Tidak terlalu buruk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sang fajar kembali menyapa para insan yang tertidur lelap setelah aktivitas yang melelahkan. Termasuk juga pasangan suami istri yang selalu romantis bagaikan sepasang kekasih yang baru berpacaran. Padahal nyatanya, mereka sudah punya anak. Entah itu alasan mengapa gadis kecil, Alena menjadi terabaikan.

Suatu kesalahan besar yang telah dilakukan oleh Jack dan juga Silvia. Namun, sepertinya mereka tidak menyadari hal itu. Mereka telah mabuk oleh keromantisan yang selalu terjalin apabila mereka duduk berdua di depan televisi. Dunia akan berubah menjadi istana pelangi yang indah. Tanpa ada siapa pun yang mengganggu.

Namun, Alena melihat itu seperti neraka dengan nyala api yang menyambar. Yang suatu saat bisa membakar habis jiwanya. Dan sekarang, hatinya sudah mulai terluka oleh api asmara kedua orangtuanya itu. Mungkin tak lama lagi, jiwanya akan hangus.

Silvia tersadar dari tidurnya. Mengucek matanya lalu melirik ke dinding. Sudah pukul enam. Ia bergegas ke dapur untuk memeriksa apakah asisten rumah tangganya sudah menyiapkan sarapan pagi mereka. Sementara Jack masih terlelap dengan wajah tak karuan. Sangat jelek, rambut acak-acakan dan yah, bantalnya basah membentuk sebuah benua.

"Alena! Alena! Bangun sayang!" seru Silvia memanggil Alena dari depan pintu kamarnya.

"Ya Ma!" seru Alena dari dalam kamar.

Kemudian Silvia kembali ke kamarnya untuk membangunkan Jack yang masih terlelap.

"Sayang, bangun dong. Udah jam enam lewat loh," ucap Silvia dengan manja.

"Ya sayang sebentar lagi," jawab Jack sembari meraih tangan Silvia.

Oh Tuhan, sungguh pasangan suami istri yang lebay. Di pagi hari seperti inipun mereka masih sempat bermesraan. Semenetara Alena tengah mandi dan bersiap berangkat ke sekolah.

Meski selalu dimanjakan oleh nenek, namun Alena juga dibimbing agar menjadi anak yang mandiri. Tidak selalu bergantung pada orang lain. Nenek juga pernah berkata kalau Alena akan sukses jika ia mau berusaha melakukan apapun itu, selagi dia mampu melakukannya. Rasa malas tidak boleh dipelihara.

Alena selalu mengingat nasihat dari nenek. Baginya nenek adalah segalanya, bahkan melebihi kedua orang tuanya. Nenek selalu bisa membuat Alena merasa nyaman dan selalu mengajari Alena tentang kehidupan. Memang Alena masih terlalu muda untuk hal itu, namun nenek tak ingin cucunya menjadi anak yang manja. Ditambah lagi Jack dan Silvia tidak akan mungkin melakukan hal yang demikian kepada Alena. Dengan semua pertimbangan itulah, nenek perlahan mengajari Alena.

Namun meski banyak nasihat yang nenek berikan, tetap saja Alena adalah anak kecil yang membutuhkan perhatian dan juga kasih sayang yang cukup. Nasihat nenek tidaklah cukup untuk mendewasakan Alena sebelum waktunya. Namun, situasi tidak berpihak pada Alena. Ia harus menerima kenyataan bahwa dia harus sendiri dan menjadi dewasa di usia yang masing sangat muda.

***

Semua sarapan telah tersaji di atas meja. Jack dan Silvia sudah duduk di meja makan dan tak lama Alena menyusul. Alena duduk tepat di depan Ayahnya. Ia tampak murung dan seakan ingin mengatakan sesuatu. Sesekali ia menatap Ibunya dan kemudian Ayahnya. Namun, kedua orang tuanya tampak cuek. Entah mereka tidak tahu atau purra-pura tidak tahu.

Alena melahap sarapannya dan segera pamit, kemudian pergi bersama sopir pribadinya. Ia memendam semua kejenuhan dalam pikirannya. Pikirnya tidak tepat jika harus mengutarakan itu di pagi hari. Orang tuanya akan stres dan menganggu pekerjaan mereka. Mungkin lain kali.

"Hai Alena!" seru seorang gadis kecil yang berlari menghampiri Alena.

"Hai juga Tiara!" ucap Alena riang.

"Kamu mau ke kelas kan? Ayok bareng sama aku aja," ajak Tiara.

"Ayok!" jawab Alena singkat.

Mereka berdua berjalan begitu riang. Menyusuri lorong sekolah dan sesekali tertawa juga menyapa teman-teman sekolah yang mereka lewati. Berbeda sekali dengan situasi saat Alena berada di rumah. Di sekolah ia begitu riang dan suka tertawa. Bercengkrama dengan teman-temanya.

Sementara di kantor, Jack mendapat masalah untuk sebuah proyek yang ia tangani. Ada data yang salah pada berkas yang telah ia kerjakan selama satu bulan terakhir. Sementara berkas itu akan ia bawa untuk presentasi besok di hadapan para pengusaha ternama. Ia merasa pusing dan sesekali memaki bawahanya.

"Kalian ini bisa kerja tidak! Untuk hal seperti ini saja kalian bisa lalai. Saya sudah bilang pada kalian, cek baik-baik berkas ini. Dan saya sudah beri kalian waktu satu minggu untuk memastikan. Lalu kenapa sekarang baru diketahui bahwa ada kesalahan data. Kalian mau saya dipecat!" bentak Jack pada beberapa bawahannya yang berdiri di hadapanya.

"Tidak Pak," jawab salah satu karyawan.

"Lalu, kenapa bisa seperti ini? Kalian tahu kan, besok saya akan presentasi, dan jika berkas ini belum beres, saya akan dipecat! Sekarang, kalian bereskan semua masalah ini!" bentak Jack dengan suara semakin keras.

"Baik Pak, akan kami perbaiki," jawab salah satu karyawan pria.

"Sekarang, keluar dari ruangan saya. Keluar!" kembali Jack membentak bawahanya.

Semua karywan itu tertunduk dan keluar dari ruangan Jack. Sesekali mereka mencibir.

"Ada apa dengan Pak Jack?"

"Ya, dia tidak seperti biasanya,"

"Sudah jangan bicara lagi, nanti Pak Jack dengar," ucap seorang pria menghentikan obrolan dua rekannya.

Gubrak!

Jack memukul keras meja kerjanya. Wajahnya memerah, sesekali ia menggaruk kepalanya. Kemudian berputar tidak jelas dan duduk. Kemudian kembali berdiri dan kembali berpuatar tak jelas. Hanya itu yang ia lakukan.

Situasi berbeda terjadi di ruang kerja Silvia. Ia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang WO. Pagi ini, ia tampak begitu bahagia atas proyek baru yang akan mereka tangani. Bagaimana tidak, proyek itu datang dari seorang pengusaha ternama yang meminta mereka untuk merancang acara pernikahan putera mereka. Tentu dengan biaya yang cukup fantastis.

Hal ini membuat semangat kerja Silvia meningkat drastis. Ia bekerja dengan cepat melebihi kecepatan fast and furious. Sesekali ia tersenyum dan membayangkan berapa banyak bonus yang akan ia terima jika proyek ini sukses.

"Aku bisa pergi ke Bali dan menginap beberapa hari, oh pasti menyenangkan," ucap Silvia di sela kesibukanya.

Rekan kerjanya hanya tersenyum dan geleng kepala melihat Silvia yang tersenyum lalu berbicara sendiri. Terlihat seperti orang yang galau karena putus cinta kemudian tertawa dan berjalan di sepanjang jalan raya. Namun ia tidak kehilangan kewarasanya, Silvia hanya terlalu bahagia.

***

Jack pulang dengan emosi yang belum mereda. Setibanya di rumah ia mengomel tak jelas kepada asisten rumah tangganya. Mulai dari debu di lantai, lampu teras yang tidak menyala, hingga drama korea yang tidak tayang malam itu. Emosinya menggebu-gebu hingga hal kecil pun menjadi besar.

Tak lama Silvia tiba di rumah. Proyek barunya, membuat dirinya sibuk di kantor sehingga ia pulang sedikit malam. Ia tersenyum bahagia dan sesekali menari bagaikan anak kecil yang mendapatkan hadiah.

"Sayang! I'm coming!" seru Silvia dengan suara manjanya.

Jack yang tengah duduk di kamar hanya diam saja. Ia masih belum bisa melenyapkan kekesalan itu dari pikiranya. Ia selalu saja teringat akan berkas itu. Hidupnya kini ada di tangan karyawan yang bertugas memperbaiki berkas itu. Jika sampai mereka lalai, tamatlah riwayat Jack.

Silvia terkejut melihat ekspresi Jack. Tak seperti biasanya, Jack yang biasanya riang dan romantis, malam ini tampak begitu murung. Jika malam sebelumnya Silvia dimanjakan, namun tidak malam ini. Sepertinya, Silvia haru menghabiskan malamnya bersama bantal atau boneka.

"Sayang, kok murung gitu sih? Ntar jadi jelek loh," rayu Silvia.

"Hem," ucap Jack.

"Sayang kenapa sih? Kok beda banget?" ucap Silvia sembari memeluk Jack.

"Jangan ganggu aku dulu, aku lagi banyak pikiran sayang," ucap Jack.

Silvia hanya diam lalu pergi meninggalkan Jack. Ia begitu memahami Jack, sehingga ia tak mau menambah pikiran Jack dengan sikap manjanya. Setidaknya hanya satu malam dia akan menyendiri. Setelah Jack selesai presentasi, maka mereka akan kembali pada kebiasaan alay mereka.

Alena yang telah selesai makan malam dan sudah menyelesaikan PR-nya. Ia duduk di kamar ditemani oleh boneka beruang yang setia menemaninya. Ia bercerita bagaimana ia balajar di sekolah, bagaimana ia bermain dengan teman-temanya. Sedikit menyedihkan, namun itulah kenyataannya.

"Alen, apakah kamu tahu? Tadi aku belajar matematika di sekolah. Tadi Bu Lastri memberikan soal, dan hanya aku yang bisa menjawab. Aku senang sekali karena Bu Lastri memujiku. Katanya aku anak yang pintar dan juga rajin," ucap Alena pada boneka beruang di hadapanya.

Namanya boneka, tentu tak bisa berbicara. Boneka itu hanya akan memandangi Alena. Hanya itu, tidak ada kata atau kalimat yang akan ia ucapkan. Alena hanya akan tersenyum dan memeluk boneka itu setelah ia bercerita. Ia merasa boneka itu sangat baik dalam hal mendengar semua ceritanya. Tidak sepeerti kedua orang tuanya yang selalu saja cuek apabila diajak bercerita.





jangan lupa vote dan komen yah 

jika berkenan silahkan follow dan share

terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro