The Last Word

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesekali aku berpikir untuk meninggalkanmu. Setiap kali kamu melihatku, mataku seperti hendak menghancurkan sesuatu. Tanganku tidak pernah berhenti meremas keringat di dalamnya hingga tanganku sekarang berwarna merah padam. Mungkin karena aku tidak suka padamu. Mungkin karena kamu yang selalu mengikutiku dalam diam dan memecah perhatianku yang fokus pada otakku sendiri untuk menemukan diriku sendiri di dalamnya, dan membiarkan kamu masuk bukanlah ide yang bagus pada pilihanku selama ini.

Mungkin masalah cinta tidak akan bekerja bagi beberapa gadis, dan melihatmu melakukan semua perhatian itu semakin membuatku tidak mampu bergerak ke arah yang mana kuingin tuju. Satu hal yang ingin aku lakukan padamu adalah membuat jarak seluas mungkin atau malah mendekatkan diri padamu agar kamu bisa melihat perasaan tidak sukaku padamu dengan lebih jelas. Kamu akan menolak itu secepat yang kubayangkan, dan percayalah kalau aku di sini bukan untuk meraih apa yang kamu simpan di dalam hatimu.

Bab 1

Saat itu mendung. Aku masih melihat wajahmu terpesona dalam diam. Mungkin itu adalah satu-satunya gaya yang paling aku suka darimu, sehingga mau tidak mau aku juga akan berhenti dan memberikan pandangan mata yang sama ke arahmu. Namun, ketika mataku melebar dan alisku serentak terangkat dengan dahi sedikit mengerut, begitu lama memandangmu, dan aku menggerakkan bola mataku dengan acuh ke samping kanan, dengan begitulah pandanganmu akan lepas dari permainan hipnotisku. Entah mengapa hampir setiap waktu kamu melihatku seperti itu. Apa yang sebenarnya kamu perhatikan dariku? Bahkan untuk orang asing yang tidak pernah mengajakmu berbicara, kamu masih mau melakukan upaya yang sama tanpa ada keinginan yang sama untuk menjauh dariku.

"Aku pikir dia akan memakan beberapa potong wortel di kulkas," kata Mama menggerutu di depan meja makan yang sudah dihidangi makan siang yang lezat. Ketika Eli melihatku sedikit ke arahku dengan tatapan ketakutan, aku pun lekas menenunjukkan wajah khawatirku dengan tetap tersenyum kecil. Dia mungkin akan merasa begitu waspada karena ini adalah saat yang paling menegangkan untuk melayani keluarga dictator tanpa seorang ibu yang sempat bekerja di sini. Eli memberikanku satu gelas jus tomat tanpa susu, ya, persis seperti yang kupesan.

"Kalau Mama akan terus menggerutu seperti ini, setidaknya Mama tahu kalau kepalaku tidak akan hanya pecah karena obrolan yang tidak masuk akal ini. Aku akan berangkat kerja lagi nanti siang dan Eli akan tetap bersama Mama. Aku tidak akan pernah menuduh Eli menghabiskan persediaan wortel. Yah, entah itu sebiji atau dua biji, tetapi apakah Mama tega mengatakan itu? Dia bekerja untuk kita, Ma. Kita harus menghargainya. Ini adalah upaya terakhirku untuk memberikan rasa aman kepada Mama, karena masih ada Eli yang menggantikanku saat aku bekerja. Jauh dari Mama." Mama menjadi sangat pucat dan masam. Terasa air matanya akan jatuh karena aku mengatakannya. Yah, benar sekali, karena aku sekarang akan merasa sangat menyesal telah mengatakannya pada Mama.

"Ya, Mama tahu kamu bekerja. Sangat sibuk. Sangat jauh dari Mama. Mama juga sudah sangat tua," kata Mama. Persis di sana beliau akhirnya menangis. "Mama hanya ingin kamu bersama Mama."

"Ya, itu mungkin saja, Ma. Hingga akhir tahun, setelah kontrak kerjaku diperpanjang, aku akan mencoba untuk membawa Mama ke apartemenku." Aku melihat ke arah Eli. "Mama akan tetap bersama Eli di sana, tetapi setidaknya Mama masih bisa mengunjungiku, karena jarak apartemen dengan kantorku lumayan dekat."

Setelah makan siang. Mama menyiapkanku baju yang beliau jahitkan padaku. Aku begitu terharu. Aku pun memeluk tubuh Mama dan beliau pun ikut menangis. Ma, Salsa sayang Mama, bisikku pada Mama.
Beliau pun menemaniku hingga ke gerbang hingga aku naik ke atas mobil. Eli menunggu di gerbang, masih menggenggam gembok di tangannya. Tatapannya masih ketakutan.

***

Aku pun pergi. Kusadari, semakin jauh. Aku semakin jauh dari Mama, semakin jauh dari kampung halamanku, dan meninggalkan Mama terasa sangatlah berat. Aku menyetir mobilku dan memarkirkannya di bahu jalan. Aku masuk ke dalam apartemen dan menyalakan air panas. Setidaknya banyak hal yang akan dilakukan setelah pertemuan panjang yang melelahkan di kantor siang tadi.

Hari menggelap, burung di atas pohon mahoni yang sengaja ditanami di tengah bahu jalan mendengkur, dan aku sadari sudah hampir empat jam aku berada di depan monitor, mencoret-coret berkas yang salah dan mesti direvisi secepatnya, dan menelpon nomor mitra yang meminta bantuan pengurusan berkas. "Cek telah dikirim," kata salah satu mitra kerjaku di kantor. Entah bagaimanapun aku mengartikannya, rasanya seperti sedang mendengar lolucon garing tengah malam.
Mataku tidak pernah berhenti terkantuk-kantuk, namun batinku tetap tegas menyarankanku untuk tetap berada di tempat ini. Sungguh gelap, dan hanya sinar monitor yang menyala di tengah kota yang sudah padam dan terlelap. Merasa sendiri, tentu saja. Aku selalu merasa sendiri, dan bahkan menemukan seseorang yang akan menemaniku mengobrol sepanjang malam adalah apa yang aku sangat butuhkan. Namun, aku belum menemukan siapapun. Aku hanya melihat mata sibuk ini tidak pernah berhenti bekerja, menjatuhkan pandangannya pada kesempatan mencoret, mengganti, hingga membuang berkas yang tidak dibutuhkan sepanjang hari dan sepanjang malam.

"Baik," tegasku. "Untuk pembayaran revisi berkas atas nama Tiffany Abram sudah dikirim ke alamat fax yang bersangkutan. Nanti admin di Ruang 038 akan menindak lebih lanjut mengenai diterimanya Tiffany sebagai bagian dari Humas Informatika. Terima kasih."


Aku menghentikan pembicaraan dengan setiap orang yang juga sedang bekerja di balik suara telpon hingga detik ini. Aku mematikan laptopku, menarik selimut, lalu tidur. Sungguh melelahkan. Leherku terasa sangat keras dan sakit sekali. Mungkin di bagian punggung juga merasakan yang sama. Aku benar-benar merasa tidak aman. Tubuhku sakit-sakit. Hingga pagi menyingsing, aku masih diam di atas ranjang, menatap dengan samar sinar matahari yang memekakkan mata. Tubuhku masih terasa sakit, dan aku seperti ingin menelpon Mama. Namun, sebelum tanganku yang bergetar meraih telpon di atas meja, seseorang mengetuk pintu apartemenku. Namun, saat ini aku tidak bisa bergerak.

"Ah, siapa itu?" tanyaku kemudian dengan lebih meninggikan suaraku. Sekarang leherku. Kemudian rahangku yang merasa sangat nyeri. Tidak ada suara, tetapi sepertinya masih menunggu. Dengan bergerak sedikit ke arah ujung ranjang, aku memaksakan tubuhku untuk bangkit. Aku berpura-pura tidak merasakan apa pun ketika berjalan ke arah pintu, dan lumayan berhasil, walau masih sangat-sangat sakit.

Aku membukakan pintu. Ya, tentu saja. Seorang pelayan pria apartemen mencariku, dan mengatakan kalau seseorang di ruang lobi sedang menungguku. Pintar sekali! Sekarang aku harus turun ke lantai bawah, menggerakkan kakiku yang menggetarkan seluruh tubuhku saat berjalan, dan buruk sekali karena aku masih menggunakan baju tidur lusuh. "Oke," kataku setuju, walaupun aku begitu menolak permintaan untuk menemui siapa yang dimaksud pria ini.

Aku menutup pintu, sedikit memoles diri. Aku pun turun dengan kardigan. "Oh, tentu saja," kataku kepada Daniel yang ternyata ingin menemuiku pagi sekali ini. Aku tersenyum, melihat ke arahnya yang terlihat sedikit gelisah. "Kamu menggangguku, Daniel. Ada apa?" candaku akhirnya padanya, dan dia pun tertawa kecil. Dia tertawa, ya, tetapi terlihat tidak nyaman sekali karena mungkin dia tidak menyukai kata 'mengganggu' yang kulontarkan. Ya, mungkin.

"Kamu tidak seperti biasanya, dan eh, ya, tunggu sebentar. Aku akan mengambil berkas untukmu yang masih tertinggal di atas." Aku bangkit dari kursi, tetapi dia sama sekali tidak melontarkan satu patah kata pun padaku. Dia hanya terlihat semakin gelisah. Aku terdiam sejenak, menunggu dia mengatakan sesuatu, dan dia benar-benar terlihat sangat aneh.

"Aku benar-benar tidak tahu kamu akan datang," jelasku heran. "Kenapa tidak menelpon sebelum ke mari. Ya, setidaknya aku bisa berkemas dan pergi ke kantor bersamamu."

"Aku hanya ingin menemuimu."

Aku terdiam dan tercengang tidak menyangka. Dia mengeluarkan padaku sebuah cincin dari saku celananya.

"Aku hanya ingin mengembalikan ini," katanya padaku. Aku semakin tidak mengerti.

"Ini tanda persahabatan kita. Kenapa harus dikembalikan," kataku dan dia menahanku dengan memotong pembicaraan kami dengan bergerak cepat, berdiri tepat di depanku. Hatiku tiba-tiba berdetak sangat kencang. "Daniel, aku benar-benar tidak mengerti!" Suaraku terdengar bergetar. "Kamu sangat aneh!" teriakku padanya. Semua orang di apartemen memperhatikan kami dan aku benar-benar sangat takut.

"Sal, apakah kamu mengira dengan memberikan cincin kepadaku tidak akan menorehkan harapanku padamu selama ini. Kita melalui ini berdua dengan cincin sebagai sebuah harapan dan ikatan, aku kian menganggap ini bukan sekadar hubungan pertemanan. Sampai kapan sih, Sal? Kamu selalu memberikan harapan padaku, tetapi kamu bahkan tidak sadar telah membuatkannya untukku? Apakah aku bodoh di matamu, Sal? Apakah aku sebodoh itu? Apakah akan buruk bila dua orang sahabat jatuh cinta dan mungkin bisa memiliki cita-cita yang sama?"

Aku memotong perkataannya. Dia terlihat sangat-sangat kecewa. Satu kata lagi, dia akan pergi.

Benarlah. Aku sangat ragu. Namun, aku seperti harus mengatakannya. "Apa kamu sudah gila?" tanyaku dengan suara yang kecil yang bergetar. Sungguh emosional. Aku sungguh ragu telah mengatakannya. Dia pun mundur dan meninggalkanku.

Aku kembali ke kamarku, menutup pintu, dan bersiap pergi ke kantor. Setidaknya punggungku terasa tidak begitu nyeri. Aku mendesah, melihat ke luar jendela mobil, dan kebetulan melihat ke arah sepasang kekasih dengan tawa yang menggiring mereka menemani kedua anjing peliharaannya. Ya, awalnya aku mengira mereka dua orang sahabat yang memiliki kecintaan yang sama pada hewan, ternyata setelah Daniel menyadarkanku dengan perkataannya yang konyol itu, aku jadi berpikir kalau setiap ada seorang pria dan wanita, berjalan bersama, aku akan berpikir mereka adalah pasangan kekasih. Apakah aku sekonyol itu?

***

Setelah seminggu bekerja, aku pun pulang ke rumah. Di malam hari aku mengetuk kamar Mama, dan Mama tersenyum, menyambutku masuk. Aku segera memeluk Mama. Rasa galau di hatiku tidak pernah berhenti menakutiku sepanjang hari. Aku pun menceritakannya pada beliau, dan segera beliau pun terkejut bahagia. Beliau menggodaku.

"Jangan bilang kalau dia adalah Daniel," kata beliau bertanya dengan wajah yang dibuat genit, dan ini yang paling kutakutkan. Aku mendesah. Ya, setidaknya sekarang jadi semakin berat.

"Mama," kataku dengan pelan, dan aku pun bersembunyi di dalam pelukan Mama. Entah mengapa air mataku terasa membasahi pipiku. Namun, beliau malah tertawa riang dan mencium jidatku lembut. Aku merasa sangat takut. Suaraku semakin mengecil. Semakin serak.

"Jatuh cinta adalah sesuatu yang murni. Bila kamu tidak bisa mengontrolnya di saat kamu menyadari ada getaran itu, itulah bentuk kebenaran dan kejujuran yang selama ini kalian sembunyikan. Syukur kalau Daniel ingin berbagi perasaan yang selama ini dia simpan sendiri, ya kan? Kenapa mesti takut?"

Malam pun pecah hingga ke setiap penjuru ruangan bersama suara kami yang mengecil diiringi kesunyian. Hanya dengan gelapnya malam, dinginnya sendu angin yang berembus keluar masuk dengan aktif dari luar membuat suasana hatiku tenang walau masih sangat gelisah.

"Namun, Mama. Aku akan pastikan kalau cintaku pada Allah, Rasul, dan Mama tidak akan tergantikan dengan sesuatu yang tidak pasti. Lagipula, jodoh tidak akan ke mana. Dia akan datang."

"Meskipun kamu menolak Daniel untuk membuktikan bahwa jodoh itu ada dan kemungkinan sudah datang?" potong Mama. Belau masih tersenyum ke arahku. Aku benar-benar tidak nyaman dengan pertanyaan ini. Mama pun kembali menciumku lembut. "Bagaimana jika Dainel dan kamu membawa Mama pergi?" lanjut beliau dengan tenang. "Mama ingin tinggal bersama kalian supaya Mama tidak kesepian. Bahkan ini adalah mimpi Mama untuk merawat cucu Mama dan tetap tinggal bersama anak Mama berserta suaminya. Setidaknya itu akan jadi kebahagiaan Mama untuk terakhir kali sebelum Mama meninggal."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro