Ketakutan yang Terlupakan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku bangun dari tidurku dan hanya menyaksikan hari-hari berlalu. Tanpa melangkahkan kaki ke luar rumah—aku takut menghadapi dunia yang tidak bisa ditebak itu.

Beberapa tahun yang lalu, aku masih normal. Pergi ke sekolah untuk belajar, menghabiskan waktu dengan teman-teman, pergi ke tempat baru dan bertemu dengan orang baru pula. Setiap hari tidak ada kata bosan dalam hidupku. Namun, semuanya mulai berubah. Tidak—diriku yang berubah, menjadi badut yang memalukan.

Semuanya bermula saat aku berada di semester akhir, ketika skripsi menjadi beban yang harus kupertanggung jawabkan selama kuliah. Aku mulai sering berpikir yang aneh-aneh; penelitianku bagus tidak, pembimbingku tidak keberatan jika kuminta waktunya, kalau aku disidang aku bisa tidak menjawab semua pertanyaan, bisa tidak aku lulus tepat waktu. Aku kira diriku terlalu paranoid. Sempat aku mencoba bertanya ke teman-temanku. Ternyata mereka juga memikirkan hal yang sama, maka kuabaikan perasaan itu.

Akhirnya wisuda ada di depan mata, semua orang bersorak-sorai di hari bersejarah itu—tetapi tidak untuk diriku. Selama duduk, menunggu tali togaku di pindahkan ke sisi kanan, pikiran negatif datang menghantuiku. Penampilanku tidak aneh kan, nanti kalau aku naik harus melangkah cepat atau lambat, aku tersenyum ke arah kamera atau tidak, apakah ada yang akan menertawaiku dengan nilai IPK-ku, kenapa teman-temanku mendapatkan predikat cumlaude sedangkan aku tidak.

Selama kabut hitam itu memenuhi isi kepalaku, selama itu pula perutku terasa mulas. Padahal ada larangan untuk keluar masuk ruangan selama acara. Apalagi masih 300 orang lebih hingga namaku dipanggil. Dengan penuh rasa malu, aku pergi ke kamar kecil. Selama satu jam aku tidak keluar-keluar dari sana.

Berkali-kali aku buang air besar. Setiap kali selesai, tiba-tiba rasa sakit diperutku datang kembali disertai rasa mual. Ibu yang menemaniku dibuat kebingungan. Akhirnya saat namaku hampir dipanggil, aku naik dengan wajah pucat pasi, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Aku yakin semua orang menyindir penampilanku. Hari terburuk sepanjang hidupku.

Ibu dan Ayah yang cemas segera membawaku ke rumah sakit. Aku kembali berpikir, apakah aku menderita penyakit berbahaya? Namun dokter tidak menemukan ada hal yang aneh di tubuhku. Beliau hanya menyatakan bahwa diriku mengalami diare dan dehidrasi. Kami bertiga merasa lega mendengarnya. Tetapi semenjak itulah, penyakitku yang sebeneranya mulai unjuk gigi.

Semakin hari, keadaanku memburuk. Aku mulai mengalami depresi berat. Semua temanku mulai melangkah menjauh; ada yang kerja, lanjut kuliah di kampus bergengsi, malah ada yang sudah menikah. Sedangkan diriku hanya terus berjalan melingkar—gagal masuk ke universitas impian, gagal dalam tes wawancara kerja, aku juga sudah jarang berkomunikasi dengan teman-temanku.

Puncaknya ketika Ayah mulai memarahiku dan membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Kabut itu semakin pekat, gelap—menutupi pandanganku. Saat itulah aku terkena panic attack. Tangan dan kakiku kaku, ada suara berdengung yang menyakiti telingaku, kepalaku seperti akan meledak. Aku meraung kesakitan sembari menangis seperti bayi. Orang tuaku kembali membawaku ke rumah sakit. Tepat pada hari itu, aku dinyatakan mengidap anxiety disorder atau gangguan kecemasan.

Aku mulai mengurung diri. Jarang berinteraksi dengan orang lain. Sosmedku sudah tidak kugunakan. Hanya buku dan musik yang menemaniku setiap hari. Ayah sudah menyerah dan membiarkan anak gadis satu-satunya mengurung di rumah. Dengan sabarnya, Ibu mengurusku, meskipun kadang serangan itu terjadi lagi. Tidak ada lagi yang kupercaya. Aku takut dengan manusia, aku takut dengan pikiran mereka, aku takut dengan sesuatu yang tidak kuketahui.

Ibu yang tidak kehabisan akal selalu menyuruhku pergi keluar jika obatku sudah habis. Awalnya aku kesal—artinya aku harus berjalan di antara kerumunan manusia. Aku benci keramaian. Tetapi obat-obat itu membantuku mengurangi rasa sakit. Terpaksa rutinitas membeli obat harus kujalani.

Apotek tempatku membeli obat sekitar 15 menit dari rumahku. Aku lebih memilih jalan kaki dibandingkan naik angkot atau ojol. Kuusahakan sesedikit mungkin berbicara dengan orang lain. Sebab aku takut dengan orang asing. Pikiranku selalu berputar-putar ke hal-hal yang buruk. Pintu apotek otomatis terbuka, apoteker yang kukenal tersenyum ke arahku. Seperti biasa, aku menunggu wanita itu mengambil obatku lalu memanggil namaku untuk bertransaksi.

"Bagaimana harimu, Selly?" dia bertanya sembari membungkus obat-obatku.

"Sama seperti sebelumnya. Ah—terima kasih," sebelum wanita itu berbicara lagi, kurebut kantong plastik itu dari tangannya. Aku bisa merasakan tatapan ibanya di punggungku. Makanya, aku benci keluar dari sarangku.

Aku kembali berjalan sambil menatap aspal. Jika ada orang yang melewatiku, aku akan bergeser agar tubuhku tidak tersenggol mereka. Aku ingat, dulu aku biasa menatap ke atas, memandang langit biru yang berhias awan-awan cantik. Namun itu dulu, bukan sekarang. Pemandangan kotor di jalanan menjadi tontonanku akhir-akhir ini.

[Silahkan klik play pada video di atas, lalu lanjut membaca. Nikmati sensasinya]

Sayup-sayup aku mendengar lantunan musik. Indah. Bagaikan terhipnotis, langkahku malah berbelok ke sebuah ruko berwarna putih bersih—menuju pintu kaca yang terbuka lebar. Aku masuk ke dalam dan melihat banyak orang yang sedang duduk, di ujung ruangan ada beberapa yang memainkan alat musik, dan ditengah-tengahnya—ada sepasang penari yang berdansa dengan menawan.

Aku terpaku melihat penari itu—bagaikan mereka sedang berbicara satu sama lain dengan langkah dan gerakannya. Tiap sentuhan, putaran, maju dan mundur—seperti ada lampu sorot yang menyinari dua insan itu. Tidak memperdulikan fakta bahwa ruangan itu penuh dengan orang-orang asing. Mendadak suara tepuk tangan membuyarkan lamunanku. Astaga, kenapa aku masih ada di sini? Aku harus pulang.

Aku kembali menoleh ke dalam. Tidak sengaja mataku bertemu dengan seorang lelaki bermata kecoklatan. Dalam persekian detik, jantungku berdebar kenjang sesaat dia tersenyum ke arahku. Sontak aku berlari menjauh dari kerumunan itu.

Selama di kamar, aku terus membayangkan kedua penari itu dan ... pria bermata cokelat. Nampaknya aku ketagihan dengan musiknya. Dan anehnya, aku ingin kembali bertemu dengan pria itu. Malam ini aku tertidur pulas. Tanpa meminum obat penenangku.

~~~

Aku benar-benar melakukan hal nekat—lebih tepatnya idiot. Aku berada di depan ruko itu lagi, dan berdiri seperti orang bodoh, menatap papan kecil bertuliskan close. Tanganku mulai bergetar. Aku harus cepat pulang sebelum serangan itu datang. Baru saja aku membalikan badan—pria tinggi dengan rambut hitam dan iris cokelat memandangku.

Tubuhku kaku. Lidahku kelu. Tubuhku semakin bergetar hebat. Sial! Serangannya malah muncul di sini. Namun pria itu menggenggam kedua bahuku, dia tersenyum. Lalu dia membuka pintu kaca yang ternyata tidak terkunci dan mendorongku masuk.

Pria bermata cokelat itu mengarahkanku ke salah satu bangku. Aku duduk dan dia mengambil sebuah biola yang besarnya menyamai tubuh anak-anak. Dia duduk di bangku tengah, lalu mulai menggeseknya dengan sebuah tongkat panjang.

Sensasi itu kembali. Lampu sorot itu mengarah ke pria itu. Seperti sebuah kode indah, aku bisa memahami apa yang berusaha dia ceritakan dalam tiap gesekannya. Rasa menusuk dikulitku samar-samar menghilang. Aku larut dalam penampilannya. Air mata turun bagaikan hujan yang melelehkan kabut hitam.

Musik berhenti. Pria itu mulai angkat bicara, "Bagaimana? Kamu suka?"

Tergesa-gesa, kuhapus air mata yang membasahi wajahku, "Indah," eh? Mulutku berbicara sendiri.

"Begitu ya. Kalau mau, datanglah tiap jam 10 pagi. Aku akan mengajarimu perlahan-lahan."

Aku terkejut sekaligus bingung. Mengapa dia ingin mengajariku? Padahal aku tidak memintanya. Namun tubuhku kembali bergerak sendiri, aku mengangguk setuju.

~~~

Tiap hari aku datang ke ruko itu. Ibu nampak senang melihat diriku mulai jarang di kamar. Serangan panikku pun mulai berkurang. Mood-ku akhir-akhir ini juga bagus.

Joshua—nama pria bermata kecokelatan itu. Dia adalah seorang cellis, sering melakukan konser tunggal di berbagai negara. Dan yang lebih membuatku semakin tertarik dengannya adalah dia lahir di Indonesia, almarhuma ibunya dari Bandung sedangkan ayahnya dari Paris.

"Astor Piazzolla, Oblivion—artinya terlupakan, keadaan ketika seseorang kehilangan kesadarannya dari lingkungan sekitar. Musik Piazzolla ini sering digunakan dalam tarian Tango," Joshua menjelaskannya kepadaku seraya membantuku menggesek cello yang kumainkan.

Semakin hari, permainanku semakin mantap. Joshua yang awalnya memberi intruksi, mulai ikut mengiringi permainanku. Hingga hari itu tiba.

Aku memainkan Oblivion penuh nikmat. Pikiran dan tubuhku larut dalam melodinya. Lampu sorot itu sekarang menyinari diriku dan Joshua. Kami berdua saling berinteraksi ditiap gesekkan. Ketika outro menandai akhir penampilan kami, secara bersamaan suara tepuk tangan bergema di penjuru ruangan.

Aku tidak menyadarinya. Selama aku memainkan cello-ku, orang-orang di jalanan mulai masuk ke dalam. Air mataku pecah, bukan karena tepuk tangan—Ayah dan Ibu nampak menangis terisak-isak melihat diriku yang kembali ke wujud semula, gadis yang mereka sayangi.

"Kenapa mereka bisa ada di sini ...."

"Aku dengar kisahmu dari ibumu. Kau sadar tidak, aku ini tetanggamu. Setiap hari aku melihatmu di jendela. Diam-diam aku stalker-mu loh," Joshua tertawa lepas melihat ekspresi bingungku.

"Jadi ... selama ini, kamu tahu siapa diriku?"

"Tentu, dan aku rasa rencanaku berhasil."

"Kenapa?" aku menunduk, menangis, sebab ada lagi kejadian yang tidak bisa kutebak. Aku takut serangan itu kembali. Namun hingga detik ini, rasa sakit itu tidak ada. Kabut itu sudah hilang.

"Aku tidak mau kejadian itu terulang lagi. Ibuku mengidap anxiety—sama dengan dirimu. Karena itulah aku ingin menyalamatkanmu, sebab aku gagal menyelamatkan ibuku."

"Hanya itu alasanmu?"

"Tidak .... Maukah kamu menjadi partner-ku? Di atas panggung maupun di rumah kita nanti. Oh, dan mulai sekarang aku tidak akan membuat kejutan seperti ini. Aku akan lebih mengutarakan segala pikiranku dan lebih jujur kepadamu, agar kamu tidak khawatir."

Aku memeluk tubuh Joshua yang kokoh. Lalu meraung-raung di atas dadanya yang bidang. Rasa tegang dan gelisah yang terus membakar tubuhku, dia padamkan dengan kepeduliannya. Di dalam kekosongan itu, tangannya berhasil menarikku ke dalam cahaya. Diantara sinar-sinar berkilauan itu, berangsur-angsur suaraku kembali. Hingga rasa takutku lenyap seutuhnya.

Total: 1485 kata.

<><><><><>

Wow, hampir 1500 kata. Engga terasa. 😂 Padahal aku mau kasih lebih rinci lagi, tapi udah di ambang batas. Jadi kuurungkan, hehehe.

Jadi, Selly di sini menderita anxiety syndrome atau gangguan kecemasan. Dia lebih mengarah kecemasan sosial. Penyakit ini sering muncul pada kalangan anak muda yang menuju kedewasaan. Apalagi dibebankan masalah-masalah seputar masa depan. Awalnya stress, depresi hingga berujung gangguan mental.

Semua orang bisa mengalaminya. Karena kecemasan adalah kejadian alami manusia untuk meningkatkan kewaspadaan. Tapi kalau berlebih, bahaya. Aku pun pernah mengalami kecemasan berlebih, engga berbahaya sih, untungnya masih ada keluarga dan sahabat yang tidak hentinya merangkulku. 😘

By the way, kalian suka dengan musiknya? Jujur pertama kali aku dengar, langsung nangis. Mataku pedas minta ampun. 😭

Ini mungkin yang namanya musik yang berbicara. 😍

Terakhir, ini adalah 2Cellos yang memberiku inspirasi untuk menulis. Dua abang yang cakep minta ampun. 😆

https://www.youtube.com/watch?v=D8KmjzQs0x4

Video sebelumnya itu orang yang sama di 2Cellos, Hauser. Silahkan kepoin akun youtube-nya kalau udah jatuh cinta sama mereka berdua. 😆

Terima kasih yang udah mau baca karyaku ini. Semoga teman-teman yang 'sakit' diberi kesembuhan dan senantiasa dikelilingi oleh orang-orang yang sayang padamu. 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro