7. Mencegah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jun menggunakan pisau lipat yang diberikan Brithon untuk menyayat telapak tangannya. Tidak terlalu dalam, tetapi cukup membuat darah mengalir keluar. Brithon yang melihatnya mendesis tak sabar.

"Kenapa kau melukai seluruh telapak tanganmu, Bodoh. Kau kan bisa membuat luka kecil di ujung jarimu saja. Dasar kau ini. Sekarang kita harus mencari kain pembebat untuk menutup lukamu," keluh Brithon sembari mengambil senter dari tangan Jun lalu berlutut memeriksa tas ranselnya. Siapa tahu dia membawa kotak P3K.

"Maaf. Aku terlalu bersemangat," jawab Jun dengan tangan kiri meneteskan darah segar. Pemuda itu lantas mendongak ke atas. "Setelah ini apa?" tanyanya pada para hantu yang melayang di atas kepalanya.

"Pintu. Gunakan di pintu," bisik hantu itu diikuti hawa dingin yang mendirikan bulu roma.

"Jangan terbang terlalu dekat. Kalian membuatku tidak nyaman," usir Jun sembari mengibaskan tangannya ke atas.

"Melihatmu bicara sendiri membuatku semakin takut, Jun. Cepat lakukan saja apa yang disuruh hantu-hantu itu dan segera pergi dari sini," komentar Brithon yang sudah menutup kembali tas ranselnya. Ia menenteng kotak putih kecil berlambang tanda palang merah. Kotak P3K.

"Kemarikan senternya," pinta Jun kemudian.

Brithon menurut, memberikan senter itu pada temannya. Jun menyinari dinding batu di depannya, berasumsi bahwa itu adalah pintu yang dimaksud oleh para hantu. Sambil menarik napas panjang, berusaha meyakinkan diri, pemuda itu pun menorehkan darahnya di dinding batu kasar tersebut. luka sayatannya terasa perih saat menggores dinding. Jun memekik pelan menahan sakit. Namun dia bertahan.

Brithon buru-buru membasuh luka Jun dengan air dari botol minumnya. Setelah itu ia membebat tangan sahabatnya itu dengan kassa dari dalam kotak P3K. Di tengah kegiatan itu, mendadak terdengar suara pintu batu bergeser, diikuti getaran ringan di lantai dan dinding sekitar mereka.

Jun dan Brithon segera menoleh ke samping. Mereka mendapati darah yang ditorehkan Jun rupanya telah membentuk pola sulur-sulur yang bentuknya mirip simbol pohon kehidupan. Pintu batu di sebelah mereka juga mulai bergerak pelan ke samping diikuti kepulan debu pekat.

Brithon segera mempercepat kegiatannya membebat tangan Jun sebelum pintu batu terbuka sempurna. Akhirnya, setelah selesai melakukanna, di hadapan mereka kini terlihat sebuah ruangan gelap dengan tangga batu yang curam.

"Tempat apa lagi ini? Tidak ada patung raksasa kan?" tanya Brithon sembari melongok ke dalam.

Jun mengharapkan hal yang sama. Tapi, seperti umumnya ruangan di dalam reruntuhan itu, pasti semuanya memiliki bahaya masing-masing. Meski begitu, mereka tidak punya pilihan lain selain masuk ke sana. Maka, setelah menguatkan tekad, Jun pun melangkahkan kakinya memasuki ruangan gelap tersebut.

Begitu menyentuh anak tangga pertama, seketika obor-obor yang menempel di dinding ruangan itu menyala seketika. Kedua anak itu kini bisa melihat tempat itu dengan lebih jelas. Sebuah lapangan tarung dengan tribun bertingkat yang mengelilinginya. Rupanya anak tangga yang dilihat Jun sebelumnya adalah tempat duduk penonton yang dibuat menurun curam ke arah lapangan.

Jun berniat melanjutkan langkahnya. Akan tetapi bisikan-bisikan di belakang punggungnya kembali terdengar.

"Jangan pergi ke sana. Kematian. Kalian akan terjebak," kata suara itu memperingatkan.

Jun berusaha mengabaikannya, tetapi kini tidak hanya satu atau dua makhluk yang menyerukan hal yang sama. Suara mereka kembali tumpang tindih dan mengganggu indera pendengaran Jun. Maka pemuda itu pun berbalik dengan marah.

"Memangnya ada jalan lain selain ke sini? Lagi pula kalian juga yang memberi tahu cara membuka pintu ini. Tapi sekarang kalian melarangku pergi ke sana," sembur Jun kesal.

"Berbahaya. Menjebak jiwa," bisik mereka bersahut-sahutan.

Jun mengerti bahwa semua tempat di sini berbahaya. Lantas bagaimana ia bisa keluar kalau tidak melewati tempat ini?

"Tunggu. Kalian melihat kami kan sejak tadi? Seharusnya kalian tahu kemana perginya dua temanku yang lain. Di mana Alex dan Lana? Apa kalian mengambilnya?" lanjut Jun bertanya.

"Pengorbanan. Perjanjian darah," bisik hantu-hantu itu bergantian.

"Apa maksudnya?" seru Jun frustrasi.

Hantu-hantu di tempat ini sama sekali tidak bisa dia kendalikan. Mereka bertingkah sesuka hati dan hanya melemparkan potongan-potongan petunjuk yang sulit dimengerti. Belum lagi jumlah mereka yang banyak dan semua bicara bersamaan dengan kata-kata yang berbeda justru membuat Jun semakin pusing.

"Siapa kalian sebenarnya? Kenapa ada di sini? Kalian berniat membantu atau menyesatkan kami?" sekali lagi Jun mencoba berkomunikasi. Namun, tampaknya pertanyaan itu terlalu sensitive bagi para hantu.

Alih-alih menjawab, mereka justru berkelebat pergi menjauh dan menolak membisikkan apa pun lagi. Keadaan menjadi sunyi seperti saat Jun pertama kali memasuki lorong.

"Apa kata mereka? Kenapa kau marah-marah?" Brithon yang sedari tadi diam sambil menempel di belakang Jun akhirnya membuka suara.

Jun menghela napas lelah. "Bukan apa-apa," jawabnya berbohong, Dia tidak ingin membuat teman besarnya itu makin ketakutan. Dia sudah cukup pusing dengan teka-teki yang diberikan para hantu.

"Apa hantu-hantu itu mengikuti kita?" tanya Brithon lagi sambil melihat ke sekeliling.

"Tidak. Mereka pergi. Menghilang," jawab Jun jujur.

"Kalau begitu, apa ada hantu lain di sini? Apa lebih mengerikan? Tidak! Jangan! Lebih baik jangan beri tahu aku wujud mereka seperti apa. Lebih baik aku tidak tahu," ujar Brithon sibuk dengan kontradiksi dalam dirinya sendiri. Antara penasaran dan takut.

Akan tetapi pertanyaan Brithon justru membuat Jun berpikir. Benar juga. Kenapa tidak ada hantu-hantu lain di reruntuhan kuno itu selain di dalam lorong gelap yang barusan mereka lewati? Selain tempat itu, semua tempat lainnya sangat bersih, sepi. Itu bukan keadaan yang wajar karena sepanjang hidup Jun, dia selalu bertemu hantu di mana pun berada. Bahkan di tempat suci sekali pun. Mereka ada di mana-mana seperti bakteri yang menyebar cepat. Namun, tidak dengan tempat itu.

Satu-satunya lokasi berhantu di reruntuhan tersebut hanyalah lorong gelap tanpa cabang tadi. Banyak sekali hantu di sana seolah mereka semua memang sengaja dikurung di tempat itu. Apa itu mungkin? Kalau mereka bisa terkurung di sana, artinya ada orang lain yang melakukannya. Jangan-jangan, bukan hanya mereka berempat yang sedang menjelajah reruntuhan. Mungkin ada orang lain yang juga berada di tempat itu, atau bahkan tinggal di sana.

Semakin lama berpikir, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benak Jun. Namun tak satu pun yang mendapat jawaban. Sebaiknya dia melanjutkan penjelajahan saja dari pada diam berpikir. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro