Kecurigaan Besar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana sunyi menyelimuti perumahan Cemara—tempat Alena tinggal. Suasana dini hari yang sangat mencekam. Tak ada seorang pun yang melintas di sepanjang jalan menuju perumahan tersebut atau satpam yang berkeliling. Benar-benar sepi. Hanya ada seorang satpam yang berjaga di pos jaga, dekat gerbang masuk perumahan. Biasanya ada dua satpam yang berjaga malam hari, satu berjaga di pos jaga, dan sati lagi akan berkeliling. Entah kenapa salah satu satpam itu tidak bekerja hari ini.

Tepat pukul 3 pagi, Alena terbangun dari tidurnya karena ia merasa sangat kedingingan. Padahal ia sudah mengenakan selimut yang cukup tebal. Ia membuka mata dan memeriksa apakah suhu AC di kamarnya terlalu kecil. Namun AC di kamarnya sama sekali tidak menyala. Tiba-tiba saja angin bertiup kencang dan masuk melui jendela kamar Alena yang terbuka. Alena sangat terkejut saat melihat kegelapan di luar kamarnya. Kali ini, bukan bibi yang membukanya. Pasti ada orang yang mencoba membuka paksa jendela kamar itu.

Alena mengarahkan pandanganya ke pintu kamarnya. Pintu kamarnnya juga terbuka lebar. Padahal Jack sudah menutup pintu kamar itu saat ia pergi ke kamar Alena. Tidak mungkin pintu dan jendela itu terbuka dengan sendirinya. Itu artinya, ada orang yang menyelinap masuk ke rumah. Suasana menjadi semakin mencekam. Pikiran Alena kembali berputar memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

"Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika ada orang yang masuk ke rumah ini dan dia masih ada di sini sekarang? Bagaimana jika orang itu adalah pembunuh yang selama ini di incar oleh polisi? Aku harus bagaimana?" ucap Alena lirih.

Tiba-tiba terdengar suara panci terjatuh di dapur. Suara itu cukup keras dan menakutkan. Terlebih saat ini masih pukul 3 pagi, pencuri masih berkeliaran di jam tersebut. Dan jika itu kucing, kucing dari mana? Dan bahkan Alena tidak pernah melihat kucing di area perumahan itu. Karena rasa takut yang kian menjadi, Alena berteriak sangat keras.

"Aaaaaa!"

Teriakan Alena membuat Jack dan Silvia terbangun. Mereka berlari menuju kamar Alena dan mendapati Alena sedang menangis di dalam kamarnya. Jack sangat terkejut saat melihat jendela kamar Alena terbuka. Ia menjadi sedikit curiga, karena tidak mungkin Alena bisa menjangkau jendela itu. Berarti ada orang yang membuka jendela itu. Jack memeriksa jendela itu. Benar saja, ada bekas congkelan pada daun jendela. Jack menjadi takut, alih-alih orang asing itu masih ada di dalam rumah sekarang. Jika ia masuk lewat jendela kamar Alena, tentu ia akan keluar dari sana juga.

"Kamu tidak apa-apa sayang?" tanya Silvia sembari memeluk Alena.

"Alena takut Ma. Bagaimana jika orang yang membuka jendela kamar Alena adalah pembunuh itu?" ucap Alena gemetaran.

"Tidak apa-apa sayang. Papa sama Mama kan ada di sini," ucap Silvia menenangkan Alena.

"Tapi Alena sangat takut Ma. Tadi Alena mendengar suara berisik di dapur. Makanya Alena berteriak," ucap Alena.

"Suara berisik? Di dapur?" tanya Jack yang mulai khawatir.

"Ya Pa, Alena sangat takut. Alena yakin dia pembunuh itu," ucap Alena sembari mengusap air matanya.

"Pembunuh? Apa maksud kamu sayang?" tanya Silvia kebingungan.

"Papa dan Mama belum tahu ya? Teman sekelas Alena meninggal karena di bunuh. Dan dia dibunuh bersama kedua orang tuanya. Alena takut pembunuh itu juga datang ke rumah ini," ucap Alena yang kembali menangis.

"Memangnya di mana temanmu itu tinggal?" tanya Jack curiga.

"Dia tinggal di Perumahan Cempaka," jawab Alena.

"Cempaka? Bagaimana mungkin ada pembunuhan di sana? Itu kan Perumahan dengan tingkat keamanan tinggi," ucap Jack seakan tak percaya.

"Sudah, lebih baik sekarang kita tidur ya. Besok kita bicarakan hal ini lagi," ucap Silvia memecahkan suasana.

"Tapi bagaimana dengan suara yang Alena dengar di dapur?" tanya Alena.

"Tunggu biar Papa yang periksa," ucap Jack.

Jack mengambil sapu dan berjalan mengendap-endap menuju dapur. Ia mengintip lewat tembok pemisah antara dapur dan juga ruang keluarga. Jack melirik ke setiap sudut, namun tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi di dekat kompor, ada pisau berlumur darah. Jack menjadi curiga, jangan-jangan pembunuh itu benar-benar ada di rumah itu. Dan kemungkinan terbesar adalah bibi telah terbunuh. Jack merasa ketakutan, badannya gemetaran.

Ia berlari kembali ke kamar Alena. Silvia yang sedang berusaha menenangkan Alena menjadi ikut takut saat melihat Jack yang kembali dengan keringat dingin. Wajahnya pucat dan badanya gemetaran.

"Ada apa Pa?" tanya Silvia.

"Bi ... bibi, bibi Ma," ucap Jack terbata-bata.

"Bibi kenapa Pa?" tanya Silvia yang semakin takut.

"Bibi dibunuh Ma," ucap Jack.

"Kok bisa Pa? Emang Papa lihat jasad Bibi di mana?" tanya Silvia yang kini sudah mulai pucat.

"Di dapur ada pisau berlumur darah Ma. Hanya ada kita berempat yang tinggal di rumah ini, itu artinya Bibi yang dibunuh," ucap Jack.

"Ya Pa, benar juga. Ya udah Pa, ayok kita pastikan dulu kalau darah di pisau itu memang darah Bibi," ucap Silvia.

"Caranya gimana?" tanya Jack yang sudah tidak bisa berpikir jernih.

"Ih Papa, masa itu aja nggak tahu. Ya kita cek kamar Bibi!" ucap Silvia sedikit kesal.

"Oh ya udah, ayok," jawab Jack.

Mereka bertiga berjalan beriringan menuju kamar bibi. Ada bercak darah yang menetes dari dapur menuju kamar bibi. Mereka bertiga menjadi sangat ketakutan, bagaimana jika pembunuh itu masih ada di kamar bibi. Jack memberanikan diri untuk membuka pintu kamar bibi. Perlahan pintu itu terbuka, dan ....

"Aaaaa!" Jack menjerit tiba-tiba.

"Aaaa!" Silvia dan Alena ikut menjerit di waktu bersamaan.

"Ada apa Pa?" tanya Silvia.

"Di dalam ... ada sesuatu Ma," ucap Jack.

"Ih Papa, sesuatu apa?" tanya Silvia semakin takut.

"Papa tadi papa lihat ada orang pakai jubah hitam dan pakai topi," ucap Jack.

"Ah yang bener Pa? Jangan-jangan itu pembunuhnya Pa?" tanya Silvia.

"Bisa jadi Ma," ucap Jack.

"Ka ... kabuuuur!" seru Alena yang sudah tidak bisa menahan ketakutannya.

Mereka berlari menuju kamar Alena. Dari dalam kamar mereka mengintip ke kamar bibi. Menunggu sampai orang asing itu keluar. Namun tidak ada siapa-siapa yang keluar dari sana. Dan tiba-tiba saja ada yang menepuk punggung Silvia. Seketika tubuh Silvia membatu, tubuhnya gemetar, dan wajahnya sangat pucat. Ia berusaha melawan rasa takunya dan menoleh.

"Aaaaaa!"

"Aaaaa!" seru orang yang menupuk pundak Silvia.

"Ah Bibi bikin kaget aja," ketus Silvia.

"Ya nih Bi. Eh Bibi? Bukannya Bibi udah meninggal?" ucap Jack.

"Meninggal? Lah ini saya masih hidup Tuan," ucap Bibi.

"Bibi tolong jelaskan semua, kenapa di dapur ada pisau berlumur darah, ada tetesan darah menuju kamar Bibi, dan di kamar Bibi juga ada orang berpakaian hitam. Satu lagi, sejak kapan Bibi ada di sini?" tanya Jack sedikit tergesa-gesa.

"Oh itu. jadi begini Tuan. Tadi saya terbangun karena ada kucing masuk. Kucingnya lompat ke rak piring, panci berjatuhan. Saya pergi ke dapur, kucingnya masih ada di sana. Saya udah coba usir, eh kucingnya malah melawan. Ya udah saya ambil pisau saya lempar kucinya. Untungnya kena pas kepalanya, jadi berdarah. Saya kira sudah mati, eh kucingnya malah lari ke kamar saya. Kalau orang asing yang Tuan maksud, itu patung tuan, bukan orang. Saya ke kamar Non Alena, karena tadi saya dengar Non Alena berteriak," ucap Bibi.

"Oh jadi begitu ceritanya. Syukurlah kalau memang tidak ada pembunuh yang masuk ke rumah ini. Mari kita tidur lagi," ucap Jack.

"Alena tidur sama Papa ya," pinta Alena.

"Ya sayang," ucap Jack dengan nada terpaksa.

Mereka kembali ke kamar masing-masing dan melanjutkan tidur mereka. Berselang beberapa jam kemudian, matahari sudah kembali menyinari bumi. Kembali terdengar suara logam yang beradu di setiap dapur. Tampaknya bibi sudah bangun dan sedang mempersiapkan sarapan. Alena terbangun saat mendengar suara berisik di dapur. Tidak seperti biasanya, pagi ini bibi memasak seperti sedang berperang.

Alena keluar dari kamar dan pergi menemui bibi di dapur. Ia terkejut saat melihat bibi yang sedang memasak sayur dengan gerakan yang konyol. Bibi menari kegirangan sampai tak sadar kalau Alena sedang memperhatikannya. Gadis kecil itu tertawa kecil melihat tingkah konyol wanita paruh baya itu. Rasanya tidak wajar seorang ibu-ibu menari seperti anak kecil.

"Bibi ngapain?" tanya Alena terkekeh.

"Eh ada Non Alena. Bibi lagi masak sayur Non," ucap Bibi malu.

"Terus Bibi kenapa joget-joget?" tanya Alena penasaran.

"Bibi lagi senang banget Non, karena Bibi akan mendapatkan honor yang besar," ucap Bibi.

"Honor? Maksud Bibi honor apa ya? Bukanya Bibi baru gajian minggu lalu?" tanya Alena curiga.

"Maksud bibi, honor dari ibu-ibu komplek Non. Karena Bibi mencarikan pembantu untuk mereka, jadi Bibi dikasih honor," ucap Bibi.

"Oh gitu ya. Alena mau mandi dulu ya Bi," ucap Alena kemudian pergi ke kamarnya.

***

Di meja makan, Alena dan kedua orang tuanya sedang menikmati sarapan mereka. Tampak senyuman di setiap wajah mereka. Hal yang cukup baik untuk mengawali hari. Selesai sarapan, Alena bergegas pergi. gadis kecil itu terlihat buru-buru, seperti sedang mengejear sesuatu. Jack dan Silvia hanya geleng kepala melihat tingkah anak mereka. Alena menghampiri sopirnya yang sedang membersihkan mobil.

"Pak kita berangkat sekarang ya," ucap Alena.

"Tapi kan ini masih terlalu pagi Non," ucap Sopir.

"Nggak apa-apa Pak, ada hal yang harus Alena lakukan di sekolah," ucap Alena.

"Non mau ngapain di sekolah? Mau kerjakan PR ya?" tanya sopir.

"Em ... ya Pak," jawab Alena sedikit berbohong.

Alena segera naik ke mobil. Mobil melaju cukup cepat, karena Alena meminta agar ia bisa segera tiba di sekolah sebelum ada siswa yang tiba di sekolah. Deni hanya geleng kepala, seakan tak percaya akan tindakan Alena. Gadis kecil itu masih terbilang sangat muda, namun kematangan jiwa dan cara berpikirnya sangat luar biasa.

Tak butuh waktu lama, mereka tiba di depan sekolah. Alena mengedarkan pandanganya ke sekitar. Kemudian ia turun dan meminta agar Budi pulang. Gadis berseragam putih merah itu bersembunyi di balik sebuah pohon besar dekat dengan pos jaga sekolah. Tak lama, seorang pria denga pakaian serba hitam datang mengendarai sepeda motor, dan berhenti di seberang jalan. Pria itu sama persis dengan pria yang Alena lihat kemarin. Kecurigaan Alena semakin menjadi, ia sangat yakin bahwa pria itu ada maskud tersembunyi.

Beberapa siswa mulai berdatangan. Halaman sekolah sudah mulai diisi oleh anak-anak berseragam putih merah. Sebagain lagi sudah mulai memasuki ruangan kelas. Namun Alena masih memantau dari balik pohon itu. Ia melihat dengan jelas, saat pria berpakaian hitam itu tersenyum melihat beberapa anak yang memasuki sekolah. Beberapa menit kemudian, pria itu pergi. Alena keluar dari persembunyiannya dan masuk ke kelas.

Di dalam kelas, ia mencoba memikirkan apa tujuan pria itu datang ke sekolah setiap pagi dan siang hari. Dan anehnya lagi, pria itu selalu saja mengenakan pakaian dengan warna yang sama. Namun, meski terlihat aneh, tidak ada orang yang menaruh rasa curiga pada pria itu. Banyak orang berlalu lalang di jalanan, namun tak satupun yang melihat ke arahanya atau sekadar bertanya. Alena sangat yakin bahwa itu adalah manusia, dan siapapun pasti bisa melihatnya.

Di tengah lamunannya, tiba-tiba saja Bella datang dan mengejutkanya. Alena terkejut dan terperanjat di tempat duduknya.

"Ah kamu Bel, untung aku nggak pingsan tadi," ucap Alena.

"Abisnya kamu melamun sih," ucap Bella.

"Aku nggak melamun Bel. Aku lagi mikirin pria misterius di depan sekolah itu. Aku sangat yakin, kalau pria itu ada maksud terselubung," ucap Alena.

"Kamu masih kecil Alena, belum saatnya ikut campur untuk hal seperti itu. Kalau sampai orang itu tahu kalau kamu mengintai dia, bisa-bisa kamu yang dibunuh," ucap Bella.

"Ya juga sih Bel, tapi ...,"

"Nggak pakai tapi. Pokonya jangan terlalu memikirkan hal itu Alena," ucap Bella.

"Ya deh. Tapi kalau sampai nanti ada kabar kalau Anita tewas terbunuh, kamu harus bantu aku menyelidiki pria itu," ucap Alena.

"Ya nggak mungkinlah Alena, masa iya tiap hari ada siswa yang meninggal karena dibunuh, dan kenapa harus Anita coba?" tanya bella seakan tak percaya atas apa yang diucapkan oleh Alena.

"Kemarin, waktu aku mau pulang, aku lihat pria itu melirik ke arah Anita. Aku sudah peringatkan Anita supaya hati-hati," ucap Alena.

"Hem ... ya deh. Kalau yang kamu bilang bener soal Anita, aku akan bantu kamu. Tapi ... kalau ternyata hari ini Anita masuk sekolah, kamu harus berhenti melakukan penyelidikan konyol itu," ucap Bella.

Alena menyetujui ucapan Bella. Ia sangat yakin, bahwa Anita tidak akan masuk hari ini atau kapanpun. Ia sangat yakin bahwa Anita sudah dibunuh tadi malam oleh pria itu. 15 menit kemudian, Bu Tati masuk ke kelas dengan wajah pucat. Lebih pucat dari kemarin. Sesekali ia mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Wanita paruh baya itu duduk di kursi dan mengehela napas sejenak, barulah ia mulai berbicara.

"Anak-anak ... pagi ini kabar duka kembali menyelimuti sekolah kita. Baru saja ibu mendapatkan kabar, kalau teman kalian Anita telah tewas dibunuh tadi malam. Sama seperti Jems, Anita juga dibunuh bersama kedua orang tuanya, juga asisten rumah tangganya. Jasad mereka ditemukan di kamar mandi," ucap Bu Tati yang kembali menangis.

Seketika itu kelas menjadi sunyi. Tidak ada satupun siswa yang berbicara, semuanya mematung. Saling menatap namun tak bersuara. Rasanya semua itu seperti mimpi, pembunuhan itu terjadi secara beruntun dan sangat terencana. Tentu pembunuh itu sudah merencanakan ini sejak lama. Karena hingga kini, polisi belum bisa menemukan jejak pembunuh pada kasus-kasus sebelumnya.

Alena berbisik kecil pada Bella yang duduk di sebelahnya.

"Betul kan yang aku bilang. Ingat janji kamu, mulai sekarang kamu harus bantuin aku menyelidiki kasus pembunuhan itu dan juga pria yang ada di depan sekolah," ucap Alena lirih.

"Tapi aku takut Alena. Gimana kalau pembunuh itu tahu, dan kita yang jadi korban," ucap Bella.

"Cepat atau lambat, akan banyak korban berikutnya. Kita harus cepat mengungkap ini dan memberitahukan ke polisi," ucap Alena meyakinkan Bella.

"Terserah kamu aja deh, aku ikut aja," ucap Bella pasrah.

Alena mulai memikirkan rencana demi rencana yang akan mereka lakukan untuk menyelidiki kasus pembunuhan dan juga pria asing yang kerap kali datang ke sekolah. Tak butuh waktu lama, kepalanya sudah dibanjiri jutaan ide. Gadis mungil itu tersenyum saat ia mendapatkan sebuah rencana yang menurutnya sangat baik untuk diterapkan. Bella hanya geleng kepala melihat tingkah Alena.

"Nanti pulang sekolah kamu pulang ke rumah dulu, ganti pakaian. Terus kamu izin aja mau kerjakan PR di rumahku. Nanti kita sama-sama pergi ke rumah Jems," ucap Alena.

"Ya deh, nanti aku coba bilang ke mamaku. Semoga aja mamaku percaya," ucap Bella.

"Ok, aku tunggu kamu di rumahku ya," ucap Alena sembari tersenyum.

Sebenarnya, Bella tidak ingin ikut campur dalam hal ini. Karena jika dia membantu Alena, sama saja dia membahayakan dirinya sendiri. Namun dia sudah terlanjur berjanji, mau tak mau dia harus mengikuti semua rencana gila Alena. Namun tampaknya Alena begitu menikmati rencana penyelidikan yang sudah ia buat. Tak ada rasa takut yang tergambar di wajahnya.

***

Alena berdiri di depan pintu rumahnya. Sudah 30 menit ia menunggu Bella, namun belum ada tanda-tanda kalau Bella akan datang. Waktu terus berlalu hingga pukul 3 sore. Alena memutuskan untuk pergi sendirian. Ia merasa bahwa Bella tidak akan datang karena ibunya melarangnya keluar rumah, mengingat banyaknya kejadian yang terjadi. Alena membunuh semua rasa takut yang ada dalam dirinya. Kali ini ia sudah benar-benar bertekad untuk mengungkap kasus itu.

Risiko yang teramat besar untuk seorang anak, yang terlalu dalam mencampuri sebuah kasus. Ia bisa saja kehilangan nyawanya jika berusaha mengungkap kasus itu. Polisi saja tidak mampu mengungkap siapa pelaku pembunuhan itu, apalagi Alena yang hanya seorang anak kecil. Namun ia tidak memikirkan hal itu. Ia yakin bahwa kasus itu akan terungkap olehnya, dan polisi bisa segera menangkap pelakunya.

Alena pergi tanpa pamit pada bibi. Diam-diam ia pergi ke rumah Jems yang ada di Perumahan Cempaka. Namun saat ia tiba di gerbang perumahan, satpam yang berjaga di sana tidak memperbolehkannya masuk, karena gadis berkaos biru itu datang sendirian. Alena mencoba membujuk satpam itu dengan alasan dia harus mengerjakan tugas kelompok di rumah temanya. Karena merasa kasihan, satpam itu pun memperbolehkannya untuk masuk, dengan syarat, pukul 5 sore, Alena sudah keluar dari perumahan itu, karena polisi akan melakukan penyelidikan di rumah Jems pada pukul 5 sore.

Alena mengiyakan ucapan satpam itu. Dengan senyuman lebar, ia berlari menyusuri rumah-rumah bertingkat. Satu per satu rumah ia lewati. Sebenarnya ia tidak tahu pasti yang mana rumah Jems, namun akan sangat mudah untuk menemukan rumah yang dikelilingi oleh garis polisi. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya Alena tiba di sebuah rumah bertingkat dengan cat warna putih. Sekeliling rumah itu dipenuhi garis polisi.

Suasana di sekitar rumah itu sangat sepi. Karena setelah kejadian itu, banyak orang yang pindah dari perumahan itu, terutama tetangga Jems. Mereka takut hal serupa akan menimpa keluarga mereka. Alena melirik ke sekeliling rumah itu, tidak ada siapapun di sana. Ia memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah itu sebelum ada orang yang melihatnya. Gadis kecil itu memncoba masuk lewat pintu depan, namun pintu terkunci. Ia mencari jalan lain hingga ia tiba di belakang rumah. Namun semua pintu terkunci, begitu juga jendela. Tidak ada jalan untuk masuk ke dalam rumah itu.

Alena tidak mau menyerah dengan mudah. Ia mencari cara agar ia bisa masuk ke dalam dan melakukan penyelidikan. Ia sudah terlanjur masuk ke dalam perencanaan konyol ini, tidak baik jika penyelidikan tidak di tuntaskan. Alena mengelilingi bagian belakang rumah itu dan mencari segala sesuatu yang menurutnya sangat mencurigakan. Langkahnya terhenti saat ia menemukan sobekan pakaian berwarna hitam yang tersangkut di pagar belakang rumah. Sepertinya pembunuh itu melewati pagar belakang dan tanpa disengaja, pakaiannya tersangkut.

Satu bukti sudah ditemukan, namun ini bukanlah apa-apa. Masih banyak bukti yang harus ia kumpulkan untuk menemukan siapa pembunuhnya. Alena menyimpan sobekan kain itu di dalam tasnya. Kemudian ia melanjutkan penyelidikannya di area belakang rumah itu. Namun tidak ada hal mencurigakan lainya di sana. Akhirnya ia memutuskan untuk mencongkel jendela menggunakan sebuah besi tipis yang ia temukan di tumpukan sampah di belakang rumah itu.

Dengan sedikit bersusah payah, akhirnya jendela itu berhasil ia bongkar. Rasa penasarannya yang sudah memuncak membuatnya menjadi semakin kuat. Bahkan rasa takutnya kini sudah tidak ada lagi. Ia begitu pasrah jika tiba-tiba pembunuh itu datang dan merenggut nyawanya. Yang ia pikirkan hanyalah pembunuh itu harus segera ditangkap sebelum terlambat. Jika tidak, semua orang akan tewas di tangan pembunuh keji itu.

Alena berjalan menyusuri dapur. Ia melihat ke setiap sudut dan juga bawah meja. Namun tidak ada yang mencurigakan di area itu. Kemudian ia melangkah menuju ruang keluarga. Ada bercak darah di dekat sofa dan juga di depan pintu kamar. Sepertinya ada yang tewas di kamar dan ada yang tewas di ruang tamu. Itulah gambaran yang Alena dapatkan untuk saat ini. Gadis itu tertarik untuk masuk ke kamar yang di depanya ada bercak darah. Ia melangkah dan mendorong pintu kamar itu. Ternyata pintu kamarnya tidak terkunci, sehingga Alena bisa dengan bebas masuk.

Meja belajar yang dipenuhi buku-buku pelajaran dan juga ada banyak mainan yang tersusun di sebuah lemari kaca. Itu berarti, Jems di bunuh di kamar itu. Dan kedua orang tuanya tewas di ruang keluarga. Alena masih mencoba menebak bagaimana pembunuh itu melangsungkan aksinya.

"Jika pembunuh itu melenyapkan kedua orang tuanya di ruang keluarga, itu artinya orang tua Jems tidak sedang tidur. Kemungkinan mereka sedang menonton televisi. Tapi bagaimana bisa mereka tewas terbunuh? Dan mengapa darah ada di depan kamar Jems, dan bukan di dalam kamar? Melihat semua jejak ini, jems dan orang tuanya dibunuh dengan kondisi tidak tidur," ucap Alena lirih.

Rasa penasaran kian membayangi pikiranya. Adrenalinnya semakin terpacu untuk menyelidiki kasus itu. Namun saat ia hendak masuk ke kamar kedua, terdengar suara beberapa orang yang sedang berbicara di depan rumah. Alena melirik jam di tanganya, masih pukul 4 sore. Satpam itu berkata bahwa polisi akan datang pukul 5. Itu artinya ada segerombol orang yang datang ke rumah itu. Alena segera berlari keluar melewati pintu belakang. Kemudian ia memanjat pagar dan berlari ke rumah sebelah.

Dari balik tembok rumah itu, Alena mencoba mengintip siapa orang yang datang. Tampak beberpa pria mengenakan pakaian rapi layaknya orang kantoran. Mereka berbincang-bincang di depan rumah. Alena tidak bisa menebak siapa mereka, namun yang pasti mereka bukanlah orang sembarangan. Pasti mereka punya tugas dalam penyelidikan kasus ini. Gadis itu memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia takut Bibi akan mencarinya dan memberitahukan Jack kalau ia kabur dari rumah.


Terima kasih sudah mampir di karyaku yang penuh Typo 😂

Jangan lupa vote yah 😊😊😊
Oh ya, ini update besar-besaran loh!
Untuk bab ini, aku update 3k 😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro