꧁༺•November Rain•༻꧂

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia memang sederhana, tapi dia yang mampu membuatku meneteskan air mata karena kehilangan

***
The Last Wait by Galuch Fema

Happy reading, jangan lupa vote.

Kaca itu masih basah. Entah sudah berapa kali cerau air hujan itu turun. Rindi itu membuat sebagian orang menepi. Hanya beberapa gelintir orang yang terpaksa menyatu dengan linangan dari langit. Bulan begitu cepat berganti. November yang seharusnya indah, terasa begitu sepi dan  menyedihkan.

Kiran melirik kalender yang terpasang di dinding. Itulah kesibukan selama di rumah sakit. Ia menantikan titah dokter yang menyuruhnya untuk segera pulang. Entah berapa puluh pil yang harus dijejalkan ke mulut ketika dirinya cemas dan panik ketika hujan muncul. Segala terapi dijalani, tetapi tetap saja ia belum bisa mengontrol emosi ketika langit sudah berubah menjadi gelap.

Ruangan yang berdiameter sekitar tiga meter warna putih, lama-lama membuat Kiran jenuh. Detik yang berada pada jam seolah berjalan sangat lambat, bahkan seakan berhenti.

Tangan menjeremba sesuatu yang terbungkus kain sedikit lusuh berwarna merah hati. Ada rasa keraguan hendak membuka benda tersebut. Ia tidak mau memory dibangkitkan kembali kepada kenangan yang membuat dirinya menyerah pada air mata.

Benda itu terpaksa diletakkan kembali di atas nakas. Entah mengapa perawat tidak memberesi atau membuang benda itu. Selalu saja menjadi penghuni di atas nakas.

Apa sebenarnya isi di sana?

Akhirnya Kiran menyerah pada rasa penasaran. Sesuatu yang baru beberapa detik diletakan, pada akhirnya menyatu kembali di kedua tangannya.

Ia membuka dan menarik ujung kain yang membentuk sebuah simpul. Dengan pelan kain yang menjadi pembungkus itu terbuka menampakan benda pipih bersampul warna biru.

Kiran menatap langit-langit atap rumah sakit. Tujuan melakukan itu adalah menghalangi agar air mata tidak lagi jatuh secara sia-sia.

Aku tidak boleh menangis.

Jemari mengusap sampul karya buah tangan dan pikirannya. Sejauh apa pun untuk tidak memikirkan masa lalu, tetapi pada akhirnya bayang-bayang Adit kembali hadir. Ya, buku itu yang mengantarkan Kiran kepada preman depan swalayan. Laki-laki yang identik dengan topi warna hitam dengan hobi tawuran. Entah sudah berapa tusuk pisau menghiasi tubuh laki-laki itu.

Adit adalah laki-laki yang berani melepaskan segala yang dimiliki agar bisa dekat dengan Kiran.

After the Rain.

Suara pintu terbuka, membuat dua pasang bola mata menatap sosok yang sedang tersenyum ke arah Kiran.

"Assalamualaikum," sapa perempuan paruh baya sambil terus memberikan senyum hangat.

Waalaikumsalam, sahut Kiran dalam hati. Sampai detik ini, ia belum terbiasa berbicara panjang lebar. Bahkan salam pun hanya dijawab dalam hati. Sekalipun yang memberikan salam itu adalah wanita yang selalu merawatnya dari kecil sampai menikah.

Suara kursi ditarik membuat dua perempuan yang sudah dewasa berdekatan satu sama lain.

"Umi bawa tengkleng kambing kesukaan kamu."

Wanita paruh baya sibuk membuka kotak makan yang terbuat dari plastik. Aroma makanan menguar di ruangan tersebut. Sayangnya belum mampu meluluhkan perempuan yang terkenal dengan sifat pendiam itu.

"Makan, Nduk?" pinta Umi yang sudah bersiap menyuapkan makanan kepada mulut Kiran. Namun, gelengan lemah kepala Kiran meruntuhkan hati Umi.

Mata yang sudah terdapat keriput, mati-matian menahan air mata agar tidak jatuh. Selama ini, Umi hanya bisa memandangi Kiran yang tertidur pulas karena pengaruh obat penenang. Baru detik ini mereka bisa saling bertatap mata.

"Makan, Nduk?" pinta Umi sekali lagi.

"Kiran tidak lapar, Umi?"

Senyum mengembang di bibir yang sedari bergetar menahan kepedihan. Wanita itu sangat bahagia ketika anak yang tidak pernah tinggal di rahim akhirnya memanggil dengan sebutan itu.

"Apa kamu kangen Abah?"

Netra yang sedari tadi menatap embun di jendela akhirnya menatap wanita berkhimar panjang warna gelap.

"Iya."

Satu jawaban keluar dari mulut Kiran. Selebihnya ia kembali menunduk. Kesalahan dan penyesalan kembali hadir. Ia sangat paham penyebab Abah pergi menuju Sang Khalik.

"Abah sama seperti kamu. Beliau suka sekali dengan makanan tengkleng."

Keduanya terdiam menikmati keheningan di rumah sakit. Alif sendiri menjadi saksi bisu percakapan dua orang perempuan dewasa yang telah ditinggal pasangan masing-masing. Orang nomor satu itu hanya bersembunyi di balik pintu,  enggan bergabung.

"Sayangnya sekarang beliau sudah tidak bisa menikmati tengkleng masakan Umi."

Alif dan Umi tersentak kaget. Ia tidak menyangka Kiran akam berkata seperti itu.

Senyum kembali mengembang di bibir Umi. "Setidaknya Abah sekarang sudah tenang. Beliau juga pasti sangat bahagia ketika melihat putrinya yang manja selamat dari kecelakaan itu."

Bahagia? Entah di mana letak bahagia itu? Setelah kejadian itu, senyum Abah seketika melesap dan hirap entah ke mana.

"Ikhlas itu berat, Nduk? Umi saja masih belajar tentang ilmu ikhlas. Sifat ikhlas merupakan sifat di mana seseorang terima dengan kondisi apapun yang telah Allah berikan. Orang yang memiliki sifat ikhklas tidak akan pernah mengeluh dengan segala nikmat yang telah Allah berikan. Ingatlah satu ayat yang terdapat dalam Surat Al A'raf ayat 29."

قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ

Artinya: “Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku untuk berlaku adil. Dan hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap shalat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula.”

Kiran hanya terdiam. Satu ayat itu sangat menamparnya. Seharusnya ia belajar dari Umi. Beliau juga telah kehilangan Abah. Namun, Umi tetap tegar di saat penyakit kembali kambuh. Tidak seperti dirinya yang terlalu meratapi kehilangan dan kesedihan.

"Satu lagi ada ayat tentang kesabaran dan keikhlasan yaitu Al Furqan ayat 75."

اُولٰۤىِٕكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوْا وَيُلَقَّوْنَ فِيْهَا تَحِيَّةً وَّسَلٰمًا


Artinya: "Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka, dan di sana mereka akan disambut dengan penghormatan dan salam," (QS. Al-Furqan [25]: 75).

"Mari kita belajar bersama tentang ilmu ikhlas karena Allah sudah menyiapkan hadiah yang sangat spesial jika kita berhasil menerapkan ilmu ikhlas tidak hanya di bibir tetapi di hati juga tindakan. Apakah kamu mau?"

Perempuan yang masih duduk di brankar hanya bisa termenung. Jawaban yang ia ambil sangatlah berat. Ia sendiri belum bisa mengikhlaskan jika Adit benar-benar pergi. Entah mengapa di hatinya terbersit jika laki-laki itu masih ada dan hidup. Entah itu suatu kebenaran atau hanya setan yang bersisik agar tidak percaya dengan takdir.

"Insyaallah, Umi."

Wanita paruh baya tersebut tersenyum gembira. Sama halnya dengan Alif, hatinya sangat lega. Beban ribuan ton lepas dari pundaknya.

Gawai di kemeja saku bergetar. Alif buru-buru mengangkat ponsel tersebut karena berasal dari Dewi —istri Alif. Laki-laki itu khilaf saat pergi tidak berucap satu kata pun pada Dewi.

Ketika Alif tengah sibuk dengan hubungan telepon, ia melewatkan dua orang yang berjalan lurus menuju satu ruangan yang menjadi tempat Kiran.

Satu orang perempuan dan satu orang laki-laki. Siapa lagi kalau bukan Anton bersama mamahnya Adit. Kabar dari Anton membuat wanita dengan rambut tergerai itu langsung menemui Kiran.

Suara pintu dibuka agak kasar membuat pelukan dua orang itu terlepas. Mata Kiran terbelalak ketika menatap wanita itu. Paras dan sorot mata di sana sangat jelas mengingatkan pada sosok Adit.

"Ibu?" sapa Umi sangat terkejut. Ia tidak menyangka jika wanita itu akan datang saat Kiran baru saja sembuh dari pemulihan.

Tidak ada balasan dari seberang. Hanya derap langkah yang semakin dekat. Tidak hanya Umi yang gelisah, begitu pun dengan Kiran. Ia bergerak tidak jelas. Ia ingat betul bagaimana wanita itu mengabaikan saat di atas kapal. Kiran yang hendak bersalaman pun sempat ditampik bagian punggung tangan.

"Mamah?" sapa Kiran dengan cemas. Bagaimana pun juga beliau tetap mamah mertuanya meskipun Adit sudah tidak ada.

Umi memandang ke arah pintu. Seharusnya Alif ada di situ, tetapi nihil.

"Saya tidak pernah minta banyak sama kamu, kecuali kembalikan anak saya."

Satu kalimat lolos dari bibir mamah Adit, sukses membuat wajah Kiran memerah karena terkejut. Apalagi linangan dari kedua mata Mamah Adit mengisyaratkan kesedihan yang sama seperti Kiran rasakan.

"Allah lebih sayang Adit agar bisa istirahat dengan tenang," balas Kiran datar dan wajah tanpa ekspresi.

🍁Bersambung🍁

Terima kasih Teman Satu Atap untuk kejutan hari ini. Doa terbaik juga berbalik buat Teman-teman semua. Allah yang akan balas kebaikan semua.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro