Bab 33: Jatuh Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Meskipun Luna tidak bilang apa-apa, Xavier punya firasat kuat bahwa memang ada yang tidak beres dengan dirinya. Seharian ini saja dia sudah beberapa kali menemukan tubuhnya hilang-timbul. Mulai dari tangan sampai kaki. Kalau dia bercermin, mungkin saja bayangannya juga sama. Hari ini Xavier tidak pergi ke mana-mana. Luna melarangnya. Dia harus ada di rumah saat gadis itu kembali dari sekolah. Luna juga bilang pada ayahnya kalau Xavier sedang tidak enak badan, makanya dia tidak sekolah. Bohong lagi. Kalau dirinya menghilang saja, mungkin rumah ini juga akan terbebas dari kebohongan, pikir Xavier.

Tidak ada yang bisa dilakukan Xavier selain terbaring di atas sofa memeluk Sky. Mau membantu melayani pelanggan pun tidak bisa karena Ayah Bima pasti curiga. Orang sakit seharusnya beristirahat. Namun, Xavier bosan kalau terus-terusan berdiam diri. Dia juga tidak tahu cara menghidupkan TV. Selama ini dia tidak pernah melakukannya. Hanya pernah melihat orang-orang menekan tombol, tetapi tidak jelas tombol yang mana karena terlalu banyak. Akhirnya, Xavier beranjak pergi ke kamar Luna yang penuh buku.

"Dia tidak marah kalau aku baca bukunya, kan?" gumam Xavier seraya menyusuri deretan buku di rak.

Xavier kemudian mencabut salah satu buku dan duduk di lantai untuk membacanya. Sebuah buku yang juga ditulis oleh Anton Bagaskara, sama seperti kisah hidupnya.

Xavier membalik halaman demi halaman dan menghabiskan bukunya dalam sekejap. Dia kemudian mengambil buku lain dan mebacanya lagi. Terus berulang-ulang sampai dia menghabiskan beberapa buku. Kebanyakan yang dia baca adalah buku anak yang tidak terlalu padat tulisan karena sebagian diselipi gambar-gambar, juga halamannya tidak terlalu tebal. Xavier baru sadar sekarang kalau semua buku itu ditulis oleh ayah Aiden. Itu artinya, dia memang spesialis buku anak.

Merasa bosan, Xavier memilih kotak rak lain dan mengambil buku yang lebih dewasa. Akhirnya dia menemukan sebuah novel remaja yang dari sampulnya saja sudah tampak menggemaskan. Namun, cerita di baliknya bukan membuat Xavier gemas, melainkan geli.

"Apa-apaan ini? Memangnya lelaki di dunia ini menyatakan cinta dengan cara seperti itu?" omel Xavier ketika menemukan adegan seorang pria menyatakan perasaannya di depan kelas dengan menggunakan papan tulis sebagai media surat cinta.

Setelah membolak-balik halaman, dia lebih heran lagi. Baru beberapa hari pacaran, akhirnya pasangan itu mulai bertengkar karena hal-hal sepele. Seperti perdebatan karena yang satunya makan bubur ayam diaduk, dan satunya lagi tidak diaduk.

"Memangnya perlu mendebatkan hal-hal seperti ini? Apa bedanya diaduk dengan tidak diaduk? Sama-sama masuk perut dan berakhir jadi kotoran!" Xavier mengomel makin kesal. Meski begitu, dia tetap membalik halaman karena menyumpah kedua tokoh agar putus, dan dia ingin segera melihat adegan itu. Sayangnya, meskipun sering bertengkar, mereka tidak kunjung putus.

"Mereka harus terlempar ke dunia ini dan menghilang saja dari cerita." Xavier masih belum berhenti mengomel.

Tadinya Xavier mau berhenti membaca saja, tetapi dilihat-lihat halamannya tinggal sedikit. Merasa tanggung, akhirnya dia membaca ceritanya sampai selesai. Tenyata sampai akhir kisah pun, pasangan itu tidak putus. Malah, Xavier menangkap pesan tersirat dari ceritanya, bahwa menjadi pasangan bukan berarti semua yang ada dalam diri mereka harus persis sama. Beberapa kemiripan bisa saja menjadikan mereka tampak serasi. Namun seperti halnya sepatu, kemiripan itu tidaklah sama persis. Dan meski keduanya berbeda, tetapi mereka memiliki arah, tujuan, dan cinta yang sama.

Xavier menghela napas. Dia kagum membaca bio dari penulisnya yang ternyata juga masih remaja. "Dia bisa mendefinisikan cinta sedalam itu. Apa yang kuketahui tentang cinta, ya?"

Tiba-tiba Xavier termenung, lalu terlonjak sendiri saat wajah Luna berkelebat di depan matanya. Sontak saja jantungnya berdegup. Buru-buru Xavier menggeleng agar wajah Luna hilang dari kepalanya, kemudian dia berlari keluar kamar setelah menyimpan bukunya ke tempat semula.

"Aku akan lebih cepat mati kalau jantungku berdetak secepat ini." Xavier bicara sendiri sambil memegang dada dan terkulai lemas di atas sofa.

"Kamu lagi ngapain?"

Tiba-tiba terdengar suara Dean dan Xavier buru-buru menegakkan tubuh. "Heh?"

Sama bingungnya, Xavier menatap wajah Dean yang terheran-heran. "O-oh, a-aku hanya bosan."

Setelah menghela napas dan geleng-geleng, Dean pergi ke kamarnya. Mata Xavier secara impulsif mencari keberadaan Luna, tetapi gadis itu tidak ada. Baru saja mau menyusul Dean dan bertanya, Luna sudah tergopoh-gopoh menghampirinya.

"Kamu gak apa-apa?" tanya Luna dengan napas terengah-engah.

"Aku tidak apa-apa." Xavier tidak berani menatap Luna. Padahal beberapa detik lalu, dia mencarinya.

"Ah, syukurlah." Luna kemudian mendudukkan dirinya di samping Xavier. Xavier beringsut menjaga jarak dengan Luna karena takut debaran jantungnya terdengar oleh gadis itu.

"Kamu kenapa terengah-engah?" tanya Xavier, masih tanpa menoleh pada Luna.

"Handphone-ku ketinggalan di taksi. Aku kejar dulu, untung belum jauh."

"Jadi kamu lari mengejarnya?"

Luna tidak menjawab. Ketika Xavier menoleh, ternyata Luna sedang manggut-manggut dan bersandar lemas di sofa.

"Dean tidak tahu? Kenapa tidak dia saja yang kejar?" tanya Xavier lagi.

"Kak Dean udah pergi duluan."

Tubuh Luna kemudian menegak dan dia menatap Xavier baik-baik. Xavier menghindari tatapannya lagi.

"Hari ini kamu udah lihat portal itu?" tanyanya.

Xavier menggeleng. "Belum."

"Portalnya di mana? Aku mau lihat. Ayo!"

Luna bangun dan meninggalkan tasnya di sofa, lalu pergi lebih dulu. Xavier mengikutinya di belakang. Mereka pergi ke daerah perkampungan rumah lama Luna. Setelah menyusuri jalanan yang tidak terlalu besar dan berbelok dari gang satu ke gang lain, mereka tiba di depan portal. Mata Xavier terbelalak seketika karena portalnya sekarang sudah lebih besar.

"Eh, portalnya membesar!" seru Xavier sembari menghampiri portal itu.

"Ini portalnya?" Luna bertanya dan Xavier mengiakan.

"Awalnya hanya sebesar ini." Xavier menunjukkan telapak tangannya pada Luna.

"Apa itu artinya ... kamu udah bisa pulang?"

"Entahlah. Biar kucoba."

Tangan Xavier terulur menyentuh portal itu. Namun ketika dia baru merasakan sedikit sengatan, Luna sudah menariknya.

"Kenapa?" tanya Xavier terheran-heran.

"Kamu mau pergi sekarang?"

Xavier terdiam karena nada bicara Luna terdengar seperti sedang membentak. Hanya dalam beberapa detik mata Luna sudah tergenang.

"Kamu belum pamitan sama semua orang. Aiden, Kak Dean, Ayah. Kamu juga belum bawa Sky," ujar Luna dengan suara bergelombang, dan air matanya mulai turun.

"I-iya. A-aku tahu. Kamu bicaranya jangan sambil menangis."

Luna mengusap air matanya dengan kasar dan membuang muka. Dia tidak bicara lagi dan terus terisak.

"Luna ... kenapa ...?" Xavier bingung dengan sikap gadis di hadapannya.

"Aku gak percaya aku benar-benar bisa mengantar kamu pulang."

"Apa?"

Luna kemudian menoleh pada portal itu dan berujar, "Lihat, perlahan-lahan portalnya membesar lagi."

Xavier terbeliak dan menganga. "Kenapa bisa begitu?"

"Itu karena ...." Luna menggantung ucapannya dan Xavier menoleh. " ... karena perasaan aku takut kehilangan kamu makin besar."

Xavier mengernyit, tidak paham sama sekali dengan ucapan Luna. "Maksudnya?"

Luna menangkup wajahnya sendiri dan terisak sebentar sebelum kemudian dia mengangkat kepala dan menatap Xavier. "Aku gak akan menahan kamu, kok. Lebih baik aku kehilangan kamu di sini daripada aku gak bisa lihat kamu di mana pun."

Xavier mengerjap beberapa kali berusaha memahami perkataan Luna. Gadis itu kemudian berbalik dan memilih pergi. Xavier mengejarnya, tetapi tetap berada di belakang Luna ketika mereka terus berjalan. Isakan kecil masih terdengar. Hingga tibalah mereka di jalan bertangga yang pernah digunakan Xavier. Luna pun duduk di salah satu undakan tangga itu sambil memeluk lutut. Barulah Xavier menjajarinya dan duduk di samping Luna. Gadis itu menunduk. Wajahnya tidak kelihatan karena rambut panjangnya jatuh. Tidak ada percakapan apa pun, dan suasana terasa hening karena Luna sudah mulai tenang. Xavier mengedarkan pandangan pada tembok bergambar warna-warni.

"Orang-orang di sini pandai menggambar, ya?" ujar Xavier sekadar mencairkan suasana. Dia menoleh pada Luna yang masih tertunduk. "Aku tidak punya tangan emas seperti orang-orang sini."

"Mungkin Pak Anton lupa memberikan satu keahlian Aiden ke kamu."

"Maksud kamu?"

"Aiden juga pandai menggambar."

"Benarkah? Aku tidak tahu kalau dia berbakat."

"Aku juga gak tahu. Aku kira dia cuma bisa menangis."

"Menangis?"

"Dulu aku sama Kak Dean sering menemukan dia menangis di sudut toko buku. Ternyata dia datang tiap hari ke sana buat memeriksa apa buku papanya laku atau enggak. Dia sedih kalau bukunya gak laku. Makanya aku bertekad akan membeli buku papanya setiap kali rilis."

Xavier tersenyum tipis. "Kamu sangat peduli pada Aiden."

Terdengar semburan napas kasar dari mulut Luna. "Aku kira dia menangis hanya karena bukunya gak laku, ternyata lebih dari itu. Dan saat melihat kamu menangis kemarin, sepertinya aku menemukan jawaban."

Xavier memandang ke depan lagi dan berujar lirih, "Rasanya memang sesakit itu."

"Terlalu sakit sampai akhirnya dia mati rasa."

Xavier mengangguk setuju. Hening lagi beberapa saat. Xavier menoleh dan mendapati Luna hanya menatap kosong ke undakan tangga di bawah sana.

"Luna, aku boleh minta tolong?" tanya Xavier.

Luna menoleh. "Minta tolong apa?"

"Kalau aku sudah pergi, tolong jaga Aiden."

Luna tertegun dan membuang muka. "Terdengar seperti benar-benar akan pergi."

"Aku memang akan pergi. Tapi sepertinya ... kamu tidak mau aku pergi."

"Udah aku bilang aku gak akan menahan kamu!" Nada bicara Luna meninggi, tetapi ada tremor di sana.

Xavier menatap Luna yang tidak mau menoleh padanya. "Aku juga berat meninggalkan tempat ini."

Luna hanya menoleh sedikit dan kembali pada undakan tangga di hadapannya.

"Kamu, Dean, Aiden, semuanya. Aku pasti akan merindukan kalian," kata Xavier.

Luna menggigit bibirnya yang bergetar. Dia menahan tangis yang akan keluar lagi.

"Kamu tidak mau memberiku kenang-kenangan?" tanya Xavier mengalihkan pembicaraan.

Luna masih tidak mau menoleh dan hanya balik bertanya, "Kenang-kenangan buat apa?"

Xavier pura-pura cemberut dan menunjukkan gelangnya pada Luna. "Aku punya gelang kembar dengan Aiden dan Dean. Masa kamu tidak mau memberiku sesuatu juga?"

Barulah Luna menoleh dan mengernyit menatap gelang di tangan Xavier. "Kapan kalian beli ini?"

"Kami membelinya saat jalan-jalan." Xavier tertawa kecil.

"Kalian jalan-jalan dan gak ngajak aku?" Wajah Luna berubah kesal. Xavier jadi ingin mencubitnya, tetapi urung.

"Kamu benar-benar tidak mau memberiku apa pun?"

Luna memutar bola mata. "Memangnya kamu mau apa? Aku gak punya apa-apa."

"Aku bisa membawa itu." Xavier menunjuk sesuatu di rambut Luna. Luna sampai terbelalak dan menyentuhnya.

"Buat apa cowok minta jepit rambut?" katanya terdengar kesal.

"Kamu pikir aku akan memakainya? Aku hanya akan menyimpannya."

Luna mendengkus sambil melengos. Namun setelah beberapa saat, dia melepas cincin dari jari manis dan menyerahkannya pada Xavier.

"Ini aja," katanya.

"Terima kasih." Xavier tersenyum lebar. Dia segera memakai cincin yang hanya muat di kelingkingnya.

"Terus sekarang aku dapat apa?"

"Ayo berfoto!"

Luna menoleh dan menatapnya heran.

"Aku tidak punya apa pun selain wajah tampan ini." Xavier menunjuk wajahnya sendiri, dan Luna tergelak. Xavier pun tersenyum dibuatnya.

Luna kemudian mengeluarkan handphone-nya dari saku rok dan mereka mengambil foto. Keduanya tersenyum merekah, tetapi itu membuat Xavier mendadak sedih karena perpisahan makin mendekat ke ujung mata.

"Xavier."

"Hmm?"

"Kalau kamu pulang ke Cloudpolis, masuklah melalui pintu belakang istana dan temui penyihir pengkhianat itu di paviliun. Dia punya pedang yang sudah dimasukkan sihir sehingga kamu bisa melawan penyihir yang sekarang mengambil alih posisi raja. Dia menyimpan pedang itu di samping tempat tidurnya."

"Kenapa tiba-tiba membahas itu?"

"Agar kamu bisa cepat menyelamatkan keluarga kamu. Di cerita aslinya, kamu kesulitan masuk istana karena penjagaannya sangat ketat."

Xavier menghela napas. "Kamu terdengar seperti sedang mengantarku pulang."

"Pada akhirnya memang akulah yang mengantar kamu pulang."

"Di cerita aslinya seperti itu?"

"Iya."

"Apa di cerita aslinya ... aku juga jatuh cinta padamu?"

Luna menoleh dengan mata melebar. "A-apa?"

"Sepertinya aku jatuh cinta padamu."

Luna membeku. Dia bahkan tidak bisa menghindari tatapan Xavier seperti sebelum-sebelumnya. Hanya menatap Xavier tanpa berkata apa pun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro