Salah Kampus atau Salah Jurusan?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jawa timur, 2013

Meratapi nasib di depan laptop milik adik ku ketika namaku tak lolos jurusan farmasi di salah satu dari empat universitas negeri di Jawa Timur. Sambil menahan air mataku dengan mimik mulut yang sudah ingin berteriak frustasi, aku menutup laptop itu sambil beristighfar berulang kali. Ya mungkin ini memang nasibku, mencoba peruntungan di kampus negeri ternyata tak semudah yang ku bayangkan. Maklum saja, aku lulusan SMK farmasi tahun 2012. Satu tahun setelah lulus aku habiskan untuk bekerja sebagai AA atau asisten apoteker di sebuah apotik wiraswasta dekat rumah.

Masih terbayang saat mengerjakan soal snmptn pun aku merasa aku takkan lolos, karena pelajaran smk dengan sma sangatlah berbeda. Untuk pergi ke sebuah bimbel ternama pun, aku harus berpikir ulang karena gajiku saat itu hanya 800rb - 1,1 juta per bulan itu pun sebagian aku tabung untuk biaya kuliah dan biaya pendaftaran.

Jika diingat-ingat aku hampir menghabiskan 1,5 juta untuk daftar kuliah di beberapa kampus negeri termasuk poltekkes. Tapi sekali lagi,  jika nasib bukan di tanganmu sampai kau menangis darah pun nasib itu takkan berpihak padamu.

"Ma,  aku pengen kuliah di stikes aja ambil perawat daripada farmasi nggak Ada yang diterima," kataku dengan nada sedih.

"Wes talah, nggak pegel ta ngutokno duwek akeh gae daftar? Nggak kuliah saiki gak opo-opo, " kata ibuku dengan logat jawanya yang berarti 'sudahlah, tidak capek kah udah ngeluarin uang banyak untuk daftar?  Nggak kuliah sekarang tidak apa-apa'.

"Aku pengen nyoba sekali lagi, ma, " kataku, "iki duwekku terakhir, nek ra ketrimo yo wes aku tak balek kerjo maneh. "

'Ini uangku terakhir,  kalo tidak diterima ya sudah aku balik kerja lagi'.

Ibuku hanya mengangguk sambil menguatkan hatiku. Sebenarnya ibuku lebih suka aku masuk kuliah jurusan Analis Kesehatan,  selain murah jam kuliahnya juga tidak terlalu padat jika diselingi dengan kerja part time. Tapi aku tidak mau, apalagi aku lemah dalam pelajaran kimia analis. Lantas esoknya pun bermodal uang 300rb aku berangkat menuju kampus swasta yang masih satu kompleks dengan SMK- ku dulu.

Pada akhirnya jika farmasi bukan jalanku lagi,  aku memilih kuliah di kampus swasta jurusan keperawatan. Kau pasti berpikir kenapa tidak ambil kampus swasta dengan jurusan farmasi?.

Jawabannya adalah uang, ya,  jurusan farmasi bukanlah jurusan yang murah. Waktu itu ditahun 2012 saja,  teman seangkatanku masuk di kampus swasta jurusan farmasi menghabiskan hampir 40 juta di semester awal. Aku tidak bisa memilih jurusan itu karena banyak faktor,  pertama aku memiliki dua adik,  kedua gaji ayahku tidak seberapa meski beliau adalah seorang tentara berpangkat serka (waktu itu masih tahun 2012), ketiga gajiku tidak mencukupi untuk biaya kuliah disana meski tabunganku sudah mencapai 5,5 juta.

Alhasil aku memilih stikes dan mengambil jurusan S1-keperawatan. Di stikes ini ada kelebihannya dimana khusus anak tentara mendapatkan diskon khusus. Lumayan kan?

Saat mendaftar ternyata aku masuk di gelombang tiga terakhir -_- dan besok adalah seleksi tulis akademik dan psikotes. Alhasil dengan modal nekat yang terakhir,  aku mengerjakan soal-soal dengan apa adanya.

Seminggu setelah tes, akhirnya diumumkan siapa saja yang berhasil masuk. Aku deg-degan karena aku merasa tak yakin dengan tes kemarin.

Dari sekitar 400 anak kalau gak salah hanya 250 yang diterima di seleksi tes. Dan kau tahu aku rangking berapa?  Urutan ketiga dari bawah. Menangis?  Tentu,  bahagia?  Sangat. Meski akhirnya aku membelokkan diri masuk jurusan perawat akhirnya aku bisa masuk kuliah.

Setelah pengumuman,  dua hari kemudian dilakukan tes kesehatan dan wawancara. Tes kesehatannya meliputi tes urin,  tes kesehatan umum termasuk pengukuran tinggi dan berat badan,  tensi, tensi ketok ginjal yang dilakukan oleh dokter,  serta tes buta warna. Untuk tes wawancara,  yang kuingat kami dibentuk per peleton yang terdiri dari 20 orang. Sebelum wawancara kami diajarkan baris berbaris dan jalan di tempat secara kompak.

Aku berpikir,  ini wawancara seleksi mahasiswa apa seleksi jadi tentara? Kok ribet amat. Tapi ya begitulah, basic kampus ini sama dengan SMK - ku dulu dimana basic nya sistem semi militer. Kami diatur sedemikian rupa mulai dari cara berpakain,  potongan rambut,  cara makan, dididik disiplin dan taat aturan serta menjunjung tinggi senioritas.

"Aduh,  males deh kalo aturannya kayak dulu lagi,  pasti susah ospeknya, " desisku

Tiba waktunya peletonku disuruh masuk ke sebuah aula berukuran cukup besar. Disana ada sekitar lima meja yang masing-masing terdapat dua orang dosen (kurasa). Aku pun maju dengan langkah tegap sesuai arahan dari petugasnya.

Aku dihadapkan dengan seorang dosen wanita berperawakan cukup tinggi,  berpotongan pendek berambut hitam,  dan usianya mungkin sekitar 50an tahun. Dia membaca file milikku dan kulirik itu adalah salah satu form pendaftaran.

"Bapak kamu tentara? " kata ibu itu tiba-tiba.

Aku hanya bisa nyengir kuda.

"Ketahuan dari namanya. "

Dosen itu membaca lagi file milikku.

"Lulusan farmasi? Gak salah nih? "

Glek! 

Dengan salah tingkah aku menggeleng namun aku berusaha bersikap tegas, " siap tidak bu. "

"Eman-eman sekolah obat saiki sekolah perawat, kok gak nang kampus farmasi swasta ae? "

Jika kuartikan,  ibu itu berkata 'sayang sekali sekolah obat sekarang sekolah perawat,  kok nggak ke kampus farmasi swasta aja?'

"Siap tidak, bu! " jawabku tegas sambil membusungkan dada.

"Kamu daftar kesini paksaan apa kemauan sendiri? Apa visi misimu ingin jadi perawat?  Udah siap memberikan pelayanan ke pasien?  Kamu harus menanggung risiko loh ya, menjadi perawat nggak semudah jadi AA. "

"A-anu... Saya dipaksa orang tua saya, bu, " kataku gugup, "menurut saya... Menjadi perawat bukan hanya karena paksaan bapak sama ibu saya tapi saya ingin bisa merawat setidaknya keluarga saya ketika sakit jadi bisa dibilang saya ingin sebagai lini pertama keluarga saya selama sakit. Siap tidaknya melayani pasien nantinya tergantung nanti pengalaman saat praktek lapangan. "

Wanita itu mengangguk, "disini kita kegiatannya full dek,  dari jam 7 sampai jam 5 sore, kamu siap? "

Jaman SMK dulu juga jadwalnya full day,  batinku

"Siap bu, " kataku tegas.

"Bagus,  silakan kembali dan tunggu pengumuman selanjutnya ya, " kata wanita itu.

###

Akhirnya pengumuman terakhir diumumkan,  dari sekitar 250 orang lolos seleksi pertama akhirnya fix yang menjadi mahasiswa hanya sekitar 130an orang. Wow itu 130 orang sudah termasuk prodi D3 dan S1 keperawatan yang masing-masing nanti dibagi dua kelas.

Kemudian kami pun dikumpulkan di aula yang kemarin dibuat tempat wawancara. Kami diberi arahan tentang PPS (program pengenalan studi)  atau kalian bisa sebut ospek. Pps di kampus ku berjalan satu minggu. Sehari untuk pra-pps, tiga hari untuk masa pps,  dan tiga hari sisanya kita akan ke Blitar untuk outbound disana.

Hari pertama pra-pps aku mengenakan kemeja putih, jilbab putih,  dan rok panjang hitam. Khusus perempuan wajib memakai celana pendek tipis. Saat di aula kami para cewek pun di raba bagian pantat oleh panitia perempuan untuk memastikannya. Bahkan panitia perempuan juga memeriksa siapa saja yang memakai pembalut agar nanti saat jam sholat kami bisa melakukan sholat tepat waktu.

Aku masuk dalam departemen 10. Departemen kami dibagi hingga menjadi 14 dep setiap dep memiliki satu pembimbing dan satu ketua dep. Kami juga dibagi di beberapa kelas, seingatku dep 10 digabung hingga dep 12 di ruang N. Kami duduk lesehan dan posisiku terdepan di sebelah cowok tinggi kurus dengan rambut kayak landak bernama Dimas. Dia adalah ketua dep ku.

Pra-pps kami berjalan begitu menegangkan,  bagaimana tidak, tiba-tiba kami disuruh push up 10x. Sontak aku yang memakai rok dan anak perempuan lain bingung apalagi mereka yang tidak memakai jilbab.

"Cepet!  Lelet sekali kalian semua! " teriak seorang mahasiswa berperawakan tinggi berpotongan cepak mirip tentara.

Dia adalah Bang Angga yang terkejam diantara yang terkejam, suaranya menggema bahkan mungkin bisa didengar hingga lantai bawah, tatapannya seperti singa yang ingin memangsa. Sambil berkacak pinggang dia melihatku yang masih bingung memposisikan diri untuk push up.

"Heh kamu! " teriaknya padaku

"Si-siap kak, " kataku gemetaran

"Tuker sama temen kamu,  belakang kamu itu cowok!  Jadi perempuan jangan sok umbar celana dalam! "

Hah? 

Jika nyaliku lebih besar ingin sekali menampar mulut Bang Angga dengan sepatuku. Mumpung sepatuku masih baru. Dia pikir aku cewek apaan mengumbar hal seperti itu.

Aku mengangguk mengiyakan lalu bertukar posisi dengan anak lelaki di sebelahku dan ku toleh di belakang adalah anak perempuan bertubuh gemuk. Ku lihat mukanya pucat dengan keringat sebesar biji jagung yang sedikit demi sedikit berjatuhan di lantai.

"Sekarang,  naik satu! " teriak Bang Angga membuat anak-anak se-aula menopang tubuh mereka dengan kedua tangan dan bertumpu pada kedua kaki.

"Turun setengah! "

"Jangan curi-curi! " teriak kakak kelas yang lain.

Curi-curi dalam hal ini adalah mencari kesempatan yang ada.  Dalam hal ini badan kita tidak boleh menyentuh lantai atau kedua lengan kita tekuk sekitar 30 derajat.

"Kamu naik dikit! " seru Kak Selly,  pembimbingku yang menegur anak perempuan bermata sipit di sisi kananku.

"Si-siap kak, " katanya sambil menahan beban tubuhnya.

Sial!  Pps disini ternyata sama dengan pps-ku jaman SMK dulu. Kejam tapi pada akhirnya mengandung banyak cerita yang pantas dikenang.

"Turun seperempat! "

Heh? 

"Aduu... "

"Aduhh. Gak kuat kak... "

"Gak usah manja! " teriak Bang Angga lagi ketika mendengar cuitan anak-anak yang sudah tidak tahan.

"Turun! "

"Huaaa.... "

Sontak kami serempak mengeluarkan kata itu karena lega.

"Naik satu dua kali! "

Begitulah awal penderitaan kami di masa-masa pps. Dari pukul lima pagi hingga pukul delapan malam kegiatan baru selesai,  itu pun jika kami tidak mengulur waktu.

Aku masih ingat,  ketika kami diberi tugas membawa koran bekas sebanyak 10kg,  banyak diantara kami yang datang terlambat. Alhasil,  dari pintu gerbang hingga lobi yang berjarak sekitar 100 meter. Kami disuruh jalan jongkok sambil membawa koran tak peduli kau memakai rok atau tidak. Perempuan dan laki-laki perlakuannya sama.

Hukuman kami bervariasi seolah panitia pps adalah kumpulan manusia cerdik nan licik yang memiliki kebahagiaan di atas penderitaan kami.

Misalnya setiap makan, kami memiliki sebuah aturan. Saat makan pagi,  kami selalu membawa satu telur ayam rebus,  satu botol teh hangat 600 ml,  Sari roti rasa coklat. Makan siang dan makan sore disediakan oleh panitia. Waktu itu
Kami diperintah mengangkat tinggi-tinggi telur rebus dengan tangan kanan kami.

"Dalam hitungan 5 detik  telurnya harus habis!" perintah kak Yosep.

Dia cowok berperawakan kurus dan wajahnya seperti turunan orang NTT ,manis. Dan ternyata dia adalah seorang presdir BEM.

"Sekarang makan!" perintahnya.

"Jangan ada yang muntah! Yang muntah saya suruh kalian jilat itu muntahan kalian! " teriak Bang Angga sambil melipat kedua tangannya di dada.

Tanpa berpikir panjang aku melahap telur itu dengan cepat dan mengabaikan suara kakak kelas yang berteriak 'huek-huek' untuk memberi sugesti kami agar kami muntah.

"Huekk... "

Ku lirik teman di sebelahku yang bernama Rima. Dia merasa tidak kuat ketika dia telah melahap habis telurnya.

Aku menelan telurku dengan susah payah dan menepuk-nepuk punggung Rima.

"Ayo telan, jangan dimuntahin, " kataku.

"Jangan curi-curi! " teriak kak Yosep ketika dia menangkap seorang anak laki-laki yang membantu anak lain untuk menghabiskan telur mereka.

Waktu habis,  aku bernapas lega ketika semua anak tidak ada yang muntah meski kulihat wajah mereka sudah eneg sama telur.

"Buka botol minuman kalian! " perintah Bang Angga.

Kami pun menuruti.

"Hitungan ketiga harus habis setengah! "

Heh? 

Ini orang gila kali ya,  dikira kita tandon apa! 

"Satu! "

Glek

Glek

Glek

"Dua! "

Sial!  Rasanya perutku penuh.

"Tiga!  "

Kami pun berhenti

"Angkat tinggi-tinggi botol kalian!" perintahnya

Kemudian Bang Angga dibantu yang lainnya mengecek satu persatu botol minum kami.

"Kak,  ada yang lebih dari setengah! " teriak suara perempuan dari arah belakang.

Kami semua menoleh.

"Eh!  Ngapain noleh!  Apatis ya sama temennya! Mau di push up lagi!  "

"Siap tidak! " jawab kami ketakutan

Bang Angga pun melangkah melewatiku menuju belakang barisan entah dep berapa.

"Kamu haus ta dek? " teriaknya.

Tidak ada jawaban semuanya hening.

"Heh!  Punya mulut nggak?  Ditanya tuh di jawab! "

"Siap tidak kak! "

"Tidak apa! "

"Tidak haus kak. "

Aku mengepalkan tangan kananku sambil tangan kiri tetap mengacungkan botol minumanku. Gemes rasanya jika memiliki senior sok-sokan seperti dia.

"Kalian satu kelompok push up 10 kali, " perintahnya.

Sontak dep di belakang itu memposisikan diri lalu melakukan push up sambil berhitung keras-keras.

Seperti itu lah kegiatan saat makan, kami harus makan makanan kami dengan cepat karena kata mereka tidak ada perawat yang lelet seperti keong,  tidak ada perawat yang manja,  tidak ada perawat yang cengeng.

Saat makan siang, kami diberi jatah komsumsi nasi bungkus. Isinya lumayan banyak yang terdiri dari nasi,  ayam,  telur,  sayur, dan sambal. Kami pun diperintah untuk memakai gelang pembungkus nasi itu di tangan kanan kami. Lalu mengacungkan ayam goreng kami dengan tinggi-tinggi.

"Taruh lagi, " kata kak Selly pembimbingku yang berdiri di depan kelas, "hitungan kelima,  makanannya harus habis. Mulai! "

"Satu. "

Dengan cepat aku pun melahap makananku tanpa adanya sendok, kalo dalam bahasa Jawa istilahnya muluk. Seperti biasa,  kakak kelas kami menggoda kami dengan suara 'huek' sambil sesekali berkata 'jangan curi-curi' yang artinya kami tidak boleh membantu menghabiskan makanan teman kami kecuali diperintah.

"Dua seperempat. "

"Ayo cepet!  Lelet sekali kamu dek! " teriak seorang cowok entah siapa aku tidak peduli.

"Jangan curi-curi,  atau kalian saya suruh jalan jongkok! " kata kak Selly membuatku ngeri.

Tapi dep ku bandel, ada satu anak bertubuh gemuk dengan muka bulat. Dia sudah selesai duluan ketika hitungan ketiga perempat. Dia menoleh ke arahku yang duduk di barisan kedua.

"Heh,  ayo aku bantu, sini makan kalian semua, " katanya pada anak perempuan yang tidak sanggup makan cepat.

"Sini aku bantu juga, " kataku pada Rima ketika aku menguyah lahapan terkahirku dan mengambil nasi rima yang masih separuh.

"Kamu laper apa gimana, " kata si tambun itu sambil tertawa.

Aku menggeleng mengisyaratkan 'diam aja, yang penting nggak dihukum'.

Setelah hitungan kelima,  para pembimbing berkeliling melihat sisa makanan anak-anak.

"Yang nggak habis,  harus dihabiskan satu kelompok dalam hitungan ketiga. "
Dep ku kompak,  kami sudah menghabiskan makanan kami. Lalu setelah selesai kami disuruh membuka susu bear brand kami dan diangkat tinggi-tinggi.

"Habiskan dalam hitungan ketiga, " perintah kak Selly dengan ekspresi tenang.

Sesuai perintah kami pun minum susu itu, rasanya aneh. Setelah makan nasi campur yang begitu banyak kami harus minum susu.

"Tiga! "

Kami berhenti minum susu.

"Tetap diangkat susunya. "

Lalu kak Selly keliling kelas untuk mengecek susu bear brand kami. Dia berhenti di depan dep kami tepatnya di depan seorang cewek berjilbab dengan kulit sawo matangnya, kalo nggak salah namanya Ira.

"Kenapa kamu nggak ngabisin susunya! "

"Saya eneg kak, " katanya dengan takut.

Dengan tenang kak Selly mengambil botol bear brand milik Ira dan menyarankan kannya sedikit demi sedikit di atas kepala kami. Rasanya begitu lengket dan manis,  apalagi tubuh kami berkeringat setelah di jemur di bawah matahari untuk latihan berbaris.

Jika kau mengatakan, kejam sekali ada kampus seperti itu. Iya memang kejam, menyebalkan,  dan ingin rasanya melapor kepada orang tua. Tapi aku merasa itu adalah pembentukan jiwa korsa kami untuk tidak bersikap apatis kepada orang lain,  untuk membentuk kerja sama dalam tiap dep dimana kami datang dari berbagai kota dengan berbagai kepribadian yang berbeda.

"Ini helemnya siapa! " teriak Bang Satria datang tiba-tiba.

Aku menelan ludah,  Bang Sat panggilan kami untuk cowok yang kelakuannya mirip Bang Angga. Bisa dibilang dia sebelas duabelas dengan Bang Angga.

"S-s-saya,  kak, " kata seorang anak perempuan di sudut kananku dari dep 9.

"Berdiri kamu! "

Anak itu berdiri di depan kelas dengan wajah melas ingin menangis.

"Udah tahu kan kalo tidak boleh bawa motor atau helem selama pps! " kata Bang Sat.

Anak itu mengangguk.

"Kenapa kamu bawa! Curi-curi kesempatan ya! "

"S-siap tidak! "

"Pake helemnya! " perintah Bang Sat sambil memberikan helem berwarna biru muda itu, "keliling kelas seolah kamu lagi nyetir motor. "

Dia pun mengangguk lalu memasang helemnya dan berlari kecil dengan tangan didepan seperti sedang memegang setir motor.

"Lho lho,  sini kamu!  Belum disuruh mulai asal lari aja! "

Anak perempuan itu pun dnegan takut melangkah cepat kembali ke tempat semula.

"Masa motor langsung melaju gitu aja,  ajaib amat, " kata Bang Sat, "hidupkan mesinnya dong. "

"Brumm brumm.... "

"Panasin mesinnya kasian motornya udah nggak dipake tiga hari, " kata Bang Sat sambil tertawa diiringi tawa teman-temannya.

"Brum brum.. Brummmmm.... "

"Masuk gear satu. "

Anak itu kulihat sendikit bingung lalu ia pun melangkah dengan tersendat-sendat membuat seisi kelas tertawa.

"Gear dua, " kata Bang Sat.

Anak itu berlari kecil mulai mengitari kelas.

"Suara motornya mana? "

"Brumm.. Brummm. "

"Depan ada lampu merah,  kamu rem mendadak. "

"Bruum brummm ciiiiiit. "

Sontak seisi kelas tertawa membuat Bang Sat berteriak.

"Siapa suruh kalian tertawa,  hah! "

Seketika langsung hening kembali.

"Apatis kalian, ada temen dihukum malah tertawa!  Seneng liat temennya gitu? "

"Siap tidak! " jawab kami sambil menundukkan kepala.

"Lampu ijo, "perintah Bang Sat kepada anak itu, "lima meter ada orang lewat. "

"Brum.. Brum... Tin tiiin.... "

Bang Sat tertawa ," ada tikus mati, kamu menghindarinya dan nabrak got. "

"Brumm.. Brum... Ciiittt... Brum... Duar... Gubrak! "

Anak itu pun membelokkan dirinya ke kiri dan kanan lalu menabrak meja dosen seolah itu adalah selokan.

Bang Sat tertawa begitu senangnya diiringi tawa keras panitia lainnya. Aku jengkel melihat dia memperlakukan anak baru seperti orang bodoh.

"Ada yang dongkol? " kata Bang Sat

Semua hening, tentu saja dongkol (kesal)  dengan sikapnya yang membuat malu teman kami.

"Kalo ada yang dongkol silakan maju ke depan! " teriaknya

"Siap tidak! " jawab kami

Aku bisa merasakan ketidakikhlasan mereka mengatakan tidak kesal pada panitia pps. Sejenak kemudian, aku berpikir dan merasa menyesal dengan pilihanku sekarang.

"Ini aku salah kampus apa salah jurusan? " lirihku.

Tbc....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro