[-26]. Arville dan Kesamaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arville menerjap saat dirinya tak sengaja melihat data siswa-siswi di angkatannya. Kalau saja dia tidak dipanggil oleh staff admin sekolah, mungkin saja dia tidak akan melihat hal tadi. Pikirannya melayang, memikirkan apa yang harus dilakukannya. Tak dipedulikannya salah satu admin yang pernah bercekcok padanya tahun lalu itu, tengah menatapnya dengan tatapan tidak senang.

"Arville," Staff admin yang dikenalnya sebagai Pak Aditya itu pun menegurnya. "Kemarin Bapak melihatmu."

Kini, pikiran Arville kembali ke raganya. Keningnya mengernyit dan alisnya menekuk bingung. "Iya, saya kemarin juga melihat Bapak di sekolah. Memangnya kenapa?"

Pak Aditya menghela nafasnya. "Kemarin Bapak melihatmu turun di jembatan yang ada dekat taman itu. Bapak yakin kamu tahu betapa rapuh dan bahayanya disana."

Arville termanggut mengerti. "Ooh, sore kemarin. Iya Pak, saya dan bahkan seluruh penduduk kota tahu tentang rapuhnya jembatan itu, Pak."

"Lantas, mengapa kamu turun?"

Arville mengusap tengkuknya dengan pelan. Ada sedikit rasa ragu untuk menceritakan hal yang sebenarnya terjadi kemarin sore. Apalagi, Arville tahu kalau Pak Aditya mungkin adalah guru yang akan menentang apa yang diperbuatnya kemarin.

"Saya punya alasan, Pak. Saya bakal cerita, tapi Bapak janji dulu jangan marah ya?"

Pak Aditya akhirnya mengangguk juga, setelah mencoba menerka-nerka tentang apa yang terjadi. "Iya, Bapak janji."

"Jadi ...," Arville menjeda sejenak dengan ragu sebelum akhirnya dia melanjutkannya kembali. "Kemarin itu saya melihat ada mobil yang berhenti dekat jembatan itu, terus secara kebetulan juga saya melihat seseorang melempar se kantong plastik ke sungai itu-"

"Jangan bilang kamu turun hanya untuk mengambil sampah dalam plastik itu." potong Pak Aditya dengan sedikit yakin.

"Iya, Pak. Saya memang turun untuk menaikannya, tapi isinya bukan sampah, Pak. Isinya anak-anak kucing yang baru lahir." Terangnya. "Sekarang kucingnya ada di rumah saya semua Pak. Jumlahnya ada lima, Bapak mau satu?"

Pak Aditya menggeleng enggan. Sungguh, dia sangat bingung dengan pemikiran murid di depannya ini. Sejak Arville SD, Pak Aditya sering memergokinya melakukan hal-hal seperti itu. Mulai dari memanjat pohon hanya untuk mengembalikan sarang ke atas sana atau mengubur jasad tikus yang tak sengaja ditabrak oleh pengemudi jalan malam-malam atau berlari bersama anjing disamping sekolah yang garangnya minta ampun—dan sepertinya sudah jinak kepada Arville.

Tapi semenjak SMP, Arville makin nekad saja. Ini bukan yang pertama kalinya Pak Aditya menegurnya karena melakukan hal itu lagi. Beberapa bulan yang lalu, dia mendengar kabar bahwa Arville dengan sengajanya melepaskan katak-katak yang akan disembelih untuk praktek biologi, membuat seisi kelas heboh dan kacau. Saat ditanya alasannya oleh guru konseling, Arville tak mengatakan apa-apa.

Semua guru tahu bahwa Arville bukanlah anak yang suka menjahili orang. Tapi insiden katak lepas itu membuat pandangan beberapa guru berubah terhadapnya. Pak Aditya pun tahu bahwa tindakan Arville saat itu pastilah memiliki alasan, tapi Arville tetap tidak mau memberitahu. Karena itulah dia harus sabar jika berhadapan dengan murid macam Arville.

"Coba tanyakan pada teman-temanmu yang menyukai kucing, mungkin saja mereka mau memeliharanya?"

Arville tersenyum. "Saya baru memikirkannya tadi, sebelum Bapak memanggil saya tadi."

Bel tanda masuk tiba-tiba berbunyi menggema di kantor admin. Arville pun diberi izin untuk kembali ke kelasnya.

"Erm, Pak Adit, masalah tadi jangan beritahu siapa-siapa ya? Bapak orang pertama yang saya beritahu." Ucapnya sopan. "Kalau Bapak berubah pikiran, beritahu saya yah. Terima kasih."

Dan Arville meninggalkan kantor. Sementara Pak Aditya tersenyum simpul sambil menggelengkan kepalanya.

*

"Kenapa kamu tidak bilang kalau ulangtahunmu sudah lewat minggu lalu?" Tanya Arville terdengar protes.

Celine hanya menghela nafas dan membuang muka. "Kamu nggak nanya."

"Kalau tadi aku nggak kebetulan melihat datanya, aku pasti tidak akan tahu selamanya!"

Celine mendengus, "Lebay." lalu Celine tersadar akan sesuatu yang disampaikan Arville. "Eh, kamu ngapain di ruang admin? Jangan bilang kamu bikin masalah lagi kayak hari itu. Kamu ngelepasin katak lagi?"

Celine ingat betul curhatan Arville beberapa bulan lalu—saat Arville mengatakan bahwa dia melepaskan katak-katak yang dikurung di dalam toples yang bagian tutup toplesnya diberi lubang-lubang kecil untuk masuknya oksigen. Arville mengaku marah, buat apa diberi oksigen kalau pada akhirnya katak itu akan dibunuh juga pada akhirnya.

Merasa simpati dan marah disaat bersamaan, Arville pun membuka toples itu tanpa berpikir panjang dan membuat katak-katak itu meloncat kegirangan karena bebas.

Nilai praktek untuk mata pelajaran biologi-nya saat itu adalah F.

Celine hanya bisa menggeleng kepalanya dan berdecak. Arville ingin menjadi dokter hewan dengan nilai praktek biologi F? Sungguh berani.

"Tidak kok. Tadi ngobrol sama Pak Adit."

Celine memincingkan matanya. "Lalu?"

"Hehe, rahasia. Ngomong-ngomong kamu mau kucing tidak?" Tanya Arville langsung.

"Kucing? Buat apa?"

"Buat di sayang-sayang lah."

Celine berpikir panjang. Memangnya boleh, malaikat hanya pilih kasih dengan satu binatang saja? Tapi dia tidak bisa menolak tawaran Arville, kan?

"Kayaknya ..., keluargaku nggak bakal ngizinin, deh." Ujar Celine pada akhirnya. Dia tidak mau mengambil resiko jika tiba-tiba ada malaikat pengawas yang memergokinya. Tidak lucu.

"Padahal kulihat semua hewan akan langsung menyukaimu." Arville menghela nafas kecewa, tanpa sadar bahwa kata-katanya itu membuat Celine terperanjat. "Yasudah deh, tidak apa-apa."

Celine berpikir dalam hati, apa semua hewan langsung jinak dengannya terang-terangan? Bagaimana mungkin Arville bisa menyadarinya? Memikirkan semua itu membuatnya kepalanya pusing.

"Tahun depan aku akan memberikanmu hadiah."

Celine tersentak. "Tidak usah lebay, ah. Nggak usah, aku nggak butuh."

"Ngasih orang hadiah pas dia ulangtahun udah biasa kok, masak nggak tahu sih?"

Bukannya Celine tidak tahu tentang tradisi itu. Tapi Celine belum pernah mendapatkan hadiah. Ayu dan Diana pernah ingin memberikan hadiah, tapi Celine menolak. Sampai akhirnya, Ayu dan Diana menyerah. Sudah dua tahun berturut-turut, mereka hanya memberikan kue saja.

Menerima barang dari manusia? Apakah manusia itu tulus memberikannya? Apa mereka mengharapkan imbalan?

Meskipun Celine 100 persen yakin bahwa Ayu, Diana maupun Arville akan memberikannya dengan tulus, Celine tetap saja tidak berani.

Celine hanya takut satu hal, jika dirinya sudah mendapatkan satu dan malah mengharapkan lagi. Oh, sifat tamak itu bisa muncul kapan saja dan kepada siapa saja.

"Jangan nolak pemberian orang, dong." Arville tertawa kecil. "Aku belum pernah memberimu apapun lho, semenjak kita berteman."

Sudah. Kamu sudah memberikanku kenyamanan.

Hampir saja mulut Celine berbicara itu, tapi akhirnya Celine ikut berkata. "Aku juga belum pernah memberikanmu apapun."

Arville terdiam, lalu tertawa renyah. "Sudah. Nyaman, soalnya aku nyaman sama kamu." Jawabnya tanpa ragu, yang membuat detak jantung Celine, terasa berhenti berdetak detik itu juga.

Kenapa bisa sama?

***TBC***

22 Juli 2016, Jumat.

A.N

Saya ketawa sendiri saat baca ulang pas mau ngedit. Thanks for #46 Fantasy

Air Train #60 Fantasy; S.A #40 Fantasy; LMP #4 Fantasy



CINDYANA H

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro