IX : Start

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Asian Ballet Festival, ajang yang selalu dinantikan oleh Swan setiap tahunnya. Tidak pernah absen bagi dirinya untuk ikut serta--membawa nama tempat pelatihan dan negara di ajang bergengsi se-Asia. Hanya saja, kali ini ia harus mengurungkan niatnya untuk tetap ikut.
 
Swan lebih memilih untuk memulai untuk membuka impiannya. Jika terus terikat di pelatihan sebelumnya, bisa jadi Swan tidak akan pernah bisa lepas. Swan sudah memikirkan semuanya dengan matang, walau terasa sangat berat.
 
Hembusan napas lantas perlahan keluar dari kedua bibir tipisnya sembari Swan merapikan beberapa berkas yang telah ia siapkan untuk pengajuan besok. Swan juga mencari banyak informasi dalam pengajuan perizinan membuka tempat pelatihan atau pembelajaran secara legal--berkekuatan hukum. Bukan tanpa alasan Swan melakukannya, ia tidak hanya ingin terjadi hal-hal yang tidak mengenakan di masa depan nanti.
 
“Aku akan Kementerian Badan Hukum dan Hak Asasi untuk membuat akta pendirian badan hukum dan sembari menunggu informasi selanjutnya, aku akan menyeleksi beberapa orang yang telah mengirimkan surat lamaran pekerjaannya. Bahkan, aku harus menyusun pengurus pelatihan, lalu kembali mengurus yang lainnya lagi,” ucap Swan yang langsung berkacak pinggang.
 
Proses untuk menggapai mimpi masih panjang. Belum lagi, Swan juga tidak boleh lengah. Ia masih menjalani pendidikan yang bahkan dibiayai oleh Pemerintah atas pencapaian yang ia miliki.
 
“Akan tetapi, kau pasti bisa Swan! Kau harus percaya dengan kemampuan dan pendirianmu,” ucapnya lagi.

Ia memberikan semangat pada diri sendiri. Bersamaan dengan pintu yang terbuka dengan pelan--menampilkan sesosok kepala dari ibunya yang ternyata membawa nampan berisi segelas susu hangat dan cookies.
 
“Ibu?”
 
“Selamat malam, Putrinya Ibu. Bagaimana harimu?” Anyelir atau Anye mendekat. Kemudian menaruh nampan di atas meja--berada di samping Swan dan memilih duduk di atas kasur Swan. Jaraknya tidak begitu jauh.
 
Swan mengulum senyum. “Lumayan, Ibu. Sedikit pusing dengan membuat perizinan pelatihan yang hendak kulakoni. Agar legal di mata negara dan lagi, aku akan memulainya besok. Tidak juga sih, kemarin-kemarin juga sudah kucicil,” cicitnya.
 
Anye tersenyum lebar mendengar cerita Swan. “Wah, anak Ibu sudah besar. Ibu bangga dan Ibu sangat yakin! Kau pasti bisa! Ya, walau mungkin akan ada hambatan disetiap proses yang anak ibu akan jalani. Kau harus tetap yakin, Ibu pun akan selalu mendukungmu!” ucap Anye yang memercikkan kobaran semangat dalam diri Swan.
 
Tampak kedua mata Swan yang berkaca. Bahkan, langsung mendekat ke arah Anye dan memeluk. “Terima kasih, Ibu. Aku sangat menyayangimu,” ucapnya disela pelukan itu.
 
Anye sebenarnya terkejut, tetapi ia berusaha untuk mengondisikan diri. Ia menuntun jemarinya untuk mengusap punggung Swan dengan pelan. Sesekali pun juga mengecup rambut Swan. “Ibu juga sangat menyayangimu. Terima kasih kembali karena Swan bisa menjadi diri sendiri dan kuat selama  ini,” balasnya dengan lembut. Bagi Anye, Swan adalah putri sekaligus permatanya. Bahkan, kebahagiaan Swan adalah juga kebahagiaannya.
 
Alhasil, keduanya kini larut akan pelukan hangat itu. Ditambah kala Anye yang bersenandung merdu--benar-benar membuat Swan nyaman.
 
“Eh, omong-omong, Swan belum cerita soal nama yang terpilih. Katakan pada ibu, apa nama tempat pelatihan itu?” tanyanya dengan antusias.
 
Swan pun juga merasakan antusias dari sang ibu. Ia tersenyum tipis lalu mengangguk dengan pelan. “Black Swan Ballet Center."

"Tempat yang memperlihatkan sisi gelap balerina disamping gemerlapnya mereka di bawah kilauan lampu kala memperlihatkan tarian. Tempat yang menjadi saksi dari perjuangan balerina yang ingin menggapai mimpi mereka. Aku memilih itu setelah berpikir panjang.”
 
***
 
Ocean menatap kartu identitas yang ia kenakan. Ocean Livingston--Asisten Kepala Bagian Fasilitasi Penganggaran dan Pengawasan. Walau sebagai magang selama setahun, setidaknya usaha yang selama ini ia lakoni sedikit membuahkan hasil. Tentu saja, Ocean akan berusaha untuk menggapai ambisi yang  sudah tertanam di kepala dan hatinya.
 
“Kau tidak bisa mundur.” Ocean menyadarkan diri. Terlebih, ia sudah berada sejauh ini.
 
Perlahan, Ocean melangkahkan kaki--mengikuti arahan seorang pengawal yang ada di depan mata. Berada di Gedung Parlemen DEPARA hingga menelusuri lebih dalam lagi tidaklah mudah. Mengingat penjagaan begitu ketat, karena terdapat banyak berkas penting negara.
 
Setiap pegawai negeri pun harus mengenakan kartu identitas mereka. Bahkan sebelum masuk, harus melakukan pengecekan dengan fingerprint yang telah diterapkan sejak tahun 2017 dan untuk bagian tamu, akan melalui beberapa pengecekan sebelum di izinkan untuk masuk. Begitulah liku prosesnya.
 
“Anda harus terus mengenakan kartu identitas yang menggantung di leher atau di tempel di pakaian dalam memudahkan anda memasuki area ini. Jadi, jaga dengan baik,” ucap pengawal itu. Terlihat memberikan arahan pada Ocean untuk memasuki sebuah ruangan yang bertulis ‘Ruangan Kepala Bagian Fasilitasi Penganggaran dan Pengawasan.’
 
Ocean menundukkan kepala. “Terima kasih.” Lalu ia lekas memberikan ketukan pada pintu. Tidak menunggu lama, sang empu di dalam ruangan sudah memberikan perintah untuk dirinya segera masuk. Mengingat, pengawal sudah memberikan informasi terlebih dahulu akan kedatangan Ocean.
 
Alhasil, Ocean memutar knop pintu lalu membukanya dengan pelan. Dari sana, ia bisa melihat perawakan seorang pria tua dengan kumis hitam, tersenyum begitu lebar pada Ocean--memberikan sapaan hangat terlebih dahulu.
 
“Selamat datang, Ocean,” ucap pria tua itu. Ocean belum membalas, ia memilih untuk menutup pintu lalu menghadap ke arah pria tersebut.
 
Kepalanya menunduk sebagai bentuk hormat. “Selamat pagi, Tuan—“
 
“Jangan se-formal itu, Ocean. Kau bisa memanggilku Pak Justin. Itu sebagai bentuk keakraban kita,” ucap pria itu. Di pin namanya bertuliskan Justin Russel, M.P.S yang membuat Ocean spontan mengangguk paham. Bahkan, kala Justin kini berada di hadapan Ocean dan berjabak tangan.
 
“Baik, Pak Justin. Mohon kesediaannya untuk terus membimbing saya,” ucap Ocean sembari membalas jabatan tangan itu. Ia lebih memilih untuk mengikuti permintaan Justin.
 
Justin pun mengangguk. Ia bahkan menuntun Ocean untuk duduk di sofa yang tersedia di ruangan yang cukup besar untuk dirinya seorang. “Tentu saja, aku akan melakukannya. Kau akan bertugas di tempat yang telah kusiapkan sebelumnya di ruangan ini. Di sana.” Sambil menunjuk sebuah meja dan kursi, pun lengkap dengan peralatan kantor--tidak jauh dari tempat kebesaran Justin. Setidaknya, melihat tempat itu membuat Ocean mendapatkan ketenangan.
 
“Lalu, untuk pekerjaanmu, akan kuberitahu secara bertahap. Jadi, jangan terlalu membebani dirimu agar pekerjaan yang akan kau lakukan bisa terlaksana dengan baik,” tambahnya.
 
Ocean mendengar dengan seksama. Perlahan ia mengangguk. “Terima kasih, Pak.”
 
Justin pun tersenyum tipis. Kini mengamati Ocean amat lekat--dari atas hingga bawah, begitu berulang kali yang membuat Ocean sedikit risih. Namun, ekspresi wajah Ocean terlihat sangat datar--hanya dalam hati yang tampak gundah.
 
“Sungguh, Ocean. Aku melihat mendiang sahabatku, Luke, di dalam dirimu. Kau seperti salinannya. Begitu juga dengan kemampuan dan keahlian yang kalian miliki. Mirip sekali,” ucap Justin.
 
Ampuh membuat pupil Ocean membesar. “Anda mengenal ayahku?"

Halo, guys! Aku update lagi~~

Semoga suka dan tetap stay ya! Jangan lupa follow akun istagramku juga @juwitaaa_nrp

See you🦋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro