[-20]. Arville dan Keheningan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arville bingung, sangat. Dia tidak tahu mengapa tiba-tiba saja Celine tidak datang ke lantai tiga selama dua hari berturut-turut. Kemarin, dia pikir gadis itu terlampau sibuk sampai Celine lupa mendatangi lantai tiga. Tapi hal yang sama terjadi kembali hari ini.

Dia mencoba mengingat-ngingat kejadian hari kamis kemarin, sebelum dia meminta izin sehari untuk tidak masuk sekolah hari itu. Setahunya dia tidak berbuat salah kepada Celine. Mereka bahkan sempat mengucapkan selamat tinggal saat Arville pulang hari itu.

Lalu? Apa yang membuat Celine marah?

Setahunya hari jumat dia tidak masuk sekolah dan hari sabtu, dia sama sekali tidak bertemu Celine karena itu adalah hari libur, begitupun saat hari minggu. Mereka juga tak saling berkomunikasi meskipun sudah bertukar kontak.

Lalu, mengapa Celine bisa marah?

Tapi tunggu, darimana kau mendapat asumsi bahwa dia marah? Entahlah, hanya perasaan Arville. Arville jelas-jelas merasakan 'penghindaran' yang dilakukan Celine terang-terangan.

Apa jangan-jangan karena pertemanan mereka diketahui oleh dua sahabatnya itu? Arville kira itu bukan sesuatu yang salah. Mereka hanya berteman dan dia tidak pernah merasa sekalipun merugikan Celine.

Lalu ada apa?

Arville tidak berani terang-terangan datang ke kelasnya dan mempertanyakan hal itu karena takut Celine tersinggung. Atau jangan-jangan Celine memang tidak mau memperkenalkan Arville sebagai temannya?

Arville tidak tahu.

"Ville, habis sakit kok melamun mulu?" Tegur Vino menghampiri Arville yang tengah duduk menonton permainan futsal mereka. Keadaan fisik Arville masih kurang sehat, yang membuat Arville terpaksa hanya menonton dari kejauhan saja hari ini. "Bosan ya, nonton aja?" Tanya Vino sedikit perihatin. "Mau nggak, gue anterin pulang?"

Arville buru-buru menolak. "Eh, enggak usah. Lo main aja. Gue udah ada teman yang nganterin gue pulang kok." Arville bangkit dari duduknya. "Gue duluan yaa."

Vino memperhatikan Arville berjalan menjauhinya sampai tubuhnya tak lagi terlihat. Ada sedikit rasa simpati kepada temannya itulah, yang mendorongnya untuk mengirimkan sejumlah catatan dan jadwal pelajaran baru untuknya kemarin jumat.

Tak lama kemudian Vino berbalik kembali melanjutkan permainan setelah adanya panggilan-panggilan dari teman-teman teamnya.

Arville tidak langsung berjalan ke gerbang yang sebenarnya sudah dekat jaraknya dengannya. Arville lebih dulu mengintip keberadaan di taman belakang, mencari-cari keberadaan gadis itu.

Lagi-lagi Celine meneliti tanaman meskipun dia sudah bukan lagi anggota pengurus kebun. Arville sudah mengingatkannya, tapi Celine tak peduli. Sebenarnya Celine mulai mengukur tinggi tanaman yang sudah sampai seperutnya itu.

Saat Arville berjalan mendekat, Celine yang sudah tahu bahwa Arville kini ada dibelakangnya terdiam dan kegiatan yang dilakukannya berhenti begitu saja. Kepalanya berbalik mau tak mau.

"Hai?"

Celine menatapnya sedatar mungkin, lalu kembali berbalik mengerjakan tugasnya kembali. Arville masih berdiri di belakang gadis itu, memperhatikan kegiatan gadis itu dari belakang.

"Kenapa kemari?" Tanya Celine dingin.

Arville terdengar tertawa pelan, "Aku menunggumu, berapa lama lagi kamu akan selesai?"

"Apa kamu berniat merepotkanku?"

"Tidak, aku akan mengantarmu pulang." Balas Arville mengatakan tujuannya datang. "Aku tidak akan merepotkanmu."

Hati Celine terasa teriris-iris juga mendengar penuturan Arville. Salahnya menerima uluran tangan Arville setahun lewat delapan bulan silam. Dia memang memilih manusia beraura baik, namun dia tidak pernah menyangka dia sudah memilih manusia sebaik Arville.

Bagaimana mungkin Arville masih baik pada Celine yang sedaritadi membalas perkataannya dengan kata-kata yang kasar? Ingin sekali Celine memakinya karena dia sebaik itu.

"Tidak perlu," Balas Celine judes. "Kamu tidak perlu repot-repot. Jangan menambah bebanmu dengan mengantarku pulang, karena aku tidak mau menjadi beban."

Kening Arville mengerut bingung. "Tapi aku tidak menganggapmu beban."

"Apa kamu datang kemari hanya untuk mengatakan itu?" Tanya Celine terdengar tidak suka. "Kamu mengangguku, tahu?"

Arville tidak mampu berkata apa-apa. Kini dia makin yakin bahwa Celine memang marah kepadanya. Meskipun dia tidak tahu dimana kesalahannya.

"Maaf," Ucapnya pelan.

Hati Celine sudah terpotong kecil-kecil jika dideskripsikan dengan gambaran. Celine memang jahat, membiarkan orang meminta maaf atas kesalahan yang bahkan tak pernah dibuatnya.

"Buat apa kamu minta maaf? Mending kamu pulang saja, deh."

"Tapi ...," Arville menatap ragu ke arah kerumunan lelaki yang juga bertugas sebagai pengurus kebun. "Ugh, bisa aku disini saja menemanimu sampai selesai? Aku tidak akan menganggumu atau mengajakmu bicara. Aku janji."

Celine benar-benar tidak punya pilihan lain selain mendiamkannya. Kalau saja Celine punya kekuatan lebih, dirinya pasti tidak akan semenderita ini.

Mengapa Celine bisa menderita karena Arville? Arville bahkan tidak perlu bersusah payah menyentuhnya untuk melakukannya.

Bagaimana bisa?

Apa Arville punya kekuatan untuk menebar kesakitan dan penderitaan kepada semua orang? Dan disaat bersamaan dia juga menebar kebahagiaan dan suka cita?

Bagaimana bisa seorang Arville—seorang manusia sepertinya bisa melakukan hal sehebat itu? Hal yang bahkan seorang malaikat hebatpun tidak bisa melakukannya. Bagaimana bisa?

Celine sebenarnya senang dengan kata-kata yang dilontarkan Arville, dia juga lega karena Arville tidak membahas soal dirinya dalam kamar lelaki itu, dengan sayap masih ada dibelakang punggungnya. Tapi itulah yang membuatnya menghindarinya mati-matian sejak kemarin.

Celine tidak mau Arville sampai tahu dan ingatannya dihapus begitu saja. Celine tidak mau.

Disepanjang penelitiannya, Celine tidak bisa berkonsentrasi dengan baik. Apalagi saat matahari yang sudah hampir tenggelam di barat, membuat bayangan Arville memanjang dari belakang sampai melewati kepalanya.

Hanya dengan melihat bayangannya, Celine bisa memastikan bahwa Arville masih berada disana, menunggunya. Hanya dengan tak merasakan kehangatan matahari, Celine tahu bahwa Arville melindunginya dari belakang.

Arville sendiri, dia tidak perlu melindungi gadis itu di depannya. Melindunginya hanya dengan melihat rambut dan punggungnya saja sudah lebih dari cukup. Melihat rambut dan punggungnya berarti—Celine masih berada disana.

Meski Arville mulai menyadari bahwa firasatnya benar-benar akurat—mereka semakin jauh.

Arville memang khawatir jika saja Daniel yang terkenal nekad itu tiba-tiba kembali menganggu Celine dan mempermainkan Celine. Jangan sampai, karena Arville tahu pasti bagaimana teman-temannya yang sekelas dengannya galau berat karena lelaki itu.

Mereka masih diam, bahkan saat Celine sudah menyimpan alat-alat tulisnya dan mereka sudah berjalan berdampingan sampai di depan gerbang. Keduanya masih terdiam. Arville yang sedikit ragu untuk membuka pembicaraan dan Celine yang hanya diam.

Bukannya Celine tak mengharapkan obrolan, sangat ingin malah. Bagaimanapun juga mereka sudah tidak mengobrol hampir empat hari lamanya. Celine pastilah sedikit merindukan pembicaraan, meskipun sampai matipun dia tak akan mengakuinya di depan lelaki itu.

Tapi ya, Celine memang merindukannya.

Dan begitulah, Arville benar-benar mengantarnya pulang sampai persimpangan rumah. Tanpa berkata ..., apapun.

*

Kali ini Dyne yang kebingungan setengah mati.

Entah sudah berapa hari ini Dyne mendapati kakaknya labil tingkat dewa. Dia masih ingat saat hari jumat dimana kakaknya sibuk tak menentu ingin ke rumah temannya, lalu begitu pulang nyawa kakaknya seolah sudah menghilang separuh. Kakaknya diam seribu bahasa dan sama sekali tidak mengobrol dengannya pada malam hari.

Di hari sabtu dan minggu, semuanya kembali seperti semula. Kakaknya kembali normal dengan segala kebiasaannya di weekend—pergi ke dunia malaikat dan membantu Ibu. Lalu pulang dengan wajah murung kusut layaknya pakaian yang tak disetrika berbulan-bulan.

Seninnya, kakaknya masih murung dan sekarang makin parah saja begitu pulang sekolah. Dyne tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya kepada kakaknya.

"Cel, ada apa sih?" Tanyanya.

Namun Kakaknya itu masih saja diam, meskipun matanya sudah menatap ke arahnya, namun isi di dalam pandangan itu benar-benar kosong.

"Cel!"

"Nggakpapa," balasnya pendek.

Dyne terus memperhatikan kakaknya yang duduk diam di tepi ranjang dan menghela nafas pendek.

"Kamu tahu nggak sih, Dyne? Minggu kemarin, Ibu Florence negur aku, tahu."

Mata Dyne sontak terbelalak kaget. "Ibu Florence?! Astaga, Cel. Kamu ngapain sampai ditegur sama dia?! Yaampun ..., terus Ibu gimana?"

Celine menggeleng, "Ibu nggak tahu. Ibu Florence tiba-tiba muncul di depanku dan langsung menyampaikan pesan yang aku nggak tahu maksudnya ...,"

"Dia bilang apa?" Tanya Dyne nampak ingin tahu.

Celine terdiam sejenak, lalu menghela nafasnya. "Percuma aku ngomong sama anak kecil kayak kamu. Aku saja nggak ngerti, apalagi kamu." Cibirnya yang membuat Dyne kesal setengah mati dan melempar bantalnya keras-keras ke Celine.

Sebenarnya wajar saja jika Dyne penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Ibu Florence. Ibu Florence adalah malaikat yang paling dihormati oleh seluruh malaikat di semesta. Ibu Florence memiliki wibawa dan kebijaksanaan yang sangat tinggi, membuat siapapun akan membungkuk hormat begitu melihatnya.

Ibu Florence masuk di bagian malaikat keseimbangan, yang orang-orangnya hanya tiga orang ditambah dirinya. Dua orang lainnya adalah Ibu Wrestene dan Bapak Glanord. Malaikat keseimbangan adalah malaikat yang menjaga keseimbangan seluruh dunia. Satu saja hal menjadi tidak seimbang, akan berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan.

Hal yang dipikirkan Dyne pastilah—mengapa orang seagung Ibu Florence mau repot-repot menegur kesalahan Celine?

Celine tidak tahu. Dia hanya terus memikirkan kalimat itu terus menerus. Kalimat yang entah mengapa membuatnya yakin bahwa hal itu berhubungan erat dengan Arville.

"Celine, Kuharap kamu tidak tertipu dengan keindahan fana yang ada di bumi. Kamu masih begitu muda, sayang. Mungkin kamu masih belum bisa membedakan mana yang pantas dan tidak untuk dilakukan. Tapi semuanya belum terlambat, meski kamu sudah berjalan sejauh ini. Kamu masih bisa melangkah mundur dan mengulang. Tidak ada kata terlambat, sayang. Jika kamu mendengarkanku dengan seksama, semuanya akan baik-baik saja."

Celine baru saja hendak melakukan nasihat Ibu Florence, dia sudah bertekad untuk tidak mengunjungi Arville meskipun dia tidak tahu apa kesalahan yang telah dilakukannya.

Lalu, jika kesalahannya adalah Arville, apa yang harus dilakukannya?

Dia memilih menjauh dari Arville meskipun dia tahu bahwa itu adalah hal yang sulit. Dirinya sudah terlanjur begitu sakit. Celine dapat merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Perasaan yang kosong saat dia tidak bertemu dengan Arville—meski hanya beberapa hari.

Dalam buku emosi manusia, emosi itu dinamakan rasa kesepian.

Aneh. Saat SD dulu Celine tidak pernah berteman dengan siapapun. Seharusnya dia bisa mengatasi rasa kesepian yang melandanya. Seharusnya itu bisa diatasinya dengan mudah. Namun dia menyadari bahwa dirinya tidak mampu saat Arville menyapanya tadi.

Hatinya menghangat, dirinya senang. Ternyata hatinya memang—menunggu sapaan Arville.

Yang hanya Celine bisa lakukan sekarang adalah, membuktikan bahwa Arville bukanlah kesalahan. Tapi, entah mengapa Celine punya firasat buruk yang lain. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk menghentikan perbuatannya.

Sedangkan Dyne, merasa curiga. Ibu Florence tidak mungkin menegur malaikat yang akan melakukan kesalahan.

Kecuali ..., jika kesalahan itu akan menjadi kesalahan yang besar.

***TBC***

3 Agustus 2016, Rabu.

A.N

To met you were my mistake, but not meet you will be my greatest regret.


CINDYANA.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro