yang bisa dia masuki.

Benar pemuda bernama Akaito Ren ini sudah tamat dari SMP yang berada tak jauh dari kediamannya. Walaupun tidak dengan nilai yang tinggi, dia tetap bisa lulus dengan senyum bangga.

Ren PoV

'Kriiingg!'

"Ugh ...." Aku mengerang pelan sangat terganggu dengan bunyi jam weker yang terus menggema dan menarikku paksa dari alam mimpi.

Rasa malas menghampiriku, tubuhku tidak mau digerakkan. Bahkan hanya untuk untuk mematikan jam yang selalu mengusik mimpi indahku itu. Namun salah satu tanganku berkata lain, kucoba menggapai jam tersebut yang berada di nangkas sebelah tempat tidurku.

"Uh ... Mana sih tombolnya," erangku sambil terus meraba jam weker tersebut. Ketika aku merasakan tekstur menonjol dari jam tersebut, aku langsung menekannya.

'Duaar!'

"Duar meledek! eh meledak ... Hah astaga."

Jam itu langsung meledak membuatku tersentak kaget. Kesadaranku langsung disedot secara instan ke dunia nyata. Bagaimana tidak, baru saja bangun di pagi hari yang cerah, tenang, dan harusnya dipenuhi kebahagian malah terjadi sesuatu hal yang tak 'terduga'. Walaupun sebenarnya ini bukan kali pertama terjadi.

Aku menyadarkan tubuhku di tembok sambil memegangi kepalaku yang sedikit pusing akibat menggerakkan tubuh secara tiba-tiba. Di sisi lain tanganku yang berkontak langsung dengan jam tersebut mengalami luka bakar. Untuk saja tidak terlalu parah.

"Argh ... Tangan sakit, kepala pusing, wajah juga masih memar. Sial sekali hidupmu Ren," sindirku kepada diriku sendiri lebih tepatnya kepada hidupku yang selalu diwarnai dengan gelapnya kesialan.

Tiba-tiba pintu kamarku dibuka. Menampakkan seorang wanita berumur 20-an yang membawa kotak P3K. Wanita itu memiliki rambut hijau sepunggung dengan iris senada yang membuatnya tampak anggun. Pakaian yang digunakan adalah pakaian formal dengan kemeja putih, jas abu-abu, dan rok selutut abu-abu. Dia adalah Hyera Cantika Albimayu, atau sering dipanggil Hyera. Wanita yang telah menjadi wali asuhku selama 10 tahun dan juga kakak sepupu dari keluarga ayahku.

"Meledak lagi?" tanya kak Hyera setelah menyadari bekas ledakan di atas nangkas sebelah ranjangku.

"Begitulah," jawabku dengan lesu yang hanya dibalas gelengan kepala oleh Hyera. Wanita itu kemudian meletakkan kota P3K itu di atas bekas ledakan itu. Setelah itu dia menatapku tepat di kedua mataku, sorotnya tampak asing. Kak Hyera tak pernah menatapku seperti ini sebelumnya, apa dia kasihan padaku?

"Kemarilah, aku ingin melihat lukamu." Kak Hyera memintaku duduk di tepi ranjang dan langsung kuturuti tanpa mengatakan apa-apa. Pertama dia melepas beberapa plester di wajahku dengan perlahan dan memastikan lukanya sudah kering, kemudian dia memeriksa telapak tanganku yang terdapat luka bakar.

"Untunglah tidak separah yang kupikirkan," guman kak Hyera diselangi dengan anggukan. Dia melepas tanganku, tiba-tiba dia menepuk telapak tanganku dengan keras membuatku memekik kesakitan.

"Aw! Hei Kak itu sakit! Kakak ngapain?!" berangku sambil meniup telapak tanganku dan mengipas-ngipaskannya. Berharap rasa nyerinya berkurang. Di sisi lain kak Hyera tertawa, wajah puasnya membuatku kesal.

"Hahahaha, salahmu juga. Tiap pagi aku harus terkejut dengan bunyi ledakan karena ulahmu. Selain itu aku juga harus memikirkan uang untuk barang-barang yang kau ledakkan, dasar anak nakal."

"Aku tidak sengaja, jadi jangan menyalahkanku." Kak Hyera kembali tertawa, sesekali dia menghapus air mata di sudut matanya akibat terlalu banyak tertawa.

Ketika sudah puas tertawa, Hyera langsung menarik nafas dalam dan memegang perutnya yang mendadak keram. Tetapi dia tak memedulikan hal itu dan menyerahkan sepasang sarung tangan tanpa jari padaku.

Aku menerima sarung tangan itu dengan tatapan aneh, "Apa ini?"

"Itu sarung tangan baru untukmu, kudengar dari Chandra sarung tanganmu yang lama robek karena perkelahian mu kemarin," jawab Hyera sambil menunjuk sepasang sarung tangan tersebut.

Aku membolak-balikkan sarung tangan tersebut dan memperhatikannya secara seksama. Warna dan bentuknya sama dengan sarung tanganku yang lama hanya saja kali ini pada bagian jari dihilangkan.

"Ah iya, tadi Chandra memintamu ke perpustakaan. Kakak mau pergi ke kantor jadi nanti jangan lupa sarapan dan kunci pintu," pesan Hyera kemudian kubalas dengan anggukan paham.

"Ngapain memang?" tanyaku singkat. Kak Hyera mengedikkan bahunya, sepertinya Chandra tidak memberitahukan alasannya kepada Kak Hyera. Setelah itu Kak Hyera pergi dari dari kamarku, meninggalkanku untuk bersiap-siap.

Sehabis mandi, aku langsung mengenakan pakaian casual, kaos putih, hoodie merah, dan celana jeans hitam. Aku menyisir rambut coklatku, walaupun sebenarnya tidak berguna karena aku tau rambutku ini susah diatur, baru sebentar diatur beberapa menit kemudian pasti berantakan lagi. Setelah merapikan pakaianku aku langsung mengambil sarung tangan yang diberikan Kak Hyera dan memakainya.

Sebenarnya aku memiliki satu keanehan, yaitu setiap barang elektronik yang kusentuh terlalu lama akan meledak. Hingga saat ini aku tidak tau penyebabnya, hanya saja kata Kak Hyera ini sudah terjadi sejak aku berumur 7 tahun. Walaupun aku sama sekali tidak ingat. Jadi untuk mengantisipasi hal tersebut, aku harus mengenakan sarung tangan. Bisa miskin nanti jika aku selalu meledakan fasilitas-fasilitas umum. Apalagi sekarang semua serba canggih.

"Yosh ... Saatnya sarapan lalu berangkat."

°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°

Author PoV

Ren memutuskan pergi ke perpustakaan menggunakan sepeda merahnya, karena jarak perpustakaan dengan rumahnya cukup jauh dan dia malas untuk naik bus ke sana. Sesampainya di perpustakaan, Ren langsung memarkirkan sepedanya dan menggemboknya. Setelah di rasa aman dia langsung masuk ke perpustakaan dengan tasnya.

Chandra, pemuda yang lebih tua dua bulan dari Ren tampak duduk di meja baca bagian belakang. Ren langsung menyadarinya karena hanya pemuda itu yang mengenakan kacamata hitam dan memiliki rambut hitam lebat.

"Yo! Sudah lama menunggu, Ndra?" Ren menyapa pemuda tersebut dengan senyum lebarnya. Chandra mengalihkan pandangannya dan menyapa Ren balik.

"Tidak juga, aku hanya menunggumu selama 1 jam 30 menit," sarkas Chandra sambil tersenyum. Ren hanya membalas dengan cengengesan sebelum akhirnya duduk di hadapan pemuda berkacamata ini.

Chandra Sanjaya Albimayu, yang kerap dipanggil Chandra atau Ndra oleh orang terdekatnya. Dia adalah adik dari Hyera dan juga sepupu Ren dari pihak ayahnya. Chandra terkenal akan kecerdasannya dan keaktifannya dalam berbagai organisasi. Dia sudah mengenal Ren sejak kecil, dan selama itu dia selalu menjadi orang yang membantu Ren untuk menyelesaikan semua masalah yang ditimbulkan oleh teman masa kecilnya ini.

Chandra menyodorkan sebuah amplop kepada Ren. Sebuah amplop yang berlogokan SMA N 1 Garuda. Ren tau persis logo tersebut, bukan karena SMA itu merupakan SMA favorit atau karena siswa SMA itu banyak meraih penghargaan. Namun ia selalu melihat logo ini dari para siswa yang selalu cari masalah dengan sekolahnya.

Ren melongo untuk sesaat sebelum membuka amplop tersebut dan membacanya isinya. Matanya mengerjab tak percaya.

"Siswa ... Undangan?" ulang Ren yang langsung diangguki oleh sang pemilik surat. Seketika Ren merasa sedang berada di dunia mimpi. Dia tau bahwa Chandra selalu mengejar SMA ini dengan usaha dan tekad yang kuat, berbeda dengannya yang sekarang sudah di blacklist dari sekolah ternama tersebut.

"Seperti yang ada dalam surat tersebut aku harus pergi ke SMA Garuda besok untuk mengurus pendaftaran dan semacamnya. Jadi ...," Chandra terdiam sejenak, rasanya berat melanjutkan walaupun ia tidak tau mengapa, " ... Jika kamu masih tawuran dengan sekolah Garuda seperti kemarin, aku tidak segan-segan melaporkan segala tindakanmu selama ini ke kak Hyera."

"Eh jangan! Kita kan sudah membuat perjanjian?!" Panik? Tentu saja, jika Kak Hyera tau seluruh tindakannya maka kemungkinan dia akan dikenai hukuman yang lebih berat daripada merawat anjing tetangga yang super garang. Tidak, dia tidak mau lagi. Untung saja perkelahian kemarin tidak memancing emosi Hyera, kalau kali ini reaksinya berbeda? Habis sudah jiwa dan raga dari Akaito Ren

"Itu salah mu, kenapa juga kamu harus ikut tawuran dengan anak-anak brandal seperti mereka? Keren begitu?" balas Chandra dengan tak kalah kesalnya. Hingga tak sadar memukul meja.

"Siapa bilang aku ikutan cuma karena ingin dianggap keren? Orang-orang itu yang mencari masalah! Kau lupa mereka mencoret dinding sekolah kita? Dia juga menaruh sampah di kelas kita! Di bangku ku!"

"Ya tapi kan itu tidak disengaja, kamu saja yang melebih-lebihkan."

"Tidak sengaja? Hei mata empat, coba---"

"Sssst!"

Belum selesai Ren mengungkapkan pembelaannya, meja di sebelah mereka langsung memotong. Membuat Ren yang kini sudah berdiri langsung duduk di bangkunya sambil meminta maaf.

Chandra menghela nafas, banyak ke khawatiran di benaknya ketika mendapati surat ini. Salah satunya adalah fakta bahwa dia dan Ren tak bisa bersekolah di sekolah yang sama. Jika begitu, dia tak bisa lagi menolong ataupun menutupi kenakalannya dari kakaknya. Mungkin ini merupakan hal yang bagus tapi dia tetap khawatir, siapa yang akan mengawasi pemuda berapi-api ini jika bukan dia?

Terlebih lagi ....

"Hei, tadi pagi kamu meledakkan jam lagi, 'kan?"

Ren tersentak akibat pertanyaan mendadak dari Chandra. Seketika dia langsung langsung salah tingkah dengan sibuk membaca buku yang tadi dia bawa. Buku kosong tentu saja.

Chandra kembali menghela nafas, lelah dengan kelakuan sepupunya yang terlalu mudah ditebak. Sebenarnya bukan hal aneh lagi malah ini terlalu sering terjadi. Bukan jam saja, melainkan hampir semua alat eletronik yang disentuh oleh pemuda itu semuanya meledak. Sayangnya hingga saat ini Chandra tidak tau penyebabnya, namun dia bisa berspekulasi bahwa di tangan Ren memancarkan energi yang sering kali bertabrakan dengan beberapa alat eletronik. Karena hal itu pula lah, dia tak bisa membiarkan Ren berkeliaran sesuka hatinya dan selalu mengingatkan pemuda itu agar selalu mengunakan sarung tangan.

"Oh ya kita ngapain ke sini?"

Chandra kembali disadarkan dari lamunannya. "Aku ingin mengajakmu belajar untuk tes masuk SMA Negri 2 Harapan Bangsa. Sekolah itu bersebelahan dengan SMA 1 Garuda. Selain itu, sekolah itu juga cocok untukmu yang berbakat di bidang olahraga."

"Hah?! Dih gak mau."

Ren langsung beranjak dari tempat duduknya namun berhasil dicegah oleh Chandra. Memaksanya untuk kembali duduk.

"Siapa yang menyuruhmu berdiri? Dengarkan aku, aku tau saat ini kamu masih ragu untuk memilih sekolah dan aku tidak ingin memaksamu. Tetapi harus kamu ingat, awal semester baru tak lama lagi. Jadi lebih baik kamu bersiap sekarang daripada tidak sama sekali." Chandra mengatakannya dengan intonasi yang kuat. Dia sangat yakin dengan perkataanya membuat Ren terdiam sejenak. Dalam hati Ren memikirkan kata-kata Chandra, yang akhirnya membuat pemuda beriris crimson itu kembali duduk di bangkunya.

Chandra tersenyum kemudian menggeser tumpukan buku yang tadi di sebelahnya ke hadapan Ren. Namun Ren menatap tumpukan buku itu dengan iba. Nerakanya telah datang.

"Kalau begitu mari kita mulai belajarnya." Chandra menaikkan kacamatanya sambil tersenyum. Sangat manis hingga Ren ikut tersenyum. Hanya saja kedua senyuman mereka memiliki makna yang berbeda.

°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°

"Setelah ditambahkan, nanti konstanta ini pindah ke ruas kanan jadi positif. Setelah itu baru di akar. Jadi x² - 4 = 0 itu hasilnya x = ±2."

Chandra menjelaskan perhitungan yang ada di salah satu buku. Dia menjelaskan sambil mencoret buku buram yang sejak tadi dia gunakan untuk membahas soal.

"Lalu soal yang ini difaktorkan dulu," lanjut Chandra sambil menunjuk nomor selanjutnya. Tetapi Ren tampak tak merespon sama sekali membuat Chandra menoleh.

Ren, pemuda itu tengah terlelap dengan posisi duduk bersender di kursi. Urat di kepala Chandra langsung bermunculan. Dengan penuh cinta, si mata empat ini langsung memukul kepala Ren dengan gulungan buku. Membuat sang empu terbangun dengan wajah shock.

"Hah? Apa itu? Meteor?" kata Ren asal sambil mengelus kepalanya yang berdenyut. Seketika ada rasa menusuk di sampingnya membuat Ren menoleh. Benar saja Chandra tengah menatapnya garang.

"Meteor palamu. Siapa yang menyuruhmu tidur, hah?" kata Chandra dengan penekanan di setiap katanya. Netra onix itu terus menatap dengan tajam, seakan-akan bisa membelah Ren kapan saja.

Di sisi lain Ren tampak gugup, nyawanya masih belum terkumpul secara sempurna. Dia masih bingung kenapa Chandra menatapnya dengan tajam.

"Hehehe ngantuk," jawab Ren polos. Untuk sesaat mereka berdua terdiam hingga Chandra menghela nafas sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan kirinya.

"Lebih baik kamu berkeliling perpustakaan ini. Setelah itu kita lanjut belajar." Pernyataan Chandra membuat Ren berbinar. Langsung saja dia berdiri dari bangkunya dan berlari ke arah deretan rak buku tanpa mengatakan apa-apa pada Chandra. Sungguh Ren hanya ingin menjauh dari Chandra dan soal matematikanya.

Ren PoV

Setelah berbelok sekali, aku kembali menoleh ke belakang dan syukurlah Chandra tampaknya tidak memperhatikanku lagi. Aku tersenyum kemudian berjalan memutari deretan rak buku di sini sambil tersenyum.

Sayang sekali aku bukanlah pencinta buku seperti Chandra. Sungguh si mata empat itu suka sekali membaca. Bahkan sejak kami sama-sama masih duduk di bangku SD. Itulah kenapa tak heran dia menjadi cerdas seperti sekarang. Tetapi anehnya itu sama sekali tidak menular padaku. Padahal kami sudah seatap selama 10 tahun tapi aku masih saja tidak suka buku. Lebih tepatnya membacanya.

Pandanganku terus menyusuri setiap deretan buku yang ku lalui. Hingga aku menemukan sebuah buku yang menarik perhatianku. Buku itu bewarna merah dan sedikit bergradasi coklat. Aku penasaran dengan buku itu. Bukan karena buku itu tampak berbeda atau judulnya menarik. Hanya saja, tampaknya buku itu dihiasi dengan ornamen yang mengkilap. Jadi aku penasaran.

Kucoba untuk meraih buku itu namun tangan lain sudah lebih dulu menjangkaunya, membuatku menoleh ke pemilik tangan. Kami saling bertatapan untuk beberapa saat. Hingga samar-samar dia menyebut namaku.

"—Ren?"

"Hah, siapa?"

°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro