Bab 6 | Kau Lucu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mia, aku tidak ingin pergi!" Aku merengek, melemparkan bantal dari posisiku di atas kasur berantakan ke arah Mia yang begitu menyebalkan. "Aku mau tinggal di rumah dan membaca buku saja, ditambah lagi aku harus mengerjakan proyek pelajaran Sejarahku."

"Ayolah, kumohon!" dia bersikeras, menghindar dari bantal yang kulemparkan ke sisi lain kamarku, yang hampir jatuh ke kursi tempat dia berbaring.

"Beri aku satu alasan yang bagus, dengan begitu aku tidak akan menolak."

"Aku dengar Zack akan pergi. Kau sayang sahabatmu, kan? Kau tidak akan meninggalkannya sendiri sementara dia berusaha keras untuk membuat orang yang dia sukai memerhatikannya, kan? Benarkan? Lagi pula, kau yang mengatakan kepadaku kalau aku harus berjuang dengan nasibku sendiri dan pergi keluar sana untuk menyapa laki-laki itu," katanya, memasang mata anak anjing terbaiknya.

"Bagaimana kau tahu kalau dia ada di Starbucks?" tanyaku.

"Dia baru saja mem-posting tweet lima menit yang lalu," katanya, mengangkat ponselnya, "Oh dan ngomong-ngomong kau sungguh harus punya Twitter."

"Aku tidak merasa butuh Twitter, atau Instagram, atau Facebook," aku mengedikkan pundakku.

Dia terkesiap dengan cara yang dramatis, balas melempar bantal ke arahku dan bukan hal yang mengejutkan ketika bantal itu menghantam wajahku mengingat ketidakmampuanku menghindari dari benda bergerak. Aku memberinya tatapan masam, meletakkan bantal putih tersebut ke belakangku. Lalu menarik napas, kemudian menoleh ke arah sahabatku yang masih memohon, "Oke, baiklah."

"Oke kau akan buat akun Twitter, atau oke kau akan pergi denganku ke Starbucks?"

"Oke, aku akan pergi denganmu ke Starbucks! Sekarang, ayo kita pergi sebelum otakku mulai mencair karena omelanmu yang tidak ada habisnya!"

Mia seketika memekik hingga ponselnya jatuh dari tangannya menghantam lantai kayu dengan suara keras. Kepalaku menggeleng sambil mengasihani-diri sendiri teringat kalau aku bisa saja membaca dengan tenang kalau bukan karena Mia yang menggedor pintu depanku di Sabtu pagi yang cerah ini.

Dia mengutip kembali ponselnya, memeriksa ponselnya dari retakan atau lekukan (ada begitu banyak mengingat entah sudah berapa kali dia menjatuhkan ponselnya), dan ketika dia melihat kalau ada retakan kecil yang muncul di sudut iPhone, dia mengedikkan bahu dan memasukkan ponselnya kembali ke kantong celana jeansnya.

"Ayo berangkat!" katanya dengan suara mencicit, dan aku hanya bisa mengerang sambil mengikat rambutku dengan kuncir kuda yang sangat berantakan lalu mengenakan sepasang sepatu sneakers.

Ketika kami sampai di Starbucks, mobil sport kuning khas Zack dapat terlihat dari jarak satu mil. Mia menegang di sebelahku. Kami memasuki Starbucks, dan di sudut trio popular itu berkumpul, Zack, Brody dan Asher, melihat ke arah kami.

Ngomong-ngomong soal canggung.

Asher terlihat sedikit bingung awalnya, tapi kemudian senyumnya merekah. Mia sudah mengatakan padaku apa yang harus dilakukan sebelum kami keluar dari mobil, dan sejujurnya aku tidak percaya kalau aku akan mengikuti perkataannya.

Kami mengabaikan mereka, dan duduk di meja yang jauh dari mereka bertiga. Wajah Asher mengkerut, dan Zack berhenti menyuapi kue ke mulutnya. Brody terlihat geli.

Sepertinya taktik Mia berhasil, dan dia menyadarinya karena dia mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Tidak lama kami mendengar suara derit kursi, dan ketiganya sekarang duduk di meja kecil kami.

"Hai."

"Hai."

"Apa kabar?"

Kata mereka bersamaan-sungguh khas sekali.

"Apa yang sedang dilakukan dua gadis seperti kalian di hari yang cerah ini?" tanya Zack, penuh arti, memerhatikan Mia dan juga aku. "Hei, kau kan gadis canggung lucu yang sangat benci dengan bola kertas waktu itu!" dia melanjutkan, jelas mengenaliku.

"Diamlah teman," kata Brody kepada Zack, memberikan pukulan di kepala (yang memang pantas dia terima, terima kasih Brody). Zack merespon dengan mendorong Brody cukup kuat hingga dia nyaris jatuh dari kursinya dan mengenaiku. Aku menghela napas dengan gelisah. Asher melihat hal itu, dan tentu saja, memilih saat ini sebagai waktu yang tepat untuk semakin menggangguku.

"Hai, birdie," Asher bicara. Lalu semua orang melihat ke arahku sementara aku hanya bisa melototi Asher.

"Kalian saling kenal?" tanya Brody, mengangguk ke arah kami berdua.

"Tidak!" jawabku terlalu cepat.

"Ya," Asher menyeringai. Sial, penyamaranku kini resmi terungkap.

"Bagaimana bisa?" tanya Zack.

"Ceritanya panjang," Mia menjawab untukku, menarik perhatian ketiganya. Asher dan Brody memasang ekspresi bingung di wajah mereka.

"Siapa dia?" Brody bertanya, menengadah dari milkshake-nya untuk menunjuk Mia dengan sedotannya.

"Sahabatku, Mia," jawabku.

Pembicaraan kemudian dimulai, dan Mia akhirnya, akhirnya, bicara dengan Zack. Asher dan Brody mulai bicara denganku, sayangnya. Aku berharap bisa keluar dari situasi ini tanpa tersentuh, tapi sepertinya semesta senang menaburkan nasib buruk kepadaku

"Kau Wren, benarkan?" Brody bertanya. Raut wajah Asher mendadak mengeras, meskipun aku tidak tahu kenapa. Dia buru-buru menutupinya, hingga terlihat baik-baik saja.

"Ya," kataku ke Brody, memberikannya seulas senyum palsu. Dia membalas senyumku, hanya saja bedanya senyum dia lebih tulus.

Aku memerhatikan betapa mencoloknya penampilan Brody. Dia memiliki kulit kecokelatan dan rahang yang kokoh, rambutnya hitam pekat serta mata berwarna cokelat gelap. Tidak heran jika setengah populasi perempuan di sekolahku bertekuk lutut di kakinya.

Walaupun begitu Asher tetap yang terbaik, dengan untaian rambut pirang terang membingkai sempurna wajahnya. Alis cokelatnya tipis namun berisi, membuat dia terlihat bersahabat di saat yang sama. Dia tersenyum pada sesuatu yang dikatakan Brody dan memperlihatkan lesung pipi kirinya..

Bagian terbaik adalah matanya yang berwarna biru cerah. Aku tidak bisa berhenti menatapnya. Asher segera menyadari kalau aku memerhatikannya dan segera aku memalingkan wajahku. Bagus sekali Wren, kau sudah memperbesar egonya yang sudah seluas daratan Mexico.

"Tahu tidak kau sebaiknya mengambil foto, itu akan bertahan lebih lama," Asher tersenyum miring.

"Seharusnya kulakukan tapi lampu flash menakutkan bagi hewan," aku bersungut-sungut.

Asher-0, Wren-1. Pew.

Brody tersedak minumannya, dan mulai tertawa seperti orang bodoh. Walaupun yang kukatakan adalah sepenuhnya kebohongan, dan aku percaya kalau Asher itu tampan, sepertinya yang kukatakan memberikan efek yang nyata padanya.

Asher mencondongkan tubuh ke arahku lalu berbisik di telingaku, "Hati-hati, hewan ini menggigit."

Sebelum dia kembali menjauh, tangannya beralih ke rambutku dan dengan hati-hati menarik ikatan rambutku hingga rambut cokelat kusutku tergerai di punggung seperti gelombang yang tidak teratur. Suara congkaknya membuatku gemetar, mataku hanya bisa menyipit ke arahnya sementara dia memegang karet rambutku menahannya di antara jari-jari tangannya.

Aku menghindari pandangan Asher yang arogan dan bangga, diam-diam melirik ke arah Mia yang terlihat seperti sedang berada di puncak dunia dan sepenuhnya terpaku pada senyum putih menyilaukan Zack yang terkenal.

Jika seseorang menumpahkan saus tomat ke rambutnya sekarang, dia tidak akan sadar. Membuatku benar-benar tergoda untuk melakukan hal itu. Dia membawaku ke sini lalu melupakanku. Kerja bagus Mee, kataku pada dalam hati. Oh baiklah, ini kali pertama dia mendapatkan kesempatan bicara dengan Zack dan mengumpulkan keberanian yang cukup. Jadi aku akan memaafkannya.

Tiba-tiba saja, Asher meraih tanganku, menarikku keluar dari kubikel. Brody melambai ke arahku, dengan senyum di wajahnya. Manis.

"Apa?" desisku. Kenapa semua orang menarikku ke mana pun tanpa persetujuanku? Pertama Mia, sekarang si Monster Bermata Biru.

"Ayo pergi."

"Apa? Ke mana?"

"Kau akan segera tahu..."

"Kenapa?"

"Berhenti menginterogasiku, birdie."

Dia menyeretku keluar dari kedai kopi, menarikku ke arah kendaraan hitam besar. Di depan kami terdapat sebuah motor yang sangat, sangat mahal dari penampilannya. Aku selalu ingin mengendarai yang seperti ini.

"Ini punyamu?" tanyaku, menunjuk ke arah mesin yang tampak sangar. Dia mengangguk sebagai respon.

"Apa kita akan pergi naik ini?"

"Ya, kenapa, kau takut?"

"Huh," aku tertawa, "Tidak,"

Dia melihatku dengan seringaian jahil di wajahnya, "Naiklah kalau begitu."

Apa dia bercanda? Motor itu besar, tapi yang satu ini benar-benar besar. Tempat duduknya hampir sebesar tulang pinggangku. Oke, jika itu yang dia mau, maka itulah yang akan dia dapatkan.

Aku melihat sekilas ke arahnya. Dia berdiri di trotoar, dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya, dan otot-otot tangannya yang kencang bisa terlihat dari kaos transparannya, wajahnya membentuk sebuah seringaian.

Dia tahu kalau dengan perawakannya dia bisa dengan mudah mengangkat tubuhku naik ke kendaraan ini. Aku menghela napas, tahu kalau aku tidak punya tumpangan pulang, berhubung Mia masih di dalam dengan Zack, dan dia tidak akan keluar dalam waktu dekat. Terkutuklah dua burung cinta itu.

Dengan mempertimbangkan ketinggian kendaraan tersebut, aku mundur sedikit. Aku ragu, setengah-takut antara sepeda motornya yang akan jatuh karena usahaku naik ke atasnya atau aku yang akan jatuh dengan sepeda motornya menimpaku.

Tanganku berpegangan dengan rem depan, aku mencondongkan tubuh ke depan, meraih besi pegangan lainnya dengan tangan kiriku, dan mengayunkan kaki kiriku ke atas melewati sepeda motor itu. Ouch.

Aku mengangkat pinggangku sedikit hingga bokongku terduduk di tengah sepeda motor. Kakiku tidak menyentuh tanah, tapi sepeda motor itu stabil karena cagak yang menahannya. Kulepaskan peganganku, lalu melihat ke arah Asher, merasa berhasil.

"Yay," aku berbisik kepada diriku sendiri, sementara dia memerhatikanku, mata birunya melebar sangat terkejut.

"Helm, tolong." Kataku, semanis mungkin.

Ekspresi di wajah Asher ketika aku berhasil naik ke atas sepeda motor benar-benar tidak ternilai. Dia segera pulih dari rasa terkejutnya, dan mengganti ekspresi itu dengan ekspresi bangga. Asher berjalan ke arahku, lalu berdiri cukup dekat di sisi motor, melepas kaitan helmnya.

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan; cukup dekat hingga aku dapat merasakan napasnya di wajahku-yang beraroma seperti permen karet mint-lalu mengklik strap helm itu. Saat melakukan itu, jemarinya sedikit menyentuh bagian wajahku, menimbulkan perasaan tergelitik yang menjalar hingga ke pipiku.

Hal ini sepertinya tidak berefek apa pun kepadanya, ketika dia naik ke atas motor dengan mudah dan dengan seringaian khas yang terukir di wajahnya. Aku melihat dia tidak memakai helm.

"Kau tidak pakai helm?" tanyaku.

"Tidak."

Aku sadar kalau dia tidak berencana menjadi supirku hari ini, dan karena rencana Mia yang luar biasa maka dia memutuskan untuk menjadi baik dan mengantarkanku pulang-kurasa.

"Kau akan mengantarku pulang?"

"Tidak."

Apa?! Dan di sinilah aku baru saja berpikir kalau dia sedang baik. Aku secara pribadi akan memenggal kepala Mia karena sudah melibatkanku dalam kekacauan ini. Aku seharusnya berada di rumah sekarang membaca buku, atau menonton film.

"Ke mana kau akan membawaku?"

"Ini kejutan. Sekarang tutup mulut kecil cantikmu, dan pegangan yang kuat."

"Pegangan di mana lebih tepatnya?" tanyaku was-was, mataku menyusuri benda mematikan berwarna hitam yang kunaiki ini.

Dia tidak menjawab pertanyaanku, dan menyalakan kendaraannya. Benda ini bergerak lambat awalnya, menenangkan kekhawatiranku, sampai tiba-tiba benda itu menghentak, dan aku terdorong langsung ke punggung kokoh Asher. Tanganku tanpa sadar berpegangan pada pinggangnya, dan mataku tertutup rapat.

Rambutku terbang di belakang, setelah beberapa saat adrenalin mulai memompa dan aku mengumpulkan keberanian untuk melonggarkan peganganku, membuka mataku. Pandanganku sepenuhnya diisi oleh kaos hitam tipis Asher, dan aku menyadari kedekatan jarak kami.

Merasa sangat tidak nyaman, aku mencoba untuk mengalihkan pikiranku sendiri dengan melihat ke sisi sebelah Asher-ke arah jalanan di depan. Semua yang terlihat di depan kami bergerak dengan cepat, dan perutku mulai bergejolak. Ini membuatku berpikir...seberapa cepat kendaraan ini dapat bergerak?

Cukup cepat, Wren.

Pemandangannya kemudian berubah, terdapat lebih banyak pohon dan lebih sedikit mobil. Akhirnya kami berkendara di tanah setapak yang tipis di dalam hutan, dengan kecepatan pelan. Aku melepas peganganku dari Asher.

"Ke mana kau membawaku? Apa kau berusaha membunuhku?" aku langsung berteriak ke wajahnya, turun dari motor.

"Diamlah birdie. Kalau aku ingin membunuhmu aku sudah melakukannya dari dulu," katanya, melepas helm dengan pelan dari kepalaku. Perkataanya membuatku terdiam. Dia tersenyum sebentar-sebuah senyum yang tulus. Dan kemudian senyum itu menghilang dan digantukan oleh seringaian sombong.

"Ayo,"katanya. Aku tidak punya pilihan lain selain mengikutinya, berhubung aku benar-benar tidak tahu di mana kami berada, atau bagaimana caranya pulang. Kami berjalan hingga kira-kira satu mil, hingga aku bersyukur karena mengenakan sneakers.

Jalan itu menjadi semakin sempit dan semakin curam, dan sebelum kusadari aku tersandung kerikil berukuran-sedang. Sungguh berguna sneakers ini. Bohong kalau kubilang rasanya tidak sakit ketika aku jatuh, karena memang sakit. Asher berbalik hampir seketika dan menuju ke tempatku untuk menolongku berdiri. Menyusupkan tangan berototnya kebelakangku diam-diam, dia membuatku berdiri.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya, benar-benar terlihat khawatir.

"Emm ya," jawabku, sedikit gemetar. Dia mengabaikan reaksiku, dan memegangi tangan kiriku-tangan yang menahan tubuhku saat terjatuh. Tertempel di telapak tanganku ratusan batu-batu kecil, dan sedikit kulitku lecet. Mataku melebar. Ketika dia mengusapkan jemarinya ke telapak tanganku, aku tersentak.

"Tetap di sini," perintahnya. Aku memerhatikannya ketika dia membersihkan batu-batu itu dari kulitku. Dia melihat ke arahku, dan mengangkat tangannya ke wajahku; mendorong beberapa helai rambut ke belakang telingaku. Rasa sakit di tanganku berkurang sedikit, tapi kulitku memanas akibat sentuhannya.

"Terima kasih," kataku, walaupun ini salahnya karena sudah membawaku kemari.

"Tidak masalah, clumsy," dia tersenyum miring, "Tebakanku ini salah lantainya, sama seperti salah pisang waktu itu?"

Aku memutar bola mataku sebagai respons dari perkataannya tapi dia justru terkekeh dan meraih tanganku yang tidak terluka dalam genggamannya (mungkin sebuah tindakan pencegahan berhubung aku rentan terhadap kecelakaan) aku mencoba untuk melepaskan tanganku, tapi pegangannya yang seperti-besi begitu kokoh.

Kami berjalan sekitar lima menit lagi hingga aku bisa mendengar suara air yang mengalir deras. Aku menatap bingung ke arah Asher yang mengabaikan pandanganku dan terus berjalan ke depan. Ketika aku berbalik, pemandangan tersebut membuatku takjub.

Aku berdiri di depan air terjun; air di bawahnya terlihat berwarna biru cerah, memudar menjadi warna beludru gelap. Sedikit ke atas terdapat garis kabel yang menghubungkan rumah pohon kokoh. Aku melirik Asher yang masih memegang tanganku, membuatnya terasa tergelitik di seluruh tanganku.

"Ini menakjubkan!" Kataku, tersenyum.

"Terima kasih," katanya, menarikku ke arah tangga rumah pohon. Ketika kami dapat meraihnya, Asher menyuruhku untuk memanjat ke atas. Jadi kulakukan. Aku terlalu takjub dengan tempat ini untuk mengatakan tidak. Ketika kami sampai ke rumah pohon pemandangannya menjadi jauh lebih baik. Aku menyadari kalau garis kabel itu ternyata adalah zip line!

Asher membimbingku masuk ke dalam rumah-dan sial, aku benar-benar ingin tinggal di sini. Dindingnya terbuat dari batang bambu (bambu mahal yang di ekspor dari Jepang), dan rumah ini didekor dengan barang-barang khas laki-laki.

Di sisi kiri terdapat bar kecil-sebuah bar. Satu-satunya yang menyimpan minuman seperti di rumahku adalah kulkas, dan di sini terdapat rumah pohon yang memiliki bar dan menawarkan banyak minuman berbeda yang disusun di atas meja konter.

"Jadi, bagaimana menurutmu?" Asher bertanya.

"Bagaimana mungkin?" tanyaku, bingung.

"Teman-temanku dan aku membangun ini tiga tahun yang lalu dengan uang simpanan kami. Meskipun kami tahu tentang tempat ini jauh sebelumnya, lalu setelah itu memutuskan untuk membangun sesuatu di sini," jelasnya.

"Bukankah itu sedikit ilegal?" kataku merenung.

"Nah," katanya, "Kami sudah ada di sini cukup lama dan tidak-ada pihak yang melakukan apa pun apalagi menyadari kehadiran kami. Aku ragu kami akan tertangkap dan kalaupun iya, Ibuku berteman dengan polisi." Dia tersenyum miring.

Aku memutar bola mataku. Orang kaya. "Jadi Ibumu tahu soal ini?"

Dia menggeleng, "Tidak. Yang tahu tempat ini hanya Zack, Brody, dan aku. Dan sekarang kau."

"Terima kasih, kurasa," kataku, "Hei, Asher?"

"Ya?"

"Boleh tidak aku mencoba zip line?" Kataku cepat, tapi terdengar lebih seperti teriakan. Dia tersenyum geli menunjukkan lesung pipinya yang manis. Kenapa dia harus terlihat manis?

"Tentu saja. Selama kau berjanji tidak akan terkilir atau melukai bagian tubuhmu secara permanen," dia menjawab, memberiku tatapan itu.

"Ya, ya, terserah."

"Jadi, birdie kecil ingin terbang," dia terkekeh. Aku memutar bola mataku, tersenyum. Dia bangkit, dan membersihkan debu khayalan dari pundaknya.

"Ayo," katanya, dan aku harus menahan diriku agar tidak memekik senang.

Awalnya kami naik ke lebih banyak anak tangga sampai Asher membuatku berdiri di atas sebuah peron. Dia bilang padaku untuk meletakkan satu kaki ke tali pengaman, dan kemudian yang satunya hingga tali pengaman itu berada di pinggangku.

Dia harus banyak mengencangkan ikatannya karena ternyata, dan akan kukutip: 'Zack itu sangat gendut.'

Aku berdoa semoga tali pengaman ini cukup ketat karena jika demi Tuhan, aku akan sangat basah masuk ke dalam kolam air terjun itu. Ketakutan mulai menghampiriku dan tanyaku kepadanya, "Aku tidak akan mati, kan?"

Dia terkekeh pada dirinya sendiri masih mengutak-atik tali pengamanku sangat dekat hingga aku bisa mendengar napasnya."Tidak birdie, kau tidak akan mati. Cukup pegangan yang erat. Kalau kau sudah sampai di ujung, tunggu aku. Aku akan kesana untuk membantumu keluar dari tali pengaman. Oke?"

"Baiklah. Oke."

Dia menyuruhku untuk berjalan lebih ke pinggir peron, dan ketika aku melihat ke bawah ke arah air jernih yang mengalir di bawahku, kupu-kupu tak kasat mata memenuhi perutku.

Sangat terlambat untuk mundur, pikirku dalam hati. Aku melarikan jemariku ke atas tali pengaman yang terpasang di tubuhku, teksturnya kasar dan tidak biasa. Tiba-tiba saja aku merasa menggigil, dan aku merasa sedikit mual, tapi tidak ada yang tidak dapat dikendalikan adrenalin, benarkan?

Asher mengaitkanku ke line dan meraih tanganku, mengarahkan ke pegangan yang ada di atasku. Aku mengeratkan peganganku ke palang. Dia kemudian berhenti untuk mengambil sesuatu dari celana jeans hitam miliknya sementara aku memerhatikannya, kebingungan tampak jelas di wajahku.

Dia mengambil karet rambut hitam milikku sebelumnya, memegangnya di antara Ibu jari dan telunjuknya.

Mendekat ke arahku, dengan lembut dia mengikatkan karet rambut itu ke rambutku dan membenahi helai rambutku menjadi kuncir kuda. Aku tidak mengatakan apa pun, walaupun aku bisa merasakan jemarinya bergerak di belakangku dan sengatan listrik terasa di belakangku. Dia berkata, "Baiklah, pegangan yang erat birdie."

Aku memerhatikannya dan kulihat mata birunya bersinar di bawah sinar matahari, kemudian dia tersenyum, lalu kupu-kupu itu kembali mengepakkan sayapnya di seluruh tubuhku. Dia kemudian mendorongku dan aku meluncur.

Rasanya sangat menakjubkan, angin berhembus melewati wajahku. Ketika aku meluncur di jalur, aku mencoba untuk tidak melihat ke bawah karena tidak ingin membuat diriku panik mengingat seberapa tingginya aku sekarang.

Namun hal yang tidak dapat dihindari terjadi dan aku akhirnya mengintip ke bawah untuk melihat puncak pepohonan hijau yang lebat dan air yang mengalir deras di bawahku. Aku melaju semakin cepat, aku bisa merasakan di bawah air memercik ke kulitku.

Aku tersenyum karena aku terbang.

Aku tersenyum karena setelah sekian lama, aku merasa benar-benar bahagia.

Kecepatannya berkurang dan buku jariku terasa nyeri. Aku bisa merasakan pipiku basah tetapi tidak dapat menyekanya.

Pegangan yang erat, birdie.

Benda ini mulai semakin pelan dan segera kakiku dapat menyentuh daratan. Aku melihat ke sekeliling, masih tertahan di line oleh tali pengikat, mengambang ke sana kemari seperti monyet di luar angkasa. Aku memanggil, "Asher! Halo? Kau di sini?"

Sunyi.

"Halo?"

Sunyi terasa memekakkan, aku dengan panik memutar tali pengaman itu untuk mencari tanda-tanda keberadaan rambut pirang atau mata biru. Atau tanda-tanda kehidupan, ya, itu juga baik.

Tiba-tiba tali pengamannya terasa begitu ketat ketika aku mendengar dedaunan bergemerisik di kejauhan. Aku meraih tali pengamannya mencoba untuk membebaskan diriku dari sini, tapi si iblis mengikatnya cukup kencang. Kudengar suara dedaunan seperti ada orang yang menginjaknya dengan keras. Aku mulai panik. "Oh Tuhan tidak, aku terlalu muda untuk mati. Aku belum bertemu Beyoncè," kataku berbisik kepada diri sendiri.

Bulu kudukku mulai meremang. Seseorang berada tepat di belakangku.

"Boo," dia berbisik, dan saat itulah aku menjerit. Sampai Asher menghalangi sebagian wajahku dengan tangannya, berusaha untuk meredam teriakanku.

"Sshh! Jangan berteriak! Ini cuma aku," katanya, terkikik dan akhirnya melepaskan tangannya (yang beraroma sabun lavender) menjauh dari wajahku. Aku merengut kepadanya karena hampir membuatku gagal jantung, tetapi dia terlalu sibuk mengendalikan tawanya dan tidak mau menutupinya sama sekali.

"Aku tidak tahan, wajahmu sangat mengerikan," kataku sarkastik, ketika dia melepas tali pengaman dariku, dan kakiku yang mengenakan sneakers berayun menyentuh dataran.

"Sangat seksi, iya," katanya, "Ekspresi wajahmu benar-benar menarik, begitu ketakutan," dia melanjutkan dengan senang. Aku sungguh-sungguh ingin merobek seringaian sialan itu.

"Kau sadis," semburku, berjalan sejauh mungkin darinya.

"Dan kau lucu.."

"Terserah," aku bersungut-sungut.

"Hei, birdie."

"Apa?" tanyaku kepada dia yang berada di belakangku.

"Kau jalan ke arah yang salah."

Aku memutar bola mataku dan berbalik, menghela napas dengan gelagat berlebihan, "Aku tahu kok."

"Uh-huh," dia mengangguk mengerti, "Beyoncè lewat sini," dia tersenyum miring, menunjuk dengan Ibu jarinya ke arah yang sebaliknya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro