Bab 12: Bertemu Kembaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi-pagi sekali Dean sudah berjibaku dengan adonan. Menguleni dengan tangannya sendiri, membuat isian cokelat dengan pisang, hingga memanggangnya di dalam oven. Ayahnya senang sekali karena menyangka Dean sedang membantu, tetapi langsung heran setelah melihat hasilnya.

"Kita, kan, gak jualan roti isi pisang cokelat," ujar Ayah.

"Ini bukan buat dijual. Ini buat temen aku. Dia mau main hari ini." Dean menjawab riang.

"Tapi kamu bikinnya banyak. Sisain satu loyang buat percobaan ke pelanggan."

"Boleh. Tapi kalau rotinya diperjualbelikan, aku dapat royalti untuk mahakaryaku ini, kan?" Dean nyengir, dan ayahnya hanya geleng-geleng.

Setelah bertukar nomor HP, Dean sudah janjian dengan Aiden. Hari Minggu, Aiden akan main ke bakery dan mencicipi roti buatannya. Namun sebelum dimakan Aiden, Dean menggunakan Xavier sebagai bahan percobaan. Roti pisang cokelat yang baru dikeluarkannya dari oven, dia tata di atas piring. Sedangkan sisanya, dia berikan pada Ayah. Dean segera membawa rotinya untuk dicicipi Xavier. Xavier sedang membersihkan rumah. Meskipun Dean sudah melarangnya mati-matian, tetap saja Xavier keras kepala. Awas saja kalau dia muntah darah lagi, pikir Dean.

"Rotinya udah siap," kata Dean riang.

Xavier yang sedang mengelap meja bangun dari posisinya dan menyambut Dean. "Wah, harum sekali rotinya."

Dean kemudian menaruh piring berisi roti itu di atas meja dan Xavier duduk di bawahnya. Dia segera mengambil satu dan mencicipnya. Dean menatapnya dengan perasaan ketar-ketir,  takut rotinya tidak enak. Beberapa saat kemudian, Xavier menutup matanya dengan punggung tangan. Dia menangis. Dean sampai panik.

"Kenapa? Rotinya gak enak?" tanya Dean dengan bola mata nyaris keluar.

"Huhuuu ... enak sekali sampai aku mau menangis."

Xavier menjawab dengan suara rengekan seolah-olah dia benar-benar menangis. Sontak saja Dean memukul punggungnya sampai berdentam dan Xavier terbatuk.

"Yang bener, dong! Enak gak?" Dean bersungut-sungut.

Xavier mengacungkan jempol dan tersenyum. "Enak sekali."

Dean menyemburkan napas kuat-kuat sambil mengelus dada, sementara Xavier memakan rotinya seperti orang kelaparan. Dia makan dengan mulut heboh kepanasan. Dean hanya bisa geleng-geleng memandangnya. Kemudian, dia beranjak ke dapur dan mengambilkan minum.

"Kau bisa jadi penerus ayahmu kalau begini," kata Xavier setelah mendorong rotinya ke perut dengan air minum.

"Serius?" Dean menjawab riang, tetapi merengut sedetik kemudian. "Tapi aku selalu gagal kalau ikut kompetisi."

"Itu bukan berarti rotimu tidak enak. Hanya saja, ada yang lebih enak dari punyamu."

Dean menghela napas dan memandang Xavier sebal. Dia ini sebenarnya sedang memuji atau bukan, sih?

"Luna belum ke sini?" tanya Xavier sembari mencomot satu roti lagi. "Dia harus coba juga."

"Dia gak mau makan roti buatanku." Dean merengut lagi.

"Tidak mau? Kenapa?"

"Dia takut kalau rotiku makin enak, terus aku menang kompetisi, terus aku dapat beasiswa sekolah pastry di luar negeri."

Xavier tidak jadi melahap rotinya dan malah memandang Dean. "Kau mau pergi ke luar negeri? Itu artinya kau akan meninggalkan Luna? Pantas saja Luna begitu."

"Kalau kamu ada di pihak Luna, jangan makan roti punyaku juga." Dean merebut roti di tangan Xavier dan menaruhnya kembali di atas piring.

Xavier menghela napas dan geleng-geleng. "Kau ini!"

Hening beberapa saat. Dean menunduk sembari memainkan ujung celemeknya sambil cemberut.

"Kau tidak sekolah di luar negeri pun rotimu sudah enak, kok. Aku setuju dengan Luna," kata Xavier.

"Tapi kalau aku lulusan luar negeri, marketing-nya bakal makin bagus. Lihat tuh tetangga sebelah. Pengunjungnya lebih ramai cuma karena embel-embel 'dibikin sama lulusan pastry luar negeri'. Padahal, rotinya lebih enak buatan Ayah," cerocos Dean kesal. "Aku punya mimpi buat bikin cabang bakery ini di seluruh negeri."

"Iya, iya. Terserah." Xavier berujar sambil geleng-geleng.

Dean mendesah lemah dan menunduk lagi. "Tapi kayaknya bakal susah, sih. Udah dapetin beasiswanya susah, dapetin restu Lunanya juga susah."

Xavier kemudian mencondongkan tubuhnya pada Dean dan bicara pelan-pelan. "Kau terlihat ngotot sekali ingin pergi. Kau ada masalah di sini, ya? Belakangan kau tidak akur dengan Luna, kan?"

Dean membelalak menatap Xavier. "Siapa yang bilang begitu?"

Xavier menegakkan kembali tubuhnya dan menjawab dengan suara normal. "Luna yang bilang. Katanya belakangan ini kau aneh. Kau menjaga jarak dengan dia."

Dean termangu dan bergumam, "Apa kelihatan sekali, ya, aku menghindar?"

"Jadi kau benar-benar menghindari adik kandungmu sendiri?! Keterlaluan!" Nada bicara Xavier tiba-tiba meninggi.

"Aku bukan anak kandung di keluarga ini!" Dean balas menyolot dan Xavier terbelalak. Dia terdiam sejenak sampai akhirnya membentak Dean lagi.

"Kalaupun kau bukan kakak kandungnya, seharusnya kau tetap menyayangi dia!"

"Lagian siapa yang gak sayang sama dia?!"

Dean dan Xavier bertatapan sengit selama beberapa saat. Akhirnya, Xavier mulai bicara dengan nada lunak.

"Sejak kapan kau jadi kakaknya Luna?" tanya Xavier.

"Sejak SD. Kelas tiga."

"Lalu, kenapa kau menjaga jarak darinya?"

"Aku cuma melatih dia. Jaga-jaga kalau dia beneran harus hidup tanpa aku. Dia tuh, ya, ke mana-mana nempelin aku terus. Kalau tiba-tiba aku pergi, apa dia gak bakal terguncang?"

Xavier mendesah. "Begitu, ya?"

"Sejak kecil, gak ada tempat dia bergantung kecuali aku sama Ayah. Dia kelihatannya emang gak manja. Sebagai satu-satunya perempuan di keluarga ini, dia udah kayak ibu rumah tangga yang ngurus aku sama Ayah, sama rumah juga. Tapi jauh dikit aja sama orang yang dia sayangi bisa kelimpungan. Dia gak pernah mau ikut kamping tanpa aku, study tour tanpa aku. Pokoknya ke mana-mana harus sama aku."

Xavier menggaruk dagu. "Apa karena sejak lahir, dia cuma punya ayah? Lalu saat ada kau, dia jadi menempeli kau juga?"

"Ya, mungkin."

"Jadi, sekarang kau akan berhenti menjaga Luna dan membiarkannya hidup mandiri?"

"Bukan begitu." Dean menghela napas. "Dulu waktu kecil, aku memang berpikir akan menghabiskan sisa hidupku untuk menjaga Luna. Tapi makin dewasa, pola pikirku juga berubah. Memangnya kami akan hidup selamanya sebagai kakak-adik dan tinggal serumah? Suatu saat Luna akan dibawa anak orang untuk jadi istrinya. Begitu pula aku. Aku gak bisa lagi jagain dia 24 jam nonstop."

Xavier tiba-tiba murung, membuat Dean bingung.

"Kenapa?" tanya Dean.

"Aku juga selama ini dilindungi Dean terus. Kalau dia sudah menikah dan punya keluarga sendiri, apa dia akan meninggalkanku, ya?"

"Hei! Enggak gitu konsepnya. Gak bakal ada yang ninggalin kalian. Cuma, ya, gak ada salahnya juga kalian belajar gak terlalu bergantung sama orang lain."

Xavier menghela napas. "Sepertinya aku harus lebih rajin lagi belajar bertarung. Biar kalau Dean tidak ada, aku bisa menjaga diriku sendiri."

Dean ikut menghela napas, tetapi perkataannya tidak nyambung dengan ucapan Xavier. "Padahal aku udah melatih Luna dengan biarin dia tinggal di rumah itu sendirian. Lah, Ayah malah jual rumahnya."

Xavier tak kuasa menahan tawa.

"Dean?"

Dean terkejut karena mendengar suara Xavier di kejauhan. Dia sontak menoleh ke arah tangga yang menghubungkan rumah dengan bakery, di sanalah sumber suaranya. Ternyata Aiden yang datang. Dean sampai menganga. Bagaimana bisa suara mereka pun sama persis seperti ini? Xavier lebih terkejut lagi. Kedua bola matanya terbelalak dan tidak berkedip sampai Aiden datang menghampiri mereka.

"Aku barusan dari bakery. Ayah kamu bilang, kamu di sini," kata Aiden sambil mengedarkan pandangannya. "Kalian membangun rumah di atas sini? Dulu bakery-nya gak kayak gini."

"O-oh ... iya." Dean mengangguk kaku.

Pandangan Aiden kemudian beralih pada Xavier yang masih menganga. Berbeda dengan Xavier, ekspresi Aiden tampak begitu tenang. Dia ikut duduk di lantai berkarpet mengelilingi meja tanpa mengalihkan pandangannya dari Xavier.

"Dia teman kamu yang katanya mirip aku?" tanya Aiden. "Mirip banget. Rasanya seperti bercermin."

"Kau tidak terkejut melihatku? Padahal aku sangat terkejut." Xavier mengamati wajah Aiden baik-baik.

"Aku juga terkejut, kok."

"Mana ada orang terkejut ekspresinya setenang ini?"

"Emm ... gimana, ya?" Aiden menoleh pada Dean yang sama-sama bingung. Kenapa dia malah seperti sedang meminta pendapat Dean?

"Kamu bisa menemukan tempat ini?" Dean tertawa mengalihkan pembicaraan.

"Kamu beneran menguji ingatanku, ya? Padahal kalau lupa pun, aku tinggal pakai map. Lagian nama bakery-nya gak berubah."

"Oh, begitu, ya?" Dean tertawa lagi.

"Kalian sudah saling kenal sejak lama?" Xavier bertanya sembari menoleh pada Dean.

"Eng ... kami sempat berteman waktu masih kecil dulu," jawab Dean.

Xavier manggut-manggut.

"Kalau kamu? Sejak kapan berteman sama mereka?" Kini giliran Aiden yang bertanya pada Xavier.

"Belum lama ini."

"Kamu sering main ke sini?"

"Aku tinggal di sini."

Aiden menoleh pada Dean. Meski ekspresinya lempeng seperti biasa, Dean merasa kalau dia sedang meminta penjelasan.

"D-dia ... ada sedikit masalah di rumahnya. Jadi tinggal di sini untuk sementara," kata Dean.

Aiden manggut-manggut dan memandang Xavier lagi. "Kalau gitu kita bakal sering ketemu. Aku akan sering main ke sini."

"Baguslah. Rumah ini jadi makin ramai." Xavier tersenyum lebar sekali.

"Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Aiden." Aiden mengulurkan tangannya pada Xavier.

Xavier menjabat tangan Aiden dan menjawab, "Xavier."

"Namaku juga ada Xavier-nya," kata Aiden sembari melepas jabat tangannya. "Aiden Xavier Bagaskara. Kalau nama lengkap kamu?"

"Xavier Antonius de Cloudpolis."

Aiden terdiam. Dia terus memandang Xavier sampai membuatnya tidak nyaman.

"K-kenapa? Namaku terdengar aneh?" Xavier bertanya ragu.

Aiden kemudian menggeleng. "Enggak, kok. Nama yang bagus."

Aiden kemudian mengalihkan suasana dengan mencicipi rotinya. Meski begitu, Dean bisa menyadari kalau Aiden terus mencuri pandang pada Xavier. Karena ekspresinya tidak menunjukkan apa-apa, Dean jadi kesulitan menebak apa yang ada di pikiran Aiden. Namun firasatnya bilang, Aiden tampak aneh sejak mendengar nama lengkap Xavier. Apa jangan-jangan, Aiden juga menyadari kalau Xavier berasal dari dimensi yang berbeda?

__________________

Hayo hayo Aiden kenapa nih? 🙂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro