4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


                Seiring berjalannya waktu, menempelnya Sasi dengan Rianti hampir sama lengketnya dengan Ryoma yang menempel ke Dani, membuat pertemuan Sasi dan Ryoma menjadi semakin sering. Sasi akhirnya mulai bisa menerima keberadaan Ryoma setiap ia sedang berada bersama Rianti, dan sepertinya Ryoma sudah mulai belajar untuk tidak berkomentar pedas kepada Sasi. Setidaknya mereka sudah mulai bisa mengobrol agak normal, walaupun hanya sekedar pertanyaan "kamu mau ayam bakar apa ayam goreng" dari Sasi ke Ryoma. Dan Ryoma, melihat penampilan Sasi yang kini sudah nyaman dengan gamis dan jilbab panjangnya, lengkap dengan kaus kaki, memutuskan untuk berhenti berkomentar kepada Sasi sementara.

Reaksi orang terhadap perubahan penampilan Sasi juga beragam. Ada yang mendukungnya, seperti Ibunya dan Rianti. Ada juga yang mencibirnya dan mengatakannya berlebihan. Tapi akhirnya Sasi tidak terlalu ambil pusing, toh sejak dikritik oleh Ryoma akhirnya kupingnya jadi kebal secara alami terhadap komentar-komentar tidak penting.

"Terima kasih, Pak," Sasi tersenyum sambil membuka pintu mobil yang berhenti di depan sebuah restoran di Kebayoran.

Supir taksi membalas tersenyum, sesaat setelah Sasi menutup pintu, taksi tersebut kembali melaju. Di depan restoran terpampang spanduk besar: Selamat Datang Peserta Reuni Institut Teknologi Indonesia. Sasi merapikan pakaiannya – hari ini ia mengenakan gamis berwarna pink pastel dengan jilbab berwarna abu-abu cerah. Ia menarik nafas dalam-dalam. Semoga saja ia bertemu dengan teman-teman lama yang menyenangkan di dalam sana. Dan tentu saja Rino dan Tania kemungkinan besar sedang berada di dalam sana juga. Apakah Sasi sudah siap berhadapan lagi dengan mereka? Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya, kan? Sasi membuka pintu restoran dan melangkahkan kakinya ke dalam.

Oh, a simple complication
Miscommunications lead to fall out
So many things that I wish you knew
So many walls up I can't break through

Hingar bingar musik memekakkan telinga – sebuah live band sedang memainkan lagu Taylor Swift yang sedang hits pada zaman Sasi sedang kuliah. Sasi mendengus. Lagu itu seolah mengejeknya – liriknya sedikit banyak mirip dengan kisah cintanya bersama Rino.

"Sasi!" Beberapa perempuan muda melambaikan tangannya dari sebuah meja. Sasi menghembuskan nafas lega – teman-temannya sudah berada di sana, setidaknya ia tidak harus terlihat bloon karena berdiri sendirian dan celingukan.

"Sasi, pangling deh," kata seorang temannya sambil memeluk Sasi. Sasi hanya nyengir. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk terhanyut dalam obrolan nostalgia.

"Ngomong-ngomong, lo udah ketemu Rino belum?"

Sasi memasang wajah cool. "Oh, belum. Kenapa gitu?"

"Lo udah lihat cewek barunya?" Andin memasang cengiran penuh arti. Sasi menyipitkan matanya.

"Pernah ketemu sih... Dulu. Kenapa gitu?"

"Nggak apa-apa sih. Nanti lo lihat aja," Andin dan teman-temannya mendengus tertawa. "Agak lebay sih menurut gue... Ah, pokoknya menurut gue lo tetep lebih oke, lah, Sas."

Sasi memutuskan untuk tidak terlalu ambil pusing dengan kata-kata Andin. Entah apa maksudnya. Tanpa ia sadari minuman di gelasnya telah habis, dan pendingin ruangan yang bekerja terlalu keras membuatnya ingin pergi ke kamar mandi.

"Eh, gue ke belakang dulu ya," kata Sasi sambil berdiri.

"Oke. Kita tunggu di sini ya," kata Andin sambil tersenyum, diikuti teman-temannya yang lain.

Sasi melangkahkan kakinya ke restoran – di meja lain sebenarnya ada beberapa wajah yang ia kenal, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyapa mereka. Sasi akhirnya melihat signage yang ia cari – toiletnya ternyata berada di belakang panggung. Sasi ingin mempercepat langkahnya, namun seseorang yang baru saja turun dari samping panggung menghentikan Sasi. Hampir saja mereka bertabrakan.

"Sasi?"

Sasi menoleh. Matanya terbelalak - mimpi buruknya berubah menjadi nyata. Tapi ternyata perutnya tidak terasa mendidih seperti saat ia memergoki Rino dan Tania dua tahun yang lalu.

"Eh. Rino. Apa kabar?" kata-kata formalitas itu meluncur begitu saja dari mulut Sasi.

"Baik," komentar Rino. "Kamu... Beda ya sekarang?"

"Maksudnya?"

Mata Rino memindai Sasi dari ujung kepala sampai kaki dengan senyum mengejek. "Hmm. Aku nggak biasa aja lihat kamu pakai baju seperti itu. Sekarang jadi orang suci, nih?"

Sasi mendengus. Dalam kondisi seperti ini ternyata ada yang bisa lebih menyebalkan daripada Ryoma. Untungnya Sasi sudah terlatih.

"Masalah buat lo?"

Sasi memutuskan untuk langsung pergi ke toilet bahkan sebelum Rino mengucapkan tanggapan apapun. Sasi sengaja menghabiskan waktu agak lama di toilet supaya ia tidak perlu berpapasan lagi dengan Rino dalam kondisi apapun. Setelah lima belas menit, ia memutuskan untuk keluar dari toilet. Layar lebar di samping panggung saat ini sedang memutar kumpulan foto-foto nostalgia tahun. Sekilas Sasi melihat fotonya dan beberapa teman-temannya yang diambil setelah pelajaran olahraga, lengkap dengan seragam konyol mereka. Beberapa kali foto Tania muncul di layar – ternyata Tania mahasiswi jurusan manajemen bisnis, Sasi tidak pernah tahu. Namun dalam 30 detik terakhir hanya foto-foto candid Tania yang muncul di layar – sebagian besar tamu mulai bergumam dan berbisik-bisik.

Slideshow itu berakhir dengan latar belakang hitam dan sebuah kalimat:

Tania Dunham, Will You Marry Me?

Band live langsung mulai memainkan musiknya dan menyanyikan lagu Marry You dari Bruno Mars. Beberapa orang bertepuk tangan – Tania yang ternyata berdiri di dekat panggung tersipu malu sambil menerima pelukan dari beberapa orang temannya. Saat itu Tania mengenakan minidress yang memperlihatkan kaki jenjangnya dan sepatu tinggi yang mungkin sama dengan biaya kuliah Sasi satu semester. Perempuan itu seperti baru selesai fashion show entah di mana, tapi masalahnya ini adalah reuni kampus, bukan fashion show.

Omong kosong apa lagi ini? Pikir Sasi. Perutnya terasa mual – entah karena salah makan atau adegan di depan matanya itu memang benar-benar memuakkan. Sasi merasakan urgensi besar untuk keluar dari tempat itu dan segera muntah.

"Bukan cuma kamu kok yang pengen muntah," sebuah suara familiar muncul dari belakang Sasi. "Ayo keluar. Nggak baik nonton gituan buat kesehatan jiwa."

Anehnya Sasi hanya menuruti instruksi orang di belakangnya itu. Setelah pintu restoran menutup di belakangnya dan suara hingar bingar di dalam tidak terdengar lagi, Sasi beru menoleh untuk melihat siapa yang tadi mengajaknya bicara.

Ryoma. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro