Bab 10 : Date

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Regita tersenyum membuka pintu kamar dan terdiam saat melihat Renata sedang mematut diri di depan cermin yang tergantung di  dekat pintu depan. Senyumnya berangsur menghilang.

“Kamu mau pergi?”

Renata membalikkan badan. Dia terkejut melihat Regita yang tampak rapi.

“Kamu sendiri mau pergi?”

Baik Regita maupun Renata sama-sama mengangguk berbarengan.

“Ervan?”

“Gandi?”

Keduanya melontarkan tanya bersamaan. Lalu mengangguk juga bersamaan.

“Kemana?”

Lagi pertanyaan keluar dari mulut keduamya secara bersamaan.

“Berasa ngomong sama cermin,” keluh Regita.

“Kamu kan emang cerminan aku.” Renata menjawab.

Belum sempat Regita membalas, bel pintu berbunyi. Keduanya terdiam tidak berani bergerak.

“Kamu janjian jam berapa?” tanya Renata.

“Jam sembilan,” ujar Regita sambil melirik arlojinya.  Dia mengangkat tangan dan memperlihatkannya ke Renata.

“Bentar.” Renata menahan Regita yang melintas di depannya. Regita menautkan kedua alis.

“Kamu yakin, itu dia?” tanya Renata memastikan.

Regita mengangguk yakin. “Karena cuma dia yang bakalan berani berdiri di depan apartemen. Kan apartemen dia ada di depan unit kamu.”

Renata berpikir sebentar. Matanya menyipit. Lalu senyumnya mengembang.

“Oke, take care, sista!”

Regita melempar ciuman lalu tangannya mengibas. Isayarat agar Renata menyingkir agar tak terlihat dari pintu.

***

Gandi terpukau melihat penampilan Regita. Dia tidak berkata apa-apa selain mulutnya yang menganga.

“Ada yang salah?” tanya Regita.

Pertanyaan itu menyadarkan lamunan Gandi.

“Nggak ada apa-apa.”

“Trus ngapain lo liatin gue kayak gitu?”

You just look so gergous,” puji Gandi.

Regita tertawa mendengarnya. Dia melihat kembali outfit yang dikenakannya. Kaos model kerah sabrina dengan motif garis-garis dipadukan dengan celana ukuran 7/8 berwarna khaki. Sebuah sling bag dan belt hitam menjadi aksesoris pilihannya. Untuk alas kaki, regita memilih menggunakan flat shoes warna putih.


“Gue harap, gue nggak berlebihan.”

Gandi hanya menggeleng. “Ayo.”

Keduanya berjalan beriringan. Gandi masuk lebih dulu ke dalam lift sebelum Regita.

No lady’s first?” celetuk Regita ketika pintu lift tertutup.

Gandi menoleh dan terkekeh. “Jangan tertipu sama lady’ first.”

“Eh? Gimana maksudnya?”

Gandi bersandar di dinding lift dan menyilangkan kedua tangannya. Laki-laki itu menarik napas panjang lalu menatap Regita.

“Asal usul Lady’s first itu justru bukan sesuatu yang romantis. Justru menyeramkan.”

“Iya, gitu?” Perempuan berambut panjang tampak tidak yakin.

“Dulu, itu perempuan dianggap nggak lebih berharga dibanding  prajurit laki-laki, loh.”

Regita membelalakkan mata tak percaya. Gandi tersenyum melihat ekspresi Regita. Laki-laki itu lalu melanjutkan, “Jadi, mereka selalu meyuruh para perempuan untuk lebih dulu keluar dari rumah. Alasannya adalah untuk memastikan tidak ada pasukan musuh yang akan menembaki mereka.”

“Terus, kalo ada tembakan dari musuh, perempuan yang mati dulu, gitu?” Regita berkomentar tak suka.

Gandi mengangguk pasti.

“Kok, jahat sih?”

“Bagi mereka itu adalah bentuk pengorbanan perempuan yang nggak bisa ikut perang.” Gandi tergelak melihat raut wajah Regita yang terlihat jijik. “Makanya, jangan ge-er kalao ada laki-laki yang suka lady’s first – lady’s first.”

“Iya,” kata Regita sambil memutar bola matanya.

***

Ervan baru saja memarkir mobilnya ketika melihat seorang perempuan berjalan beriringan dengan seorang laki-laki. Saat kedua orang itu melewati mobilnya, bahu Ervan menegang sesaat. Dia segera menengok dan memastikan dua orang yang baru saja masuk ke dalam sebuah mobil berwarna merah.

Gegas Ervan mengambil ponsel dan menekan sebuah nomor. Panggilannya diangkat begitu dering pertama.

“Hallo. Kamu udah sampai?”

“Iya. Saya di parkiran.”

Mobil merah melintas melewati mobilnya. Ervan tidak bisa melihat ke dalam karena jendela mobil tersebut tertutup dan dilapisi kaca film.

“Oke, tunggu. Saya masih di atas.”

Panggilan terputus. Ervan masih tetap menempelkan ponsel di telinganya.

Jadi, siapa yang tadi di mobil merah?

***

“Nggak nunggu lama kan?”

Ervan yang bersandar di pintu mobilnya mendongakkan kepalanya begitu sapaan dengan suara lembut menyapa.

Renata tersenyum ketika mata mereka saling bertemu. Dia merasa bersyukur karena tidak salah memilih pakaian. Midi dress berbahan denim dengan kancing di depan serasi dengan kemeja biru dan celana jeans yang dikenakan Ervan.

“Nggak , kok,” jawab Ervan. Laki laki itu ikut merekahkan senyum melihat bibir Renata yang melengkung. “Kita serasi,” katanya lagi.

Ternyata sepemikiran, batin Renata.

“Eh, iya, ya!” Renata tersenyum malu-malu.

“Ayo kita berangkat sekarang!”

Renata mengangguk. Ervan kemudian membukakan pintu penumpang samping supir. Renata masuk dengan menundukkan kepala. Sekilas dia melihat tangan Ervan tampak melindunginya agar tidak terbentur dengan pintu.

Makasih,” ucap Renata.

Ervan menutup pintu pelan. Dia kemudian memutari mobil dan segera masuk ke kursi kemudi. Laki-laki itu menyalakan mobil dan memasang safety belt.

Yang tadi saya lihat berambut panjang. Rere yang sekarang duduk di samping saya berambut pendek. Bahkan sejak pertama bertemu juga memang rambutnya pendek. Apa saya salah lihat?

“Kenapa, Van?” tegur Renata.

Ervan seketika menyadari dia melamun. Dia menggeleng dan langsung melajukan mobilnya. Mobil berwarna putih itu segera membelah jalanan membawa pasangan di dalamnya ke sebuah tempat yang baru saja dibuka.

Ponsel Renata berdering. Ervan sekilas melihat sebuah nama Tata Syantik muncul di layar ponsel.

“Siapa?” tanyanya.

“Saudara saya,” jawab Renata sambil cepat menggeser ikon gagang telepon berwarna hijau.

“Kenapa, Ta?”

“Aku cuma mau kasih tau, Gandi ngajak aku ke BeautyLand.”

“Hah?!”

“Udah ya, ini aku lagi isi bensin. Bisa nelepon kamu karena Gandi lagi keluar dari mobil.”

Renata menurunkan ponsel dan menatap Ervan.

“Hari ini kita mau ke BeautyLand, kan?”

Ervan mengangguk membenarkan.




Bogor,
Rabu, 22 September 2021




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro