03: Tracking A Mouse

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hanya mengingatkan, genre book ini bukan shonen Ai apalagi BL:)

"Hm, rasanya enak sekali ya..."

"Apanya?"

"Soraru-san."

Sakata yang baru memberi satu langkah pada ruangan itu mau tak mau membiarkan daun pintu jati di belakangnya tertutup dengan sedikit tidak santai. Tunggu, rasanya konversasi barusan terdengar salah. Sepasang delima lantas menyawang penuh tanya pada sosok albino yang anteng menelan pasta yang dikunyah halus dalam mulut.

Tidak, tidak. Ia baru saja masuk. Jangan-jangan yang didengar dari mulut Mafumafu barusan memang dialog rumpang. Lagipula, mengapa pemuda bertato barkode itu diam saja seolah lepas tanggung jawab soal kalimat ganjil barusan??

Tidak, dia pasti hanya salah tangkap.

Saling tatap kedua pasang merah delima itu sekian sekon. Sama-sama membiarkan sang hening melalui mereka, hingga tiada pengisi ruang selain denting jam kayu besar di atas kepala sang Ketua OSIS.

"... Kau tidak berniat mengelaborasi lebih lanjut?"

Alis si albino bertaut, "Mengelaborasi apa?"

Detik itu juga, Sakata memutuskan untuk tidak melakukan interogasi lanjutan.

Mengusak helaian merah miliknya, Sakata berdecak selagi membawa diri mendekat ke arah meja Ketua OSIS. Jarak antara mereka hanya terpaut satu meja ketika bibir si merah terbuka, "Kau ini suka sekali mempersulit kerja orang lain, ya?"

Tak begitu peduli, Mafumafu kembali menyuapkan segulung pasta masuk ke mulut. "Mempersulit bagaimana?" Selagi mengunyah lisannya bicara.

Lihatlah wajah tanpa dosanya itu. Sakata bersyukur ia tidak membawa Urata, Shima, dan Senra. Kalau iya, tak sudi dirinya mengira berapa besar tagihan ganti rugi yang bisa saja mampir ke kotak pos besok pagi. Perangai sahabatnya memang begini, minta dimaklumi.

Maka setelah menarik napas begitu dalam, Sakata kembali memulai dialog. "Maashi menemukan obat-obatan yang kau maksud tempo hari pada beberapa anak berandal sekolah. Kemungkinan oknum memang melakukan penyebaran lewat berandalan. Entah dapat akses darimana, kami masih menyelidiki."

"Lalu? Kenapa kau lapor padaku?"

Sudut bibirnya berkedut. Ingat, Sakata. Kau sedang berhadapan dengan entitas paling absurd yang pernah kau kenal; Mafumafu. Apa yang kau harapkan darinya?

Sekali lagi menarik napas. Sedikit meninggi nada bicara si surai merah. "Kau ini posisinya sudah seperti atasan kami! Tentu saja aku harus melaporkan perkembangan yang ada dari mandat yang kauberi, bukan?"

"Kita antagonis, Sakata," potong si albino, "kau dan aku berdiri di sisi yang berbeda. Tentu saja kau tidak perlu melaporkan segalanya padaku."

Baiklah, sekarang Sakata jadi tambah bingung. Bukankah dia bergerak juga atas permintaan Mafumafu? Kenapa sekarang mendadak si pemberi tugas lepas tangan?

Menyadari tatap penuh tanya dari kilat mata si merah, Mafumafu berdiri dari tempatnya. Menatap taman luas sekolah mereka di balik jendela, menyuguhkan punggung sepenuhnya pada penglihatan sang sahabat.

"Aneh kalau pihak oposisi sering berdialog dengan lawannya, bukan? Kau hanya akan memancing kecurigaan pihak target. Rencanaku bisa hangus jadi serpihan debu kalau begitu caranya," terang dia tanpa mengalih pandang dari panorama dibalik jendela.

Kali ini Sakata berhasil dibuat tertegun. Benar juga. Tidak mungkin ia bisa bolak-balik menjejakkan kaki di ruang OSIS tanpa menimbulkan tanda tanya besar dari pihak luar. Sering berkomunikasi begini justru tindakan yang berisiko tinggi.

Masih terbenam dalam pemikiran sendiri, Sakata baru kembali ke realita ketika Mafu sekali lagi membuka percakapan. "Intinya, lupakan laporan berkala. Lakukan saja semau kalian. Aku hanya akan mengamati hasil akhirnya dari sini. Bila sudah saatnya berganti target, aku yang akan menghampirimu. Paham?"

"Cih, menghampiriku juga kau tidak memberi penjelasan dengan baik," cibir Sakata.

Kekeh pelan terdengar dari sang lawan bicara. Dengan seulas senyum seperti biasanya, Mafumafu kembali bicara dengan tenang, "Permainan dengan banyak teka-teki justru terasa lebih menyenangkan, bukan?"

Sakata paham betul yang dia tanyakan. Masalahnya bukan datang dari situ, melainkan rasa was-was yang mengganjal hati. Ia paham akhir cerita seperti apa yang diinginkan orang ini. Tetapi, dengan alur bagaimana ia ingin Sakata berlakon? Kalau tidak sesuai?

Nyawanya bisa jadi bayaran, bukan?

"Tenang saja," seakan membaca kegundahan hati Sakata, Mafu menyahut, "aku bisa menyesuaikan diri dengan apapun yang kau lakukan."

"Kau akan menyingkirkanku kalau lakonku tidak sesuai, bukan?"

"Mana mungkin aku bisa berbuat begitu?"

"Kau bisa," tatapnya menajam, "kau anggap apa kejadian lima tahun lalu, Mafu?"

Entah hanya perasaannya atau tidak, Sakata merasa intensitas cahaya di ruangan ini meredup. Ah, senyum itu lagi. Sepasang merah darah si albino terasa berpendar. Mengintimidasi, mendominasi. Menusuk ke bagian paling dalam dari kalbu seorang manusia. Bahkan seorang Sakata sekalipun tak mampu mencegah keringat dingin menetes menuruni pelipis.

"Kau takut?"

"Mana mungkin. Menurutmu dengan keadaan mentalku sekarang, aku takut mati?"

"Karena itulah aku bisa mengandalkanmu, bukan?" Pernyataan Mafu sedikit menyentak Sakata, "Aku tahu apa yang kulakukan, Sakatan. Kau tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting."

Pada tahap ini, Sakata memutuskan menyerah. Setelah sekali lagi membuang napas dalam-dalam, selagi mengusak punggung kepala lisannya berucap, "Baiklah. Aku mengerti. Kalau begitu, sebaiknya aku pergi sekarang."

"Bagus. Geser saja rak paling pojok. Kau akan menemukan jalan yang membawamu ke sudut tersembunyi dalam gudang olahraga," titah si albino berbuah tatap heran sekaligus takjub pemuda surai merah.

Sekali lagi ia bicara selagi tersenyum, "Keren, kan? Tidak akan ada pihak yang curiga kalau kau keluar masuk lewat sana."

Mafumafu rupanya tidak membual. Sakata dapat menemukan sebuah lorong dingin dengan tangga batu menurun ketika menggeser rak buku tua yang dimaksud.

Tepat saat setengah badannya telah menjejak dalam jalur rahasia itu, Sakata kembali mengajukan tanya, "Siapa yang menemukan jalur keren begini?"

Tak mungkin lorong lembab beraroma debu ini baru ada sehari dua hari lalu, bukan?

"Seekor kelinci manis mengendusnya untukku."

Menanggapi dengan sedikit cibiran, rak itu kembali digeser ke posisi semula. Sempat terdengar gerutuan si merah yang mengeluh gelap dari balik sana, sebelum sepertinya memutuskan menggunakan senter ponsel sebagai penerang jalan.

Sekali lagi ruangan OSIS direngkuh kebisuan. Sayang sekali keadaan itu tidak berlangsung lama, karena belum ada satu menit setelahnya terdengar ketukan dari pintu masuk.

"Ketua, aku boleh masuk?"

"Oh, Soraru-san? Silakan."

Maka benar saja, sosok berambut kelam yang dimaksud menampakkan diri dengan sopan. Langkah demi langkah membawa raga ke hadapan sang partner. Selagi demikian, bibir merah muda sang wakil terbuka untuk bicara.

"Sepertinya beberapa saat lalu aku sempat melihat Sakata-kun masuk kemari. Kemana anak itu pergi?"

"Hei, Soraru-san," wajah si albino tampak sedikit kekanakan. Mengetahui atensi si raven telah terarah penuh padanya, Mafumafu melanjutkan, "Tahu tidak? Katanya gedung sekolah kita ini sudah berdiri hampir tiga abad lamanya, loh~"

"Ho? Begitukah? Seram, seram~~" sedikit mencondongkan badan bersandar pada tepi meja, tangan Soraru bergerak membelai pelan dagu si albino, "berarti, mungkin barusan aku sudah melihat hantu, ya?"

Sepasang netranya terpejam. Mafumafu menikmati sejenak sentuhan tak seberapa itu sebelum menyahut disertai kekehan kecil, "mungkin? Bisa jadi seperti itu."

Lawan bicaranya baru akan membuka mulut lagi ketika tiba-tiba pintu dibuka dengan agak kasar. Sosok pria tambun kisaran 50 tahunan berdiri dengan raut gusar disana.

"Oh, Pak Kepala Sekolah? Ada urusan apa mengunjungi saya di jam makan siang begini?" Mafu menyambut dengan tenang.

Pria yang diketahui Kepsek itu melangkah besar-besar dengan kaki terhentak. Ia terlihat berjalan dengan tak sabar, sedikit mendorong Soraru kemudian menggebrak meja Mafu teramat keras.

"BAGAIMANA BISA GURU BK MENERIMA OBAT TERLARANG DARI SISWA??" Bentak pria itu tepat di depan wajahnya.

Mafu membuat mimik terkejut yang amat natural. Dengan intonasi dibuat kaget, ia membalas pertanyaan sang kepsek agak terpekik, "Ada siswa yang membawa obat terlarang ke sekolah??"

"Benar! Apa, sih, yang kau lakukan?? Mengurus hal seperti ini saja tidak becus!"

Sedikit menyipit sepasang merah darah sang Ketua OSIS, "Sejak awal mustahil obat-obatan seperti itu bisa lolos dari pengawasan dan peraturan sekolah ini, kan?"

"Integritas sekolah ini sudah terjamin!" Ketus sang kepsek, "Tidak mungkin ada kesalahan. Kinerja kalian saja yang kurang baik. OSIS adalah organisasi yang paling dekat dengan siswa! Kalianlah pihak eksekutifnya, maka kalian juga yang seharusnya mengawasi dari dekat!"

"Saya sudah dua kali meminta sekretaris untuk menyerahkan proposal peninjauan ke pihak wakasek bagian kesiswaan," dengan tenang Mafumafu menukas, "keduanya ditolak. Bahkan saya diberi kecaman dari bagian kesiswaan untuk berhenti membicarakan 'omong kosong' ini."

"Gunakan otakmu untuk berpikir!" Kali ini sang kepsek menuding, "Kau sudah terpilih menjadi perwakilan dan pemimpin para siswa, berarti kualitas intelektualmu diakui sebagai yang tertinggi! Bacalah situasi dengan benar, mengerti??"

Lepas berkata demikian, masih sedikit gusar kepsek balik badan, berniat angkat kaki dari ruangan itu. "Oh iya," ujarnya tepat sebelum meraih gagang pintu, "anak yang menyerahkan benda itu ke guru BK adalah siswa kelas dua, rambutnya ungu dan punya tahilalat dibawah mata."

Gelegar pintu jati tertutup menggaung sejenak, bersamaan dengan durasi saling hening yang dilakoni dua sejoli.

Menautkan jemari, si albino mendengus panjang. "Yah, kelihatan sekali Pak tua itu melimpahkan kesalahan padaku."

"Memang parah," Soraru menggeleng, "lagaknya seperti marah gara-gara ada barang haram masuk ke sekolah, padahal aslinya semak hati lantaran kebobrokannya terendus."

"Lebih cocok disebut lalai sepertinya," Mafu memberi koreksi, "orang itu hanya tahu soal ini tapi membiarkan saja. Oknumnya tetap orang lain."

"Ha, itu namanya kunci mulut demi terkena cipratan madu. Asal dia kena manisnya, didiamkan tidak masalah."

Lepas mendengar penuturan si raven, Mafumafu bergerak meraih sebatang pena hitam di ujung meja. Selagi memutar benda itu di tangannya, Soraru sudah berpindah duduk di pangkuan si albino.

"Tiba-tiba?" Mafu menyengih.

"Salahkan sekolah ini yang hanya memberi kursi khusus untuk ketua OSIS. Kakiku pegal terus-terusan berdiri."

"Kau, kan, bisa gunakan sofa tamu? Aku yakin mereka lebih empuk dari pahaku."

"Memangnya Ketua nyaman bicara empat mata denganku dari jarak sejauh itu?"

"Apa ini? Rupanya Wakil Ketua OSIS punya sisi imut seperti ini."

"Ganti saja diksinya jadi 'pengertian'."

Lagi-lagi kekehan lolos dari bibir si albino. Mafumafu memutar sekali lagi pena di genggamnya. Lepas itu ia kembali bicara, "Sudah kuduga Urata-san otaknya encer untuk perkara semacam ini. Dari ciri yang disebutkan Kepsek tadi, pasti Shima-kun yang menyerahkan 'itu' ke guru BK, kan? Aku penasaran ilmu silat lidah macam apa yang kau gunakan untuk membujuk mereka bertiga? Sepertinya baik Urata-san, Shima-kun, dan Senra-kun terlibat dalam pertunjukan ini secara sukarela."

Tawa bariton yang terdengar ringan menggelitik gendang telinganya. Mafu kembali mendengar Soraru bicara tenang, "Sudah kubilang, semua mudah kalau kau pandai bicara."

Membalas pula dengan gelak pendek, Mafu tak ingin kalah, "Aku juga pandai bicara, kau tahu?"

"Yah, dengan tambahan dorongan kecil," tangan Soraru bergerak menyapu bagian dada ketuanya. Mendekatkan bibir pada telinga sang albino, sedikit berbisik dengan nada dibuat agak nakal, "beberapa ronde satu malam di hotel, misalnya?"

"Wah, aku baru tahu Wakil Ketua OSIS punya identitas lain sebagai pekerja distrik merah."

"Aih, jahatnya~" seringai jahil tersemat di wajah siswa teladan itu, "Ketua cemburu? Ketua pandai berkelakar juga, ya?"

"Siapa coba yang mulai bercandanya bawa topik tabu begitu?" Seringai balasan diberi.

Angkat tangan, Soraru berdiri. "Kau benar," ujar dia, "sepertinya aku agak bablas karena belum makan siang."

Tangan Mafu baru saja kembali meraih selembar dokumen untuk dikerjakan tatkala Soraru kembali bicara. "Hei, pasta makan siangku... kenapa tinggal setengah?"

Sudut bibir terangkat, menampilkan barisan gigi pemuda bersurai salju. Mata tertutup, membentuk garis lengkung menyelaraskan bibir bulan sabit yang ia suguhkan.

"Aku lupa membeli makan siang. Pekerjaanku masih banyak, jadi, maklumi saja, ya?"

-

-

-

Shima agak terkejut raganya dapat dengan mudah beradaptasi dengan permadani rumput hijau menurun tepian sungai itu. Rasanya nyaman, padahal permukaan sang bumi tak rata menyangga punggung.

Namun tentu saja, rasa terkejut itu tak seberapa jika dibandingkan dengan rasa takjub akan dirinya sendiri. Ini adalah kali pertama pemuda surai ungu itu mangkir dari jam belajar setelah hampir dua tahun lamanya. Agak memalukan sebenarnya, mengingat Shima telah berikrar untuk meninggalkan rutinitas minus itu setelah pindah ke sekolah ini.

Apa boleh buat. Suasana di kelas akhir-akhir ini kurang bersahabat. Teman-teman yang semula sudi bertukar sapa dengannya sekarang menarik jarak. Imej sangar yang susah payah ia tutupi dengan kacamata udik dan rompi rajut putih bersih kini terasa percuma.

Shima yang terlihat kampungan dan tidak berbahaya, sekarang sudah tidak terlihat sama lagi di mata kawan sekelasnya.

"Ciye, bolos," celetukan itu membuat Shima refleks terbangun lalu menoleh ke belakang. Pemuda surai merah tampak menyawang santai sembari membenam kedua tangan dalam saku celana.

Sontak saja Shima gelagapan, "Tunggu- muncul darimana kau??"

Selagi mendaratkan pantat pada karpet rumput di sisi sang kawan, Sakata menyahut, "Aku baru saja datang, kok. Tak sengaja melihatmu disini, jadi ingin bolos juga rasanya."

"Hei, itu bukan jawaban atas pertanyaanku- Ah, sudahlah. Omong-omong, bagaimana dialogmu dengan Ketua OSIS?"

Mengangkat bahu, acuh tak acuh Sakata menjawab, "Yah begitulah. Kita disuruh mengabaikan prosedur laporan rutin. Katanya 'suka-suka kalian sajalah. Yang penting masalahnya beres' begitu."

"Ini kalau Ura-san dengar, bisa jadi masalah gawat kayaknya."

"Makanya lebih baik ngomongnya belakangan. Kita harus jabarin alasan rasionalnya dulu di awal. Kalau sudah mendengar alasan logisnya, Ura-san pasti tidak akan protes."

Penjelasan Sakata menuai anggukan takzim dari Shima. Sebentar kemudian sepasang netra violet si pemuda terkunci pada gugusan awan yang berarak pelan di angkasa awal musim panas.

Tanpa menatap Sakata, lisannya bicara, "Saat aku menyerahkan bungkusan itu pada guru BK tadi pagi, raut mukanya langsung berubah. Beliau gusar sekali dan menuduh aku yang membawanya ke sekolah. Hampir saja aku terkena masalah."

Sakata lekas menanggapi, "Tapi tidak sampai kena masalah, kan?"

Anggukan dari Shima, "Berkat kalimat yang Ura-san suruh aku bilang, Guru BK langsung terdiam lalu menyuruhku keluar."

Latar suara sempat diisi gemerisik angin selama beberapa detik. Kedua pemuda ini sama-sama tertegun, sekali lagi merasa takjub akan kelihaian senior yang amat mereka hormati dalam merangkai kata-kata. Entah itu merupakan buah dari pengalaman ataukah memang murni salah satu bukti betapa picik otak sang pemuda bernetra zamrud.

Jika menilik seberapa jauh pencapaian seorang Urata, keduanya sepakat bahwa hal sekecil ini memang bukan sesuatu yang mengherankan.

"Oiya, Maashi," Sakata memulai dialog setelah sekian lama mereka saling bisu, "karena sudah begini, sepertinya langkah berikutnya bisa kita tentukan sendiri."

Mengangguk si pemuda bermanik violet. "Langkah selanjutnya kalau tidak salah, 'melacak tikus' bukan?"

"Yap, benar. Kita akan ikuti langkah yang sudah didiskusikan dengan Ura-san kemarin sore."

"Tapi bagaimana kita akan melacaknya? Petunjuk saja tidak punya."

"Tentu kita punya. Pengedaran mereka lewat berandalan sekolah, bukan? Kau dulu berandalan. Bagaimana cara barang haram seperti itu menyebarluas diantara kalian? Harusnya kau paham."

Si surai merah terkejut Shima menggeleng. "Tidak," ia menanggapi, "Aku sangat benci dengan hal-hal semacam ini. Bahkan pengedaran senjata saja kukecam habis habisan."

"Kenapa?"

"Karena seorang berandal sejati akan bangga dengan kemampuan dan kekuatan fisiknya sendiri. Menggunakan senjata atau stimulus lain sama artinya dengan tindakan pengecut."

Mendengar kalimat ini membuat Sakata bersiul. "Berarti di kota asalmu dulu bersih dari pengedaran barang seperti itu?"

Shima mengangkat bahu, tanda tak yakin, "Mungkin masih ada, tapi tak sampai ke telingaku."

"Tidak. Sepertinya bukan begitu. Kurasa mereka hanya masih sayang nyawa saja."

Sempat mengernyit dahi Shima, tak begitu menangkap maksud kalimat Sakata. Namun bukannya meneruskan, si surai merah memilih untuk kembali ke jalur konversasi awal.

"Hm, berarti kau tidak punya pengalaman soal ini, ya... tenang saja. Kita masih punya orang yang pasti tahu seluk beluk yang berkaitan dengan transaksi semacam ini."

"Siapa?"

Maka disinilah mereka senja itu, membuntuti Senra menyusuri trotoar padat jam pulang kerja. "Jalannya betul lewat sini, kan, Urata-san?" Tanya si pemuda pirang sambil sedikit melongokkan kepala ke baris belakang.

Urata yang sibuk mengunyah donat mengibaskan tangan. "Lurus saja ke depan sana. Tongkrongan preman sekolah kita memang disana."

"Ura-san sekarang jadi suka makan donat, ya," celetuk Sakata tanpa repot menoleh. Urata berdecih, "Tahu-tahu isi kotak bekalku diganti donat tiga buah. Aku yakin ini kerjaan si br*ngsek itu."

Kali ini pertanyaan dilontarkan mulut Senra, "Sebenarnya hubungan Urata-san dengan Wakil Ketua OSIS itu apa, sih?"

"Benalu dan inangnya, barangkali," ketus si netra zamrud, "agak tidak sesuai, sebenarnya. Tapi fakta bahwa sampai detik inipun aku sedang dimanfaatkan olehnya itu memang benar-"

"-Tidak cukup menari di telapak tangannya, masih sering diganggu, pula. Dasar dedemit!"

"Kedengarannya rumit sekali," celetuk Sakata. "Memang, makanya tidak usah ditanyakan," sambar Urata kilat.

Bermaksud mengalih topik yang dirasa takkan berkembang ke arah baik, Shima melempar tanya pada Senra yang masih berjalan tenang, "Kau benar-benar yakin kita akan ketemu bandarnya kalau ke tempat tongkrongan itu?"

"Tentu saja. Cara mereka beroperasi memang begitu," tanggap si lawan bicara. Tak ayal memancing sepasang amethyst Shima memicing jejap.

Merekognisi adanya ketidakpuasan terpancar dari wajah si mantan preman, Senra meneruskan keterangan, "Dimana mana modus operandi pengedar itu sifatnya template sekali. Pasti seperti ini, menyebar lewat pergaulan di tempat tongkrongan. Tapi, kusarankan jangan berharap banyak pada penggerebekan kita kali ini."

"Kenapa begitu?" Naik sebelah alis Urata. Senra lekas membalas, "Karena yang akan kita temui pastilah cuma kroconya. Seorang gembong tidak akan turun ke tempat ecek-ecek seperti itu. Risikonya besar. Tapi, yah, kemujuran siapa yang tahu."

"Senra benar-benar khatam soal masalah begini, ya," Sakata berceletuk. Satu kali kedikan bahu ia dapatkan dari si surai kuning, disertai sebuah jawaban, "Apa yang kau harapkan? Aku memang mau tak mau pasti punya wawasan soal hal semacam ini. Masa kecilku saja begitu. Jangan heran, dong."

"Iya, iya, aku paham," Sakata angkat tangan. Terlarut dalam konversasi membuat mereka tak sadar telah sampai di tempat tujuan.

Empat sekawan paham sekolah mereka didominasi kalangan borjuis yang terbiasa melihat segepok uang dalam genggaman. Tapi, apa benar ini tempat lazim untuk nongkrong anak-anak SMA?

"Ini benar tempatnya?" Heran Shima tanpa melepas pandang dari gedung besar bergaya neo-klasik di depan mereka. Urata mengangguk. "Betulan ini. Aku tidak membual. Anak-anak 'bandel' sekolah kita biasa berkumpul disini."

Tak kalah tertegun Senra menambahi, "Gila, ini, sih, sekelas kondominium elit! Tempat apa sih ini??"

"Yap, ini memang kondominium," pernyataan Urata menyentak ketiga kawannya. Menanggapi raut penuh tanya ketiga junior, lisan si rakun kembali terbuka untuk memberi tanggapan, "Kalian pernah dengar 'Flamboyant Family?' Itu semacam kelompok elite berisikan anak-anak yang punya orangtua berpengaruh di sekolah. Sebagian besar anggotanya berasal dari keluarga donatur. Kualifikasi masuknya pun tidak sembarangan."

Mendengar penuturan sang senior membawa Sakata mengadu kedua kepal tangannya. "Oh, aku tahu mereka!" Dia berseru, "Mafu sebenarnya sudah berulang kali ditawari masuk sebagai anggota sejak pertama kelas satu dulu. Bagaimanapun Saat ini Mafu adalah kepala Aikawa Group yang merupakan perusahaan raksasa negara ini. Posisinya sangat krusial."

"Dan dia juga jadi donatur utama sekolah, kan?" Celetuk Senra menuai angguk setuju si surai merah. "Tapi sepertinya mereka berubah beda haluan setelah Mafu diangkat jadi Ketua OSIS."

"Jelas, lah," Urata ikut menanggapi, "Kalau tidak pun, sejak awal suasana diantara dia dan famili ini tidak bagus. Meski ditawari masuk pun pasti Ketua OSIS adalah ancaman besar. Kau bayangkan saja antara anak-anak yang masih calon penerus keluarga, yang posisinya belum tentu stabil di masa depan, disandingkan dengan presdir muda dengan aset turun temurun melimpah dan kepiawaian bisnis yang bagus. Para elite famili yang sekarang pasti khawatir kelompok mereka akan diambil alih."

Sakata tergelak hambar, mendengus kasar. "Tidak tahu saja mereka tujuan Mafu tidak seremeh mainan anak-anak seperti itu."

Tiba-tiba kalimat dari Shima memotong, "Sebenarnya apa tujuan orang itu, sih?"

Sedikit terhenyak, Sakata dapat menangkap tatapan heran bercampur kesal dari kilat violet itu. Ini hal yang maklum, sebenarnya. Sakata paham, amat sangat paham. Kecuali kau telah menghabiskan waktu dengan menjadi pengamat dalam kehidupan albino itu dari jarak dekat untuk waktu lama, kau pasti akan menganggap apa yang ingin dilakukan Mafu saat ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

Shima dan dua lagi temannya pasti berpikir, Mafu sudah memiliki segalanya. Aset keluarga, harta, titel yang cukup terpandang, masa depan terjamin, serta reputasi yang luar biasa. Untuk apa dia masih ingin menarik sekolah mereka dalam genggamnya? 'Tamak', 'haus kekuasaan', 'tidak ada puasnya'. Pemikiran itu wajar didengar dari orang-orang yang baru mengenal si albino.

Tapi Sakata tahu benar, itu semua hanya sebagian kecil dari tujuan akhir yang ingin dicapai oleh orang itu.

Maka si surai merah menghela napas cukup dalam. "Aku tak punya hak dan kuasa untuk membeberkannya. Tapi, yang bisa kukatakan adalah, orang itu memiliki tujuan yang sangat besar. Begitu besar dan rumit, bahkan tak dapat diukur secara materi duniawi. Tidak, aku yakin bahkan 'menguasai sekolah' yang ia maksud berbeda dengan apa yang kalian, dan mungkin aku juga, bayangkan."

"Hah! Urusan orang-orang kaya memang rumit, ya!" Shima kembali menanggapi setengah ketus.

"Tidak, tujuan akhir Mafu bahkan bukan sesuatu yang akan dilakukan seorang manusia."

Keempat pemuda direngkuh bisu lepas Sakata rampung mengucapkan kalimat itu. Memang berlangsung cukup lama, agaknya masing-masing dari mereka masih bergelut dengan pemikiran sendiri-sendiri.

Hingga kemudian, Urata selaku yang tertua pada akhirnya kembali membuka mulut, "Yah, apapun itu, selama apa yang dia lakukan tidak menimbulkan kerugian bagi kita sepertinya tidak masalah. Kita ikuti dulu saja kemana jalan cerita ini mengarah."

Mungkin merasa sependapat, pada akhirnya Shima dan Senra turut mengiyakan perkataan sang senior. Sakata terlihat menarik napas lega. Membuat Urata meninju pelan bahu kanan pemuda bersurai merah. "Kami cukup tahu diri, kok," imbuh si rakun, "bukan hal mudah menutupi segala hal. Setiap orang pasti punya batas untuk apa yang boleh dan tidak boleh diketahui sembarang orang. Kami mencoba percaya padamu."

"Uhm, terima kasih, Ura-san."

Suasana yang sempat beku selama beberapa waktu perlahan mencair kembali. Saat ini mereka punya agenda lebih mepet yang harus dikerjakan.

Maka keempatnya bergerak mantap. Kali ini, mereka akan melacak pergerakan seekor tikus yang menyaru diantara para bedebah di tempat ini.

***

To be Continued...

July 14,2022
-Sierrakafka-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro