Bab 17: Penyamaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gara-gara novel di kamar Luna, Xavier tidak bisa tidur nyaris semalam suntuk. Baru beberapa saat terlelap, dia sudah terbangunkan oleh cahaya matahari yang menyorot tepat ke wajahnya. Xavier tidur di kasur lantai dekat jendela kaca besar, karena Dean tidak mau berbagi kasur dengannya. Sekarang anak itu sengaja membuka tirai agar bisa membangunkan Xavier tanpa ingin repot.

Xavier tiba-tiba terbangun dari posisinya. Baru sadar kalau dia kesiangan. Buru-buru Xavier keluar dari selimut dan berlari ke dapur. Betapa malunya dia saat melihat Ayah Bima sedang menata sarapan di atas meja dibantu Luna.

"M-maaf, saya kesiangan," ujar Xavier merasa tidak enak.

"Kenapa kamu minta maaf?" Ayah Bima malah bertanya kebingungan. "Baru kali ini dengar orang minta maaf gara-gara kesiangan."

Xavier tersenyum canggung, kemudian pamit cuci muka. Namun, dia langsung dicegat Dean yang sedang bicara dengan seseorang melalui handphone-nya.

"Oke, oke," kata Dean pada seseorang di seberang sana sembari menahan tangan Xavier.

Setelah memasukkan handphone-nya ke saku celana, Dean menarik Xavier dan mengajaknya bicara berdua.

"Barusan Aiden telepon, katanya dia lagi sakit," kata Dean.

Xavier membeliak. "Dia sakit?"

"Hari ini ada ulangan penting di sekolah. Dia minta tolong kamu buat gantiin dia."

Bola mata Xavier makin membulat. "Apa?"

"Mau, enggak? Kalau gak mau, aku bilangin lagi sama Aiden."

Setelah melongo sebentar, Xavier mendengkus. "Sebenarnya dia itu siapa? Dia benar-benar bisa mengendalikan hidupku, ya?"

"Kamu ngomong apa?" Dahi Dean mengernyit.

"Bilang padanya, aku tidak mau!"

Xavier melengos dan pergi mencuci muka. Dia mencuci wajahnya dengan kasar karena kesal. Namun, tiba-tiba dia merasa ada yang aneh dengan hatinya. Perasaannya tidak enak. Xavier mendadak gelisah entah karena apa. Dia pergi bergabung untuk sarapan dengan perasaan yang masih belum bisa dikendalikan, bahkan setelah dirinya duduk dan makan.

Ayah Bima selesai duluan dan bergegas pergi turun ke bakery, sedangkan Xavier masih belum mengahabiskan setengah makanannya. Dia mendadak tidak berselera.

"Kamu kenapa bengong gitu?" tanya Dean.

Xavier mendesah. "Entahlah. Perasaanku tidak enak. Aku merasa ... Aiden ... dia akan dalam bahaya kalau tidak pergi sekolah hari ini."

Luna menoleh pada Xavier, tetapi segera menunduk setelah mereka bertemu pandang. Gadis itu jadi pendiam, sekarang.

"Kalau aku pergi ke sekolah, aku harus apa?" Xavier kemudian bertanya pada Dean.

"Kamu cuma tinggal gantiin Aiden," jawab Dean.

"Memangnya aku bisa mengerjakan soal yang diberikan? Aku, kan, tidak tahu apa-apa soal pelajaran di dunia ini."

Hening. Dean mengerjapkan matanya.

"Memangnya beda, ya, sama pelajaran di dunia kamu?" kata Dean plonga-plongo.

Xavier mengggeleng. "Tidak tahu juga, sih."

"Kalau gitu dicoba dulu. Yang penting udah usaha, Bu Lastri bakal terkesan. Dia suka sama anak pekerja keras."

Dean kemudian menghabiskan makanannya. Begitu pun dengan Luna. Xavier juga memaksakan diri menghabiskan makanan.

"Kalau kamu emang bersedia ke sekolah, aku punya seragam serep," kata Dean setelah menghabiskan makanannya.

Xavier menghela napas dan mengangguk begitu saja. Setelah membereskan meja makan bersama Luna sambil saling diam, dia segera mandi bebek dan bersiap-siap.

Seragam Dean pas sekali di tubuh Xavier. Dia mematut diri di depan cermin. Ternyata seragamnya cocok juga dipakai Xavier. Kemeja putih lengan pendek dibalut rompi rajut berwarna krem, dengan garis hitam di bagian neck berbentuk V. Dasi dan celananya berwarna hitam. Sedangkan jas abu-abu tuanya baru ditemukan Dean setelah beberapa lama. Dean juga meminjamkan sepatu serta salah satu tasnya pada Xavier, meski isinya kosong. Xavier sampai menatapnya heran.

"Untuk apa aku bawa tas kalau isinya kosong?" kata Xavier.

"Anak cowok mah udah biasa kali bawa tas isinya kosong."

"Apa?"

Dean tidak menjawab. Dia mengambil satu buku tulis baru dan mengambil sebuah pena miliknya.

"Nih! Segini juga cukup kamu mah," katanya seraya memasukkan benda-benda itu ke tas Xavier.

Xavier hanya bisa geleng-geleng dan membiarkan Dean menyiapkan tasnya. Setelah selesai, Xavier mengikuti Dean keluar dari rumah. Luna sudah menunggu di depan bakery. Xavier termangu ketika gadis itu memasuki sebuah kendaraan.

"Jangan kebanyakan bengong! Udah siang nih!" omel Dean.

"K-kita naik itu?" Xavier menunjuk ke arah kendaraan dengan dagunya.

"Iyalah. Emang mau jalan kaki?"

"Itu namanya apa?"

Dean memutar bola mata sembari menghela napas sebelum akhirnya menjawab, "Mobil."

Xavier manggut-manggut dan mengikuti Dean masuk. Luna duduk di kursi depan, bersebelahan dengan orang tak dikenal. Sementara itu, Xavier dan Dean di kursi belakang.

"Dia siapa?" Xavier bertanya bisik-bisik.

"Sopir." Dean menjawab sambil bisik-bisik pula.

"Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya."

"Dia memang baru datang kalau dipanggil aja."

"Bisa begitu, ya?" Xavier melongo takjub. "Kalian ini kalau di duniaku pasti bangsawan, ya, bisa memanggil orang untuk mengantar ke sekolah segala?"

"Di dunia ini, orang yang gak kaya-kaya amat juga bisa manggil dia asal punya ini." Dean menunjukkan handphone-nya.

"Benda itu bisa dipakai untuk memanggilnya juga?"

Dean mengangguk, sementara Xavier berseru "wow" tanpa suara sambil tepuk tangan pelan-pelan. Dia bisa melihat Dean yang menahan tawa sambil membuang muka. Xavier berdeham dan berusaha bersikap tidak kampungan. Dia mengalihkan pandangan pada kaca jendela dan melihat kendaraan juga gedung-gedung yang memelesat tertinggal di belakang. Tiba-tiba, Dean meminta sopirnya menepi dan mengajak Xavier keluar.

"Sudah sampai?" tanya Xavier.

"Belum." Dean menjawab sembari menyeret Xavier ke sebuah toko, lalu mengambil satu kacamata.

"Aiden pakai kacamata. Penyamaran kamu harus sempurna," kata Dean.

Xavier mencoba kacamata yang diberikan Dean.

"Nyaman gak?" tanyanya.

"Nyaman," jawab Xavier manggut-manggut.

"Tapi gak cocok sama muka kamu."

Xavier mendesah ketika Dean mencopot lagi kacamatanya dan mengganti dengan yang lain.

"Nah, ini baru sempurna. Eh, tapi papan namanya gak ada, ya?" Dean berkerut kening, lalu menggeleng. "Gak apa-apa, deh."

Xavier heran kenapa Dean seniat ini membantu Aiden. Dia sampai membayar sendiri kacamatanya.

"Ini ... apa aku harus bayar kacamatanya?" tanya Xavier ketika mereka sudah keluar dari toko.

"Kamu, kan, udah kerja di rumahku."

"Jadi ini bayaran?"

"Anggap aja begitu."

"Tapi, kan, aku juga makan dan tidur gratis di sana."

"Ya udah kalau gitu kamu menggelandang aja di jalan sana!"

Xavier manyun mendengar perkataan kejam Dean. Dia malas-malasan mengikutinya masuk mobil. Tiba di dalam, Luna membalik tubuhnya menghadap Xavier sambil melongo.

"Wah, makin sama persis," katanya.

Xavier tidak menjawab apa-apa. Dia tahu arah pembicaraan Luna ke mana. Gadis itu kemudian menggerak-gerakkan tangannya menyuruh Xavier mendekat. Dia menurunkan rambut Xavier yang disisir ke belakang.

"Poninya Aiden diturunin kayak gini," kata Luna sembari merapikan rambut Xavier.

Xavier terkesima sendiri melihat wajah Luna dari jarak dekat. Hidung mancung Luna jadi tampak mungil diapit pipi yang agak tembam. Mata Xavier terpaku pada mata Luna. Suasana jadi canggung saat keduanya saling menyadari situasi. Luna buru-buru kembali menghadap ke depan, dan Xavier mengalihkan pandangan ke luar jendela.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro