Frey dan Live Instagram

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gadis berkacamata silinder bergegas menuruni tangga lobi usai namanya disebut oleh guru piket sepuluh menit yang lalu. Orang tuanya berkunjung, mendadak sekali-mengingat biasanya mereka datang tiap dua bulan sekali. Sedangkan ini masih hitungan sebulan.

Mereka datang karena penasaran sama kondisi gue setelah ujian penempatan level kelas, mungkin, begitu pikirnya. Belasan langkah lagi, dia akan sampai di ambang pintu lobi, tetapi gadis itu lebih memilih untuk menunduk dan memegang kedua lutut sejenak, mencoba mengatur napas. Mungkin lebih baik dia nekat untuk naik lift saja tadi.

"Cewek-cewek sinting!" umpatnya refleks saat mengingat kejadian di lift. Siswa kelas sebelas level Ruby menatap nanar saat gadis bernama Frey itu berada di dalam sana. Lima detik kemudian, mereka menyeretnya keluar, karena tidak sudi kalau harus satu lift. Dasar tidak tahu diri. Padahal lift itu diperuntukkan bagi siswa level Silver seperti Frey.

Jelas-jelas ini gedung barat, tempat siswa selevel Frey berada. Lift di gedung timur-tempat siswa level Ruby-rusak dan masih dalam tahap perbaikan. Karena gedung kelas mereka terhubung oleh jembatan kaca yang cukup besar, level sebelah bisa menumpang fasilitas. Numpang tapi angkuhnya di luar nalar.

Sambil melangkah menuju ruang kunjungan, Frey terus berdumel dalam hati. Sekolah ini besar, mahal, dan populer, tapi menerapkan sistem kasta. Sungguh tidak ramah untuk mental, bintang satu darinya.

Level Silver ditempati oleh siswa yang nilai rata-ratanya mencapai 85-90 di rapor, level Ruby dengan nilai rata-rata 90-96, dan level Platinum dengan nilai 96 ke atas.

Embusan angin dari cuaca mendung sukses membuat gadis bermata sipit itu mengeratkan almameter berwarna silver yang ia kenakan. Bertuliskan Golden Alexandria High School di bagian dada sebelah kanan, dan logo kelas sebelas di sebelah kiri.

Iris cokelatnya menangkap mama yang tengah duduk menunggu. Diam-diam Frey bernapas lega karena papa tidak ikut. Papa sangat keras soal nilai, dan tentu setelah bertemu dengannya, Frey pasti akan bad mood sepanjang hari.

Wanita berusia empat puluh tahun itu menoleh cepat kala Frey membuka pintu berkaca buram yang memisahkan mereka. Senyum mama luntur seketika kala netranya melihat jas almameter yang melekat di tubuh anaknya.

"Masih di Silver?" Belum saja bokong Frey menyentuh tempat duduk, mama sudah mempertanyakan hal yang menurutnya sangat tidak perlu untuk ditanyakan. Jawabannya sudah sangat jelas, bukan?

Frey memaksakan diri untuk tersenyum tipis saat duduk berhadapan dengan mama, lalu menjawab, "Ya ... kayak yang Mama liat. Tapi kita harus bersyukur, kan? Seenggaknya aku naik kelas."

Namun sepertinya mama tidak setuju dengan ucapan Frey barusan. Dia menatap garang, lalu mengeluarkan setumpuk kertas A4 dari tas kulit hitamnya. "Gara-gara ini, kan, nilaimu jadi nggak naik-naik?"

Frey mengerutkan alis, lalu meraih setumpuk kertas tebal yang sudah dijilid itu. Usai membaca judul yang tertera di cover, matanya membulat. Dia terkejut, tetapi berusaha menutupinya dengan ekspresi senetral mungkin. Seolah itu bukan apa-apa.

Frey bisa merasakan netranya yang perlahan mulai memanas, dengan air mata yang berdesak-desakan ingin tumpah sesegera mungkin. Siapa sangka kalau naskah novel yang ia kirim secara hardcopy ke penerbit enam bulan yang lalu ternyata ditolak dan dikembalikan. Cerobohnya, dia malah menulis alamat rumah untuk pengembalian naskah. Seharusnya dialihkan ke alamat sekolah saja.

"Sampai kapan mau kayak gini?" tanya mama dengan intonasi yang tidak bersahabat. "Mama sama Papa ngeluarin biaya besar untuk sekolahmu, tapi naik ke level Ruby aja kamu nggak bisa. Bukannya belajar, malah nulis serangkaian haluan omong kosong!"

Frey berusaha untuk biasa saja. Tidak apa-apa, ini mama. Kalau papa, dia pasti sudah membakar naskah itu di depannya. Akan tetapi, matanya berkhianat. Mendadak setetes air mata meluncur dengan cepat menyusuri pipi. Dia menangis.

"Kemarin, kakak kelas yang namanya Dara Brianna Kinandita meninggal. Dia lompat dari lantai atas gedung Ruby. Banyak yang bilang karena frustasi nggak bisa naik ke level Platinum. Dia anaknya jenius, menurutku. But, we never know what happened to her."

"Ada yang bilang, kita nggak akan ngerti apa yang seseorang rasakan, perjuangkan, dan bagaimana kerasnya dia berusaha kalau nggak jadi dirinya. That's right. Kadang, ketika kegagalan dan luka udah cukup banyak, suatu harapan bisa nggak keliatan, Ma."

Mama tampak terkejut. Setelahnya, hening mengudara di antara mereka. Bel masuk menjadi penyelamat. Tepat setelah bunyinya yang menggelegar, Frey segera bangkit dan meraih naskah tadi, kemudian pamit pada mama sambil tersenyum. "Makasih udah datang, Ma."

Wajahnya terasa hangat, pasti memerah karena menahan isak tangis. Beberapa siswa level Platinum yang berpapasan dengan gadis itu turut melirik. Frey mengangkat wajah dan memelototi mereka, seolah berkata "Apa liat-liat? Jangan pedulikan gue, nikmati aja hidup kalian dengan berbagai fasilitas mewah dan nyaman itu karena menjadi siswa dengan level tertinggi di sekolah ini."

Bahkan, Frey tidak yakin mereka bisa mengerti apa yang ia rasakan. Seluruh siswa level Platinum rata-rata anak konglomerat yang berotak emas. Entah apa yang mereka makan hingga memiliki kecerdasan yang luar biasa seperti itu.

Banyak yang curiga kalau mereka menyogok agar tetap berada di level atas. Akan tetapi, rasanya itu hampir tidak mungkin. Selain karena fasilitas dan terlihat sangat menjanjikan untuk masa depan siswa, sekolah ini juga populer karena kejujuran dalam persaingan nilai.

Selain itu, Frey rasa sekolah ini juga tidak mau mengambil risiko yang sangat besar. Karena kasus penyuapan terakhir kali membuat sekolah hampir bangkrut. Mengalami kekurangan siswa yang sangat drastis selama hampir dua tahun sepertinya cukup untuk menjadi pelajaran bagi mereka. But, we never know.

"Tenang, Frey. Tenang. Keep calm," gumamnya sesekali sambil menepuk-nepuk dada.

Walau sudah bel, seluruh siswa masih berkeliaran dengan santainya. Seminggu ini kegiatan belajar mengajar belum dilaksanakan. Rutinitas setelah liburan kenaikan kelas, yaitu festival ekskul. Bagi siswa sepertinya, itu dianggap mendapat kebebasan untuk melakukan apa saja-selama tidak melanggar peraturan sekolah-sebelum akhirnya kembali memeras otak dan berkutat dengan pelajaran.

Frey menepi ke deretan tempat sampah, kemudian melempar kasar naskahnya ke tong berwarna hijau. Lupakan semua tentang menjadi seorang penulis. Apa gunanya jika papa dan mama tidak pernah bangga? Mendengar Frey menulis novel, mereka hanya akan mengerutkan alis dengan wajah masam.

Selama tinggal di asrama sekolah, Frey sudah membuat tiga novel di buku tulis. Sayangnya, buku-buku itu langsung menghilang usai dia berganti kamar. Frey lambat menyadari kalau bukunya tertinggal. Sudah peraturan asrama kalau barang yang tertinggal saat pergantian kamar dianggap tidak digunakan, dan akan dimusnahkan bersama sampah lainnya.

"Ngerti, nggak? Jawab! Punya mulut, kan, lo?"

Seketika Frey berjengit kaget dan refleks menoleh. Bentakan itu sangat keras. Di sana, di antara himpitan dua gedung kelas, tampak seorang siswa dari level Platinum bertikai dengan gerombolan laki-laki dari level Ruby. Frey mengernyit, bagaimana bisa? Orang bodoh mana yang mencari masalah dengan level Platinum?

"Minta maaf ke teman gue pas jam makan siang nanti. Gue tunggu. Awas aja kalau lo kabur. Gue patahin hidung lo!" tegas siswa yang mengenakan baju olahraga abu-hitam sambil melepas kasar cengkeramannya dari kerah baju lawannya. Ya, yang dari level Ruby sudah kalah telak karena babak belur. Padahal satu lawan lima.

Frey menyipitkan mata, berusaha melihat lebih jelas siswa dari level Platinum itu. Selang berapa detik, dia menutup mulut karena terkejut. "Gila! Berani banget itu cewek."

Frey menahan napas saat gadis yang ia lihat berbalik dan menatapnya. Entah kenapa, Frey membatu di tempat. Harus ia akui, gadis yang rambutnya ditata wolf cut ala Korea itu agak menakutkan. Terlebih saat Frey melihat buku-buku jari gadis itu lecet karena berkelahi.

"Gedung level Silver ada di arah barat, btw," tutur gadis itu nyaring.

Frey mengerjap, kemudian melihat ke sekitar dengan kikuk.

"Frey! Bodoh banget, sih!" pekiknya kesal. Entah sejak kapan dia berada di daerah gedung Utara-wilayah seluruh siswa level Platinum. Mungkin karena pikirannya kacau, Frey tidak sadar kalau dia berjalan ke arah yang salah.

Sebelum lebih banyak siswa ber-almet putih keperakan yang menyadari kalau ada makhluk tersesat di wilayah mereka, Frey segera membalikkan badan dan pergi ke gedung barat, tempatnya yang semestinya. Untuk pergi ke sana, dia harus kembali ke arah lobi utama.

"Hei, kamu yang di sana! Siswa Silver!"

Langkah Frey seketika tertahan. Di sekitar lobi, hanya dia yang berasal dari kelas level Silver. Frey celingukan mencari sumber suara, hingga akhirnya terlihat seorang wanita yang berada di balik meja resepsionis melambaikan tangan ke arahnya.

"Pengeras suaranya mati. Jadi Ibu nggak bisa ngasih pengumuman. Boleh minta tolong?"

Frey menautkan alis. Pengeras suaranya mati? Padahal baru semenit yang lalu guru itu mengumumkan tentang siswa level Platinum yang kehilangan jas almameternya.

"Ma-"

"Tolong antarkan jam tangan ini ke siswa bernama Gabriel Clarabella, kelas sebelas Platinum." Belum sempat menjawab, guru itu langsung menyodorkan sekotak jam tangan yang tampak mahal pada Frey.

Tolong saja, Frey sedang tidak mood dan sekarang malah diperintah untuk memberi benda mahal itu ke siswa level Platinum. Buruknya lagi, pemilik benda itu seangkatan dengannya.

Frey tersenyum, lalu menerima benda itu seramah mungkin. "Baik, Bu."

Niat mau pergi, malah balik lagi ke sana, batinnya sambil melangkah ke luar lobi.

"Frey!"

Suara tiga orang yang memanggilnya secara bersamaan membuat Frey terkejut. Dia menoleh dan mendapati Aca, Ade, dan Lisa tengah berlari ke arahnya.

"Kok lo lama banget, sih?" tanya Ade dengan napas tak beraturan. Tangan kanannya ia kalungkan di leher Frey.

Aca yang napasnya masih terengah-engah turut mengangguk. "Bener. Lo ngelewatin jam sarapan sama julidan Ade. Tau nggak, sih? Yang Silver sarapannya roti lapis, sedangkan mereka yang Platinum sarapannya sup jamur kancing creamy."

"Kalau bukan sekolah gue, udah gue bakar," ujar Ade kesal.

"Lo nggak lapar, Frey? Ntar maag lo kumat gimana?" tanya Lisa.

Frey terkekeh. "Duh, perhatian banget, sih. Jadi makin sayang."

Sontak ketiga sahabatnya itu menoyor kepalanya secara bersamaan, membuat tawa Frey semakin meledak.

Lisa melipat tangan di dada sambil menggeleng heran. "Efek kelamaan jomblo. Gini, nih, jadinya."

Fokus Ade teralihkan pada kotak berisikan jam tangan yang dipegang Frey. Lama ia mengamati benda itu, hingga akhirnya berkata, "Punya siapa?"

Frey mengerjap. "Oh, ini punya anak Platinum. Tadi guru piket lobi ngasih ke gue, minta tolong antarin ke pemiliknya."

"Nah, kebetulan kita mau ngajak lo ke gedung basket. Sekalian aja. Kan searah, tuh!" tutur Lisa.

Frey mengernyit. "Emang mau ngapain di sana?"

Mendengar itu, Ade berdecak dan langsung mencubit pipi Frey gemas. "Lo lupa atau pura-pura amnesia, hah? Semalam kan gue udah info kalau di sana ekskul basket adakan tanding untuk demo ekskul. Kelas sebelah Ruby lawan kelas sebelas Platinum."

Frey menepuk pelan dahinya. Dia baru ingat kalau Ade sudah memberi tahu hal itu semalam di asrama. "Oh, iya! Ya udah, ayo buruan!"

• • • •

Sekitar gedung basket sudah ramai saat mereka tiba. Banyak yang membawa banner dan perlengkapan sorak lainnya. Sebelum berpisah, Frey dan ketiga sahabatnya sudah mengatur tempat janji temu mereka di dalam sana.

"Jangan lama-lama, ya, Frey!" teriak Aca yang dibalas Frey dengan acungan jempol.

Frey memacu langkahnya saat mendekati pintu masuk gedung kelas Platinum. Keadaan sekitar mulai sepi, sepertinya banyak yang pergi untuk menonton pertandingan basket.

"Apa gue ngasihnya abis nonton pertandingan aja, ya? Ini gedung kelasnya sepi banget. Siapa tau pemiliknya-"

"Nyari siapa?"

Untuk kesekian kalinya, Frey terlonjak. Dia buru-buru berbalik saat mendengar suara dari arah belakang. Entah itu pilihan terbaik atau tidak, karena saat berbalik, Frey semakin terkejut. Sosok perempuan yang sempat dia lihat berkelahi dengan gerombolan laki-laki level Ruby sekarang berada di depannya. Melihat sosoknya yang mengenakan seragam basket, Frey langsung mengerti kalau gadis itu turut andil dalam pertandingan.

"I-itu .... Anak kelas sebelas," jawab Frey terbata.

"Siapa? Anak kelas sebelas nggak cuma satu."

"Gabriel," jawab Frey cepat.

Frey sedikit kaget dan refleks mundur saat gadis di hadapannya melangkah maju, hendak meraih kotak yang ada di tangannya.

Menyadari tingkah Frey barusan, gadis itu berkata, "Kenapa? Lo mau ngasih itu, kan?"

"Iya, tapi ke Gabriel. Bukan lo."

"Ya itu gue sendiri. Gue Gabriel."

Netra Frey membulat. Dengan cepat ia menyerahkan kotak itu sambil meminta maaf. Niat langsung pergi karena malu, gadis itu malah tersandung tali sepatu. Sebelum tubuhnya mendarat di tanah, jas almamaternya ditarik seseorang dari belakang.

Tawa Gabriel pecah seketika. Frey memejamkan mata, merutuki diri dalam hati. Sangat memalukan.

"Hati-hati. Hampir jatuh, kan."

"Gab, buruan! Bentar lagi pertandingan dimulai!" Teriakan salah satu anggota tim basket yang menyusul Gabriel membuat mereka tersentak.

"Gue duluan," pamit Gabriel dan langsung berlari ke arah teman setimnya.

• • • •

Frey yang baru saja masuk ke gedung basket terpaksa keluar dan mengurungkan niatnya untuk menonton pertandingan. Maag-nya kambuh. Ia menginfokan kepada Ade, Aca, dan Lisa kalau dia akan menunggu di UKS saja, sambil menikmati segelas teh hangat yang dibuat petugas UKS untuknya.

Sesekali Frey terkekeh saat Lisa dan Ade serempak mengirimkan potongan video berisi keseruan pertandingan ke grup chat, sedangkan Aca sibuk mengomelinya karena melewatkan jam sarapan.

Blackponk Area


Lisa : Lo mau kita kirimin lebih banyak lagi videonya? @frey

Aca : Frey, awas aja klo besok lo gak sarapan bareng kita lagi

Ade : //send video

Ade : @frey Lagi gak pren videonya?

Aca : Kita kemusuhan pokoknya klo lo sampe sakit lagi gara-gara gak makan teratur

Ade : Atau kita live IG aja sekalian? Biar lo bisa nonton

Aca : Gue bakal diemin lo kalau gak mau nurut apa kata gue

Lisa : CA, LO MENDING DIEM DULU DEH

Lisa : NTAR AJA NGOMELNYA

Ade : Iya, woy! Kita ngomong apa, dia ngomong apa. Ya kagak nyambung!

Ade : Kayak perasaan gue ke Mas crush. Gue suka dia, dia suka siapa

Aca : Ya gak usah curhat juga, Jubaedah

Ade : xixixi

Lisa : Kita live IG aja @frey?

Lisa : Biar lo bisa nonton

Frey : Boleh

Frey : Sebenernya klo kalian gak ngirim video atau live IG pun, ya gue gak papa

Aca : G

Aca : Pokoknya lo harus nonton

Lisa : Biar nnti malam klo kita ngomongin pertandingan ini, lo gak diem, kaku, kayak kanebo kering

Ade : WKWK ngakak banget

Frey : Ya udah, iya

Frey : Buruan klo gtu. Gue mau nonton

Ade : SIP

Ade : @lisa Pake akun lo aja, ya. Kan dikit followers-nya

Aca : De :')

Lisa : Kalau bukan sahabat gue, udah gue tendang lo biar jatuh guling-guling

Lisa : Lagian kenapa gak video call aja, sih?

Ade : Burem ntar

Tak lama setelah itu, muncul notifikasi kalau Lisa sedang melakukan siaran langsung di Instagram. Frey langsung menontonnya. Gadis itu sesekali tertawa karena sahabatnya yang tidak bisa diam.

Dia bisa mendengar Ade yang menjerit dan memukuli Aca saat pemuda dari kelas Platinum yang ia taksir tak sengaja menatapnya, serta Lisa yang mengomel karena tingkah Ade membuat ponselnya hampir terjun bebas.

Sampai akhirnya, senyum di wajah Frey luntur ketika terjadi kegaduhan yang mengganggu ketenangan penonton. Di tribune seberang, terjadi perkelahian dua pemuda dari kelas Silver dan Platinum. Segera gadis itu bertanya melalui kolom komentar.

Freyj_ itu kenapa?

lisanb berantem tuh

lisanb kayaknya yg dari kelas Platinum marah gara-gara jas almetnya kena muntah dari yg kelas silver

Ade. don't you see? It's blood

I'm_aca gue jadi mual

Keadaan semakin runyam saat cowok dari kelas Silver menyerang lawannya. Jeritan terdengar dari gadis-gadis yang berdiri di sekitar mereka. Beberapa siswa ada yang berusaha memisahkan. Tetapi mereka tak berhasil memegangi si cowok berjas almameter silver.

Kegaduhan bertambah saat salah satu anggota tim basket Platinum yang bertanding mendadak muntah darah. Samar-samar Frey dapat melihat Gabriel yang membantu temannya. Akan tetapi, gadis itu tampak mengamuk dan malah berusaha menyerang Gabriel.

Frey mengernyit. "Ini kenapa, sih?"

Kamera Lisa kembali menyorot tribune sebelah. Para penonton di sana berhamburan, lari tunggang-langgang dengan wajah takut bercampur panik. Tidak terlihat jelas, tapi Frey yakin di sana ada darah. Hal terakhir yang dilihatnya sebelum live Instagram berakhir adalah seluruh penonton yang berlari sambil berteriak panik, dan sibuk berjejalan di pintu keluar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro