Bab 31: Kontak Batin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Xavier berjalan gontai di sepanjang jalan gang. Bukan karena lelah atau sakit, dia hanya merasa bosan. Pagi-pagi dia pamit pergi ke sekolah dengan seragam lengkap, padahal dia belok ke perkampungan rumah lama Luna. Entah kenapa Luna tiba-tiba menyuruhnya segera mencari portal lagi. Padahal tanpa disuruh pun, Xavier memang sudah berniat melakukannya.

Xavier akhirnya menemukan gang yang jalannya menurun. Jalan gang itu dibagi menjadi dua. Sebelah kiri ada undakan tangga, sedangkan yang sebelah kanan permukaannya datar. Xavier memilih berjalan di tangga kemudian duduk di salah satu undakannya. Di sepanjang sisi undakan itu ditaruh pot-pot kecil berisi bunga. Sepertinya orang sini senang menata lingkungannya dengan tanaman, pikir Xavier.

Namun, tanaman-tanaman itu tidak lebih penting dari apa yang baru saja dilihatnya. Setelah berkeliling nyaris seharian, Xavier menemukan sesuatu yang aneh. Sebuah cahaya yang makin dalam tampak makin mengerucut terlihat melayang-layang di salah satu sudut gang. Xavier menebak, itulah portal yang dia cari. Kalau tidak salah ingat, lokasinya juga mirip dengan yang diingatnya saat pertama kali dikejar anjing. Sayangnya, cahaya itu hanya sebesar telapak tangan. Dan ketika disentuh, tidak terjadi apa pun kecuali tangan Xavier tembus seperti menembus udara kosong.

Xavier kemudian mendongak menatap langit sambil bergumam, "Luna dan Dean sudah pulang belum, ya?"

Setelah menghela napas panjang, Xavier memutuskan untuk pulang ke rumah bakery. Kalau tiba di sana ternyata Luna dan Dean masih belum pulang, Xavier bilang saja kalau dia pulang duluan. Benar saja. Saat tiba di bakery, kakak beradik itu belum pulang karena Ayah Bima langsung menodongnya dengan pertanyaan.

"Kenapa kamu pulang sendiri?"

"S-saya pulang duluan karena tidak enak badan."

Ayah Bima manggut-manggut dan menyuruhnya segera naik untuk beristirahat. Xavier sebenarnya merasa bersalah karena terus berbohong pada pria itu. Akan tetapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah dimulai dengan kebohongan. Dan, kebohongan lain muncul untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya.

Xavier melepas tas dan menaruhnya di sofa. Dia sendiri duduk di lantai berkarpet, kemudian merenung saat tiba-tiba merasakan hal yang aneh. Dia mendadak gelisah.

"Apa yang terjadi pada Aiden?" gumamnya. Anak itu juga tiba-tiba muncul di kepalanya, entah kenapa.

Xavier memegang dadanya sendiri karena tiba-tiba sesak. Namun, bukan seperti orang sakit bengek. Napasnya pendek-pendek dan bergetar, seperti orang mau menangis. Dan beberapa detik kemudian, Xavier benar-benar menangis.

"Ada apa ini? Kenapa aku menangis?"

Xavier tidak bisa mengendalikan tangisnya. Dia seperti orang yang sudah lama menahan sakit dan sekarang semuanya meledak. Tangisnya makin kencang dan tersedu. Dia bahkan tidak menyadari kepulangan Luna dan Dean. Tahu-tahu mereka sudah menghampirinya dan bertanya panik.

"Xavier, kamu kenapa?" Luna mengguncang tubuhnya.

"Sakit sekali." Xavier menjawab dalam isak tangis sambil meremas dadanya sendiri.

"Mana yang sakit?" Kini Dean memeriksa dadanya. "Kamu sakit jantung?"

"Hatiku sakit sekali." Xavier meremas dadanya lagi dan terus terisak.

"Kak Dean, gimana ini?" Luna malah ikut-ikutan menangis sambil mengusap-usap punggung Xavier. "Jangan mati dulu, please. Jangan mati sekarang."

"Maksud kamu apa, Lun? Dia bakal mati sekarang?" Suara Dean terdengar makin panik, tetapi Luna tidak menjawabnya. Tangisannya malah makin kencang. Xavier sendiri tidak paham kenapa Luna tiba-tiba membahas kematiannya.

"Apa aku akan mati sekarang? Kenapa rasanya sakit sekali?" kata Xavier. Tangisnya masih belum reda.

Luna menggeleng kuat-kuat. "Enggak! Kamu gak boleh mati sekarang!" tegas Luna.

Dalam tangis yang tidak bisa dikendalikan itu, Xavier masih bisa berpikir. Luna tahu bagaimana kisah hidupnya dari awal sampai akhir. Kalau sekarang dia tiba-tiba membahas kematian, berarti Xavier benar-benar akan mati.

"Kalau aku mati di sini, bagaimana dengan keluargaku?" Tangis Xavier makin tersiksa. Sekarang sakit itu menjadi berlipat karena perasaan yang dia rasakan sendiri.

Luna menangkup wajah Xavier, menatapnya lekat-lekat dari balik genangan air mata. "Kita akan segera temukan portalnya. Jadi kamu gak boleh mati dulu."

Xavier mengangguk kaku. Sedu sedannya membuat bahu Xavier naik turun.

"Sekarang kita obati dulu rasa sakit kamu. Kita ke rumah sakit, ya?" kata Luna.

"Tapi emang sakitnya dia bisa ditangani medis?" ujar Dean tidak yakin.

"Emang rasa sakitnya kayak gimana, Xavier?" Luna terdengar putus asa.

"Tidak tahu. Seperti ada seseorang yang membuat hatiku sangat terluka."

Luna membersihkan air matanya dengan kasar, lalu meraih kedua tangan Xavir.

"Coba silangkan tangan kamu di depan dada," kata Luna sembari membantu menyilangkan tangan Xavier. Posisi telapak tangannya tepat di atas bahu.

"Coba tepuk bahu kamu seperti ini," ujar Luna sembari memberi contoh. Tepukannya mirip kepakan sayap kupu-kupu.

"Ini namanya butterfly hug," lanjut Luna. "Aku biasanya ngelakuin ini kalau lagi cemas atau gelisah."

Luna menuntun Xavier untuk menarik napas dalam-dalam dan menyemburkannya pelan-pelan. Dia juga membantu Xavier mengendalikan pikirannya. Saat ini, yang ada di kepala Xavier adalah Aiden. Entah kenapa firasat dia bilang kalau Aiden sedang tidak baik-baik saja. Sugesti Luna tidak berhasil karena kecemasan Xavier terhadap Aiden benar-benar sebesar itu. Dia tidak bisa mengalihkan perhatian barang sedikit pun, meski Luna menyuruhnya agar hanya memikirkan hal-hal baik saja.

"Kalian kenapa?"

Xavier terkesiap saat tiba-tiba terdengar suara seseorang. Ternyata Aiden yang datang. Luna segera bangun dan menghampirinya. Dia mengguncang lengan Aiden seraya berujar, "Xavier kesakitan dan dia nangis histeris. Kita harus gimana? Dia gak akan mati sekarang, kan?"

Aiden buru-buru menghampiri Xavier dan duduk di sebelahnya. Dia bertanya, "Kamu sakit? Di mana yang sakit?"

Xavier termenung. Dia memegang dadanya, tetapi rasanya sekarang baik-baik saja. Yang ada hanya ada sisa tangis seperti orang cegukan.

"Tadi rasanya hatiku sakit sekali," kata Xavier.

"Hati?"

Xavier mengangguk. "Hmm."

"Emang kamu habis ketemu siapa, sih? Ada orang yang bikin kamu sakit hati?" sela Dean.

Gelengan lemah menjadi jawaban dari Xavier.

"Apa mungkin ... kamu menangis gantiin Aiden?" Dean bertanya lagi.

Semua orang menoleh pada Dean serempak. Dia kemudian melanjutkan, "Kamu pernah bilang begitu, kan? Kamu bisa merasakan emosi yang seharusnya dirasakan Aiden."

"Tapi buat apa Xavier nangis gantiin aku?" kata Aiden.

"Tadi kamu habis ketemu ... Mama kamu? Terus kenapa itu bisa menimbulkan reaksi sakit hati?"

Xavier terbeliak. Dia menoleh pada Aiden dan berujar, "Ibumu datang? Setelah sekian lama menelantarkanmu, dia baru datang sekarang?"

Tanpa ragu Aiden mengangguk, sedangkan Luna dan Dean saling bertukar pandang.

"Dia bilang apa?" tanya Xavier pada Aiden.

"Dia cuma minta maaf."

"Hanya itu?"

Aiden terdiam sejenak dan menatap ke arah lain. "Katanya dia gak sanggup menemui aku selama ini. Dia malu buat kembali. Aku gak ngerti dia ngomong apa. Kenapa malu ketemu anak sendiri?"

"Dia malu karena sudah menelantarkanmu saat kalian hidup susah, dan kembali setelah ayahmu sukses." Suara Xavier bergetar dan Aiden menoleh. "Syukurlah dia masih punya muka."

"Mama juga ngajak aku tinggal sama dia."

"Kamu mau?"

"Enggak."

"Bagus. Tidak usah."

Aiden menatap Xavier beberapa saat, kemudian bertanya, "Itu juga yang akan kamu lakuin kalau jadi aku?"

"Iya."

"Kenapa? Aku kira orang normal akan merindukan ibunya."

"Rasa rindu yang terlalu besar itu meledak sampai hatiku rasanya remuk." Suara Xavier bergetar lagi. Dia menghela napas untuk menenangkan diri sebentar dan kembali bicara. "Setidaknya perlu waktu untuk menata perasaan itu kembali seperti semula."

"Aiden, berdamailah pelan-pelan dengannya," lanjut Xavier. "Jangan tekan perasaan marah atau kecewamu padanya. Akui saja. Selama ini kamu merasakan semua hal itu. Jangan pernah lagi menahan perasaan apa pun. Kalau kamu gak mau menunjukkannya di hadapan orang lain, kamu bisa cari tempat untuk menangis atau marah-marah sendirian, tanpa ketahuan siapa pun."

"Percuma. Aku gak merasakan apa pun sekarang. Aku juga gak peduli Mama kembali atau enggak."

"Kamu bilang aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Kamu ingat waktu aku menangis saat kamu bercerita tentang kematian ayahmu? Persis seperti saat itu, sekarang aku juga menangis untukmu. Karena perasaan yang aku miliki, adalah milikmu. Berhentilah menyangkalnya. Kamu sedang terluka, sekarang."

Aiden terdiam, dan Xavier menatap ke dalam matanya baik-baik. Dalam sorot mata tenang itu, Xavier menemukan genangan di pelupuknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro