0.0

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tetes, demi tetes air mata jatuh dari ujung mataku. Sudah beberapa kali, aku mengelapnya menggunakan lenganku. Jujur saja, aku ingin berhenti melakukan ini. Huh, ini benar-benar menyiksaku. Tak kuat akan pandanganku yang semakin buram. Aku berlari menuju wastafel mencuci bersih tanganku, dan kemudian baru aku mencuci mataku.

"Eh, kamu diapakan sama seniormu?" Aku terkejut ketika sebuah tangan merangkul bahuku. Kutolehkan 30° derajat ke arah kanan. Seseorang berbaju kitchen yang sama sepertiku, tengah menatapku dengan tatapan penasaran. Seperti mencari jawaban apa yang sebenarnya terjadi padaku.

Aku menyengir, kemudian menggerakkan sedikit tubuhku untuk melepas rangkulannya. Mungkin dia juga tahu bahwa aku sedikit tidaknyaman---bukan sedikit lagi, tetapi memang tidak nyaman. Akhirnya, dia melepas rangkulannya. "Ah..., enggak, Pak. Tadi saya disuruh motong bawang bombay makanya mata saya berair." aku tidak berbohong untuk yang satu ini, bawang bombay itu telah melelehkan mataku. Tak kuasa menahan, alih-alih menangis.

"Gimana masih banyak?" seseorang muncul dari arah pintu belakang. Aku hanya tersenyum lemah menatap Bu Lena--senior sekaligus bos kantin. Dia baik, aku jujur saat mengatakan dia baik. Dia tidak bawel, untuk kali ini aku berbohong. Dia sangat bawel, bahkan omelannya seperti nenek sihir yang sedang mengutuk mangsanya. Dan mungkin mangsanya, adalah aku.

"Masih sisa setengah keranjang, Bu,"

Bu Lena mengangguk. "Jangan galak-galak, Mak, lihat tuh anak buahmu sampai nangis begitu." Aku tersenyum lemah menatap ke arah bapak yang tadi merangkulku, dan sekarang tatapanku jatuh ke arah Bu Lena yang tengah menatapku datar.

"Ah, Bu Lena gak galak sama saya, Pak. Bawang bombaynya ngajak saya berantem," Bapak itu tertawa, aku juga ikut mengeluarkan kekehan kecil. "Ya sudah. Dilanjutin nanti saja, sana makan nanti kamu yang jualan." kata Bu Lena.

Aku mengangguk, kemudian melenggang pergi. Jualan. Yang dimaksud jualan di sini bukanlah sama dengan mereka yang berjualan. Jika mereka para pedagang berjualan tentu saja mereka akan mendapatkan bayaran, tetapi kami tidak. Kami diharuskan menyiapkan makanan untuk para pegawai mulai dari makan pagi, siang, malam. Kami hanya membagikan lauk-pauk yang ditakar agar cukup dimakan untuk semua pegawai, nasinya mereka yang mengambilnya sendiri.

Terkadang aku berpikir aku seperti Ambo Uleng--salah satu tokoh novel Rindu milik Tere Liye, dan Chef Lars adalah Bu Lena. Sifat kami tak jauh beda dengan tokoh-tokoh itu, aku pendiam seperti Ambo Uleng. Hanya saja, pendiamnya tidak seakut Ambo. Dan Chef Lars seperti Bu Lena, baik tetapi terlalu banyak berbicara dan sedikit galak.

Jika Chef Lars sering menghukum Ambo untuk mencuci seluruh pantat panci, Bu Lena tidak. Dia mungkin hanya menceramahiku panjang kali lebar. "Eh, bukannya makan malah melamun di sini."

Aku menyengir. Panjang umur, Bu Lena berdiri tepat di sampingku. "I-iya, ini mau makan."

"Makan yang banyak, nanti kamu diserbu soalnya. Kalau kamu kewalahan terus pingsan siapa yang repot!"

Aku mengangguk tanda menyetujui perkataannya. Aku tidak mungkin pingsan karena membagikan makanan, yang ada aku akan mati kebosanan jika tidak ada lagi yang mengambil makanan. Dan yang aku kerjakan, hanya menatap mereka makan.

***

Aku menyantap dalam diam hidanganku. Sesekali menatap kosong ke arah depan yang gelap. Kantin masih tutup, lampu masih padam hanya ada beberapa pegawai kantin yang sedang menyantap makanannya dalam diam pula.

Kami saling mengenal, tetapi tidak dekat. Hanya berbicara seperlunya, sisanya hanya tinggal kesunyian. Waktu sudah menunjukkan pukul 10, kantin sudah siap dibuka. "Nanti ayamnya dua, telurnya satu."

"Oke." kataku menjawab perkataan Bu Lena.

Aku berdiri di balik etalase kaca. Terkadang susah sekali untuk melihat wajah para pegawai, karena tingginya sejajar dengan tinggiku. Aku harus membungkukkan badanku sedikit untuk melihat wajah mereka.

"Nanti ayam dua, telur satu." Aku menolehkan kepalaku ke arah suara itu--Bu Letri salah satu senior kantin. Jabatannya masih di bawah Bu Lena, dia seorang Demi Chef de Partie. Sedangkan Bu Lena, Canteen Manager. Aku menjawabnya dengan mengangguk sambil tersenyum.

Bu Letri jauh berbeda dengan Bu Lena. Bu Letri selalu sabar saat mengajari anak trainee sepertiku. "Terkadang yang buat kewalahan itu, yang jabatannya tinggi karena mereka tidak mau diambilkan."

Aku mengangguk mantap. "Iya, Bu. Padahal mereka sudah diambilkan sesuai porsi tetapi masih saja mereka nambah dengan mengambilnya sendiri."

"Ya ... Namanya juga para petinggi. Ya sudah, ibu ke belakang dulu nanti ibu bantu kalau ramai." Aku tersenyum menatap kepergiaan Bu Letri. Namanya juga para petinggi.

Satu, persatu pegawai mulai memasuki kantin dari mulai berpakaian hijau, putih, hingga jingga. Aku membagikan ayam, dan telur serta sup untuk mereka. Aku sudah terbiasa dengan ini, gerakanku jadi sedikit lumayan cepat saat membagikan makanan. Aku tidak ingin membuat mereka menunggu.

Dan ada satu fakta lagi yang aku belum terbiasa; keadilan. Jam mulai menunjukkan pukul setengah dua belas. Pegawai lebih ramai di saat jam-jam seperti ini. Seseorang berbaju batik dengan rok yang sedikit ketat selutut menatap sajian makanan yang berada di hadapanku.

"Wah, seger ini." Aku tersenyum menanggapi perkataannya. Tangannya mengaduk-aduk bakmi itu. Dia mulai mengambil mangkuk sup, lalu menuangkan bakmi itu di dalamnya. "Ada pisang atau buah-buahan, dek?"

"Enggak ada, bu,"

"Masa? Coba tanyain seniornya bilang kalau Ibu Asih yang minta," Aku mengangguk lalu berjalan menuju dapur. Tak seorang pun yang kutemukan di dalamnya. Aku berjalan ke arah depan--tempat di mana aku berjualan.

"Maaf, bu, seniornya tidak ada. Mungkin, sedang mengambil barang di atas." Ibu itu terdiam, aku tak dapat membaca ekspresinya karena susah diartikan. Dan kemudian, ibu itu berjalan ke arah kursi kantin tanpa sepatah kata pun.

Aku tidak tahu ibu itu siapa yang aku tahu, ia sering duduk bersama para petinggi lainnya. Aku membuang pandangan ke arah pintu. Terdapat dua lelaki masuk dengan satu perempuan di sebelahnya. Aku sering melihat kedua lelaki itu, tetapi aku tak pernah tahu namanya.

Aku mulai menaruh ayam di atas piring lelaki bertubuh tinggi putih itu, dan kemudian saat aku hendak menaruh telur di atasnya. dia menggeleng pelan. Aku mengangguk dan tersenyum. Aku sengaja sedikit membungkukkan tubuhku. Lelaki itu bernama Rizky tertera dalam pin name-nya.

Aku menaruh ayam di atas piring lelaki berkulit sawo matang yang berada di samping Rizky. Dia menatapku datar. Aku sedikit merasa terintimidasi dengan tatapannya. Tertera di pin name-nya Tommy. "Mau telur?" dia hanya menjawabku dengan anggukkan kecil.

Pandanganku jatuh kepada perempuan di sebelahnya. Tertera di pin name-nya Diandra. Aku mulai menaruh ayam dan telur di atas piringnya. "Makasih." Aku membalasnya dengan senyuman.

Pandanganku terus mengawasi lelaki bernama Tommy itu. Namanya Tommy lelaki yang baru kuketahui namanya di beberapa menit yang lalu.

Namanya Tomme lelaki yang baru kuketahui namanya itu, sudah membuatku penasaran.

Aku melihat seniorku masuk dari arah pintu masuk kantin. Membawa trolley berisi barang di dalamnya. "Bu, tadi ada yang minta pisang."

Ibu itu melirik ke arah wanita yang bernama Asih itu. Wanita berkulit putih dengan baju kebaya dengan rok hitam ketat di bawah lutut. "Pasti ibu itu, ya? Yang lagi makan sendirian dari sini duduk sebelah kanan."

Aku mengangguk. "Emangnya dia siapa?"

"Itu bos. HRD direktur."

Aku hanya menjawabnya dengan -oh. Apakah para petinggi di sini sama seperti ibu itu? hanya menunjukkan siapa namanya dia bisa mendapatkan apa yang dia mau. Bukan para petinggi di sini saja, tetapi di seluruh negeri ini. Menetapkan peraturan tetapi mereka sama sekali tidak mentaati peraturan tersebut.

Negeri ini adil, bukan? Di mana hanya menunjukkan jabatan mereka bisa bersikap apa yang mereka sukai. Jabatan adalah sebuah jaminan. Tetapi, apakah jaminan akan menjamin sebuah jaminan?

***

Aku masih tergugu di atas kasur. Mencoba merenungi kejadian tadi. Apalagi mataku sedari tadi, tak pernah lepas dari gerak-gerik lelaki yang bernama Tommy itu. Ia makan dalam diam, bahkan disaat teman-temannya asyik berbincang, dan bergurai.
Dia masih makan dalam diam. Seakan-akan ia makan sendirian.

Namanya Tommy. Temannya bernama Rizky dan Diandra. Mungkin umurnya 20 tahunan.

Keesokannya waktu berjalan lebih cepat tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 12 siang. Kali ini, lauknya berbeda dengan kemarin jika kemarin penuh dengan gorengan sekarang berkuah. Ayam balado dan tempe kare.

"Dek, boleh minta pisang itu?" Bapak berkepala botak itu menunjuk ke arah pisang yang berada di atas piring hijau. Aku terdiam sejenak. Kasih, tidak, kasih, tidak, takut jika aku kasih kemudian aku akan dibantai habis oleh Bu Lena. Harap-harap, itu tidak terjadi.

Aku menelan ludah. "Saya tanya dulu sama senior saya ya, pak."

"Bilang saja, bapak yang minta pasti dikasih."

"Oh, iya. Tapi saya tanya dulu ya, pak." Bapak itu mengangguk. Aku berjalan ke arah dapur. Menemukan Bu Lena yang sedang memotong tahu satu panci besar. "Bu, pisangnya ada yang minta dikasih atau enggak?"

"Pisang yang mana?"

"Itu yang ada di meja, piring hijau."

"Kasih saja. Toh, pisangnya juga jelek," aku mengangguk. Berjalan ke arah depan--tempatku berjualan. "Ini, pak, pisangnya."

"Tuhkan apa saya bilang, kalau bapak yang minta pasti dikasih. Makasih ya, dek." Aku menjawabnya dengan tersenyum. Baru saja, kemarin aku bertemu dengan orang yang hanya mengatakan namanya dia bisa mendapatkan apa yang ia minta. Dan sekarang aku bertemu dengan orang yang seperti itu lagi. Hanya saja, kali ini dengan orang yang berbeda.

"Oh, iya. Nama kamu siapa?"

"Anna," Bapak itu mengangguk. "Kamu adiknya Elsa, bukan?"

Aku mengernyit bingung. "Elsa siapa, pak?"

"Elsa yang di film Frozen."

Aku tertawa hambar. Selera humor yang bagus. "Maaf, Pak, mungkin salah orang." Bapak itu tertawa. Lantas melenggang pergi menuju barisan kursi kantin.

"Mbak, saya boleh ngambil sendiri?" aku sedikit terdiam menatap ke arah wanita berpakaian jingga itu. Dan kemudian mengangguk, mengarahkan sendok besar ke arahnya. "Eh, ada Tommy." kata wanita yang ada dihadapanku.

Aku mengikuti pandangannya menatap Tommy. Dia sendirian, Rizky ataupun Diandra tak ada di sampingnya. Tommy membalas perkataan wanita itu dengan senyum yang terkesan malu-malu, dan terkesan tidak niat.

"Udah sholat jum'at, Tom?"

Tommy mengangguk. "Udah, mbak." ini pertama kalinya aku mendengar suaranya. Suaranya terdengar tidak serasi dengan wajahnya yang terlihat seperti anak remaja berumur 17-an.

"Duluan ya, Tom." Tommy hanya menjawab wanita itu dengan anggukkan. Kini tinggal Tommy dan aku yang saling berhadapan.

Aku menaruh ayam di atas piringnya, dan kemudian menaruh tempe kare di sampingnya. "Boleh minta kuahnya lagi, mbak?"
Aku mengangguk. Ini pertama kalinya, aku mendengar suaranya. Ini pertama kalinya, aku mendengarnya berbicara padaku. Walau itu, bukan sebuah obrolan sederhana.

Aku menatap punggungnya. Dia duduk tepat di kursi barisan pertama bersama orang-orang yang tak kukenal. Dia masih tetap makan, walaupun orang-orang di sekitarnya tertawa dan saling melontarkan obrolan ringan.

Dia bangkit, kemudian dia berjalan ke arah tempat piring kotor. Kemudian berjalan ke arah pintu keluar. Aku menundukkan kepalaku.

Namanya Tommy. Mungkin umurnya 20-an, Rizky adalah temannya.

Namanya Tommy. Ini pertama kalinya aku mendengar suaranya.

Namanya Tommy. Mungkin umurnya 20-an, suaranya bidang, Rizky adalah temannya.

Namanya Tommy. Dan ternyata, aku suka dengan namanya. Hanya namanya; Tommy.

***

YO YO WHUZZUP? I'M BACK.
Kali ini, aku bawa cerita yang sama sekali tak kumengerti apa maksud cerita ini.

Sebenarnya, aku sih cuma pingin fokus sama si cowok aja. Tetapi kenapa malah beleber ke mana-mana ya.

Di mohon koreksinya.

Sign,

C


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#fiksi