Ujian dan Pelarian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Frey mulai mengatur napas. Atensinya tertuju pada sinar matahari yang menembus ventilasi, membentuk garis-garis cahaya yang mulai menerangi sudut kamar. Saat melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 07.30 dan ketiga sahabatnya sudah memakai seragam sekolah, Frey langsung melompat dari kasur. Dia harus bergegas, karena upacara bendera akan tetap dilaksanakan walau ada ujian penempatan level.

Buku mata pelajaran yang akan diujiankan buru-buru gadis itu masukkan ke tas punggung hitamnya, lalu dengan jurus seribu bayangan ia berlari ke kamar mandi.

"Kita tunggu di kelas, ya!" teriak Ade yang suaranya terdengar hingga kamar mandi.

Usai mengatakan hal tersebut, Aca, Ade, dan Lisa langsung keluar dari kamar sambil membawa ransel masing-masing.

• • • •

Frey baru saja sampai di lapangan dan masuk ke barisan kelas tepat saat bel masuk berbunyi. Napasnya pun masih memburu karena tadi berlari menapaki tangga. Lift dipenuhi oleh siswa Ruby yang juga hampir terlambat, itu sebabnya Frey memilih untuk lewat tangga.

Gadis itu tersenyum tipis saat manik gelapnya beradu dengan tiga gadis yang berbaris di belakang. Samar-samar Ade, Aca, dan Lisa menggeleng, seolah berkata "Untung aja lo nggak telat".

"Besok kayak gitu lagi, ya. Hitung-hitung nurunin berat badan."

Frey berjengit dan langsung menoleh ke belakang. Ia mendapati Aca tersenyum jahil usai menyindirnya barusan. Entah sejak kapan gadis itu pindah barisan tepat di belakangnya.

"Diem lo! Gue gantung juga nggak lama di tiang bendera."

"Dih. Sejak kapan seorang Frey jadi galak?"

Frey tidak mengindahkan ucapan Aca dan sibuk memperhatikan sekitar, termasuk anggota dari ekskul PMR yang bertugas di upacara kali ini. Mata sipitnya yang dibingkai oleh kacamata silinder itu menangkap sosok familier dari kelas Platinum.

"Oh. Gabriel ikut ekskul PMR?" gumamnya.

"Woy! Lo denger nggak, sih?"

Pukulan Aca yang mendarat di bahunya sukses membuat Frey terkesiap. Gadis itu berdecak kesal dan berkata, "Apa, sih? Nggak. Gue nggak denger."

"Untung bestie. Kalau bukan, udah gue hiiih!" gemas Aca.

"Jadi gini." Aca pindah, merubah posisinya menjadi berada di depan Frey. "Ade rencananya mau pura-pura pingsan. Lo tau crush dia yang namanya Daniel Daniel dari kelas 10 Platinum itu? Katanya ikut ekskul PMR dan lagi tugas hari ini. Berarti ada kesempatan buat Ade. Ya, nggak?" jelas Aca yang diakhiri dengan menaik turunkan alis.

"Kesempatan apa?"

Aca tidak menjawab pertanyaan Frey dan hanya tersenyum. Senyum mencurigakan.

"Gak tau, ya. Sumpah gue ...." Frey mendengkus kesal dan menggaruk dahinya yang sama sekali tidak gatal. "Terserah kalian, deh. Gue capek."

Suara lantang Pak Deny yang memerintahkan seluruh siswa untuk berbaris terdengar, pertanda upacara akan segera dilaksanakan. Frey segera berdiri di barisan tengah, diikuti Aca, Lisa, dan Ade yang berada tepat di belakangnya. Setelah seluruh kelas berbaris rapi dan tidak berisik, upacara pun dimulai.

Bisik-bisik yang dilakukan dua orang di belakangnya saat pertengahan upacara membuat Frey frustrasi. Entah punya sahabat seperti mereka adalah berkah atau sebuah ujian hidup, dia tak tahu.

"Ca, Daniel udah di mana?" bisik Ade pada gadis di depannya.

Aca berjinjit, lalu menoleh ke belakang. "Ntar lagi dia sampai di barisan kita."

"Oke, oke. Lis, lo ingat kan harus ngapain?" kini Ade berbisik pada gadis di belakangnya.

Lisa mengangguk mengerti. Meski begitu, Ade kembali menanyakan hal yang sama. Pasalnya, Lisa tidak bisa kurang briefing, sebab gadis itu kerap kali tak fokus. Alias suka nge-lag.

"Dia ke sini, dia ke sini!" desis Aca yang mulai heboh. Seketika Frey langsung memijat pangkal hidungnya, memikirkan apakah harus mengeksekusi ketiga sahabatnya usai upacara atau tidak.

Ade melotot. "Daniel ke sini? Liat lagi, Ca. Yang bener!"

Aca sudah gemas sendiri dan kembali berdesis, "Udah bener, dodol! Dia ke sini dalam tiga ...."

Ade menepuk-nepuk dadanya, berusaha menenangkan diri yang mulai gugup.

"Dua."

Kali ini Ade mengatur napas. Lisa sudah bersiaga di belakangnya.

"Satu!"

Ade lantas menumbangkan diri. Saat itu juga, Lisa dengan sigap menangkapnya sambil menoleh ke belakang, mencari keberadaan pemuda bernama Daniel. Frey yang menyempatkan diri untuk memperhatikan kegilaan mereka sontak menggeleng. Akting Ade terlihat natural, sampai-sampai Frey ingin menggebukinya.

"Eh, tolongin! Ini ada yang pingsan!" ujar Lisa pura-pura panik saat melihat sosok Daniel yang melintasi barisan.

Berhasil. Pemuda berkulit putih bersih dengan wajah khas blasteran Cina-Indonesia itu langsung berlari ke arah mereka. Akan tetapi, langkahnya tertahan saat seseorang menarik tangannya.

"Gue aja. Lo bantu cewek sebelah ngangkat tandu."

Daniel ragu-ragu mengangguk kemudian meninggalkan barisan. Senyum Lisa dan Aca langsung luntur, sedangkan Frey menutup mulut agar tawanya tidak pecah. Akan tetapi, Frey tidak bisa menahan tawa saat Gabriel mulai membopong Ade. Tubuh Frey bergetar diikuti suara cekikikan.

"Lah, kok ...." Lisa mendadak cengo.

"Mampus," gumam Aca.

Ade tetap mempertahankan akting pingsannya senatural mungkin. Dia tidak tahu kalau yang membopongnya bukanlah Daniel. Gadis itu terlalu sibuk menetralkan detak jantung, karena menganggap ini adalah momen ter-sweet sepanjang hidupnya.

"Kak El! Maaf, tapi tandunya terpakai semua," ujar seorang gadis yang berpapasan dengan Gabriel.

"Aman aja. Gue bisa sampai UKS, kok."

Ade samar-samar mengerutkan alis dan membatin, "El? Oh, mungkin itu nama panggilannya Daniel. Tapi kok dipanggil Kak? Dia kan masih kelas sepuluh. Eh, tunggu. Emang suaranya Daniel kayak gitu? Nggak, deh. Kok beda? Lah, jadi yang gendong gue sia-"

"Hah!" Yang tadinya hanya berniat mengintip, Ade malah membuka mata dan berteriak karena terkejut.

"Buset!" Gabriel refleks menjatuhkan Ade di depan pintu UKS dan termundur beberapa langkah. Anggota PMR yang berada di ruangan pun sama kagetnya.

"Aduh! Tulang ekor gue!" Ade merintih usai tubuhnya mendarat keras di lantai. Ia merengek sambil berguling menahan sakit, kemudian berkata, "Ngotak dikit, woy! Sialan, gue dijatuhin kayak gini!"

"Maaf, maaf! Lo nggak papa?" Gabriel buru-buru berjongkok dan berusaha membantu Ade untuk berdiri.

"Menurut lo? Lagian kenapa jadi lo, sih, yang gendong? Kenapa nggak Daniel aja?" protes Ade yang masih memegangi bagian tulang ekornya.

Gabriel tersentak. "Kok lo bisa tau kalau tadi itu .... Eh? Lo pura-pura pingsan, ya?"

Ade tergagap. "Ng-nggak, kok!"

Gabriel menghela napas kasar dan memalingkan wajahnya. "Lo balik ke barisan. Se-ka-rang."

"Heh! Ya kali," protes Ade tak terima. Kalau kembali ke barisan sekarang, dia bisa malu. Bagaimana kalau Daniel melihat? Membayangkannya saja gadis itu tak sanggup.

"Ya kan lo nggak sakit. Penuh-penuhin tempat aja! Balik nggak? Atau mau gue gebuk?"

Ade kembali merebahkan tubuhnya di depan pintu sambil merintih kesakitan. "Gue sakit, ya! Tulang ekor gue kayak gini gara-gara lo! Kurang ajar banget pake acara ngusir gue."

Gabriel hanya menatap gadis di depannya datar, lalu berbalik pergi. Melihat itu, Ade sontak berteriak, "Woy! Lo mau ke mana? Bantuin gue berdiri, kek!"

"Nggak!" teriak Gabriel yang terus melangkah.

"Ya terus gue gimana?"

"Ngesot!" teriaknya lagi yang membuat Ade semakin naik pitam.

"Pulang lewat mana, Dek?" balas Ade dengan suara toaknya. Bahkan petugas PMR lain yang membantunya berdiri sampai meringis.

Sambil berjalan dan kembali mengawasi tiap barisan peserta upacara, Gabriel tertawa kecil. Ada-ada saja kelakuan cewek kalau punya crush. Akan tetapi, senyum yang terukir di wajahnya itu perlahan luntur. Ingatan akan kejadian semalam cukup mengusiknya. Rasa cemas kembali menggerayangi pikiran gadis itu, membuat suasana hatinya seketika berubah.

• • • •

Seluruh siswa masuk ke ruang ujian usai upacara. Frey buru-buru duduk di bangkunya dan mengeluarkan buku Kimia dari tas, berusaha membaca materi yang belum sempat dipelajari semalam. Suara Lisa dan Aca yang menggoda Ade perihal kejadian saat upacara tadi terkadang mengusik fokusnya.

Hening langsung mengudara saat pengawas ujian masuk. Wanita berambut hitam sebahu dengan blazer hitamnya sukses membuat seisi ruangan terkejut. Wajah oval dan terlihat baby face itu tidak akan membuat gelarnya sebagai guru level Platinum yang sangat tegas terganti.

Salah satu sistem ujian penempatan yaitu guru antar level akan diacak atau ditukar untuk menjadi pengawas. Hari dan jam pertama akan diawasi oleh Bu Eltra. Hal itu membuat perut Frey mules seketika.

"Buku masukkan tas, dan tasnya taruh di depan. Laci dikosongkan. Nggak ada kode-kodean atau lirik-lirikan selama ujian. Menoleh ke kiri atau kanan tanpa alasan yang jelas akan saya anggap mencontek dan saya keluarkan dari ruang ujian."

"Nggak ada barang lain di atas meja selain yang diperlukan untuk ujian. Selama ujian berlangsung dilarang meminjam alat tulis kepada teman. Kalau memang perlu, bisa langsung ke saya. Waktu kalian untuk menyesuaikan diri, tiga puluh detik dari sekarang."

Seluruh siswa langsung bergegas meletakkan tas di depan kelas dan memastikan laci meja bersih. Beberapa terlihat berlari keluar kelas untuk membuang sampah dari laci. Merasa waktu sudah genap tiga puluh detik dan seluruh siswa kembali duduk di bangku masing-masing, Bu Eltra mengeluarkan kertas soal dan mulai membagikannya.

Frey spontan memijat dahinya saat membaca soal Kimia yang baru saja mendarat di meja. Gadis itu membalik lembar soal dan berusaha menenangkan diri agar bisa mengingat rumus. Dia berencana untuk mengerjakan soal dari nomor paling akhir.

Usai membagikan lembar soal dan jawaban, Bu Eltra berkeliling. Matanya menatap awas setiap siswa yang dilalui. Gerak-gerik sekecil apapun diperhatikannya. Kelas sangat sunyi, hanya ada suara kertas yang dibolak-balik dan gesekan pulpen yang merangkai jawaban serta angka-angka yang diperhitungkan.

Frey yang tengah menghitung langsung terdiam kala rungunya mendengar sesuatu. Samar-samar terdengar suara gaduh dari kejauhan.

"Kok kayak rame banget?" batinnya.

Gadis itu mengurungkan niatnya untuk menghitung dan memejamkan mata. Keheningan kelas semakin memperjelas apa yang ia dengar. Perlahan, Frey melirik Ade yang duduk di depannya.

"Ade biasa aja. Apa dia nggak dengar, ya?"

Mendadak speaker kelas berdengung. Seketika fokus seluruh siswa teralihkan, termasuk Frey yang sejak tadi fokus mendengarkan suara gaduh yang berasal entah dari mana. Suara dari speaker itu juga membuat langkah Bu Eltra terhenti.

"Perhatian untuk seluruhnya. Saya pihak pusat kesehatan sekolah mengumumkan situasi darurat. Harap keluar dari kelas dan bergerak ke tempat yang aman. Segera! Terutama dari gedung Silver, juga Ruby jika memungkinkan."

"Saya ulangi."

Kelas langsung riuh. Semua saling pandang dengan tatapan bertanya-tanya. Sebagian besar mengajukan pertanyaan kepada Bu Eltra tentang apa yang harus dilakukan. Banyak yang keberatan meninggalkan ruangan karena ini ujian yang amat penting bagi mereka.

Bu Eltra mulai sibuk menelepon guru lain dan menggali informasi tentang apa yang terjadi, sedangkan pria yang berbicara dari ruang siaran semakin menggebu-gebu menyuruh siswa untuk menyelamatkan diri. Di tengah suasana yang berisik itu, Frey mendengar suara yang amat femiliar. Suara yang mampu membuat jantungnya memompa darah lebih cepat, serta tangannya perlahan mendingin.

Frey bangkit dari bangkunya dan berlari keluar. Maniknya menyisir keadaan sekitar, lalu merapat ke pagar balkon. Di bawah sana, banyak siswa dari gedung Ruby berlarian ke arah gerbang menuju asrama sambil berteriak. Sebagian dari mereka ada yang berlari ke gedung Silver. Raut wajah takut bercampur panik terlihat jelas. Jauh di belakang mereka, siswa dengan seragam bernoda darah tampak mengejar.

Tidak hanya satu. Mereka belasan, tidak, jumlahnya puluhan. Frey tergagap. Ia termundur beberapa langkah hingga terjatuh. Kakinya terasa lemas, seolah tak sanggup menopang tubuhnya. Suara gerungan yang Frey dengar, serta sosok mengerikan yang juga ia lihat dalam mimpi.

"I-ini mimpi. Iya, kan?"

Kenyataan seolah langsung menamparnya. Di ujung lorong, salah satu gadis beralmet Ruby menjerit kala terjatuh karena berlari. Tak sempat menyelamatkan diri, gadis lain berwajah pucat dengan mulut berlumuran darah datang dan menggigit lehernya hingga tercabik, lalu lanjut mengoyak pipinya. Persis seperti binatang buas yang sedang menerkam mangsa.

Napas Frey tercekat. Dadanya terasa sesak. Gadis yang terjatuh tadi berteriak kesakitan. Suaranya sukses membuat tubuh Frey gemetaran. Entah masih bisa dibilang manusia atau tidak, sosok gadis dengan mulut berlumur darah tadi menatapnya lekat. Sontak mata Frey membulat, diiringi detak jantung yang semakin cepat. Dalam hitungan detik, gadis yang sudah seperti monster itu berlari ke arahnya.

Frey tidak bisa menggerakkan badannya barang satu senti pun. Tubuhnya seolah membeku dengan tatapan kosong.

"Kalau di mimpi, gue selamat berkat Ade bangunin gue. Sekarang, apa gue masih bisa selamat?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro