Meghan dan Seven Eleven di South Hanover St.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sudah siap?"

"Sudah."

"Tunggu sebentar. Aku akan membawa Romero ke dalam mobil."

"Romero siapa?" Namanya seperti aktor Hollywood. Mungkin saja wanita ini kenal dengan seorang pemain film kaya raya, kemudian secara tidak langsung memperkenalkanku dengan siapa pun si pemilik nama Romero dan menjadi comblang pertama antara aku dengan dirinya.

Wanita ini tidak menggubrisku. Ia malah mengeluarkan tas dari kursi belakang, membukanya pelan-pelan. Dan dari celah kecil tas tersebut, ada kepala mini yang menyembul.

Astaga, anjing chihuahua.

"Ini Romero. Namanya sama seperti nama mantan pacarku di SMU. Jangan tanya mengapa aku memutuskan untuk menamainya seperti itu. Dan, sepertinya 'membawa Romero ke dalam mobil' terdengar tidak masuk akal untuk diucapkan saat ini."

"Ya, aku tahu," kataku, "anjingmu lucu. Aku ingin mengusap perutnya."

Oh, holy molly frilly. Romero tidak segarang anjing chihuahua maupun anjing jenis lain yang pernah aku temui di taman kota. Biasanya, akan ada anjing husky yang mendesis tiap kali aku menampakkan diri di hadapan hewan-hewan itu. Tak sedikit juga yang sampai mau repot-repot mengejarku hingga memutar jalan dan kembali ke apartemen. Aku bahkan sempat digigit seekor bulldog di bulan Januari yang lalu. Bekas gigitannya masih ada di lengan kananku.

Namun, Romero beda. Aku benar-benar ingin menculiknya saat ini. Dan nampaknya ia menyukai kaktus yang aku bawa. Pandangannya tidak pernah lepas dari tanaman berduri itu ketika pertama kali duduk di pangkuan Meghan, majikannya yang baru saja kuketahui namanya beberapa saat lalu.

Barangkali, anjing ini bisa mengubah keputusanku untuk pergi meninggalkan Downtown Baltimore. Walau begitu, tetap saja aku akan pergi ke Fairfield. Sudah terlanjur terlalu jauh. Dan sudah terlanjur terlalu jauh sama dengan tidak mungkin bisa. Memindahkan pakaian-pakaianku ke lemari seperti sebelum dibongkar sama melelahkannya seperti mengepang rambut keriting Krissi yang memiliki rambut paling tebal se-Baltimore ketika masih bekerja di salon milik Stacy dulu.

"Sudah siap?" Meghan bertanya lagi. Wanita itu sudah memakai sabuk pengaman saat ini. Aku belum. Jadi, aku sadar diri dan lekas melekatkannya di badan cungkring kepunyaanku.

Aku tidak menjawab kali ini. Isyarat jempolku sudah cukup untuk membuat Meghan paham dan segera menekan pedal gas sedan merahnya. Lalu, dengan satu-dua tarikan gas yang sempat tersendat-sendat dan bunyi knalpot yang ganjil, kami berdua--bertiga jika Romero dihitung--pergi meninggalkan kawasan apartemen.

Sepanjang jalan, tidak ada yang bisa kulakukan selain membeli perhatian Romero menggunakan mainan bulu yang entah bagaimana bisa tergeletak di dekat dasbor. Romero bukan kucing, tetapi ia tetap senang dengan gerakan bulu-bulu hijau limunnya. Namun, sepertinya ia tetap lebih menyukai kaktusku. Aku tidak akan menyalahkannya akan hal ini karena sejujurnya, aku juga suka sekali dengan kaktus ini.

Mobil Meghan berbelok pelan menuju West Lexington St.. Ada dendang kecil dari kursi supir dan sayup-sayup tembang favorit orang-orang Amerika di 2012. Aroma pengharum bagian dalam mobil mengambang di udara dan Romero mengetuk-ngetuk kaki mungilnya ke lututku. Dari jendela, aku bisa melihat orang-orang masih bisa beraktivitas seperti biasa. Orang-orang Amerika yang aktif, dan tengah menjalani kehidupannya sebagai warga negara yang baik.

Pun, malam hari di Baltimore sungguh berbeda dengan suasana di siang hari. Aku tidak bisa terkecoh.

Namun, kadang aku bermimpi bisa tinggal di dunia yang nyaman tanpa kesialan seperti orang-orang ini.

Aku bermimpi untuk menyewa apartemen tanpa kamar mandi bocor, bekerja dengan baik di areal perkantoran, menemukan tambatan hati rupawan ketika mengunjungi bar, menikah, memiliki keluarga, dan menonton pertunjukan balet putri semata wayang kami di usianya yang ketujuh. Ketika sudah cukup tua, aku akan mengajak suamiku pindah ke Finlandia, atau Islandia, atau Hawaii, barangkali. Lalu di sana, kami akan menghabiskan sisa-sisa waktu di umur enam puluhan bersama dengan cocktail, alunan ukulele lembut, dan pemandangan musim panas yang menyenangkan.

Dan harapanku yang ini sepertinya lebih tidak mungkin untuk tercapai dibandingkan harapanku untuk dipersunting milyarder begitu bangun tidur.

Meghan masih berdehem mengikuti irama musik di radio. Kali ini musik jazz. Entah siapa penyanyinya dan apa judulnya, tetapi yang pasti, ini musik jazz dan ketukannya berhasil membuat Meghan hampir menabrak lampu merah karena fokusnya yang sempat buyar beberapa detik. Lalu dengan perlahan, mobil kami sudah memasuki West Conway St..

Romero belum tertidur di pangkuanku, tetapi ia tidak memiliki niatan lagi untuk mengganggu. Meghan membuka kaca mobilnya lebih lebar. "Anginnya sejuk. Di dalam sini panas karena ada Romero," katanya. Dan walau ia menyalahkan Romero atas udara menyengat ini, aku tetaplah tahu bahwa penyebab utamanya adalah diriku yang menumpang di kursi depan, satu koper penuh pakaian, dan beberapa barang bawaan remeh-temeh di bangku belakang.

Aku tidak ingin terlihat seperti seorang wanita brengsek. Jadi, aku tidak melepas jaket biru laut yang tengah kukenakan. Lalu, ketika suasananya sudah balik seperti sedia kala dan Meghan sudah menaikkan jendela mobil kembali, saat itulah aku kembali melamun.

Di luar udara masih menyengat. Siang hari kali ini lebih panas dibanding hari-hari sebelumnya. Kemudian, jalanan lengang. Hanya ada tiga mobil termasuk sedan kecil kami yang melintasi Conway St.. Di ujung jalan, sebelum berbelok ke kiri, aku melihat ada sepasang anak kecil berlarian memasuki Stasiun Camden. Salah satunya menggenggam ... apa itu, astaga!

Oh, hanya pulpen.

Aku bersumpah bentuknya mirip sekali seperti pisau.

Dan ..., aku melamun lagi, untuk yang kesekian kalinya hari ini. Di mobil Meghan, pula. Namun, baunya yang menenangkan memang terasa seperti mengundangku untuk terjatuh makin dalam ke alam lamunan. Ucapkan terima kasih pada merek pewangi yang Meghan pilih.

"Aku baru membelinya di Seven Eleven beberapa hari yang lalu. Aku lupa mereknya apa. Namun, nanti rencananya aku akan mampir sebentar ke Seven Eleven. Aku akan membelikanmu pewangi mobilnya juga nanti. Hitung-hitung hadiah perpisahan seorang tetangga." Meghan bersungguh-sungguh ketika wanita itu mengatakan bahwa dirinya akan menghadiahiku pewangi mobil.

Maksudku, barangnya cukup aneh untuk dijadikan sebagai hadiah perpisahan tetangga. Namun, Meghan sudah terlalu baik kepadaku. Memberikan tumpangan, tidak membuat suasana hatiku berantakan, dan yang terpenting, memiliki Romero untuk diajak bermain.

Lagipula, sepertinya hanya Meghan seorang yang mau memberiku hadiah perpisahan seperti ini.

"Tidak apa-apa, kan, jika aku mampir sebentar ke swalayan yang ada di South Hanover?" Meghan bertanya lagi. Aku mengangguk cepat dan wanita itu tersenyum melihatnya.

"Aku ingin membeli sesuatu untuk anak laki-lakiku, Trevor. Dia akan berulang tahun dua hari lagi. Aku tidak punya selera yang bagus. Jadi, jika kau punya saran hadiah ulang tahun yang menarik, tidak usah sungkan-sungkan untuk mengatakannya."

"Seleraku juga buruk. Lagipula, kau ibunya. Jadi kau pasti tahu anakmu menyukai model hadiah seperti apa. Omong-omong, berapa usia anakmu tahun ini?"

"25. Sepertinya tidak jauh beda denganmu."

"Kau ibu yang baik. Kau sepertinya benar-benar menyayangi anakmu."

Meghan tersenyum setelah mendengar kalimatku yang terakhir. Senyum yang tidak bisa kuartikan, tetapi kehangatannya lebih memikat daripada bunga poppy merah yang membara. Ia diam sebentar dan fokus dengan jalan yang ada di hadapannya. Kemudian, beberapa saat setelahnya, ia membuka suara lagi setelah menghela napas berat satu kali.

"Anak laki-lakiku tidak seperti anak laki-laki kebanyakan. Dia autis. Dia sering menangis di kamarku saat masih bersekolah di SMU terdekat belasan tahun yang lalu. Katanya, di sela isak tangisnya, ia mengaku bahwa semua orang membencinya. Semua kawan kelasnya membencinya. Dunia membencinya. Namun ..., aku lupa namamu siapa."

"Miss Fortune."

"Ah, iya, Fortune. Namun, Fortune, ada satu hal yang aku ucapkan kepadanya. Aku tidak cukup bijak. Aku saja tidak mengetahui siapa gerangan ayah anak laki-lakiku ini. Aku tidak cukup baik untuk bisa mengatakan hal-hal seperti itu kepadanya. Namun, aku tetap mengatakannya. Jadi, tiap kali ia menangis di kamar hingga membasahi penutup kasurku, aku akan menepuk pundaknya sembari membawakan beberapa lembar tisu. Lalu, ketika ia sudah menatap mataku, aku akan mengatakan kepadanya satu hal."

"Apa itu?"

"Ungkapan 'aku dibenci oleh dunia' itu tidak pernah ada. Akan selalu ada orang-orang yang mencintaimu. Akan selalu ada orang-orang yang menganggapmu dunia keduanya. Dan untuk kasusku yang ini, aku akan selalu menganggap anak laki-lakiku sebagai dunia keduaku. Ah, tidak, ia adalah dunia pertamaku. Duniaku yang tidak sempurna, tetapi aku suka tinggal di dalamnya."

Dari ucapan Meghan barusan, aku bisa menyimpulkan dua hal. Pertama, ia adalah seorang ibu yang baik. Kedua, ia adalah seorang manusia yang baik.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro