[9] : Hari Kesalnya Jibran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

The 'J' Siblings •

•~~•

Sebenernya gw cowok brengsek

Shaildendra

Tapi boong, Love u

Jibran Sayang Kaktusnya Bang Jai

•~~•

Pukul 1 malam Jibran dikejutkan dengan suara keras yang berasal dari alarm ponselnya, memberikan sebuah kalimat yang bertuliskan 'Bang Nathan mau berangkat ke Surabaya' dengan sound lagu 'Halo-Halo Bandung' dilayarnya, Sesegera anak itu mengerjap sebelum kemudian berjalan lunglai ke arah kamar Nathan.

Jibran melebarkan pintu kamar kakaknya itu dan menemukan Nathan yang sedang berdiri mengecek ponselnya dengan dahi yang berkerut serius.

"Kenapa bangun?"

"Abang berangkat sekarang?"

"Gue baru beres nulis note buat di tempel di meja belajar Lo, mau pamit dulu"

Nathan mengangkat tangannya yang sedang memegang dua buah kertas note berwarna biru yang niatnya akan ia tempelkan juga di meja belajar Jejen.

"Bang Nat"

"Kenapa dek?"

"Kenapa jauh-jauh sih?"

"Biar gue hitung udah berapa kali kalimat itu di lontarkan sama seluruh penghuni istana yang mulia Bapak Jaka"

Jibran hanya mengalihkan pandangannya kemudian berjalan mendekati Nathan dan memeluk tubuhnya dalam sebuah pelukan.

"Jangan gini lah Ji, gue jadi gak tega mau perginya" Nathan menarik nafasnya panjang walaupun lengannya kini ikut membalas pelukan Jibran.

"Jangan lupa pulang"

"Lagian belum fix juga gue disana, udahgak usah sedih gitu lah, lusa juga gue masih pulang ke rumah"

"Abang"

Nathan berdeham.

"Kok parfumnya bau banget"

Nathan refleks noyor kepala Jibran, anak itu meringis sebelum melepaskan pelukannya kemudian terduduk rapih di atas kasur milik Nathan.

"Kebiasaan"

"Jibran ada pertanyaan"

"Pertanyaan apa? Lo tau betul kan gue bego di pelajaran IPS"

"Bukan soal pelajaran IPS"

"Terus?"

"Abang pernah merasa kesepian?"

Kedua mata anak itu kini beradu dengan mata Nathan yang masih terdiam, memikirkan sebuah jawaban tepat yang perlu ia ungkapkan.

"KayaAbang takut banget kalau nanti Abang sendirian"

"Nggak ada satupun orang yang kuat sama rasa kesendirian, orang yang paling penyendiri di dunia pun seenggaknya butuh seseorang untuk bisa menemani dia"

"Jadi?"

"Mustahil kalau abang bilang abang nggak pernah kesepianNggak mungkin juga kalau gue gak takut sendirian—"

"..."

"Tapi hidup itu Dinamis Ji, Ada kalanya lo dipertemukan dengan seseorang yang patut lo syukuri, atas alasan apapun, akan selalu ada sebuah titik dimana keberadaannya selalu menyenangkan untuk mendampingi cerita hidup loAda kalanya juga lo harus belajar mengikhlaskan sebuah kepergian—"

"..."

"Sebab gak akan bisa selamanya lo berdiam diri di zona waktu yang sama, semua berubah sesuai dengan tahapannya, semua memiliki masanya sendiriGeetoh Ji"

Jibran masih berdiam diri, mendengarkan ucapan Nathan dengan seksama.

"Hadeuhhhh...Gen Z kek lo emang demennya dikasih deeptalk"

"Emang kenapa?"

"Cape gue scroll sosmed isinya Mental Health semua"

"Ya terus?"

"Bagus sih, banyak orang yang menggaungkan betapa pentingnya kesehatan mentalTapi, banyak pula orang yang akhirnya memaklumi sebuah kesalahan tanpa adanya sebuah perbaikan dengan alasan kesehatan mental"

"..."

"Makanya belajar yang baik ok?, Gak harus sepintar Jejen, cukup belajar dengan baik sampai lo bisa memahami bahwa semua hal itu baik apabila kita benar menempatkanya dan mampu untuk mengelolanya"

Walaupun nampak menyebalkan, Nathan merupakan orang yang paling sering Jibran ajak bicara untuk setiap harinya, Nathan yang selalu memiliki jawaban tepat atas pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya dan Nathan yang merupakan salah satu cerminan seseorang paling keren yang pernah Jibran miliki.

•~~•

—Jibran berani sumpah ia baru saja menaruh pulpen hitamnya di atas meja, walaupun cuman dapet nyolong dari tasnya Jejen tapi beneran demi Pororo yang dinafkahi warga Tiktok, Jibran lagi butuh banget pulpen itu.

Guru sejarahnya bukanlah seseorang yang dapat berdamai dan mengasihani tangan Jibran yang jarinya udah bengkak-bengkak kelamaan nulis, dan pada pagi ini, gurunya itu bahkan sudah setara rapper sat-set yang Jibran berkhayal naik dinosaurus dikit udah ketinggalan satu halaman.

Gawatnya lagi, PULPEN GUE MANA WOY?!, Jibran membatin.

Seakan belum selesai dengan hati ketar-ketir nya Jibran sebuah kata-kata umpatan kembali menyerbu pikirannya.

Jangan, Jangan, Jangan—

"Jibran lucu"

—Kan, Bangke!

"Jie"

"Apa sih?!"

"Lagi cari apa? Cari pulpen ya?"

"Nggak"

"Mau pinjem yang aku gak?"

"Nggak"

"Jual mahal banget sih, tapi gapapa, aku tetep suka kamu" gadis itu mengedipkan sebelah matanya yang membuat Jibran meringis.

"Cedric, gantian dong duduknya"

Jibran langsung memelotot galak pada Cedric yang seketika menyunggingkan sebuah senyuman penuh makna.

"Kenapa?"

"Nggak!" TOLONG LAH, JIBRAN TUHAH UDAHLAH!

"Jibran nulisnya ketinggalan tuh"

"Oh yaudah"

JIBRAN MAU NANGIS AJA

"Dric!"

"Semangat nulisnya, ngab"

Dengan wajah tanpa dosa Cedric bertukar duduk dengan gadis itu, membuat Jibran menganga lebih lebar lagi ketika Cedric mengedipkan sebelah matanya seraya menyapu surai rambutnya.

"Kalau dari deket Jibran makin lucu deh"

Ia bahkan tak ingat kapan gadis itu duduk disampingnya.

"Mana?"

"Apa?"

"Pulpen"

"Katanya gak mau"

"Yaudah"

Saking gemasnya, Winona sampai nyubit pipinya Jibran "Jangan jutek dong—nih"

Tangan gadis itu terulur untuk memberikan sebuah pulpen berbentuk hamster oranye kepada Jibran yang sedang mencebik kesal.

"Kenapa sih kamu ganteng banget kalau marah, tuh liat alisnya beuh cakep banget"

"Bisa gak sih lo diem?!"

"Ini aku diem loh"

"Gak usah liatin gue!"

"Hihihi Lucu"

Jibran mengusak rambutnya dengan kasar "Tolong lah, biarin gue aman tentram damai dan bersahaja"

"Iya, silahkan, nih aku udah beres nulisnya"

Winona tersenyum dengan senang seraya menyodorkan buku tulisnya kepada Jibran.

"Say thank you nya mana?"

"Makasih"

"Sama-sama" 

Gadis itu kembali tersenyum dengan tangan yang memangku dagu dan tatapan yang tak lepas dari wajah Jibran.

"Jibran"

"Diem"

"Nanti nikahnya harus sama aku ya"

"Si Kampr!!!—" Jibran kembali menarik nafasnya "Mending Lo perhatiin guru daripada ngeliatin gue gini"

"Tapi yang lebih enak di pandang kan kamu"

"Serah!!"

"Jadi maksudnya aku boleh liatin kamu?"

"Nggak"

"Katanya terserah"

"Maksud gue—" Jibran sudah kehilangan kesabaran, kedua tangannya bergerak untuk dengan paksa mengarahkan kepala Winona agar menghadap ke papan tulis "—Awas pala Lo gerak lagi ngeliat gue, gue jambak rambut Lo"

"Jahat banget sih, gak boleh kasar tau sama perempuan!"

Jibran nampak terkejut bukan main kala melihat gadis itu kini menangis sebab ulahnya, Iya ULAHNYA.

"Eh—ehhhh iya iya....maafin gue ya—jangan nangis elah"

"Jibran!, Winona!, dari tadi saya liat kalian ribut mulu, terus sekarang makin ribut sampai nangis-nangis"

Satu teguran keras terasa menohok bagi Jibran, Ya Allah, Jibran cuman mau belajar, anak itu membatin.

"Untuk tidak mengganggu kegiatan belajar, silahkan keluar dari kelas saya"

"Bu—"

"—Hitungan ketiga"

Jibran berdecak sebelum dengan sebal berjalan keluar kelas diikutin dengan Winona yang membuntuti langkah Jibran.

"Jibran"

"Diem! Gue disini gara-gara Lo"

"Maaf"

Anak itu sudah tidak peduli, dia hanya ingin pulang ke rumah dan memakan seluruh es kiko yang ada di kulkas.

"Tapi kamu tau gak sih Jie?, Kamu tuh—"

"WINONA!—"

"..."

"—Diem! Gue lagi kesel!"

Jibran melirikkan matanya ke arah gadis itu.

Ia kira gadis itu akan kembali menangis, namun justru sebuah ekspresi senang dengan mata berbinar yang justru Jibran dapatkan.

"Kenapa lagi sekarang?"

"Tadi kamu bilang apa?"

"Hah?"

"Tadi loh Ji"

"Apa sih?!"

"Kamu manggil nama aku"

Winona menjerit.

"Astaga—omaygat! Fiks fiks—kamu manggil nama aku?"

"Lo gila?"

"Bukan—Please, kamu gak sadar?"

"Ck..."

"Ini pertama kalinya kamu nyebut nama aku Ji—Oh my God"

Tanpa pikir panjang lagi Jibran melangkahkan kakinya begitu saja, meninggalkan Winona yang sudah bersiap untuk mengejar langkahnya.

"Jibran!"

"..."

"Mau kemana?!"

"Gak usah ikutin gue!!!!"

"Jibran!!!"

"..."

"Jibran dadah!!"

•~~•

"Lo tau?—"

"Iya, dia"

"Tiap hari nempel Mulu sama gue udah kaya sereal sama susu Dancow!"

"Hahahaha"

"Gak! Risih banget gue, asal Lo tau"

"Mana gue sekelas sama dia"

"Si Cedric juga gak bantuin gue"

"Cedric yang anaknya Koh Yaxuan itu"

Diambang pintu berdirilah Jejen bersama ibu yang sedang memperhatikan gerak-gerik Jibran, sesekali mengernyit bingung akan kelakuan adik bungsunya yang sedari tadi tertawa namun kemudian nada suaranya berubah drastis.

Jejen beneran jadi khawatir dan menarik ibu untuk berdiri bersamanya.

"Bu, kayanya Jibran beneran harus dibawa ke tempat ruqyahnya Ustadz Aan deh"

"Jean"

"Beneran Bu!, Liat kan? Aneh dia, anak umur 15 tahun mana yang ngajakin tanaman janda bolong ngobrol sambil cekikikan?"

"Iya juga ya Jen"

Jai yang baru saja akan berangkat ke kampus ikut terhenti dan meilirik keluar rumah.

"Lagi liatin apaan sih?"

"Bang Jai sini deh"

"Kenapa?"

"Belakangan ini ada yang lebih parah!"

"Apanya yang parah?"

"Ade bungsu Abang!"

"Iya kenapa?"

"Parah gimana maksud kamu ah Jen?"

"Jibran jadi suka ngelamun sama si John!"

"Booming banget kan Bu?!"

Ibu menganga lebar kemudian menganggukan kepalanya "Kita bilang bapa dulu ya"

"Ada apa?"

"Jibran kesurupan!"

"Hah?"

Dahi Jai seketika berkerut, sebelum kemudian melongokan kepalanya untuk menatap Jibran yang sedang tertawa di hadapan sebuah tanaman janda bolong kesayangan ibu.

•~~•

• The 'J' Siblings •

•~~•

ToBeContinue

•~~•

Bonus Pict :

Cedric Anak Koh Yaxuan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro