10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa kau di sini?" tanya Ryo penasaran. Bagaimana bisa murid seperti Ify berkeliaran di area hijau pada jam pelajaran? Apa gadis ini juga suka menentang aturan seperti dirinya? "Kau tidak bisa melanggar aturan sebebas itu, kau pikir ini sekolah nenekmu?"

Ify mendengus, sepertinya percuma saja dia mengkhawatirkan Ryo kalau ternyata dia justru begitu menikmati waktu bolosnya.

"Aku yakin kau takkan percaya kalau aku katakan yang sesungguhnya."

Ryo menutup sketch booknya dan mendengarkan ucapan Ify dengan seksama, "Lebih baik kau ceritakan saja, percaya atau tidak itu hakku untuk memilih, kan?" sahut Ryo.

Ify mendapati mata Ryo tengah menatapnya dalam. Sepertinya pria itu tengah mencari sesuatu dalam dirinya. Mungkin keyakinan diri bahwa dia bukanlah seorang mata-mata. Ini gawat, Ify bukan anak yang pandai berbohong. Dia pun memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke arah danau yang ada di depan mereka.

"Aku bertanya pada Via kenapa kau tak ada di kelas, guru menangkap basah aku sedang tak memperhatikannya, karena itu aku diusir dari kelas dan berkeliaran di sini. Karena sekolah ini begitu luas dan aku terlalu asyik, aku sampai tak tahu arah jalan untuk kembali ke kelas."

Ryo terdiam, awalnya dia hanya datar mendengar penjelasan gadis itu, tapi beberapa detik terakhir−dari pengakuan polos Ify kalau dia itu tersesat−dia justru tertawa tak habis pikir.

"Kau ini... haha... kau ini bodoh atau apa? Hanya jalan kembali ke kelas saja kau tidak ingat."

Ify mengembungkan mulutnya, dia menatap Ryo tak suka. Adik atau kakak sama saja, suka sekali menertawai perbuatan jujurnya.

"Kau ini sama saja dengannya, suka menertawaiku!" ceplos Ify tanpa sadar.

Ryo berhenti tertawa dan menatap Ify bingung, "Siapa?"

"Kau dan Da...." Mulut Ify terbuka dan ucapannya terhenti, Ify segera memaki dirinya dalam hati dan berpikir kalimat apa yang cocok untuk dia pakai sebagai kelanjutan ucapannya. "Dan saudaraku... ya, kau sama seperti kakakku, menyebalkan!"

Ryo mengangkat bahunya tak acuh, "Memangnya untuk apa aku harus bersikap menyenangkan padamu, jelas-jelas kau merusak lukisanku," sahut Ryo retorik.

"Sebenarnya, kenapa kau suka membolos? Dan kenapa Via begitu membencimu?" tanya Ify ingin tahu, tak peduli dengan ucapan Ryo yang menyindirnya.

Ryo kembali membuka sketch booknya dan membuka lembaran baru, dia mulai menggoreskan pensilnya dengan sebuah sketsa, "Berhenti bersikap seperti kau seorang mata-mata," ucap Ryo sarkastis.

Ify membungkam mulutnya dan memutuskan mengikuti alur yang Ryo ciptakan. Lebih baik pelan namun pasti daripada terlalu cepat dan misinya tak berhasil. Tangan Ryo yang begitu lincah di atas kertas membuat Ify tenggelam dengan masa lalunya.

"Bu, siapa yang sedang Ibu lukis?" tanya Ify kecil dengan kuncir duanya. Dia menatap antusias setiap garis yang Ibunya goreskan di atas kanvas.

"Ini Ayahmu, sayang," jawab Ibunya sabar. Sama sekali tak merasa terganggu dengan celotehan ingin tahu Ify.

"Kenapa Ibu sering melukis Ayah dan anak bayi itu?" tanyanya lagi. Kini dia sudah mencelupkan telunjuknya di palet yang terdapat banyak warna. Dia pun menggoreskan cat yang ada di jarinya di atas kanvas yang sedang Ibunya kerjakan.

"Dia adikmu, kelak kau harus pergi mencarinya untuk Ibu," jawabnya. Ibu sama sekali tak marah pada Ify kecil yang justru merusak hasil karyanya.

"Kenapa Ify harus mencarinya, Bu?" tanya Ify dengan polosnya.

"Karena dia adikmu, tak ada alasan lain selain kau sebagai Kakaklah yang harus pergi menemuinya dan membawa adikmu pulang."

Ify menatap mata amber Ibunya dengan bingung. Usia Ify yang masih terlalu muda tak begitu paham apa maksud ucapannya tadi. Selain tersenyum dan terus mencoret-coret asal kanvas putih itu.

Ryo yang mendapati Ify tengah menatap sketch booknya dengan mata yang berkaca-kaca membuatnya berhenti menggerakkan jemarinya. Dia begitu penasaran dengan gadis yang tiba-tiba saja mengusik gairah melukisnya itu. Ryo terdiam, tiba-tiba saja gadis di sampingnya mengingatkan kembali akan gadisnya dahulu. Caranya menatap lukisan, caranya menahan air mata. Begitu mirip.

Siapa sebenarnya dia? Kenapa datang dengan membawa kepingan masa lalu yang susah payah Ryo lupakan?

Ify yang sadar bahwa Ryo tak lagi memainkan pensilnya di atas kertas pun segera menghapus genangan air yang siap tumpah dari pelupuknya. Sekilas dia berusaha menarik kedua ujung bibirnya untuk tersenyum.

"Jangan bertindak bodoh."

Ify mendongak, dia mendapati Ryo tengah menatapnya intens.

"Kalau mau menangis, ya, menangis saja, aku tidak peduli apa penyebabnya. Tapi aku tak suka melihat gadis yang berpura-pura tegar hanya karena gengsi mengeluarkan air matanya di depan pria tampan."

Wajah Ryo berpaling, sosok dingin dan sombong itu seakan runtuh ketika dia mengucapkan kata-kata barusan. Ify tersenyum kecil, setidaknya Ryo masih memiliki kepedulian pada orang di sekitarnya. Itu pertanda baik.

"Caramu melukis mirip dengan Ibuku," ujar Ify tenang. Dia tahu, Ryo akan mendengarkan curahan hatinya dengan seksama. "Dia meninggal beberapa saat sebelum aku memutuskan untuk pindah ke sini. Saat aku melihatmu melukis, aku seperti sedang dekat dengan Ibuku. Seolah... Ibuku tengah bersamaku saat ini."

Desir angin mengisi kekosongan yang tercipta. Baik Ryo mau pun Ify tak ada yang mengeluarkan sepatah kata lagi.

"Beruntung kau masih punya sesuatu bersama Ibumu untuk dikenang, aku bahkan tak ingat kapan terakhir aku berdekatan dengan Ibuku," kata Ryo sambil bangun dan membersihkan rerumputan yang menempel di celananya.

Ify mendongak, "Aku ingin berteman denganmu Ryo, tak peduli seberapa pun tak sukanya Via padamu. Aku tetap ingin berteman denganmu," sahut Ify ceria. Dia mengikuti gerakan Ryo yang menjauhi danau.

"Jangan konyol, kau pikir apa yang akan terjadi padamu jika kau berteman dengan biang onar sepertiku?"

Ify menghadang jalan Ryo dan memberikan senyumnya. "Aku sudah membuka rahasiaku padamu, berarti kau juga harus membuka satu rahasia milikmu, agar kita impas. Hm?" tanya Ify menunggu jawaban. "Bagaimana kalau... kenapa Via begitu tak suka padamu? Apa kau pernah menciumnya?" tanya Ify menggoda. "Biasanya gadis akan sangat marah pada pria yang menciumnya begitu saja."

Kepala Ryo miring ke kiri, bahu kanannya pun melorot. Tak menyangka kalau itu adalah hal yang terlintas di pikiran gadis ini tentang temannya.

"Kau berpikir temanmu murahan?"

"Tidak!" seru Ify cepat, "Aku pikir kau yang terlalu bernafsu padanya," lanjutnya asal.

CTAK! Ify meringis, satu sentilan Ryo mendarat di keningnya yang mulus.

"Otakmu perlu direparasi. Minggir." Ryo menubruk bahu Ify hingga gadis itu oleng dan nyaris terjatuh.

Ify mendesis, benar-benar kasar! Pantas tak ada satu pun orang yang mau mendekatinya sekali pun dia tenar dan anak orang terpandang di negeri ini. Dia mengelus keningnya dan bergumam. "Sabar Ify, kau harus terus mendekatinya karena dialah titik terang dari permasalahanmu, dia yang akan membawa adikmu kembali pulang. Sabar...."

***

Nada sambung terdengar beberapa kali di telinganya, namun akhirnya telepon itu diangkat juga oleh seseorang. "Ada apa?" Terdengar suara berat khas pria dari ujung sambungan.

Daniel mendengus, "Beginikah salam sapamu pada teman lama?" tanyanya retorik. Jelas sekali terdengar lawan bicaranya tertawa. "Apa kabar?"

"Kau sungguh menanyakan kabarku? Atau kau ingin tahu tentang sepupuku?"

Daniel berdecak, "Aku tak punya waktu untuk menggubris godaanmu, aku ada pekerjaan bagus untukmu. Dan kau harus menerimanya."

Jeda telepon tercipta beberapa saat, entah apa yang terjadi di seberang sana. "Kau masih saja suka memaksa. Katakan, jika pekerjaan itu tak menarik, aku akan menolaknya mentah-mentah."

"Alvin Kim, aku ingin kau menjadi partner kerja seseorang. Aku suka pada gadis itu, jadi kuyakin kau juga menyukainya."

"Baiklah, sebutkan segera berapa bayaranku, kau tahu, ada banyak di luar sana yang mengantri untuk mendapatkan kontrak denganku," jawab Alvin penuh percaya diri.

"Semuanya sudah diatur, kau takkan menyesal. Percayalah, teman."

***

Suara gesek antara kapur dan papan tulis mengisi kelas yang hening. Semua anak fokus pada tulisan yang dibuat oleh temannya di depan. Dengan bingung, Ify bolak-bolak melihat tulisan itu dengan yang ada di bukunya. Hasil menyalin catatan dari buku Via. Nihil, Ify sama sekali tak mengerti apa maksud dari garis meliuk dan lurus tegak yang ada di sana.

"Good job, Sanae-san, next..." Guru itu terlihat menyisir seisi kelas dan gawatnya, sepertinya dia tertarik dengan wajah Ify yang terlihat begitu suram di antaranya teman-temannya yang lain.

"You," ujarnya yakin sambil menunjuk Ify dengan jarinya.

Ify gelagapan, bagaimana ini? Apa yang harus kutulis? Dengan panik Ify menoleh ke belakang dan melihat Via menyeringai ke arahnya. Sepertinya Via sama sekali tak bisa membantu Ify sekarang.

Digelengkan kepalanya memberikan isyarat pada sang guru bahwa dia tak bisa maju ke depan karena tak tahu apa yang harus dia lakukan. Ify mendapati seluruh teman-teman tengah menatapnya tak sabar.

"A... aku..."

"Cepatlah," bisik teman yang duduk di sebelah kiri meja Ify.

"Kau akan membawa masalah jika tidak segera maju, cepat," sambung yang di sebelah kanan.

Dengan kaki bergetar dan bibirnya yang membuka dan menutup. Ify berjalan maju sambil terus berpikir tulisan apa yang harus dibuatnya di depan sementara kosakata huruf Jepangnya masih amat buruk.

Mendadak, roknya terasa seperti menyangkut sesuatu dan Ify refleks menyentuh benda yang menyangkut itu. Tangan.

"Ini," bisik Ryo. Ify mengernyit, "setidaknya kau harus menulis sesuatu."

Bibir Ify tersenyum, dia mengangguk senang dan segera menyentuh tangan Ryo yang ternyata terdapat secarik kertas. "Arigatou."

"Tidak perlu," jawab Ryo datar.

Ify berjalan tenang ke depan, entah kenapa rasanya seperti dia sedang melayang-layang kecil karena terbebas dari sesuatu yang menjeratnya ketika berjalan dari bangku. Sudah kuduga, Ryo memang tak sepenuhnya menyebalkan.

***

Ify menundukkan wajahnya lebih dalam lagi. Walau pun tidak mengerti dengan apa yang orang-orang bicarakan dan tertawa saat melintas di depannya. Tapi dia tahu, mereka pasti mengejeknya yang tengah dihukum sampai jam istirahat selesai karena pelajaran guru ini ternyata masih disambung setelah waktu istirahat habis. Benar-benar kurang ajar! Ryo memberikan secarik kertas yang rupanya terdapat kosakata kasar yang tak pantas untuk dituliskan di depan guru. Hasilnya, Ify harus berdiri di luar kelas sampai jam pelajaran usai.

Sesuatu disodorkan pada Ify, dengan bungkusan kertas dan aroma menggodanya dari dalam, Ify pun mendongak.

"Via?" ucap Ify parau.

Via memandangnya dengan tatapan kesal, "Kenapa kau sebodoh itu sampai dikerjai oleh Ryo. Aku, kan, penah bercerita padamu tentang," ucapan Via terhenti, "sudahlah, makan saja ini, jangan sampai ada orang yang tahu, cepat."

Buru-buru Ify menerima bungkusan itu dan melahap isinya. Sebuah roti bulat berwarna merah muda dengan kacang merah manis di dalamnya. Lumayan untuk mengganjal perutnya.

"Pelajaran ini berakhir pada bel pulang sekolah. Jadi kau tak boleh sampai pingsan karena kelaparan, hal itu akan membuat Ryo semakin senang."

Ify hanya mengangguk-angguk saja mendengar ucapan Via, fokusnya kini sedang terdapat pada setiap jengkal benda yang tengah memanjakan lidahnya. Nikmat sekali.

"Kau mau membalas Ryo?"

"Tentu saja! Aku akan membalas drakula itu," sahut Ify semangat.

"Drakula?" tanya Via bingung.

"Iya, manusia dengan dua gigi gingsul tak berperasaan, pas sekali jika dia dipanggil dengan sebutan drakula."

Via terkekeh, "Aku setuju denganmu, aku masuk dulu, ya, lekas buang bekas makanannya. Jangan sampai kau dihukum ganda karenaku."

"Hm, arigatou, Via-chan."

"Dou itashimashite."

***

Seoul, Korea Selatan.

"Siapa yang meneleponmu, Oppa?" tanya seorang gadis dengan rambut panjangnya yang terurai.

"Teman lamaku, Daniel," jawab orang yang dipanggil Oppa itu seadanya.

"Daniel Oppa?" balas si gadis antusias, "apa dia menanyakanku?" Wajahnya begitu berseri menunggu jawaban dari sepupunya.

"Dia hanya bilang butuh bantuanku, aku akan pergi ke Tokyo beberapa waktu, jaga dirimu baik-baik." Gadis itu terlihat kecewa dengan ucapannya, "kau mau titip sesuatu untuknya?"

Gadis itu terlihat cemberut, "Kelihatannya Daniel Oppa tak merindukanku, bilang saja padanya aku tak mengizinkan dia berkunjung ke Seoul!" seru gadis itu berapi-api. "Alvin Oppa, kau harus sering menghubungiku, oke?" tanya gadis itu kembali ceria.

Alvin mengulum senyum dan mengusap puncak kepala gadis yang telah lama tinggal bersamanya ini, "Arasso−Aku tahu."

***

"Ahh!" Ryo langsung melepaskan earphonenya ketika mendadak volume suara lagu yang sedang diputarnya tiba-tiba saja naik dan seperti meledak di telinga. Matanya memicing, dia menemukan siapa pelaku tindak kejahatan barusan. "Kau mau membuatku mati karena terkejut?!" tanyanya emosi.

"Jangan khawatir, drakula takkan semudah itu mati hanya karena mendengar lagu bervolume full di telinganya," sahut Ify sarkastis.

Ryo tersenyum mengejek, "Kau sudah selesai?"

"Teman macam apa kau ini? Menjebak gadis tak berdaya sepertiku?"

"Aku bukan temanmu," sahutnya tak acuh. Ryo kembali memasang earphonenya namun... "Hei!" serunya saat melihat earphone itu dirampas Ify dan dibuangnya ke danau. Dia menatap Ify tajam saat gadis itu justru memutar-mutar Ipod milik Ryo di tangannya.

"Ini baru impas, aku kehilangan harga diri, kau kehilangan earphonemu. Setidaknya yang kulempar ke danau itu hanya earphonenya," ucap Ify menang.

"Apa maumu?" geram Ryo. Matanya tak lepas dari mata amber Ify yang juga tengah menatapnya tak kalah tajam.

"Berteman denganku, apa sulitnya bersikap selayaknya manusia yang memiliki teman dalam hidupmu?" tanya Ify penuh penekanan.

Ryo mendesah, "Aku tak butuh siapa pun."

"Bahkan hewan dan tumbuhan saja membutuhkan sesamanya untuk terus hidup. Kau ini apa? Hantu? Bahkan hantu juga perlu temannya untuk sukses membuat manusia jatuh pingsan atau sekedar pipis di celana. Kau butuh teman, Ryo, dan aku ingin menjadi temanmu."

Mata hitam pekat Ryo menatap Ify, bukan lagi dengan tatapan kemarahan. "Lebih baik tak punya teman daripada harus kehilangan saat kita sudah nyaman dengan seseorang."

"Kau takut aku meninggalkanmu?"

Ryo diam, dia memalingkan wajahnya ke tengah danau. Menerawang jauh. Ify memutuskan untuk ikut duduk di sebelah Ryo dan menikmati pemandangan sore yang tengah dinikmati Ryo seorang diri.

"Kau−"

"Panggil aku Ify," sela Ify.

"Jangan ikut campur," kata Ryo tak acuh dengan perkenalan Ify.

Ify menoleh, dia mendapati siluet wajah Ryo dari samping yang terkena sinar matahari yang akan terbenam.

"Aku tak suka siapa pun menggangguku. Aku tak suka mereka datang ke dalam hidupku kemudian pergi begitu mudahnya. Aku tak suka diperhatikan jika orang itu hanya menginginkan popularitas. Aku tak suka seseorang ingin menjadi teman karena nama belakangku. Aku tak suka..." Rio menghela napas, "aku tak suka ada gadis sepertimu dekat denganku."

Ify terperanjat. Begitu besarkah arti gadis yang meninggalkan Ryo itu hingga pria ini sekarang terlihat begitu kesepian dan trauma akan sebuah hubungan dekat? Bahkan hanya untuk pertemanan pun dia juga menutup dirinya.

"Aku anggap hari ini kau tengah mengujiku, silakan saja kau berpikir kalau aku ingin berteman hanya karena kau anak orang kaya dan populer. Satu hal yang harus kau ingat. Aku menyukaimu, aku menyukai lukisanmu, aku menyukai orang kesepian dan misterius sepertimu, aku menyukai kau karena kau seperti Ibuku. Mungkin terlihat dingin dan kaku diluar, tapi aku tahu, di dalam dirimu. Ada sebuah lentera yang terus menyala dan menghangatkan. Kau tahu, Ryo? Sebenarnya kita begitu mirip, hanya saja, aku lebih realistis."

Ify memutuskan untuk bangun dan meninggalkan Ryo, tapi sebelum itu dia kembali menengok ke belakang dan mendapati Ryo yang masih lurus menatap mentari senja.

"Aku akan membantumu, Ryo. Aku janji."


BERSAMBUNG

Ify nekat ga menurut kalian? Oh, ya, di part ini ada sedikit latar Korea ya. Karena akan ada pemeran baru biar makin ramai :D

Jangan lupa jejaknya ya, karena pembaca baik gak akan jadi silent reader aja, see you next part!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro