12. Aria Ngamuk?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorot mata gadis itu sendu. Matanya tak berhenti untuk mengalirkan air hujan. Di taman akademi, banyak siswa yang sibuk memperbaiki dan mempersiapkan apa yang dibutuhkan untuk festival besok, hanya Eleona sendirian yang memperhatikan nasibnya.

Mendengar pembicaraan anak-anak klub Silat tidak berhentinya membuat Eleona berpikir bahwa nasibnya akan hancur. Dahinya mengkerut memperhatikan aura di tubuhnya yang masih banyak, namun terasa semakin tidak sempurna. Tubuhnya bukanlah pajangan, Eleona menyadarinya, tapi kakeknya--Jhonson--selalu mengatakan bahwa cucunya itu cantik. Dia juga pernah menyentuh Eleona hingga Eleona mengetahui dunia ini diisi banyak lelaki buruk.

Eleona memperbaiki posisi duduknya. Sepertinya dia yang menangis sendirian di ketahui salah satu saudaranya. Zoro mendekat, berdiri dengan jarak terpaut beberapa sentimeter saja.

Zoro menghela napasnya. "Kamu selalu mengawasi Asep dan Aria selama satu tahun ini bukan?"

Lampu taman menjadi saksi Eleona yang terdengar meringis kecil.

Zoro berkacak pinggang. "Apa kau terobsesi karena kedekatan mereka? Karena mereka yang selalu bersama kemanapun, walau dipisahkan asrama saat malam?"

Eleona menyenderkan bahunya. Melihat bintang malam itu. "Aku mengira semua lelaki bodoh. Aku menggoda mereka dengan tubuhku, bahkan mempersembahkan tubuhku jika mereka mau. Aku seperti lacur, saat kakek tidur bersamaku saja, aku bahagia."

Dadanya Zoro sedikit naik. "Apa.. itu semua karena orang tuamu?"

Eleona menggeleng. "Untuk apa memikirkan mereka? Bahkan aku dengan mereka tidak saling kenal. Kami tidak pernah satu paham. Mereka punya jalan yang berbeda dengan anaknya. Pasti karena aku tidaklah suci. Ini karena si kakek bodoh."

"Kamu terus menyalahkan hal yang sebenarnya sudah tidak ada hubungan denganmu lagi. Mengulangnya dan menekan dirimu berulang kali sampai perasaanmu tumpah di taman ini. Membosankan," ujarnya malas.

Eleona membuka kain di lehernya, banyak tanda lingkaran merah dan tentu saja Zoro langsung merasa kesal. Tangan lelaki itu spontan mengembalikan posisi kain yang menyelimuti leher Eleona.

"Apa kamu merasa bangga memamerkannya? Apa yang perlu dibanggakan dari hal ini? Menakutkan kau tahu? Anak lain belajar untuk menjadi yang terbaik, paham, dan tak mengulangi kesalahan di setiap ujian. Apa kamu mau berputar terus di roda takdir yang tidak pernah berhenti?"

Eleona terkekeh. Menyilangkan lengan depan dada. "Aku mempunyai kekuatan khusus. Aku mencuri kekuatan level tinggi dari setiap orang yang menyetubuhiku. Dan, hingga sekarang aku merasakannya, rasa dosa dari pencuri."

Zoro menyudutkan Eleona hingga gadis tersebut berteriak kecil. "Kamu seperti orang gila, ingin mendapatkan sesuatu yang semu. Sekarang aku bahkan tidak pernah tahu maksud pembicaraan ini. Eleona aku adalah sahabat kecilmu, aku selalu mengawasimu walaupun aku tahu kamu tidak akan menyukai itu.

Pipinya Eleona menyentuh permukaan kulit tangan Zoro. Matanya menggoda Zoro menggunakan kekuatannya. "Apa kamu mau bermalam bersamaku? Aku sedang bersedih."

".... Kamu kenapa? Jangan menggodaku bodoh. Aku tidak pernah punya nafsu pada perempuan sepertimu. Aku menyukai seseorang dan kamu tidak akan pernah tahu sebelum kamu berubah. Selamat malam, Eleona."

Langkah sepatu kulit menjauhi bangku di taman. Lampu remang-remang menyinari Eleona yang masih menikmati sendirinya. Namun, ingatannya bangkit di musim dingin berapa tahu lalu, tepat ketika Zoro mencium pipinya agar hangat.

Eleona menyentuh pipinya. Tepat di bagian kanan, lelaki bernama Zoro menciumnya, entah dia ingat atau tidak, saat kulitnya bersentuhan dengan Zoro rasanya dia merasa tenang ketimbang Erina--adik Zoro.

Malam yang panjang. Ruangan klub Silat sudah memasuki pembahasan pelatihan untuk setiap langkah yang akan dilakukan adik kelasnya. Ada Liliana yang berani bertanya, juga Reander yang sering memamerkan putih kulitnya di hadapan pria lainnya ketika mencoba baju.

Ruangan sudah terisi penuh dengan alat untuk tidur. Mereka kira-kira akan tidur selama empat jam setelah latihan seharian. Aria geleng-geleng kepala ketika mengawasi manusia di depannya. Mereka sangat usil dan ceria, seperti tidak ada beban hidup.

Asep melihat-lihat lapangan yang sudah disulapnya menjadi panggung. Beberapa anak bertanya kepadanya untuk apa fasilitas di sana, tapi Asep meminta mereka menunggunya, karena Asep ingin agar itu jadi kejutan sendiri.

Lapangan sekolah memang sudah luas, fasilitas yang Aria ciptakan sudah disesuaikan agar tidak memakan banyak tempat. Dan untuk waktunya sendiri hanya sebentar, setelahnya panggung tersebut akan hilang otomatis jika acaranya sudah selesai.

Asep menggaruk rambutnya. Waktu tidurnya berkurang karena dia masih mengawasi dan memperkirakan perhitungan kecil agar acara bisa berlangsung aman.

Dia melangkah masuk ke dalam klub. Anak-anak sudah tertidur tapi Aria masih terbangun. Dia memberi senyuman hangat ketika menyambut kedatangan suaminya. "Kamu tidak usah khawatir, aku yakin tidak akan ada yang mengganggu berjalannya acara. Aku membuat dinding penghalang tak kasat mata, jika ada pengganggu mereka akan meledak."

Asep terperangah. "Bu-bukan tubuh mereka, 'kan?"

Aria mengesek hidungnya. "Bukan, namun aliran energi mereka terhapus hingga tidak ada sihir lagi. Itu bayaran yang setimpal agar para perusak pergi. Seperti seorang perempuan yang mengikutimu."

Eleona terkejut bukan main saat Aria menghancurkan bangunan yang menyembunyikan letak keberadaannya. Aria marah. "Kamu sedang apa Eleona? Apakah puluhan kekuatan di tubuhmu itu tidak cukup membuatmu paham posisimu sekarang?"

Eleona memalingkan wajahnya. Asep mendekat ke arah Aria, tidak tertarik akan keberadaan Eleona. "Aku sudah memberi kode agar kamu menjauh dari Asep, tapi kenapa kamu mengawasinya terus? Selama satu tahun sejak kedatangan kami, kami terus melakukan hal bodoh. Aku membiarkanmu karena aku masih tahu batas, tapi aku sekarang benar-benar marah."

Mata Aria melihat lantai di bawah gadis tersebut, dengan sekali jentikan Eleona terjatuh ke bawah bumi. Itu tidak dalam, namun Aria sengaja agar setelah terjatuh Eleona mengalami mimpi buruk panjang.

Asep mengaitkan jari kelingkingnya. "Aku tahu Eleona selalu menganggu. Tapi apa tidak melepaskan dari mimpi buruk itu? Aku tidak suka dia berteriak kesakitan begitu, seperti hewan yang dicambuk."

Hanya Aria tidak menyetujui saran suaminya. Sejak Asep melepaskan aturan kekuatan Aria aktif ketika sesuai perintahnya, sekarang Aria lebih mandiri sampai marahnyapun membuat Asep bergidik ngeri.

"Kekuatannya hampir mirip delapan puluh persen seperti Orion. Aku membuatnya mengalami dia mengingat banyak kegagalan dalam hidupnya, semoga dia sadar bahwa usahanya untuk menjadi kuat bukan begitu. Harga diri wanita harus ditinggikan, bukan menjadi rendahan seperti dirinya."

Asep tak bisa berpikir untuk membalas ucapan Aria, dia kalah. Bangunan diperbaiki oleh Aria dan mumpungnya gertakan Aria tadi tidak membangunkan anak-anak.

TBC

Amukan seorang istri ketika suaminya akan digoda oleh perempuan lain, padahal Eleona sendiri tidak ada niatan lebih dari itu, dia hanya penasaran kok wkwkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro